"Aku tidak paham mengapa alter-mu itu selalu muncul ketika aku tidak sedang bersamamu, Seva?" Celetuk Jan tiba-tiba, matanya terus menatap ke arah dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas.
"Maksudku, sedetik saja pandanganku lengah darimu, tiba-tiba saja kau sudah menghilang pergi berkeliaran entah kemana dengan alter gilamu itu."
Lanjut Jan masih sibuk menulis di buku catatan milik Seva.
"Jadi maksudmu aku ini sudah gila begitu?" Seva melotot ke arah Jan.
"Aku tidak mau mengakuinya, tapi kenyataannya memang begitu."
"Jika kau tidak suka mengurusku, maka tidak usah. Aku pun tidak meminta." Seva cemberut seraya memalingkan wajahnya dari Jan.
Yup, Seva sudah kembali kuliah, tapi bukan karena kondisinya yang sudah membaik, tapi karena dia yang terus memaksa untuk pulang dan berkuliah. Dokter menyarankan Seva untuk tetap dirawat di rumah sakit, tapi gadis itu tetap saja ngotot untuk pulang dengan alasan takut ketinggalan materi perkuliahan dan takut jika jatah absennya habis bila berlama-lama di rumah sakit.
Seva begitu keras kepala, hingga mau tak mau Jan pun menuruti kemauan sahabatnya itu untuk kembali berkuliah. Memar-memar di tubuh Seva memang sudah menghilang, tapi tangan kanannya masih jauh dari kata sembuh. Karena kondisi tangan Seva yang tidak memungkinkan untuk menulis, maka Jan lah yang melakukannya untuk Seva.
"Aku tidak keberatan untuk merawatmu. Jika aku keberatan, untuk apa aku repot-repot menuliskan catatan untukmu?"
"Lalu mengapa sedari tadi kau mengeluh? Lagipula jika tanganku tidak patah akan aku tulis sendiri tanpa harus merepotkan si tuan baik hati di sebelah."
"Aku tidak mengeluh, aku hanya bertanya."
Sekarang pandangan Jan beralih menatap gadis di samping kirinya.
"Kau mengeluh!"
"Tidak!"
"Iya!"
"Tidak!"
"Tulisanmu jelek."
"Hey, Itu tidak ada hubungannya!"
Jan menggebrak meja, mengejutkan seisi kelas juga sang dosen.
"Ehem, untuk pasangan suami istri di belakang, tolong jangan ribut masalah prahara rumah tangga di sini. Jika kalian mau, kalian bisa keluar dari kelasku dan selesaikan masalah rumah tangga kalian di luar." Tegur profesor Teresa pada Jan dan Seva.
"Maaf." Ucap keduanya seraya membungkuk hormat pada sang dosen, Kemudi mereka kembali duduk dengan wajah bersemu merah karena malu ditertawakan oleh teman-teman seisi kelas.
"Masih untung gue tulisin huh!" Desis Jan kesal yang dibalas dengusan oleh Seva.
***
Kelas telah usai, tapi perdebatan keduanya masih juga berlanjut.
"Haruskah kau mengikutiku kemanapun aku pergi?" Protes Seva pada Jan yang sedari tadi membuntutinya dari belakang.
"Terakhir kali aku meninggalkanmu, kedua tanganmu patah, jadi aku akan terus membuntutimu kemanapun kau pergi." Balas Jan.
Seva memutar bola matanya, ia mempercepat langkah kakinya menuju gerbang kampus. Sadar jarak antara Seva dan Jan semakin melebar, Jan pun ikut mempercepat langkahnya.
"Hey, mengapa kau berjalan terburu-buru sekali?"
"Tidak, kau saja yang lambat."
Setelah mendengar jawaban ketus Seva, kini Jan tersadar bahwa Seva sedang marah kepadanya.
"Kau marah ya?"
"Tidak."
"Lalu mengapa kau ketus sekali kepadaku? Kau pasti marahkan?"
"Tidak"
"Seva!"
Jan menarik tangan Seva, membuat sang empunya meringis kesakitan.
"Aw-aw-aw sakit!"
"Ups! maaf, aku lupa tanganmu belum sembuh."
Jan langsung melepaskan genggaman tangannya dari Seva.
"Kau marah ya?" Tanya Jan lagi, matanya memelas meminta perhatian.
"Iya, aku marah."
"Kenapa?"
"Karena kau menyebalkan, seenaknya saja kau memanggilku gila. Aku ini masih waras." Seva menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Oke-oke aku memang keterlaluan, aku minta maaf."
"Kau pikir hanya dengan kata maaf aku akan memaafkanmu?"
"Ck, dasar anak ini." Jan memutar bola matanya. "Baiklah aku akan mentraktirmu makan."
"Nah... Gitu dong."
Wajah cemberut Seva seketika berubah menjadi riang.
"Mau makan apa? Burger?"
"Boleh juga."
Jan dan Seva pun lekas meluncur ke parkiran yang letaknya tak jauh dari gerbang kampus dan gedung fakultas ilmu komputer. Di sana begitu ramai dan sesak dipenuhi dengan orang-orang yang ingin mengambil motor dan mobil mereka keluar. Jelas saja karena sekarang sudah pukul lima sore, sudah waktunya untuk pulang bagi para mahasiswa yang tidak memiliki kegiatan tambahan.
"Tetap di sampingku dan jangan pergi kemana-mana!" Perintah Jan pada Seva.
"Memangnya kau pikir aku ini anak kecil, hingga kau harus berkata seperti itu?"
"Apa kau sudah lupa saat kau dirawat di rumah sakit? ketika aku tinggal tidur sebentar saja tiba-tiba kau sudah tidak ada di ranjangmu dan pergi entah kemana bersama Febri.
Untung saja saat itu Tante Kana yang muncul, bayangkan jika Karlina atau alter lain yang muncul? Mungkin patah tulangmu itu tidak akan pernah sembuh."
"Mana ku tau mereka akan keluar."
"Kau ini dikasih tau malah ngeyel."
"Iya-iya aku paham, aku tidak akan pergi kemana-mana." Balas Seva tak tulus, kesal karena Jan memperlakukannya seperti anak kecil
"Kaya ibu-ibu aja sih ngomel terus."
"Apa kau bilang?!" Jan menyipitkan matanya sinis, membuat Seva ketakutan.
"Tidak, aku tidak mengatakan apapun.
Kau salah dengar kali."
Seva melambai-lambaikan tangannya, berusaha mengelak tuduhan Jan.
Jan pun mengalihkan pandangannya dari Seva, kembali sibuk mengeluarkan motor besarnya itu dari parkiran. Ia sedikit kesulitan untuk mengeluarkan motornya dari barisan, karena saking padatnya. Ia menggeser motor-motor di kedua sisi agar bisa memberikan akses untuk motornya keluar. Setelah beberapa lama, akhirnya Jan berhasil meloloskan motor biru itu dari barisan.
"Ayo naik!" Ajak Jan yang sudah siap untuk berangkat.
Tanpa menengok ke belakang, Jan dapat mengetahui bahwa Seva sudah naik ke jok belakang, terasa dari goncangan dan berat tubuh yang diterima motornya. Tidak ingin membuang-buang waktu, ia pun langsung menancap gas pergi menuju tempat tujuan, yaitu restoran burger tak jauh dari pusat kota.
Jan heran, mengapa sejak tadi Seva tidak berbicara. Bahkan saat ditanya pun ia tak menjawab. Jan mengintip dari pantulan bayangan kaca spion, tapi sosok Seva tidak terlihat tertutup oleh lebar pundaknya. Jan tidak mau berburuk sangka, ia pikir mungkin Seva sedang tidak ingin berbicara.
Namu, seketika Jan terkejut kala tangan Seva memeluk pinggangnya. Jan bingung, haruskah dia senang? Karena sesering apapun Jan memboncengi Seva di belakang, gadis itu tidak pernah memeluk pinggangnya. Biasanya Seva selalu memegang pundak Jan untuk keamanan. Dadanya pun terasa rata saat menempel dengan punggung Jan. Semakin curiga, akhirnya Jan pun menengok ke belakang.
Jan terkejut bukan main saat sadar yang ia bonceng selama ini bukanlah Seva melainkan temannya, Daniel.
"Hay beb." Ucap Daniel seraya memberikan kedipan mata genit kepada Jan.
"Loh ko, kamu, Daniel?"
"Lah tadikan kamu yang nyuruh aku naik, ya sudah aku naik."
"Terus Seva mana?"