Chereads / Touch My Heart, Hubby / Chapter 4 - Sarapan di Rumah Calon Suami

Chapter 4 - Sarapan di Rumah Calon Suami

"Sampai kapan kau akan tidur di atas tubuhku?"

Suara bariton tegas dan dingin, membuyarkan lamunan Julia. Ia bangkit dari tubuh laki-laki itu lalu meminta maaf. Namun, laki-laki itu menjawab dengan angkuh dan kasar.

"Gadis desa kurang ajar! Kau sengaja 'kan melakukannya?"

"Saya benar-benar tidak berbohong, Mas. Tadi … ada dua orang yang mengikuti saya, makanya saya lari. Saya tidak sengaja menabrak, Mas, sampai terjatuh." Gadis itu menyadari kesalahannya, meminta maaf berkali-kali dengan tulus. Namun, laki-laki berkacamata hitam itu masih saja menghinanya. Julia mencoba untuk sabar.

Laki-laki itu naik pitam. "Tidak lihat?! Bajuku basah dan kotor karena berbaring di aspal dan itu karena kau!" makinya dengan lantang sambil menunjuk bajunya yang basah. 

Tadi pagi, turun hujan di desa itu. Meski hanya sebentar, tapi kubangan air di jalan aspal masih menggenang. Mereka jatuh tepat di kubangan air. 

'Sudah cukup. Aku sudah tidak tahan lagi.' 

"Kalau begitu, apa maumu? Kau mau aku berguling di aspal supaya bajuku juga basah? Atau kau mau aku mencuci bajumu? Silakan pilih, Tuan Angkuh dan sombong!"

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia masuk ke mobilnya, menyalakan mesin lalu melaju kencang menuju arah rumah tuan tanah. Julia tidak peduli, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah segera pergi jauh dari lokasi sepi itu. Julia berlari kencang sampai tiba di rumah jam delapan malam.

"Dari mana kamu, Julia?!" Dodit berdiri di depan pintu dengan kedua tangan di pinggang.

"Main, Pa." 

"Main sama si Andi itu lagi? Kamu sudah jadi calon istri Pak Oman. Berani-beraninya kamu masih main dengan laki-laki lain," maki Dodit dengan wajah merah padam. Dia hampir saja memukul Julia, tapi sebuah panggilan telepon menyelamatkan gadis itu.

Ambar segera menarik Julia untuk masuk ke rumah sementara Dodit menerima telepon. Saat ayah tirinya selesai bicara, ia celingukan mencari gadis itu. Lalu mencarinya ke kamar.

"Julia! Julia! Keluar sebentar," ucapnya dengan suara lebih lembut. Hal itu membuat Ambar ketakutan. Dodit yang berbicara kasar, lebih normal daripada yang berbicara lembut dan halus. Karena pasti ada sesuatu yang diinginkan saat ia berbicara dengan nada lembut seperti itu. 

Julia keluar dari kamar. Setiap kali Dodit bicara dengan nada seperti itu, ibunya akan ketakutan. Ia menyadari hal itu sejak lama, karena itu ia segera keluar menemui Dodit.

"Ada apa, Pa?"

"Besok pagi jam sembilan, kamu harus ikut Papa."

"Kemana, Pa?"

"Rumah calon suamimu. Tidur lebih awal supaya wajahmu segar saat bangun besok pagi," ucapnya sambil tersenyum. 

Sungguh, senyuman itu bukannya menenangkan hati Julia dan Ambar. Mereka seperti melihat jurang yang dalam dan gelap di balik senyuman manis Dodit. Julia sadar, apa yang akan menimpa hidupnya.

Gadis itu seolah sedang berdiri di bibir jurang yang curam, dalam, dan gelap. Hanya tinggal menunggu Dodit mendorongnya jatuh dan ia akan hidup di dalam kegelapan itu. Dan ia hanya bisa pasrah, demi ibunya. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Julia.

Ia masuk kembali setelah Dodit pergi. Julia berbaring di samping Ambar. Sudah lama, wanita paruh baya itu tidak tidur bersama suaminya. Ia memilih untuk tidur di kamar Julia.

Dodit tidak mempermasalahkan. Dimana istrinya tidur, tidak ada bedanya untuk laki-laki itu. Toh, dia tidak pernah tidur di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat judi.

***

Jam delapan pagi, Dodit pulang dalam keadaan setengah mabuk. Kedua matanya merah seperti orang yang berenang terlalu lama tanpa kacamata pelindung. Jalannya sedikit sempoyongan. 

Sudah biasa setiap hari. Ambar dan Julia tidak merasa aneh. Yang aneh, justru karena ia tidak mabuk berat. 

"Mana Julia, hik?" tanya Dodit. Cegukan khas orang mabuk itu sudah menjadi lagu yang biasa mereka dengar setiap kali Dodit pulang. "Cepat mandi yang bersih, wangi, dan berdandan yang cantik. Kalau berani melarikan diri atau memberontak, aku akan membawa ibumu ke tempat judi!"

Lagi-lagi ancaman yang sama. Lagi. Julia kalah sebelum sebelum melawan. Gadis itu tidak bisa berkata tidak, jika Dodit sudah mengancamnya dengan kata-kata itu. Sementara menunggu ayah tirinya mandi, Julia merias diri.

"Maafkan Mama, Jul. Jika dulu Mama tidak menikah dengan laki-laki itu, hidupmu tidak akan seperti ini," sesal Ambar dengan berlinang air mata. Ia merasa semua terjadi karena dirinya.

"Bukan salah, Mama. Semua yang terjadi sudah takdir dari Tuhan. Bukankah, Mama, yang bilang kalau kita tidak boleh mengeluh dalam hidup," ucap Julia sambil menarik senyum tipis di bibirnya.

Ambar tahu, meski putrinya itu tersenyum. Namun, di dalam hatinya ia sedang bersedih. Julia kembali merias wajahnya.

Setelah ibunya keluar dari kamar, wajah Julia berubah sendu. Ia menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. Wajah yang telah selesai dirias dengan cantik. Sayangnya, gadis cantik itu tidak memiliki kehidupan baik secantik wajahnya.

Memiliki wajah cantik, tidak berarti memiliki takdir yang baik. Ambar dan Julia sama-sama cantik, tapi nasib mereka tidak begitu baik. Kemalangan yang menimpa sang ibu, akan menimpa pada Julia juga tidak lama lagi.

"Julia! Ayo pergi!" Dodit mengetuk pintu kamar Julia seraya memanggilnya.

Gadis itu keluar dan pergi bersama ayah tirinya. Dodit memboncengi Julia menggunakan motor bututnya. Jika laku, motor itu pasti sudah dijual untuk modal judi.

Sepuluh menit kemudian, motor itu memasuki gerbang rumah besar milik Oman. Masuk ke dalam gerbang itu, membuat Julia merasa seperti masuk ke dalam penjara. Ya, dia akan terpenjara setelah menikah nanti.

"Ayo turun!" Dodit mengajak Julia masuk setelah memarkir motornya. 

"Selamat pagi, Nona Julia," sapa Kimo dengan ramah. Lalu ia menoleh ke arah Dodit. "Selamat pagi, Pak Dodit." Kimo menyapa laki-laki itu dengan tatapan dingin.

'Sialan! Cuma asisten saja berani bersikap kurang ajar. Lihat saja nanti saat aku menjadi besan Pak Oman. Kau akan aku pecat!' Dodit memaki dalam hati. Ia melangkah masuk, mengikuti Kimo yang membawa mereka menuju ruang makan.

"Selamat pagi, Sayang," sapa Oman saat Julia datang bersama Dodit. "Mari sarapan." Oman menunjuk kursi di samping kirinya.

Tubuh Julia menggigil mendengar kata sayang dari bibir laki-laki paruh baya itu. Ia pikir, laki-laki itulah yang akan menikahinya. Julia duduk di samping kiri dan Dodit duduk di samping Julia. Sementara di samping kanan Oman masih kosong.

Mereka semua sudah duduk, tapi acara sarapan belum dimulai. Seperti masih ada yang ditunggu oleh laki-laki itu. Sementara itu, Dodit yang jarang melihat makanan mewah, terus menelan saliva berkali-kali.  

Menu sarapan itu lebih cocok disebut makan besar. Ada udang bakar asam pedas, sate ayam, capcay, sop kambing, gulai ikan gurame. Makanan itu memenuhi meja makan panjang itu. Namun, Dodit menunggu pemilik rumah memersilakan terlebih dulu.

====BERSAMBUNG====