Derap langkah kakinya menggema di setiap sudut ruangan, beriringan dengan suara degup jantung Junaedi yang semakin lama semakin cepat. Bukan hanya Junaedi saja yang gugup, para berandalan yang berdiri di belakang Junaedi pun turut merasakan tekanan dari aura mencekam mahluk buas yang perlahan semakin mendekat.
Keringat dingin terus mengalir membasahi pelipis Junaedi, bibirnya pucat, kepalanya pun terasa berat. Seharusnya tadi malam ia tak usah repot-repot bergadang untuk belajar, jika akhirnya ia akan mati tragis seperti ini. Karena yang pasti, nilai dari hasil ujiannya pun tidak akan membantunya untuk menyelamatkan diri dari situasi seperti sekarang.
"Bunda, maafkan Junaedi jika ada salah. Maaf kembalian belanja kemarin Junaedi jajajanin permen, maaf bunda."
Bibir Junaedi kumat-kamit tak bersuara,
dalam hati ia terus meminta maaf dan terus berdoa. Junaedi sudah pasrah jika misalnya dia harus mati hari ini juga. Semoga saja tabungan amal baiknya cukup untuk membeli tiket ke surga.
Junaedi memejamkan matanya rapat, alisnya berkerut, siap untuk menerima rasa sakit yang akan didapatkan setelah ini. Walaupun sudah pasrah, namun detak jantung Junaedi tak sedikit pun menenang. Jujur ia merasa ketakutan, karena seumur hidupnya, Junaedi belum pernah terlibat dalam sebuah pertarungan fisik. Karena kata ibunda, manusia tidak boleh saling menyakiti apa lagi saling membunuh.
Mengingat sang ibunda tercinta membuat Junaedi menjadi sedih, ia tak tega jika harus pergi meninggalkan sang ibunda sendirian, setelah sang ayah meninggal dunia dua tahun silam karena kecelakaan.
Suara langkah kaki itu kini telah berhenti tepat di hadapan Junaedi. Saking takutnya, rasanya seakan-akan jantung Junaedi berhenti berdetak. Ingin sekali Junaedi melarikan diri, tapi kakinya terasa lemas seakan semua energi di tubuhnya menguap entah kemana.
"Terimakasih atas payungnya."
Seketika saja terdengar suara yang begitu lembut menyapa gendang telinga Junaedi. Membuat Junaedi yang semula memejamkan mata karena ketakutan, kini tanpa ragu membuka matanya lalu melihat secara langsung siapa pemilik dari suara nan lembut itu.
Junaedi mendongakkan kepalanya ke atas. Terlihat di sana, seorang gadis berparas cantik bak seorang malaikat yang tengah tersenyum ke arah Junaedi. Sangat cantik, membuat Junaedi beserta para berandalan itu terpesona akan keindahannya.
"Apa sekarang aku ada di surga?
Seingatku, aku belum mati." Ujar Junaedi dalam hati.
"Aku kembalikan payung milikmu." Ucap gadis itu lagi memecah lamunan Junaedi.
Gadis berkucir kuda itu pun mengasongkan sebuah payung berwarna hitam kehadapan Junaedi. Namun, mata Junaedi menangkap sebuah bercak berwarna kemerahan seperti darah di ujung payung itu.
Apa itu benar-benar bercak darah atau bercak lain yang menyerupai warna darah?
Junaedi jadi bimbang, ia ragu untuk mengambil kembali payung hitam itu dari tangan sang gadis. ia lebih memilih untuk merelakan dan memberikan payung hitam itu kepada si gadis cantik, walaupun sebenarnya payung itu bukan milik Junaedi tapi milik sang ibunda. Semoga saja sang ibunda tidak keberatan Junaedi memberikan payung itu kepada sang gadis.
"T-tak apa, kau boleh memilikinya." Ucap Junaedi seraya tersenyum kaku kepada sang gadis.
Setelah beberapa menit perbincangan, Junaedi akhirnya ingat siapa gadis cantik itu, dia gadis yang ia temui dua hari yang lalu, saat hujan turun dengan lebat. Gadis yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan memar kebiruan. Memang memar-memar itu masih terlihat bersarang di beberapa bagian tubuhnya, tapi syukurlah tidak separah saat mereka pertama kali bertemu.
"A-apa lukamu sudah sembuh?" Tanya Junaedi khawatir.
"Lukaku?
Tenang saja, mereka akan sembuh dengan sendirinya." Jawab gadis itu sembari meraba pipi kiri, tempat lebam biru masih sedikit berbekas.
"Apa kau takut denganku?" Tanya gadis itu tiba-tiba, pikirnya mungkin Junaedi merasa terintimidasi akan kehadirannya.
"Jangan takut, aku tidak akan melakukan hal buruk kepadamu."
Junaedi tidak bisa menjawab perkataan sang gadis, karena jujur dia memang sedikit terintimidasi oleh aura mencekam si gadis, tapi mana mungkin Junaedi berkata jujur, jadi yang bisa dia lakukan hanyalah tertawa renyah sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ehem!"
Suara deheman memotong di tengah-tengah perbincangan mereka.
"Kami sudah memenuhi permintaanmu, jadi sekarang giliranmu untuk memenuhi permintaan kami." Ucap sang ketua geng pada si gadis.
"Jadilah komandan dari geng motor Bloody Moon."
"Tidak bisa!" Tolak gadis itu tanpa ragu.
"Tapi bukan kah-"
"Permintaanku bukan sekadar untuk bertemu dengan orang ini." Gadis itu menunjukkan ke arah Junaedi. "Tapi permintaanku adalah untuk membuat dia bergabung dengan geng motor kalian."
Para berandalan itu saling memandang seakan saling berbagi isi pikiran, lalu kemudian atensi mereka beralih menatap ke arah Junaedi. Junaedi memiringkan kepalanya, ia tak paham dengan apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Kau!" Panggil yang berwajah paling garang kepada Junaedi.
"Bergabunglah dengan geng motor kami!"
"Eh! aku?
T-tapi..."
"Jangan banyak bicara, sudah turuti saja apa yang kami katakan!" Bentak sang ketua geng membuat Junaedi terpaksa untuk mengangguk.
"Kau lihat sediri, dia setuju untuk bergabung.
Jadi mulai sekarang kaulah komandan dari geng motor Bloody Moon, Karlina." Ucap sang mantan ketua geng seraya menunjuk Junaedi dengan percaya diri.
"Terserah kalian saja." Balas si ketua geng baru dengan nada bicara yang datar.
Mendengar jawaban dari Karlina, serempak para berandalan itu bersorak kegirangan. Namun sayang, momen bahagia itu tidak bertahan lama, karena tiba-tiba saja pintu gudang terbuka dari luar, menampakkan seorang pemuda yang semula diperintahkan untuk berjaga di luar.
"Mereka datang komandan!" Teriak sang pemuda, nafasnya tersengal-sengal.
"Geng motor Heaven Devils datang menyerang!"
"Mereka masuk ke wilayah kekuasaan kita?" Tanya yang lain.
"Sepertinya begitu."
"Sial! Ini tidak bisa dibiarkan."
"Komandan, apa yang harus kita lakukan?" Tanya mereka kepada pria berwajah garang.
"Aku bukan lagi komandan kalian." Jawabnya, lalu pandangannya beralih menuju Karlina diikuti oleh yang lainnya.
"Komandan?!" Tanya mereka serentak.
"Terserah kalian saja." Jawab Karlina masih dengan nada datarnya.
Semua paham apa maksud dari kata 'terserah' itu. Tanpa bertele-tele, mereka berlari ke luar memanggil pasukan lainnya untuk bersiap berperang.
Begitu pula dengan Karlina, Ia berjalan santai menyusul para bawahannya yang sudah lebih dulu bersiap. Tak lupa Karlina membawa serta payung berwarna hitam pemberian Junaedi di tangannya. Namun, langkah kaki Karlina terhenti kala Junaedi menarik lengan rampingnya.
"Kau mau pergi kemana dengan luka-luka di tubuhmu yang belum sepenuhnya pulih itu?"
"Ini tubuhku, aku bebas untuk melakukan apa saja, termasuk menghancurkan setiap tulang yang ada di tubuhku." balas Karlina ketus.
"T-tapi komandan!"
"stttt... jangan sesekali-kali kau memanggilku komandan, aku tidak menyukainya.
panggil aku Karlina." lanjut Karlina seraya menarik kembali tangannya dari genggaman tangan Junaedi, lalu berlalu meninggalkan Junaedi sendiri di dalam gudang.
Junaedi takut jika harus terlibat dalam pertarungan, namun rasa khawatirnya akan keadaan Karlina jauh lebih besar dari rasa takutnya. dengan memberanikan diri Junaedi berlari menyusul Karlina ke Medan perang, menembus orang-orang yang sedang asik saling adu pukul.
"K-KOMANDAAAAAAAN!!!"