Jan melangkahkan kakinya ringan menuju ruangan tempat Seva dirawat. Tangan kirinya dipenuhi oleh kantung plastik berisikan makanan yang ia beli di supermarket tak jauh dari rumah sakit. Sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah botol minuman bersoda yang sekarang sedang ia nikmati.
Jan sengaja berbelanja ke supermarket untuk membeli makan siang yang akan ia santap bersama dengan Seva. Ia bosan mendengar celotehan si sobat yang terus saja mengeluh bahwa makanan di rumah sakit tidak enak. Seva bilang rasanya hambar.
Seva dirawat di rumah sakit karena patah tulang, bukan karena penyakit dalam yang kronis, jadi apa salahnya Seva makan makanan enak seperti makanan siap saji? Toh itu kan tidak akan membahayakan bagi dirinya. Pikir Jan sih begitu, tapi jika ketauan pasti dia dan Seva bisa kena semprot perawat. Tapi, siapa yang peduli.
Dasar Jan yang terlalu baik kepada sahabatnya tersebut, ia bahkan sampai rela berjalan jauh hanya untuk membelikan Seva makanan kesukaannya, ayam geprek.
Katanya ke supermarket, tapi ko belinya ayam geprek?
Iya karena kebetulan letak restoran penjual ayam geprek bersebelahan dengan supermarket, jadi sekalian saja Jan membelinya. Baik sekali kan Jan? Seva harus bersyukur memiliki sahabat sebaik Jan.
"Halo makan siang datang~" seru Jan riang seraya membuka tirai penyekat tempat tidur Seva. Namun, seketika senyum di wajah Jan luntur kala ia melihat Seva tidak ada di tempat tidurnya.
"Seva?
Jan memperhatikan sekeliling, mencari sosok perempuan bersurai coklat di ruangan itu, barangkali Seva ingin menjahilinya dengan bersembunyi di suatu tempat. Tapi aneh, di balkon, di balik tirai, bahkan di bawah ranjang pun Jan tidak bisa menemukan Seva.
"Seva, kamu dimana?"
Jan menengok ke arah ranjang sebelah, tempat seorang wanita paruh baya dirawat. Seva ditempatkan di ruangan kelas dua, oleh karena itu ia harus membagi kamar dengan orang lain dan nenek Mariam lah teman sekamarnya.
"Anu... Maaf Bu."
Nenek Mariam menolehkan wajahnya ke arah Jan.
"Apa nenek lihat kemana perginya pasien yang tidur di kasur ini?" Tanya Jan seraya menunjuk ke arah tempat tidur Seva, namun sang nenek hanya menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, setelah itu atensinya kembali kepada sebuah buku yang sedang ia pegang.
"Oh... tidak ya?
Terimakasih nek."
Jan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu beranjak pergi keluar. Ia berniat untuk mencari Seva di sekitar rumah sakit.
Di sepanjang jalan mencari Seva, Jan tak henti-hentinya menggerutu. Entah sudah berapa kali ia menyebutkan nama Seva.
"Seva! seva!" Panggil Jan selayaknya memanggil seekor kucing hilang,
"Kamu pergi kemana lagi sih?
Baru saja aku tinggal sebentar, kau sudah hilang."
Sudah hampir satu jam Jan mencari ke setiap sudut rumah sakit, mulai dari ruang-ruang rawat hingga ke ruang mayat yang menakutkan, namun ia tak kunjung menemukan Seva. Rasanya Jan ingin menyerah saja dan membiarkan Seva datang dengan sendirinya seperti waktu itu. Akan tetapi dalam hatinya Jan merasa tak tega, bagaimana jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apalagi penyakit kepribadian gandanya itu sangat meresahkan. Jan tak tau alter mana yang akan muncul saat Seva sedang tidak bersamanya. Bagus jika Tante Kana yang muncul, tapi bagaimana jika itu Karlina dan bahkan alter lain yang belum Jan temui. Bisa gawat jadinya.
Jan terduduk lesu di salah satu kursi tunggu dekat meja resepsionis. Tangannya masih setia menggenggam sekantung makanan juga botol soda yang kini sudah kosong.
Dari jauh seorang security terus memperhatikan Jan, ia penasaran karena sedari tadi Jan berjalan-jalan kesana-kemari seakan sedang mencari sesuatu. Tanpa banyak berpikir lagi akhirnya security itu pun datang menghampiri Jan.
"Kang sedang cari apa?" Tanya sang security dengan logat sundanya.
"Eh pa." Saut Jan seraya melirik ke arah sang security.
"Anu pa, saya sedang mencari teman saya yang dirawat di ruangan nomor 332."
"Lah temannya kemana?"
"Ga tau pa, baru saja saya tinggal sebentar, tiba-tiba saja dia sudah hilang."
"Ooh begitu kang, ngomong-ngomong temannya seperti apa ya? Barang kali saya bisa bantu mencari."
"Teman saya perempuan, rambutnya panjang warnanya coklat, badannya ramping, tingginya kira-kira sepundak saya pa." Papar Jan.
"Temen akang dirawat gara-gara patah tulang ya?
Patah tulang lengan kan?"
"Iya pa, persis dengan yang bapa bilang tadi.
kok bapa tau?"
"Iya, tadi saya ga sengaja lihat temen akang jalan keluar lewat pintu utama."
"Keluar pa?!"
"Iya keluar, tidak tau mau kemana."
"Oh ya kalau begitu saya pergi dulu ya pa." Jan lalu bergegas pergi menyusul Seva. Namun tak lama ia kembali menghampiri sang security.
"Ini pa, makan saja sama bapa." Ucap Jan seraya mengasongkan kantong plastik yang sedari tadi ia bawa-bawa itu kepada sang security, yang dengan senang hati diterima.
"Ini buat saya kang?
Wah makasih banyak ya kang,
Kebetulan saya belum makan siang,
heheuy rejeki anak soleh." seru sang security seraya berjalan kembali ke pos jaganya.
Tak mau berlama-lama lagi, Jan pun langsung meluncur ke parkiran, ia bergegas mengeluarkan kunci motornya dari saku lalu menyalakan mesin motornya.
Baru saja naik ke atas jok motor, tiba-tiba saja dering handphone milik Jan berbunyi. Jan pun lekas mengangkatnya kala ia melihat nama Febri di layar handphone itu.
"Ada apa kau meneleponku?" Tanya Jan ketus.
"Ka Jan."
"Hmmm?"
"Sekarang aku paham dengan apa yang kau katakan saat itu." Ujar Febri yang tidak dipahami oleh Jan.
"Apa maksudmu?"
"Dia benar-benar sangat mengerikan."
"Dia siapa?"
"Tante, tidak! ka Seva, tidak! Maksudku Karlina."
"Karlina?
Tunggu!
Apa kau menemukan Seva?
Apa Karlina keluar?"
Febri menganggukkan kepalanya walaupun ia tau Jan tidak bisa melihatnya dari balik sambungan.
"Iya ka."
Jan tidak menyangka apa yang selama ini ia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Seva masih dalam fase penyembuhan, dan jika Karlina muncul bisa-bisa luka-luka di tubuh Seva bukannya sembuh tapi malah semakin parah.
"Cih, sekarang cepat beritahu aku dimana dia sekarang!"
"Kami sedang di pinggir jalan dekat dengan mall."
"Ok! Aku akan segera kesana.
Tapi ngomong-ngomong mengapa disekitarmu terdengar suara ribut?" Tanya Jan penasaran karena senyap-senyap terdengar suara keributan dari balik sambungan Febri."
"Ah... Itu suara Tante yang sedang memukuli para berandalan."
"Apa? Berandalan?!"
"Hmmm dan sekarang Tante sedang berjalan mendekatiku."
"tidak! Febri cepat pergi dari sana! FEBRI!!"
Namun sayang, Jan sudah terlambat. Dari balik sambungan Jan mendengar suara benturan keras, bukan hanya sekali tapi berkali-kali disertai dengan jeritan kesakitan seseorang.
BAK! BUK! BAK! BUK!
Dan setelah itu semuanya menjadi sunyi.
"Febri? halo?" saut Jan, namun tak ada yang menjawab.
"jawab aku Febri! Febri? FEBRIIII!!!!"