Chereads / Love Another Me / Chapter 22 - 22

Chapter 22 - 22

Hujan turun begitu deras sore itu, setiap tetesan air hujan yang turun dari langit membasahi setiap penjuru kota, dari mulai jalan, bangunan, pepohonan, juga para pejalann kaki yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Sepertinya musim kemarau yang panjang kini telah berakhir.

Pergantian musim yang sangat mendadak ini membuat orang-orang menjadi kesulitan. banyak yang belum sempat mempersiapkan payung karena tak menyangka bahwa hujan akan turun setelah sekian lama kemarau.

Semua orang berlari mencari tempat berteduh, mencoba berlindung di balik atap-atap bangunan terdekat. Namun, tidak dengan Junaedi, ia tetap melangkahkan kakinya menelusuri jalanan yang becek dengan santai sambil menggenggam sebuah payung berwarna hitam di tangannya. Tak sia-sia ia mendengarkan perkataan sang ibu sebelumnya, jika tidak, mungkin saja sekarang sekujur tubuhnya sudah basah kuyup karena kehujanan.

Benar apa kata pepatah,

"sedia payung sebelum hujan."

walaupun makna aslinya bukan untuk itu sih hehe...

Junaedi baru saja pulang dari tempat ia les. Namun tak seperti biasanya, kali ini Junaedi mengambil jalur pulang yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Dari pada memilih untuk menaiki kendaraan umum, Junaedi lebih memilih untuk berjalan kaki menelusuri jalanan kota Bandung, alasannya karena hari ini hujan. walau jalur yang ditempuh terasa lebih jauh, namun tak apa bagi Junaedi.

Junaedi sangat menyukai hujan, karena saat hujan udara jadi bersih dan segar. Kapan lagi ia bisa menghirup udara segar di perkotaan seperti ini, yang ada hanyalah kepulan asap dari kendaraan-kendaraan bermotor juga pabrik-pabrik. Jadi, hari inilah kesempatan terbaik bagi Junaedi untuk bisa menikmati barang langka ini-udara segar.

Namun, tiba-tiba saja langkah kaki Junaedi terhenti, maniknya menatap ke bawah, menatap ke arah genangan air hujan di jalan. Warna genangan air itu cukup aneh, berwarna merah seakan bercampur dengan cat warna.

Junaedi memicingkan matanya, mencoba mencari tahu apa sebenarnya cairan berwarna merah pekat itu. sedikit bingung karena warna genangan air nampak seperti darah. Pikir Junaedi, mungkinkah ini fenomena alam yang langka, dimana warna air hujan berubah menjadi merah. Tapi ternyata tidak, saat Junaedi tilik dengan seksama setiap tetes air hujan yang turun dari langit, warnanya tetap sama seperti biasa, bening dan jernih.

Manik coklat itu beralih menelusuri jejak genangan berwarna merah itu di daratan. nampaknya hulu genangan air berwarna merah itu berasal dari arah dalam sebuah gang yang terletak tepat di samping kiri Junaedi.

Tanpa pikir panjang, Junaedi masuk ke dalam sana. Ia mengendap-endap masuk sambil terus mengikuti aliran air berwarna merah itu berasal. Tak disangka, ternyata aliran air berwarna merah itu mengantarkannya kepada seorang gadis berkucir kuda yang sedang terduduk lemas bersender di dinding gang.

Sontak saja Junaedi terkejut, ia berlari menghampiri gadis malang itu dan dengan segera memayunginya.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Junaedi khawatir, Namun gadis itu sama sekali tidak membalas pertanyaan dari Junaedi dan hanyalah menatap dingin ke arah pemuda di hadapannya tanpa bersuara sedikit pun.

mata Junaedi menjelajah ke setiap sudut tubuh sang gadis berkucir kuda, ia ingin memastikan bahwa gadis itu tidak apa-apa. Namun, maniknya tak sengaja menangkap sebuah memar kebiruan di pipi mulus si gadis, juga terlihat luka robek di ujung bibirnya. Melihat itu, Junaedi tersadar bahwa gadis itu tidak sedang baik-baik saja.

"Kau terluka?!

Biar aku antarkan kau ke rumah sakit."

Junaedi mengulurkan tangannya, berusaha memberikan bantuan kepada sang gadis berkucir kuda. Namun sayang, si gadis menolak, ia menepis tangan Junaedi kasar, lalu bangkit dari duduknya dan beranjak pergi dari sana.

"Tunggu!" Panggil Junaedi menghentikan langkah kaki sang gadis misterius.

"Jika kau tidak mau menerima pertolonganku, maka sebagai gantinya ambillah payung ini." Ujar Junaedi seraya mengasongkan payung miliknya kepada sang gadis, namun sang gadis hanya terdiam tak merespon.

Tak mau berlama-lama menunggu jawaban, dengan sigap Junaedi meraih tangan si gadis, meletakkan payung hitam miliknya di tangan mulus itu, dan memaksanya untuk menggenggam gagang payung.

"Aku tak ingin gadis cantik sepertimu sampai terkena demam karena kehujanan, jadi pulang lah dan hangatkan tubuhmu."

Junaedi tersenyum lebar kepada gadis berkucir kuda itu, kemudian ia berlari pergi meninggalkan sang gadis yang masih termangu tak bersuara di tempat menatap ke arah gagang payung di tangannya.

Junaedi berlari menembus hujan, tas coklat yang semula bertengger di bahu Junaedi, kini telah beralih fungsi menjadi pelindung kepala dari tetesan hujan, walau pun tidak berpengaruh banyak karena tubuhnya tetap saja basah kuyup. Sedangkan sang gadis masih terdiam memandangi punggung Junaedi yang semakin lama semakin jauh.

***

Keesokkan harinya, walaupun hari ini hujan tidak turun, entah mengapa Junaedi mengambil rute yang sama seperti kemarin. Ia berjalan kaki menelusuri jalanan kota Bandung, melalui jalur-jalur yang ia lewati kemarin, termasuk gang sempit tempat ia bertemu dengan gadis berkucir kuda itu.

Saat hendak melintas ke depan gang, samar-samar Junaedi mendengar suara ribut dari dalam sana. Suara ribut itu terdengar seperti suara pukulan benda tumpul juga suara jeritan orang-orang yang sedang kesakitan. Junaedi yang penasaran, langsung saja pergi menuju ke arah sumber suara. Dengan agak was-was ia mengendap-endap masuk ke dalam gang.

Junaedi terkejut bukan main setelah menyaksikan apa yang ada di hadapannya itu. Belasan atau mungkin puluhan tubuh tergeletak tak berdaya di atas tanah. Wajah mereka babak-belur dan bercak darah berceceran di sepanjang lorong gang.

Tepat di depan tumpukan tubuh manusia yang entah masih hidup atau tidak itu, terlihat sosok misterius yang berdiri tegap memunggungi Junaedi. Tangannya menggenggam sebuah payung berwarna hitam yang masih terlipat rapi, payung yang nampak tak asing lagi bagi Junaedi.

Langit sore yang mulai menggelap menghalangi pandangan Junaedi hingga ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa sosok misterius itu. Namun, di saat sosok itu menolehkan pandangannya ke arah Junaedi, seketika itu tubuh Junaedi bergetar kencang dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi wajahnya.

Junaedi tidak tau apa yang sedang terjadi pada dirinya. tapi yang jelas, aura membunuh yang terpancar dari sosok misterius itu sungguh sangat mengintimidasi. Sorotan matanya yang tajam telihat seperti seekor binatang buas yang sedang memburu mangsanya. Membuat setiap orang yang melihatnya lari ketakutan, begitu pula dengan Junaedi.

Perlahan Junaedi melangkahkan kakinya mundur, berusaha untuk melarikan diri sebelum makhluk buas itu menerkamnya. Namun naas, sekujur tubuh Junaedi terasa kaku, membuat pemuda malang itu harus bersusah-payah untuk menggerakkan kakinya.

"Kau!"

Junaedi terperanjat kaget kala orang itu memanggilnya. tubuhnya semakin bergetar kencang saat orang di balik kegelapan itu menghampirinya.

"Terimakasih atas payu-"

"AAAAHHHH AMPUUUN!!!" Terik Junaedi memotong perkataan orang itu seraya berlari terbirit-birit pulang ke rumah.