Sesampainya di kereta kayu, Albert terkagum-kagum. Bagaimana tidak? Ini kali pertama ia melakukan perjalanan menggunakan benda beroda itu. Tampaknya, kereta tertutup tersebut sangat mewah dan elegan. Di setiap sudutnya penuh ukiran. Lantainya dilapisi karpet dari kulit harimau. Ukurannya juga besar, cukup untuk menampung lima orang yang sebelumnya di dalam sana. Salah seorang penumpangnya adalah Aran, kemudian terlihat dua anak yang berwajah mirip tetapi memiliki jenis kelamin berbeda. Lalu satu orang wanita berambut merah. Wanita itu mengenakan pakaian yang cukup terbuka untuk musim dingin. Pusarnya bahkan sampai kelihatan.
"Jadi ini teman baru kita," ucap wanita itu dengan senyum penuh gairah. Mata mirip rubah miliknya bergerak ke atas dan ke bawah memandangi pria berkuncir itu. Ia mendekati Fuguel, "Roxanne. Itu namaku, salam kenal," wanita itu berjinjit dan berbisik pelan di telinganya.
Darah segar keluar dari hidung pria itu, bukan karena ia merasa tidak enak badan. Tetapi wanita itu berada tepat di depannya dan hampir saja dadanya menyembul keluar. Kesadaran Fuguel berusaha berpaling, tapi instingnya berkata lain.
"Dasar pria mesum. Mengapa juga di saat-saat seperti itu ia bisa mengekpresikan dirinya dengan baik?" Pikir Albert seraya menatap jijik pria di sampingnya.
"Roxy!" Pekik Aran lalu menarik kuncir rambut wanita itu hingga ia hampir terjatuh. "Jangan ganggu tamu kita," ucap pemuda itu seraya menatap sinis wanita di hadapannya.
Wanita itu kemudian berkacak pinggang. Ia menatap mata azure milik Aran lekat. Sebagai wanita, ia memiliki badan yang cukup tinggi sebab matanya itu menatap lurus tepat pada bola mata pemuda di hadapannya. "Kalau kau cemburu bilang saja," ujarnya.
"Cemburu dengkulmu," umpat Aran. Pemuda itu kehilangan ketenangannya jika berurusan dengan Roxanne. Dan sepertinya, wanita itu juga senang menganggunya. Buktinya, saat ini ia menyentuh dagu pria itu lembut dengan tatapan memikat.
"Sialan!" Aran menghempaskan tangan wanita itu.
"Aran, Roxy, Hentikan!" Terdengar suara di balik tirai tipis yang membatasi tempat mereka berada dengan pemilik suara itu. "Kalian mengganggu tamu kita."
"Maafkan aku, Tuan Muda," Aran berlutut dan menundukkan kepala menghadap tirai.
Begitu pula dengan wanita yang mengenakan cape itu, ia menundukkan kepalanya "Maaf, sepertinya aku berlebihan," ucap Roxanne menunjukkan penyelasan.
Tirai itu tersingkap, perlahan sosok di balik tirai tersebut berjalan keluar. Ia menampakkan wujudnya di hadapan Albert dan Fuguel. "Selamat datang," sambutnya.
Albert menatap sosok itu tanpa mengedipkan mata sekali pun. Sewaktu melihat Aran, ada kesan berwibawa di dalam dirinya. Namun, sosok ini berbeda. Bukan wibawa, auranya memancarkan hal lain yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Mungkin itulah yang disebut terkesima. Albert diam mematung tanpa mendengar suara sekelilingnya.
"Boleh aku tahu namamu?" Tanya sosok itu tapi ia tidak mendapat jawaban. Anak yang ia tanyai hanya terdiam kaku menatapnya.
"Mmm …," ia lalu mengayunkan tangannya di depan wajah Albert. "Apa aku boleh tahu namamu?" Tanyanya sekali lagi.
"A-Albert," jawab anak itu sedikit terbata-bata setelah ia akhirnya kembali pada kenyataan.
"Fuguel," tukas pria itu. Ia mengambil inisiatif untuk memperkenalkan diri sebelum ditanyai.
"Selamat datang Albert dan Fuguel," sekali lagi ia menyambut kedua tamunya dengan senyum simpul. "Panggil saja aku Mithyst," imbuhnya.
Mithyst memandang kedua orang yang masih tengah menunduk penuh sesal. Ia mendengus kemudian mengerutkan keningnya. "Kalian berdua … bangun!" Sosok dengan serban putih itu mengangkat sebelah alisnya. "Jika kalian merasa menyesal, minta maaf kepada tamu kita dan segera obati luka Albert," jelasnya.
"Siap laksanakan!" Ucap Aran dan Roxanne. Melihat kelakuan mereka berdua, Mithyst lagi-lagi mendengus.
Setelah menyampaikan titahnya, Mithyst beranjak pergi dan kembali ke ruangan di balik tirai. Namun, sebelum ia melangkah pergi ia sempat menunjukkan senyum tipis kepada Albert. Albert melihat punggung kecil dari sosok itu. Mithyst bahkan tidak lebih besar dari dirinya tetapi auranya terasa paling kuat di ruangan. Selain karismanya, hal yang membuat Albert tidak bisa melepaskan pandangan dari Mithyst adalah matanya. Iris merah muda pucat itu begitu lembut tapi ada kesan dingin di baliknya. Kesan dingin yang Albert sangat kenal.
"Tuan Albert," suara Aran membuat renungan anak itu buyar. "Perlihatkan lukamu, aku akan mencoba menyembuhkannya," jelas pemuda itu.
"Ah sial," anak itu mulai keringat dingin. "Sebentar lagi efeknya akan hilang," ucapnya dalam hati.
Anak itu memandangi pria berkuncir di sampingnya, ia mencoba meminta pertolongan. Tetapi untuk membalas perbuatannya tadi, Fuguel memalingkan wajah seolah tidak tahu apa-apa.
"Ckk …," Albert berdecak kesal dalam hatinya.
"Aku baik-baik saja, Fuga akan merawatku," jelas anak itu sedikit kaku. Ia kemudian menunjuk raksasa di sampingnya, "Meskipun pria ini terlihat tidak bisa diandalkan, sebenarnya dia cukup hebat dalam merawat luka." Mendengar ucapan Albert, pria berkuncir itu menatapnya lama. Mungkin maksud di balik tatapan itu adalah ekspresi keengganan. Pada dasarnya Fuguel menolak untuk terlibat. Tetapi lagi-lagi ia diseret ke dalam pace bocah itu.
Aran sendiri sebenarnya meragukan ucapan Albert, tetapi setelah melihat pria dengan tatapan dingin itu, ia meyakinkan diri untuk tidak memaksa. "Jika kalian membutuhkan sesuatu, beritahu saja aku," ucap pemuda itu.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah menyelesaikan urusan masing-masing. Meski karavan itu besar, mereka tetap duduk agak berimpitan karena kini ada tujuh orang di dalamnya. Fuguel dan Albert tentu saja duduk bersebelahan. Kemudian di samping anak itu ada Aran yang duduk tenang. Di depan Aran, Roxanne tampak mengasah bilah pisaunya. Kemudian dua anak kembar berambut cokelat di hadapan Albert, tampak memandanginya. Tatapan kedua anak itu seperti waspada, ada juga rasa penasaran.
"Ada apa dengan mereka?" Tanya Albert dalam hati. Anak itu merasa tidak nyaman dan berusaha membuang muka. Namun, ketika sekali lagi ia melirik dari ujung matanya, kedua anak itu masih menatap.
Albert memutuskan memberi senyum sapaan. Albert berpikir, kedua anak itu mungkin mencoba untuk mengakrabkan diri tetapi masih malu. Sayangnya, sehabis melihat Albert, kedua anak itu berpaling. Gelagatnya seolah-olah mereka habis dipergoki melakukan suatu kesalahan.
"Sepertinya perjalanan ini tidak akan menyenanngkan …" pikir Albert. Ia lalu memejamkan mata mencoba untuk tidur, "… setidaknya aku tidak harus berjalan kaki."
Perjalanan menuju Rurall sepertinya tidak akan berlangsung lama. Dari kejauhan, hutan peluruh mulai tampak. Sewaktu memasuki musim dingin, dedaunan pohon di sana meranggas. Hal ini menandakan mereka hampir memasuki wilayah Negeri Rurall. Setelah melewati jalan di samping lereng gunung, mereka akan menemui daratan luas.
Saat musim panas, bunga peony seharusnya tumbuh di sana. Terkadang pengembara yang melewatinya menyempatkan diri untuk singgah. Mereka menatap hamparan berwarna merah muda itu dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Berharap bahwa kebahagiaan dan kesuksesan menghampiri mereka sama seperti makna bunga itu.
Sedangkan bagi mereka yang saat ini mengendarai kereta tertutup, berniat istirahat di malam hari. Di tengah cuaca yang berawan, ada keinginan untuk memejamkan mata hingga matahari terbit. Meski begitu beberapa di antara mereka pastinya tetap terjaga karena suatu hal.
~