Kepulan asap nan pekat tak menghentikan langkah kaki kecilnya untuk berlari menembus gelapnya hutan. Pandangannya kabur malam itu, hanya ada cahaya rembulan yang menemaninya juga lolongan anjing liar yang saling menyaut. gadis itu ketakutan, namun tak ada pilihan lain selain terus berlari.
Ia buta arah dan tak tau harus pergi kemana, yang ia tau hanyalah terus berlari menjauh dari istana megah yang sekarang sudah dikepung dinding api.
Seperti mati rasa, dinginnya udara malam juga duri-duri yang menusuk permukaan kulit tidak ia pedulikan. Bahkan telapak kakinya yang sedari tadi berlari tanpa alas pun sekarang sudah dipenuhi oleh darah.
Gadis kecil itu bisa mendengarnya, suara langkah kaki dari seorang yang terus mengejarnya dari belakang. Dia terus berteriak memanggil-manggil nama si gadis kecil.
Dengan nafas terengah-engah gadis kecil itu terus berlari. Matanya yang berair kini menangkap setitik cahaya di ujung jalan. memberikan harapan bagi si gadis kecil.
semakin gadis kecil itu berlari, semakin dekat cahaya itu dengan jarak pandangnya.
semakindekat,
dekat,
dekat
Dan...
Gadis itu tertangkap.
"ARGH!!"
Seva terlonjak dari tempat tidurnya. nafasnya terengah-engah tak beraturan, seluruh tubuhnya bergetar, dan keringat dingin terus mengalir membasahi pelipisnya. Seva memijat keningnya yang pening, ia tak tau apa yang terjadi pada dirinya.
Apa Seva bermimpi buruk?
Tapi mengapa mimpi itu begitu nyata?
Siapa gadis kecil itu?
Apa yang ada di balik cahaya itu?
Pertanyaan-pertanyaan terus berputar dalam pikiran Seva, membuat kepalanya semakin sakit.
Tangan kiri Seva mencoba meraih obat anti depresan di meja sebelah kanan tubuhnya. Sedikit kesusahan karena tubuhnya yang belum pulih seutuhnya, terutama tangan kanannya. Seva meringis kesakitan, tapi akhirnya botol berisi kapsul itu pun ia dapatkan.
Belum sempat membuka botol, atensi Seva teralihkan pada sosok seorang pemuda yang tertidur pulas. Jan terduduk di kursi dengan kepalanya yang bersandar di tepi ranjang.
"Apa lehernya tidak sakit tidur seperti itu?" Tanya Seva heran.
Sekarang maniknya beralih menuju piyama berwarna tosca muda yang dikenakannya. Seketika itu pun Seva sadar bahwa dia masih berada di rumah sakit.
Seva merasa bersalah karena selama ini dia terus merepotkan Jan. Walaupun Jan sering mengeluh, tapi Jan selalu ada di sampingnya setiap kali ia dalam keadaan sulit. Entah berapa banyak hutang budi yang harus Seva bayarkan atas segala bantuan yang Jan berikan kepadanya.
Angin malam berhembus kencang menembus masuk melewati celah-celah jendela yang masih terbuka, menerbangkan gordeng yang berada tepat di samping Seva. Cahaya bulan begitu terang malam itu. Begitu mempesona siapapun yang melihatnya.
Jan terbangun dari tidurnya. ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri karena lehernya yang pegal. Menguap lalu menggosok-gosokkan matanya yang belum sepenuhnya terbuka dan lama kelamaan pun pandangan di sekelilingnya pun semakin jelas.
Jan terkejut kala ia mendapati Seva tidak ada di ranjang. Atensi Jan menjelajah ke setiap sudut ruangan, namun ia sama sekali tidak menemukan sosok gadis pemilik surai panjang tersebut.
"Seva!" Panggil Jan, namun tak ada seorang pun yang menyaut.
Di atas ranjang hanya terlihat botol anti depresan milik Seva yang tergeletak. Jan melirik ke arah ranjang sebelah, terlihat di sana Nenek Mariam yang sedang tertidur pulas. Jelas saja karena sekarang masih pukul satu malam, waktu di mana semua orang mengistirahatkan tubuh.
Jan mengerjapkan matanya kala angin malam berhembus kencang. Ia pun segera menghampiri jendela yang terbuka lebar dan hendak untuk menutupnya. Tapi cahaya rembulan begitu terang saat itu, sangat indah dan mempesona hingga ia terhenti sejenak dari kegiatannya itu untuk menghirup udara malam yang begitu segar.
"Kana."
***
Kana memeluk tubuh Febri dari belakang, tidak terlalu erat karena kondisi kedua tangannya yang belum pulih. Kana menyenderkan kepalanya di ceruk leher si pemuda, menempatkan posisi tubuhnya senyaman mungkin.
Febri yang melaju motornya dengan kencang membuat udara terasa semakin dingin. Tapi untung saja Kana mengenakan helm dan jaket milik Febri, hingga tubuhnya tidak merasa kedinginan.
"Aku tidak menyangka kau akan meneleponku larut malam seperti ini, Tante." Ucap Febri, pandangannya masih terfokus ke jalan.
"Apa aku mengganggu tidurmu?"
"Tidak, hanya saja sudah lumayan lama kita tidak bertemu. Aku merindukan Tante."
Mendengar itu Kana langsung memukul punggung Febri dari belakang. Febri terkekeh kecil karena tau rayuannya berhasil.
"Pasti wajah Tante jadi merah."
Tebakan Febri benar, wajah Kana sekarang sudah berubah menjadi merah semerak tomat.
"Jangan lihat!" Titah Kana, karena ia tau Febri mengintipnya dari balik kaca spion.
"Jangan lihat, aku sedang tidak mengenakan make-up-ku."
"Tante ini bicara apa sih?"
Febri terkekeh lagi, lalu kamudian sejenak suasana menjadi sunyi.
"The moon ia bright." Ucap Febri membuat wajah Kana semakin memerah.
"Apa begitu caranya kau menggoda seorang wanita? Dasar play boy!"
"Aku tidak berbohong dan aku hanya mengatakan ini kepada Tante seorang. karena jujur saja di mataku hanya ada Tante seorang."
Kana hanya terdiam tak merespon, berusaha menyembunyikan senyumannya di balik punggung febri.
"Ngomong-ngomong mengapa Tante tiba-tiba meneleponku?"
"...
Aku mimpi buruk."
"Mimpi biruk?
Tante seperti anak kecil saja takut dengan mimpi buruk.
Tapi aku suka saat Tante bertingkah seperti anak kecil seperti sekarang ini, sangat imut."
Kana mengeratkan pelukannya di pinggang Febri. Pemuda di depan Kana itu pun tersenyum senang kala ia merasakan pelukan tangan Kana yang semakin erat.
"Bersiaplah, kita akan sampai ke tempat tujuan dengan secepat kilat."
Febri pun memutar stang motornya dan melaju motor merah itu semakin kencang.
***
'nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, mohon hubungi sesaat lagi'
Sudah berulang kali Jan mencoba menghubungi Seva, tapi gadis itu sama sekali tidak mengangkatnya, yang ada adalah jawaban otomatis dari operator. Sama halnya ketika Jan menelepon Febri.
Jan terduduk lesu di ranjang tempat tidur Seva. Ia kesal, mengapa setiap kali Jan lengah, Seva selalu saja hilang dari Pandangannya. Tentu ini bukan kali pertama Seva menghilang. Haruskah dia mengawasi Seva dua puluh empat jam? Itu tidak mungkin kan? Ia juga perlu beristirahat.
Sebenarnya bukan itulah yang membuat Jan kesal. Jujur dia tidak masalah jika harus mengawasi Seva dua puluh empat jam per hari, tapi yang membuat Jan kesal adalah ketika Seva melarikan diri dan bertemu dengan lelaki lain tanpa dirinya sadari. Entah mengapa itu selalu berhasil membuat hati Jan kacau tak jelas. Ia marah juga kesal, di sisi lain ia pun juga sedih. Jan tidak tau perasaan apa yang sedang ia rasakan ini, tapi yang jelas dia tidak menyukai saat Seva bersama dengan orang lain selain dirinya.