Julia kembali bekerja di toko baju. Ia tidak ingin terlalu larut dalam lamunan. Berada di rumah tanpa pekerjaan, membuat ia selalu mengingat kesedihannya.
Dengan menyibukkan diri di toko, ia bisa melupakan bahwa dirinya telah dijual seperti sebuah barang. Susi, teman SMA dan bekerja di toko yang sama dengan Julia. Ia sudah mendengar tentang rencana pernikahan Julia yang akan digelar tiga bulan lagi.
"Ciee …. Yang sudah dilamar. Gimana, kang Andi membawa mahar berapa?" tanya Susi dengan semangat. Selama ini, Susi hanya tahu, Andi-lah kekasih Julia. Ia ingat, Dodit tidak menyetujui hubungan mereka. "Eh, tunggu deh! Bukannya … kalian tidak direstui ya?"
Sampai dua kali bertanya, Julia masih diam. Ia tidak bisa memarahi Susi yang sudah mengungkit lukanya. Kenyataan itu sangat melukai hatinya, tapi tidak ada yang tahu selain Julia dan keluarganya. Tidak pula sang kekasih, Andi Atmaja.
"Juli! Kok malah melamun? Jawab, dong!" Susi mendesak gadis dua puluh dua tahun itu untuk menjawab.
"Apa yang harus aku bagi denganmu, Sus? Pernikahanku karena ayahku. Dia menjualku pada lintah darat," jawab Julia dengan berlinang air mata.
Susi membelalak. Ia tidak menyangka jika Julia akan dijual oleh ayah tirinya. Dengan polosnya ia bertanya pada gadis itu.
"Maaf, Jul. Aku tidak tahu," sesal Susi sambil memeluk gadis bertubuh proporsional dengan hidung bangir yang diwarisi dari ayahnya, Carlos Smith.
Di desa mereka, banyak sekali warga keturunan luar yang bermukim di sana sejak zaman penjajahan. Banyak di antaranya yang menikah dengan warga pribumi, termasuk Smith. Sayangnya, pemilik kebun teh dan pabrik pengolahan daun teh itu tidak berumur panjang.
Carlos Smith meninggal di usia empat puluh lima tahun. Julia baru kelas enam SD saat itu. Keluarga ayahnya Julia, tidak menyetujui pernikahan Carlos dan Ambar. Ketika suaminya meninggal, hari itu juga Ambar dan Julia diusir oleh keluarga Smith.
Setelah lelah mengontrak rumah, Ambar menerima lamaran Dodit yang kala itu sangat baik. Ia membantu kehidupan Ambar dan Julia, hingga akhirnya mereka menikah. Siapa sangka, Dodit hanya ingin mengambil harta peninggalan Smith yang ada di tangan Ambar.
Akhirnya, sampai harta satu-satunya milik Ambar, yaitu Julia, ikut dijual oleh laki-laki pemabuk itu. Gadis itu tidak bisa menahan kesedihan ketika Susi mendesaknya untuk menjawab. Jika sahabatnya itu tahu, ia tentu tidak akan bertanya. Kini, Susi merasa bersalah karena telah membuat Julia menangis.
"Sudah, sudah. Jangan dibawa sedih. Anggap saja, kamu sedang ibadah. Siapa tahu, kehidupanmu akan lebih baik." Susi berusaha menghibur, meski ia tahu itu tidak berpengaruh apa-apa.
"Jusa!" panggil Andi. Dia biasa memanggil Julia dengan 'Jusa' kepanjangan dari Julia sayang. Dia bekerja di pabrik tekstil skala kecil di dekat pasar. Setiap jam istirahat, dia selalu datang ke toko. Ia membawakan makanan dan makan siang bersama Julia.
Ia juga sudah mendengar tentang rencana pernikahan kekasihnya. Namun, ia masih tetap bertahan dengan berpura-pura tidak tahu. Andi dan Julia saling mencintai, mereka sudah berjanji untuk melalui kehidupan ini bersama.
"Andi datang tuh," kata Susi.
Julia menyeka sisa air mata di pipinya. Wajahnya terlihat sendu, tidak seperti hari-hari biasa saat Andi datang mencarinya. Ia tidak tersenyum sama sekali, seakan enggan melihat laki-laki itu.
"Kenapa kamu cemberut gitu sih," goda Andi sambil mencolek dagu lancip gadis itu.
"Mau apa kesini?" tanya Julia dengan wajah dingin.
"Mau mengajakmu makan siang bareng. Masa lupa? Sama kebiasaan kita," seloroh Andi dengan santai. Sebuah senyuman manis terus terukir di bibir merah gelap laki-laki itu. Ia tidak suka merokok, sehingga bibirnya berbeda dengan laki-laki kebanyakan.
Wajah Andi sangat tampan, tapi ia tidak bisa berjalan dengan normal. Ya, sebelah kakinya sedikit lebih pendek. Namun, Julia tidak memandang fisik laki-laki itu.
Andi adalah orang yang memperkenalkan Julia kepada pemilik toko itu. Hingga ia bisa bekerja meski gajinya tidak seberapa. Laki-laki itu selalu membawakan makan siang untuknya, agar gadis itu bisa menghemat uangnya. Andi selalu ada untuknya dalam suka dan duka.
"Di, kamu pasti tahu soal pernikahanku. Tidak perlu berpura-pura tidak tahu," ucapnya. Ia memalingkan wajahnya ke samping. Tidak sanggup melihat wajah laki-laki itu. Hatinya bagai teriris-iris karena ia tidak akan bisa bersamanya lagi.
"Aku tahu. Tapi, itu bukan karena keinginan kamu, Jusa. Aku bisa mengorbankan apa saja untukmu. Kita bisa kawin lari jika perlu," kata Andi dengan mantap. Tidak ada keraguan dalam hatinya akan cinta Julia.
"Memang bukan keinginanku, tapi pernikahan itu tidak akan bisa dibatalkan. Aku … tidak bisa bersamamu lagi. Lebih baik, kita putus saja."
"Tidak! Kalau kamu sedang ingin sendiri, baik, aku akan pergi. Jangan mengatakan kata-kata itu, Jul! Kamu tenangkan diri saja dulu. Jangan lupa makan," ucapnya sambil menaruh makanan di depan Julia. Ia tidak ingin menyerah. Ia meninggalkan Julia sementara waktu untuk membiarkan gadis itu menenangkan diri.
***
"Biar aku yang menutup toko. Kamu pulang saja. Jangan melamun di rumah. Lebih baik berjalan-jalan sore di perkebunan teh. Hirup udara segar, biar fresh otaknya."
"Ide yang bagus. Maaf, karena kamu harus menutup toko sendirian. Terima kasih atas perhatianmu," ucapnya sambil memeluk Susi.
"Tidak perlu sungkan seperti itu. Sana pergi!"
Julia tersenyum geli. Tingkah Susi sangat centil. Jangankan di depan laki-laki, di depan Julia juga selalu seperti itu.
Ia berjalan kaki menuju perkebunan teh. Di sore hari, kebun teh itu sangat sepi. Walau ada beberapa orang yang berlalu lalang, tapi sudah tidak ada kegiatan memetik daun teh.
Para pemetik daun teh bekerja di pagi hari. Siang hari, mereka biasanya menggarap kebun pisang milik Oman. Julia berjalan-jalan dengan santai sambil memandang hijaunya perkebunan yang memanjakan mata.
Matahari semakin turun dan perlahan-lahan tenggelam. Julia berjalan pulang seorang diri. Wajah cantik Julia sangat terkenal di Desa Parangkaris.
Banyak laki-laki yang mengejarnya, tapi Julia hanya setia kepada Andi. Semua penolakan gadis itu membuat beberapa laki-laki patah hati dan memendam kebencian pada gadis berambut coklat itu. Saat ia berjalan pulang, ada dua orang laki-laki yang mengikutinya.
Julia gemetar ketakutan karena tidak ada yang bisa menolongnya, jika mereka berdua berbuat jahat padanya. Ia berlari di kegelapan jalan perkebunan, hingga ia tiba di jalan aspal pedesaan. Julia berlari sambil menoleh ke belakang berkali-kali, hingga ia menabrak seseorang yang baru saja keluar dari mobil.
Bruk!
"Akh …." Keduanya berteriak karena mereka terjatuh bersamaan dengan posisi Julia menimpa tubuh laki-laki itu.
Lampu jalanan menyorot wajah laki-laki yang berada di bawahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata karena laki-laki itu terlihat aneh. Bagaimana tidak? Di malam hari, dia memakai kacamata hitam. Julia tertegun, begitupun laki-laki itu.
====BERSAMBUNG====