Chereads / A Story You Can Tell / Chapter 22 - Persiapan Eleusinia

Chapter 22 - Persiapan Eleusinia

"Kita berpisah di sini, Julia akan mengajak kalian berkeliling dan menjelaskan detailnya."

Setelah kepergian Roxanne, mereka bertiga berjalan sembari melihat-lihat persiapan yang dilakukan warga untuk perayaan. Julia menjelaskan bahwa dalam dua hari Festival Eleusinia akan dilangsungkan. Sebuah perayaan yang dilaksanakan sekali dalam dua tahun. Perayaan tersebut berupa rasa syukur terhadap hasil panen yang memuaskan. Bentuk perayaannya adalah ritual doa yang dilakukan oleh penduduk Rurall. Kemudian diadakan pula perlombaan dan berbagai jenis permainan yang melibatkan delegasi dari berbagai tempat di negeri tersebut. Puncak perayaan akan dilangsungkan di ibu kota.

Sembari menerangkan berbagai hal, Julia menunjukkan stan-stan makanan yang dibuka ketika perayaan berlangsung. Stan-stan tersebut akan sangat ramai ketika harinya tiba. Di sana mereka menjual berbagai macam jenis suvenir dan makanan khas negeri tersebut. Tetapi sangat jarang ditemukan kerusuhan. Berbeda ketika perlombaan nantinya, di sanalah Fuguel memiliki peran.

"Sejauh ini ada yang ingin kalian tanyakan?"

Albert mengerutkan alisnya, "Banyak hal yang ingin aku tanyakan," Julia terkekeh mendengar ucapan anak itu.

"Baiklah, Julia akan mencoba menjawabnya," kata gadis itu seraya tersenyum.

"Kalian sebenarnya siapa?" Sebuah pertanyaan menusuk yang dilontarkan oleh anak muda itu.

Julia tetap bergeming. Albert kebingungan karena tak kunjung mendapat jawaban.

"Bisa kau jelaskan negeri apa ini?" Anak itu mencoba bertanya sekali lagi.

"Rurall, negeri para peri," jawab Julia singkat. Albert menyipitkan mata, anak itu merasa kesal.

"Hei, aku ingin tahu detailnya."

"Memangnya kau kemari tanpa mencaritahu terlebih dahulu?"

Albert menelan ludah kemudian memalingkan pandangan, sekilas anak itu melirik ke arah pria di sampingnya. Sayangnya Fuguel hanya berdiam diri, tak ada bentuk respon berarti yang ia tunjukkan.

"Ck." Albert berdecak kesal kemudian menggaruk belakang kepalanya. "Lupakan saja."

Julia sekali lagi terkekeh, gadis itu seperti menikmati kebingungan yang dirasakan oleh anak berambut ikal di hadapannya. Ada sedikit senyum jail yang tersungging di bibirnya. "Maaf," ucap gadis berambut cokelat itu. Albert menatapnya nanar.

"Kau tidak harus menatap Julia seperti itu," gadis itu kemudian berbalik, membelakangi kedua orang tersebut. Perlahan ia berjalan dan mulai menjelaskan. "Kami adalah orang-orang yang dianugerahi kekuatan alam …."

Julia bercerita mengenai keistimewaan negerinya. Sebuah negeri di mana penduduknya memiliki kekuatan yang berbeda dari manusia biasa, kekuatan untuk bersahabat dengan alam. Dari dulu hingga sekarang, penduduk Rurall memiliki ikatan yang sangat dalam kepada seluruh makhluk. Hal itu tercermin bagaimana penduduk Rurall hidup saling berdampingan.

Penduduk Rurall dulunya adalah peri hutan. Peri yang menjaga keseimbangan alam, tetapi lambat laun banyak perkawinan antara ras manusia dan para peri sehingga darah mereka tidak lagi murni. Saat para peri hampir kehilangan kekuatannya, makhluk-makhluk yang dahulunya mereka rawat memberi balas budi. Makhluk-makhluk tersebut menyerahkan sebagian kekuatannya kepada ras manusia dari Rurall. Kekuatan tersebut akhirnya dapat digunakan manusia yang lemah untuk bertahan hidup.

Beberapa di antaranya memperoleh kekuatan dari makhluk-makhluk mitologis, kemudian kekuatan tersebut diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya. Dewasa ini, kekuatan tersebut disebut kekuatan supernatural. Salah satu hal istimewa lainnya dari penduduk Rurall yang diberkati adalah mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan kekuatan sihir.

"Kalian benar-benar hebat," perkataan itu keluar begitu saja dari mulut Albert. Mendengarnya, Julia tersenyum penuh rasa bangga, tetapi perlahan senyum itu menghilang tak berbekas. Albert tidak menyadari adanya kesedihan yang terpancar dari kilau mata gadis itu.

"Sudah cukup jalan-jalannya, kita sudah sampai." Ucap gadis itu setelah sampai di tempat yang mereka tuju. Julia menunjukkan rumah tempat Fuguel dan Albert tinggal untuk sementara.

"Luar biasa," anak itu lagi-lagi terperangah, ia tak habis pikir dengan apa yang ia lihat.

Kumpulan rumah yang dibangun di antara pohon-pohon besar. Bukan satu atau dua rumah di sana, melainkan rumah susun yang bergelantungan dan dibangun di batang pohon. Rurall benar-benar sesuatu.

"Pagi-pagi sekali Julia akan menjemput kalian. Beristirahatlah karena banyak hal yang perlu kita kerjakan besok."

Siluet gadis itu perlahan menghilang setelah ia mengantar kedua pengembara itu. Albert masih tidak percaya bahwa akan ada hari di mana ia tiba di tempat yang layaknya sebuah negeri dongeng. Indah, kata yang tidak cukup untuk mendeskripsikan Kota Folois. Luar biasa indah mungkin cukup.

Saat malam tiba, Albert menatap keluar jendela dan melihat lentera bergelantungan memberi penerangan. Tempat mereka berada saat ini hampir seratus meter dari permukaan, dan masih banyak lagi rumah di bagian atas tentunya. Anak itu kemudian menjulurkan tangannya keluar. Mencoba meraih sebuah cahaya yang beterbangan. Cahaya yang berasal dari kunang-kunang.

"Aku benar-benar jauh dari rumah," pikir anak itu, ia kemudian tersenyum simpul sebelum bersiap-siap untuk bergabung dengan Fuguel yang memejamkan mata di atas kasur empuk yang berbahan kapas.

"Apa kau yakin bisa mempercayai mereka?" Anak itu tampak bergumam ketika ia baru saja merebahkan punggungnya.

"Aku tidak mempercayai mereka." Albert terperanjat mendengar Fuguel memberi jawaban. Pikirnya, pria itu sudah terlelap.

"Kau juga jangan percaya dengan siapa pun," sambung Fuguel, ia kemudian berbalik menghadap dinding, memunggungi anak yang saat ini masih menatapnya.

Albert lalu meletakkan kedua tangannya di belakang kepala lalu menatap langit-langit. "Apa aku juga tidak dapat mempercayaimu?" Tanyanya dalam hati. Beberapa waktu kemudian, masih dengan posisi yang sama anak itu mulai memejamkan mata. Dengkuran keduanya terdengar memenuhi ruangan.

Keesokan paginya saat matahari baru saja muncul dari ufuk timur kedua pengembara itu sudah siap menyambut hari baru. Mereka bersiap-siap untuk menjalankan segala hal yang telah direncanakan untuk hari ini. Atau setidaknya seperti itu harapannya. Kenyataannya, realita hampir saja selalu berhasil mengkhianati ekspektasi.

"Sulit dipercaya! Kalian membuat Julia menunggu di luar selama sejam," gadis itu merajuk hingga wajahnya merah seperti direbus. "Apa yang kalian lakukan sebenarnya? Bukannya Julia bilang bahwa pagi-pagi sekali banyak hal yang harus dikerjakan."

Gadis itu berjalan melewati jembatan layang seraya menghentak-hentakkan kaki. Orang-orang yang juga melaluinya harus berpegang erat agar tidak terjatuh. Julia menunjukkan kekesalannya hingga melibatkan orang-orang sekitar.

Julia menjemput kedua pengembara itu sesuai perjanjian. Saat suhu udara sekitar delapan belas derajat, gadis itu berjalan penuh semangat untuk memenuhi tugasnya. Ia berharap agar semuanya berjalan lancar pagi itu. Tetapi setibanya di depan rumah kedua pengembara itu, sama sekali tidak ada respon meski pintunya sudah diketuk. Pada akhirnya Julia menggedor-gedor pintu dan melihat wajah bantal Fuguel menyambutnya. Sedangkan satu orang lagi, masih terlelap dengan mulut ternganga dengan bekas liur di pipi.

"Maaf Julia," Albert berusaha memperbaiki mood gadis itu, sayangnya hasil usahanya nihil.

Dalam keadaan canggung, mereka terus berjalan menyusuri jalan raya. Mereka melewati perumahan sebelum sampai ke area perlombaan. Di tempat itu, Fuguel diminta untuk membantu persiapan di arena tempat pankrasi akan dilaksanakan. Pankrasi merupakan cabang lomba paling populer selama Festival Eleusinia. Lomba tersebut merupakan duel satu lawan satu antara pengguna kekuatan supernatural. Biasanya setiap keluarga yang diberkati atau bangsawan mengirimkan satu perwakilan atas nama keluarganya.

"Tuan Fuguel …," Julia menunjuk lokasi tempat Fuguel akan bekerja. Tampang gadis itu tidak terlihat cemberut lagi.

"Tuan Albert," Julia menatap pupil hitam anak itu. "Ikuti aku!"

Pekerjaan yang dilakukan Albert dan Fuguel berbeda sehingga mereka harus terpisah. Perasaan tidak nyaman dirasakan oleh Albert karena ada sesuatu yang terus mengusiknya. Namun, sejauh ini anak itu tidak mengindahkan dan hanya mengikuti alur.

"Di sini." Ucap gadis itu setelah sampai di tanah lapang, tempat tenda kerucut bergaris merah putih banyak didirikan.

"Apa yang harus aku kerjakan?"

"Ayo!"

Keduanya tampak memasuki salah satu tenda. Di sana terlihat banyak senjata tajam dan berbagai macam perlengkapan lainnya. Selain itu, tampak seorang wanita dengan tubuh jangkung berdiri di sana.

"Juliaaaaa!" Wanita itu mendekap Julia erat hingga gadis mungil itu sesak dan hampir dibuat remuk.

"Lepaskan Roxy!"

Wajah kesal Julia kembali muncul, sepertinya anak itu melalui hari-hari yang berat untuk se-ukuran anak-anak. Berurusan dengan orang yang lebih tua tidak ada bedanya berurusan dengan seorang bocah, sayang sekali.

"Hmm …," Roxanne menatap Albert yang berdiri di samping gadis yang memakai rok selutut itu. "Jadi hari ini dia yang akan mendampingiku?"

"Roxy akan mengikuti lomba pankrasi, jadi hari ini dia mencoba kostumnya," jelas gadis itu kepada anak yang masih diam mematung, seolah musim dingin kembali dan membekukan dirinya.

"Pulanglah saat petang," kata gadis itu kepada Albert seraya berjalan pergi. Ia menyingkap tenda dan bergegas. "Roxy, jangan mempersulitanya!" Julia menatap tajam Roxanne sebelum ia keluar. Ia tahu betul sifat wanita itu. Meski ada rasa khawatir, Julia hanya mendengus dan meninggalkan keduanya.

"Mohon bantuannya …," wanita itu menyipitkan mata seraya menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "… Albert," ucapnya membuat bocah itu bergidik.

"Akhh … sial," anak itu hanya dapat menggerutu dalam benaknya.

~