Kenapa senyum yang Ivy pasang terlihat dipaksakan?
Apa ada rasa sakit di balik senyuman itu?
Mungkin orang lain tidak menyadarinya bahkan Hana yang dekat dengannya ....
Tapi, aku menyadari senyuman itu begitu dia bilang ayahnya ....
Entah mungkin bisa dibilang kepekaanku terhadap suatu ekspresi orang lain ....
Aku tidak ingin mencampuri urusan hidupnya dengan bertanya padanya ....
Lebih baik aku diam.
Karena mungkin, hanya aku yang belum merasakan hidup sepahit ini.
Beberapa orang bahkan teman yang ada di dekatku pintar berekpresi tapi, aku tidak bisa percaya yang mereka katakan begitu saja sekalipun itu hanya topeng untuk melindungi diri mereka.
________
"Oh iya Vy, SMK N 1 itu kan dekat dengan SMA N 2, ya?" tanya Hana dengan sedikit penasaran.
"Iya benar." Ivy menjawabnya dengan masih mempertahankan senyum riangnya.
"Eh~ berarti kamu dekat dengan Raka, dong." Hana memandang genit Ivy jika sudah membahas orang tertampan di kelasnya ini.
"Eh~ tidak, kok. Bukan begitu! Hanya saja sekolah kami dekat, maka aku tahu dia (Raka)." Jelas Ivy dengan santai, lalu perlahan Ivy memandang Hana dengan sinis dan mengucapkan kata-kata dengan nada malasnya, "Tolong jangan salah paham dulu, ya!!"
Tampaknya Ivy tidak terima dengan candaan Hana yang keterlaluan ini.
"Ahahaha~ iya, aku cuma ingin menggodamu." Kata Hana dengan tertawa licik.
"Huh!! Dasar!" Ivy masih kesal dibuat bahan candaan.
Ivy menghela napas sejenak kemudian dia menjelaskan kenapa dia punya kontak Raka dan sering berkelompok dengannya, "Jadi gini ... aku sebenarnya sudah tahu Raka karena sekolah kami dekat. Tidak cuma sekolah, sih ... sebenarnya rumah kita satu daerah cuma beda kompleks gitu. Dan sampai pas waktu kami masuk kuliah dan sekelas ... aku masih belum tahu nama dia."
"Oalah, jadi kamu cuma tahu sekilas gitu, kan?" tanya Lidya memastikan.
"Benar, dia juga tahu aku bahkan pernah menyapa pas eksul." Jelas Ivy dengan ekspresi meyakinkan.
"Eksul apa?" tanya Hana yang masih penasaran.
"Eksul basket. Yah~ biarpun kami tidak tinggi ... kami pernah bertemu." Jelas Ivy dengan muka santainya, "Walau bertemu pun kami hanya saling sapa malah timnya Raka dulu yang menyapa kami duluan~ dan sekarang pun ... aku lupa pada teman-teman klubku." Jelas Ivy dengan muka agak murung.
"Lah kok bisa?" tanya Hana heran.
"Emangnya apa ada masalah di klub kalian?" tanya Lidya memastikan itu bukan sapaan yang tidak mengenakkan.
"Um~ begini ... yang membuat aku tidak bisa mengenali Raka ... kalau SMK kan misal jurusan desain grafis kelas 1-B dan selamanya hingga lulus kita kelas 1-B sedangkan SMA kan di random lagi apalagi di SMA favorit sih ... terkadang porsi pelajaran dan jam pulangnya berbeda." Jelas Ivy dengan raut muka serius dan tampaknya kualifikasi masuk SMA favoritu itu susah.
"Oh~ begitu ya, aku paham." Celetukku yang menyadari hal itu. Karena waktu di Jember ... om Marzuki juga menjelaskan hal yang sama seperti Ivy, kalau SMK dan SMA jelas berbeda apalagi SMA Favorit pasti berbeda dengan SMA biasa.
"Sepertinya kau cepat paham, Sas." Kata Ivy sambil tersenyum lembut padaku.
Nah ini adalah senyum natural yang berbeda dengan senyumannya yang tadi.
"Iya," aku hanya menjawabnya singkat.
....
"Nah~ terus bagaimana kamu saling save nomor Raka?" Lidya bertanya padaku seketika mereka berempat melihatku dengan tatapan genit.
"Hoho~ bisa saja dia chat saling 'saling save, ya~' terus dia hapus." Hana mulai membuat kabar bohong nih.
Aku agak kesal jadinya ke mereka semua, "Hmph!! Suer aku tidak melakukan itu!!" jawabku dengan nada kesal.
"Aku hanya tanya itu ... kemudian aku menyimpan nomor Raka dari grup kelas dan eh~ aku juga baru tahu begitu setelah chat muncul story milik Raka." Jelasku dengan agak kesal.
Aaaah~ aku tidak suka candaan penuh kebohongan ini (>_<) dan berbohong bukan tipeku!
"Jangan-jangan ...!!" Aya mengatakan dengan serius.
Seketika membuat kami bertanya-tanya apa yang Aya pikirkan.
Aya kemudian membuka ponselnya lalu dia memencet-mencet ponselnya ....
"...." Semua orang bertanya-tanya apa yang dia lakukan.
Lalu Aya menjelaskannya apa yang baru saja dia lakukan, "Ini hanya dugaanku."
Waduh ngomongnya serius begitu berasa kayak main detektif-detektifan.
"Raka ... sejak membuat grup kelas dan kami masuk berdasarkan tautan yang telah ditulis bu Eka waktu itu ... dia pasti segera menyimpan nomor kita alias seluruh anggota grup." Jelas Aya meyakinkan.
"Owwwh!!" mereka bertiga yang baru tersadar bahkan aku juga merasakan kalau kata-kata Aya ada benarnya.
"Jadi, maksudmu ...." Aku hendak berkata lalu membuka kembali.
"Ya, benar." Kata Ivy yang tampaknya sangat yakin dengan jawabanku dan Aya.
"Waktu aku pertama kali chat Raka dan aku masuk grup itu ... aku merasa walau belum bilang save pun, sepertinya dia sudah menyimpan nomor kita duluan." Jelas Ivy dengan santainya yang tampaknya itu adalah kunci untuk memecahkan misteri ini.
"Tuh kan," kata Aya dengan tersenyum riang yang sepertinya dia berhasil menyatukan teka-tekinya.
"Jadi tidak heran sih begitu~" kata Ivy meresponsnya kembali, "Dia sudah menyimpan nomor kita begitu saling simpan.
Lalu ... beberapa menit kemudian, Hana yang tadinya ragu menyimpannya sekarang menyimpannya.
Tapi ....
"Eh~ lihat! Si Raka update status wah~ ganteng banget!!" kata Aya sambil menunjukkan status yang Raka unggah beberapa menit yang lalu.
Hana memasang ekspresi murung, "Yah~ aku baru menyimpannya~"
"Oh~ iya benar." Aku juga membukanya.
Bagi Ivy sudah biasa melihat story Raka yang memperlihatkan wajah ketampanannya.
Tapi ....
Wajahnya seperti berkata, "... Mereka belum tahu tentang Raka!"
Kenapa aku punya firasat seperti itu?
Akhirnya ....
Pertemuan kami di Warung Kongkow ini dan kebisaan nongkrong ini, membuat kami menjadi jauh lebih dekat.
Aku juga sedikit lebih lega karena bisa menceritakan kejadian waktu itu pada mereka.
Aku awalnya memang masih kesal tapi, sekarang lega hal itu tersampaikan.
Mungkin, jika tidak ada mereka ....
Aku pasti menyimpan rasa kekesalanku di hati.
Kini aku juga tahu ... Ivy dan Raka ... mereka berdua saling mengenal hanya karena berada di lingkungan yang sama. Bukan berarti mereka dekat karena ada perasaan cinta di antara mereka.
Tapi, perasaan di hatiku ini rasanya tidak bisa dibohongi lagi.
****
Aku tidak ingin mencampuri urusan orang lain karena itu memang bukan sikapku.
Aku lebih baik diam jika mereka tidak bertanya.
Aku lebih baik menghindar kalau mereka tidak menyukai diriku.
Begitu pula saat aku bekerja dan memiliki senior yang tampaknya tidak begitu suka padaku. Aku cuek saja pada perlakuan mereka~
Tapi, bukan berarti sikap cuek ini acuh tak acuh terhadap semuanya ....
Jika aku tidak bisa mempercayai seseorang lagi, setidaknya aku bisa berjuang keras di jalan hidupku sendiri. Mungkin sekarang dan seterusnya ... hanya kerja keras yang ingin kupertahankan untuk memperbaiki keegoisanku.