Martin berjalan mendekati bilik yang terletak di dalam toilet. Ia membuka satu persatu pintu-pintu bilik itu seakan sedang mencari sesuatu. Dari sudut ke sudut sudah ia selidiki, namun tak kunjung ia temui apa yang ia cari itu.
Ya, Martin sedang mencari Deby.
Aneh, sudah dua Minggu Martin tidak bertemu dengan Deby, biasanya setiap kali ia pergi ke toilet di lantai satu fakultas ilmu komputer, ia akan langsung disambut oleh gadis berpenampilan nyentrik tersebut. Tapi sekarang, batang hidungnya saja tidak terlihat.
Terakhir kali mereka bertemu adalah saat Deby kesurupan setan maung dua Minggu yang lalu. Saat itu Martin begitu terkejut karena sosok Deby yang ceria tiba-tiba saja berubah menjadi ganas dan menakutkan saat berhadapan dengan para berandalan itu. Hal tersebut lah yang membuat Martin beranggapan bahwa Deby kesurupan setan maung dan tanpa pikir panjang langsung membenturkan kepalanya dengan kepala Deby untuk menyadarkan gadis pecinta K-Pop itu.
Martin tidak tau bagaimana keadaan Deby setelah itu, karena saking kerasnya benturan, sampai-sampai Martin pun ikut pingsan. Martin jadi malu jika harus mengingat kembali kejadian waktu itu. Bodohnya, mengapa harus membenturkan kepala? Memangnya ada artikel yang pernah menjelaskan bahwa membenturkan kepala bisa menyadarkan orang kesurupan? Tidak kan?
Martin menghela nafasnya kasar, lalu membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari keran di westafel dengan keras, berharap bisa menghilangkan kenangan memalukan itu dari kepalanya. Saat melihat pantulanbayangan dirinya di cermin, Martin tersadar bahwa sekarang penampilannya sudah sedikit berbeda, bisa dibilang wajahnya sudah semakin tampan. Jerawat dan kantung mata kini sudah menghilang dari wajahnya. Kulitnya sudah bersih dan cerah, tidak seperti dahulu dimana wajahnya nampak seperti zombie.
Deby memang pernah mengatakan bahwa Martin memiliki wajah yang tampan, tapi ia tidak menyangka bahwa dia akan berubah menjadi sangat menawan. Terimakasih kepada Deby, jika bukan karena saran darinya mungkin dia tidak akan menjadi seperti sekarang ini, walaupun ia harus mengorbankan uang juga waktu. Tidak sia-sia ia memasangkan banyak skincare kepada wajahnya setiap hari.
Setelah mengelap wajahnya dengan tisu, Martin pun kembali memasang kacamata tebalnya. Martin masih belum terbiasa jika harus melepaskan kacamata kesayangannya itu, karena dia akan kesulitan untuk melihat apa bila tidak mengenakannya.
Martin pun masih setia dengan kemeja kotak-kotaknya, dia beranggapan bahwa kemeja kotak-kotak inilah yang menjadi ciri khasnya. Tidak. Martin berbohong. Sebenarnya Martin tidak memiliki model baju lain selain kemeja kotak-kotak dan Baju crop top yang Deby beli waktu lalu. Karena rencana mereka untuk membeli baju baru gagal, maka mau tak mau Martin harus memakai kembali kemeja kotak-kotaknya, dan mana mungkin pula ia mengenakan crop top ke kampus, yang ada dia malah ditertawakan oleh teman-temannya. Jika harus belanja sendiri pun ia tak tau harus membeli apa, yang ada dia malah akan membeli kemeja kotak-kotak lainnya dan menambah koleksinya di lemari.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan tidak ada lagi kelas yang harus ia hadiri setelah ini, Martin pun bergegas keluar dari toilet dan berjalan keluar dari gedung. Bukan hanya Martin, mahasiswa lain pun juga berbondong-bondong berjalan menuju gerbang kampus.
Dikarenakan letak gedung fakultas ilmu komputer dekat dengan gerbang, maka tidak aneh jika sekarang tempat itu begitu penuh. Martin pun harus jalan dengan hati-hati agar tidak bertabrakan dengan orang-orang yang berlalu-lalang.
Mata Martin menyipit kala ia melihat sosok yang tak asing berjalan menuju gerbang. Cukup jauh, tapi Martin masih bisa melihatnya dengan jelas bentuk tubuh orang itu. Seorang gadis bertubuh ramping dengan rambut berwarna coklat sepinggang. Itu Deby, orang yang berjalan di depan sana sangat mirip dengan Deby, walaupun ia tidak bisa melihat wajahnya karena posisi gadis itu yang memunggunginya.
"DEBY!" Panggil Martin, namun orang yang dituju tidak menengok.
Martin pikir mungkin Deby tidak mendengar suaranya karena sore ini jalanan begitu ramai. Ia pun berinisiatif untuk pergi menghampiri gadis itu lebih dahulu. Baru saja beberapa langkah, Martin dengan cerobohnya malah menabrak seorang gadis yang berjalan berlawanan arah dengannya hingga tubuh keduanya jatuh ke tanah dan kacamata Martin terlepas.
BRUK!
"Aduh kalo jalan lihat-lihat donk!" Protes Andini sembari menyapu pundaknya yang terkotori oleh debu.
"Maaf aku sedang buru-buru." Balas Martin seraya menjulurkan tangannya ke hadapan Andini.
"Apa kau terluka?"
Bukannya menjawab pertanyaan Martin, Andini malah melongo menatap sosok di depannya. Terpesona akan ketampanan dari seorang Martin.
"Andini?"
"Eh? M-martin?"
"Kamu ga apa-apa kan?"
"E-engga ko, aku ga apa-apa."
Martin pun membantu Andini untuk berdiri, menyapu sedikit debu di lutut Andini, lalu mengambilkan buku-buku Andini yang jatuh berserakan tak lupa dengan kacamata miliknya sendiri.
"Andini, aku pergi duluan ya." Ucap Martin seraya melangkahkan kakinya pergi, namun ia terhenti kala Andini menahan tangannya.
"E-eh tunggu!"
"Ada apa ya?"
"E... Anu... Itu..."
Andini memutar-mutar bola matanya, terlihat seperti sedang berpikir keras.
"Anu... Sepertinya kakiku terkilir."
"Benarkah?"
Andini mengangguk.
Martin menatap ke arah gerbang. Menatap sosok Deby yang semakin lama semakin jauh, lalu hilang dari Pandangannya.
"Kalau begitu ayo kita pergi ke ruang kesehatan! Aku akan membantumu berjalan."
Martin ingin mengejar Deby, namun ia tak tega jika harus meninggalkan Andini sendiri. Salahnya juga karena tidak lihat-lihat saat berjalan, akibatnya ia jadi menabrak Andini dan membuat kaki gadis itu terkilir. Mau tak mau ia harus bertanggung jawab dan mengantarnya ke ruang kesehatan.
Martin pun segera memapah Andini yang jalannya tertatih-tatih walaupun sebenarnya gadis itu tidak kenapa-kenapa.
Andini tersenyum dengan tatapan yang tidak lepas dari pemuda yang sedang memapahnya ini.
Dulu Martin tidak seperti ini, wajahnya kusam dan berjerawat. Tapi sekarang, dia begitu tampan seperti seorang pangeran, membuat Andini terpesona dan tak bisa mengalihkan pandangannya dari si pemuda tampan.
Akhirnya mereka sampai di ruang kesehatan. Martin pun mendudukan tubuh Andini di kursi, ia segera mengambil kotak obat berisikan koyo dari dalam sana dan langsung menempelkan koyo itu ke pergelangan kaki Andini.
'lho ini kakinya kan ga kenapa-kenapa.' bisik Martin dalam hati saat ia melihat pergelangan kaki Andini yang baik-baik saja.
"Martin," panggil Andini, Martin pun langsung tersadar dari lamunannya lalu menengok ke arah si gadis.
"Ya?"
"Besok kamu sibuk ga?"
sejenak Martin terdiam
"Hmm... engga deh kayaknya."
"Makan siang bareng yuk!"
"Eh?!"
Martin terkejut, ia tak menyangka bahwa Andini gadis pujaan hatinya itu mengajaknya untuk makan siang bersama besok. apa Martin tidak salah dengar?
"M-makan siang?"
"iya, kamu mau kan?
atau jangan-jangan kamu ga mau ya?"
mendadak wajah Andini jadi cemberut, membuat Martin jadi salah tingkah takut jika ia menyinggungnya.
"e-engga ko, aku mau." Jawab Martin dengan senyum yang dipaksakan.