Nara tahu bahwa terjebak dalam bahaya dengan seseorang yang tidak dikenal itu bukan hal yang baik. Akan tetapi, dia tak bisa melakukan banyak hal selain menangis. Walaupun dia memaksa keluar dari kungkungan Zhang Yu, ia tahu pasti akan tertangkap oleh para preman yang mengejar mereka tadi.
"Sorry. Aku tidak bermaksud menyeret kau ke dalam masalahku," ucap Zhang Yu dengan suara pelan.
Gadis cantik itu menepis tangan pria tampan ini. "Aku ingin pulang!" pintanya.
"Tidak bisa. Kau dan aku dalam bahaya sekarang," kata Zhang Yu.
Gadis itu berjongkok, kepalanya ia tumpukan di atas lutut, dan mulai menangis kencang. Lantas Zhang Yu pun ikut berjongkok. Sungguh, rasa bersalah kini menyelinap diam-diam dalam hatinya. Walaupun ia selalu acuh tak acuh pada orang baru, tapi entah mengapa ia merasa tidak bisa untuk tega saat melihat Nara menangis.
"Sttt.... Diam. Aku mohon diam, nanti kita bisa ketahuan. Aku minta maaf," ucap pria keturunan Tionghoa ini lagi sambil memeluk Nara berharap dapat menenangkan.
"Aku janji semuanya akan baik-baik saja. Namamu siapa?" ucapnya.
Gadis itu mendongak dan menjawab, "Nara Diyana."
Zhang Yu menatap wajah Nara yang mempunyai wajah khas Indonesia. Matanya tidak sipit ataupun besar, hidungnya juga tidak mancung atau pesek, bibirnya indah, dan ia memilik senyum manis disertai lesung pipi. Tinggi badannya mungkin hanya sebatas dada bidang Zhang Yu saja.
"Kau bawa ponsel?" tanya Zhang Yu.
Nara terdiam sejenak. Dia menghapus sisa air matanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuknya menjadi cengeng. Bagaimanapun caranya ia harus bebas secepat mungkin, entah dari lelaki yang ada di depannya ataupun dari lelaki yang sedang mengejar mereka.
Tas punggung yang dibawanya dibuka. Isinya banyak sekali. Ada buku, dompet, earphone, ponsel, tisu, dan lainnya. Ia serahkan ponsel miliknya meski terpaksa.
Lelaki itu langsung menyambarnya dengan cepat. Lantas ia mengetik nomor Gerald yang paling ia hafal. Tidak butuh waktu lama telepon pun tersambung. Sementara Nara hanya memperhatikannya yang terus mondar-mandir.
[Halo, siapa?] tanya suara di seberang telepon.
"Gerald, ini aku. Kalian semua di mana?"
[Oi, Zhang Yu. Hah, lega sekali rasanya. Ternyata kau masih hidup. Kami sedang di rumah, bersembunyi dari anak-anak buah si mafia gila itu,] jawab Gerald.
"Kurang ajar kalian semua! Aku hampir saja mati, tahu?! Jemput aku sekarang juga!" marah pria tampan ini.
[Tunggu! Sekarang kau ada di mana?]
"Aku masih di Tiongkok. Cepat jemput aku sekarang, Gerald!" titahnya sambil menggeram kesal.
[Tidak bisa, Bro. Kami sedang dikejar-kejar oleh anak buah Darmawan. Kami tak bisa keluar dari rumah karena hanya inilah tempat yang paling aman. Kami tak bisa membantu banyak di saat seperti ini karena anak buahnya Darmawan berkeliaran hingga ke jalan depan. Kalau kau pulang, lewat pintu rahasia saja untuk berjaga-jaga kalau-kalau antek-anteknya mafia gila itu belum menyerah.]
Bugh! Zhang Yu menendang tembok dengan kencang. Bibirnya ia katupkan seraya mengembuskan napas kasar. Tangannya pun makin erat memegang ponsel.
"Ah, dasar manusia! Aku pikir kalian akan setia kawan! Kalian sama saja dengan orang lain!" marahnya.
[Bukan seperti itu, Bung!]
Zhang Yu mendengkus kesal, "Cepat kirimkan aku uang yang banyak! Semua barang-barangku hilang entah ke mana. Cepat!"
[Kau bilang semua barang-barangmu hilang. Bagaiman aku bisa mengirim uangnya?] tanya Gerald.
Zhang Yu menoleh pada Nara. "Hei, nomor rekeningmu berapa? Cepat katakan!" serunya seolah tak mau dibantah.
"Buat apa? Kau mau meretas dan mencuri uangku di atm, ya?" tanya Nara waswas.
"Aku ini banyak duit. Cepat katakan! Aku perlu duit sekarang karena semua barang-barangku hilang," jawab Zhang Yu.
[Zhang Yu, kau sedang bicara dengan siapa?]
"Aku akan mengirim nomor rekeningnya lewat pesan. Sekarang aku harus mencari tempat yang aman dulu," kata Zhang Yu.
Setelah itu, pria berwajah tampan ini menutup telepon. Ponsel tersebut ia kembalikan pada pemiliknya setengah dilempar. Beruntung sekali Nara bisa menangkapnya. Kalau tidak, urusannya akan gawat.
"Hei, jangan dilempar! Ponsel ini sangat berharga bagiku tahu!" omel gadis itu.
Seketika Zhang Yu tertawa, "Hahaha." Lantas ia berkata, "hei! Di bagian mananya ponsel butut seperti itu berharga? Orang buta saja pasti tahu! Lagi pula, siapa, sih, yang pakai handphone jadul macam yang kau punya itu di zaman sekarang ini? Ada-ada saja," imbuhnya dengan gaduk sambil geleng-geleng kepala.
"Kau dan seluruh orang di dunia ini mungkin hanya menganggapnya tak berharga, tapi menurutku ini sangat berharga sekali," jawab Nara sinis.
Zhang Yu berkacak pinggang. Heran sekaligus terkesima. Di zaman canggih ini, dia baru lihat seorang perempuan yang dengan tegasnya bilang bahwa ponsel butut itu sangat berharga. Padahal, di zaman sekarang banyak sekali ponsel yang lebih canggih, lengkap dengan fitur terbaru.
"Tampilan itu tidak penting, tapi isi di dalamnya yang penting!" sergah Nara.
"Oke, baiklah. Terserah kau saja, Gadis Keras Kepala. Ayo, sekarang kita harus pergi ke bank!" sahut pria tampan ini.
"Mau apa ke sana?"
"Ya ambil duitlah. Masa iya ambil kue ulang tahun?!"
"Ya, sudah ayo!"
"Sebentar!" ucap Zhang Yu.
Pria bermata sipit ini merogoh masker berwarna hitam di dalam saku. Secepat kilat ia memakainya. Tujuannya agar semua orang tidak bisa melihat wajahnya untuk berjaga-jaga kalau-kalau di jalan ia bertemu dengan orang yang telah ia tipu.
"Aku 'kan belum pernah menipu di sini," gumam Zhang Yu sambil melepas kembali masker tersebut dan menghempaskannya ke tanah.
"Kau bicara apa? Kau bicara padaku, ya? Aku tidak dengar," kata Nara.
Dia menoleh dan menjawab, "Bukan apa-apa. Lupakan saja!"
***
"Aku lapar. Apa di sini tidak ada makanan?" tanya Zhang Yu.
Ya, setelah ke sana kemari, akhirnya mereka tiba di sebuah kontrakan kecil Nara. Gadis itu mengeluh dan terus menggerutu pada cowok pemabawa nasib malang baginya itu. Setelah tadi pergi ke bank, dilanjutkan lagi pergi ke kantor kedutaan untuk mengurus paspor baru, dan lain-lainnya, sekarang cowok itu malah mengomel dan terus bicara bahwa ia lapar.
"Hah! Memangnya dia pikir aku enggak lapar apa?" batinnya berteriak kesal.
"Ada makanan enggak?" tanya Zhang Yu lagi.
"Sebentar, aku akan cek dulu."
Nara berjalan ke dapur dan berhenti di depan kulkas mini. Niatnya akan melihat bahan makanan yang tersedia, tapi matanya terfokus menatap lingkaran merah di dalam almanak. Tanggal 27 bulan November dilingkari menggunakan spidol merah untuknya. Tanpa disuruh, kakinya melangkah ke hadapan almanak tersebut.
"Hari ini adalah tepat tiga belas tahun surat pertama darinya," gumamnya sambil tersenyum.
Zhang Yu menghampiri Nara, tapi gadis ini malah lari terbirit-birit ke tempat semula. Dahi Zhang Yu bergelombang karena keheranan. Karena rasa penasaran, ia pun langsung menyusul Nara.
"Aduh, ponselku di mana, sih?" tanya Nara seorang diri.
"Di sini," jawab Zhang Yu.
Nara menoleh ke belakang. Dia menerjang pria itu dan mengambil ponselnya. Kemudian, ia duduk dengan tenang di atas kursi. Ini sudah bukan hal aneh lagi bagi gadis bernama Nara Diyana itu.
Dia mulai membuka sebuah aplikasi jadul. Di sana terdapat banyak sekali gambar-gambar surat. Surat kedua paling bawah dibukanya. Seperti sebuah pesan panjang yang menggunakan huruf Mandarin. Lalu, ia membacanya dalam hati.
"Ada banyak tempat di Cina dan aku harap dapat melihatnya bersamamu suatu hari nanti," ucap Nara dalam hati saat membaca pesan tersebut.
"Aku sungguh menantikan hari itu. Aku sungguh ingin pergi bersamamu," imbuhnya lagi dalam hati.
Diam-diam, Zhang Yu mendekat dan mencoba mengintip apa yang sedang dibaca oleh gadis aneh ini. Nahasnya, gerak-geriknya malah ketahuan. Dia hanya membaca sekilas saja. Nara langusng pergi ke kamarnya.
"Lain kali aku akan membalas. Aku harap kau dapat memberi tahuku lebih banyak tentang kehidupanmu," gumam Zhang Yu sambil menatap punggung Nara yang menghan di balik pintu.
"Oh, pesan macam apa itu!" imbuhnya.
"Kau tidur di kursi itu saja!" teriak Nara.
Zhang Yu melotot tak percaya. "Di kursi? Badanku bisa sakit semua nanti. Kau saja yang tidur di sini!" keluhnya.
"Sudah numpang, harusnya tahu diri, dong!" sergah Nara.
Blam! Pintu ditutup dengan sedikit keras.
"Dasar gadis aneh!"
Zhang Yu merebahkan diri di atas kursi yang terbuat dari kayu tersebut. Kedua tangannya diletakkan di bawah kepala. Sementara kedua kaki jenjangnya menjuntai ke bawah.
"Tidur di kursi, enggak ada bantal pula."
***
Hallo, Sahabat PenaDifa. Cinta kalian. Jangan lupa untuk review dan subs, ya. Terima kasih.