"Apa yang coba kau buktikan, Albert?"
"Pangeran Albert …,"
"Albert …,"
"Albert … bangun!"
"Hah?" Jantung anak itu berdetak kencang. Tubuhnya gemetar setelah sadar dari mimpi yang terasa amat panjang. Ia terbangun di malam hari setelah mendengar suara yang memanggil namanya. Tetapi suara itu jelas berbeda dengan suara orang di hadapannya saat ini. Tidak salah lagi, sebelum itu ia mendengar suara Sang Raja dan suara perempuan yang tidak ia kenali.
"Ssttt!" Seorang gadis berambut cokelat pendek di atas bahu menyekap mulut anak itu. "Jangan ribut, mereka bisa mendengarmu," bisik anak itu pelan. Anak itu merupakan salah satu dari kembar yang memelototi Albert.
Albert bertanya-tanya apa yang tengah terjadi. Ia belum bisa mencerna situasi saat ini. Beberapa saat lalu mereka singgah beristirahat. Mereka berencana melanjutkan perjalanan setelah pagi tiba. Tetapi dalam suasana yang seharusnya gelap dan sunyi, terdengar sayup-sayup suara dari luar karavan.
"Krak …," terdengar suara ranting terinjak. "Sret … sret …," segerombolan orang berjalan menghampiri.
Albert melepas kain tebal yang menyelimuti dirinya, ia meningkatkan kewaspadaan. Penumpang yang lain sepertinya sudah menyadari keberadaan orang-orang itu lebih awal. Masing-masing dari mereka bahkan memegang senjata sebagai persiapan untuk bertempur. Ada ketenangan di balik tatapan orang-orang Mithyst, menunjukkan bahwa mereka terbiasa berada dalam situasi demikian.
"Sret … sret …," suara langkah kaki itu kian mendekat. Sepertinya sudah berada tepat di depan pintu.
Sebaliknya, di dalam karavan Aran telah menghunuskan pedang di balik pintu. Bilah pedang yang terasah tampak berkilau meski dalam kegelapan. Tatapan pria bermantel biru muda itu begitu dingin. Tatapan yang siap menghadapi pertumpahan darah. Saat suara napas orang-orang terdengar pelan dan teratur, pintu perlahan terbuka. Sosok di baliknya adalah orang-orang berjubah.
"Slaaaashhhhhh!"
"Spurtt …," pemilik darah yang bercucuran terkulai lemas dan jatuh tak bergerak. Sedangkan dia yang menebas, wajahnya bersimbah darah.
Aran melompat keluar dan berdiri paling depan, disusul Roxanne dan Fuguel. Di hadapan mereka sudah ada segerombolan orang yang menyergap. Tampak empat belas orang bertopeng menggunakan jubah merah gelap menghunuskan pedang ke arah mereka. Pemuda berambut panjang itu, menyerang tanpa jeda.
"Klang! Klang!" Suara pedang beradu menghiasi malam bulan sabit itu. Di tengah deru angin musim dingin, kepulan asap keluar dari napas yang terengah-engah. Salju putih tidak lagi murni. Bercak merah menghiasi layaknya helai mawar yang berguguran.
Seorang wanita dengan celana panjang berwarna merah menari dengan iringan lagu kematian. Satu per satu musuhnya tumbang dibuat tak berdaya. Pantulan cahaya dari iris kuningnya tampak bergelora. Seolah menebas daging yang dilapisi kulit merupakan hal yang menghidupkan dirinya.
"BLAM!" Pukulan yang didaratkan pria berkuncir itu membuat lawannya terhempas. Terhempas cukup jauh hingga terjerembab di hadapan Aran yang berdiri beberapa meter darinya.
Hampir seluruh orang-orang itu dihabisi. Mereka bukan tandingan ketiga orang berdarah dingin itu. Perbedaan kemampuan mereka terlalu jauh. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menuntaskan pekerjaan mereka.
Seusai mengurus para penyergap itu, satu per satu penumpang dari karavan keluar, mulai dari Albert disusul oleh kedua anak kembar di belakangnya. Pemandangan yang mereka lihat seharusnya tidak bisa diperlihatkan kepada anak-anak. Tetapi entah mengapa tidak satu pun dari anak-anak itu tak bergeming.
Satu di antara orang-orang tersebut ditawan. Ia dibuat bertekuk lutut. Aran kemudian melepaskan topeng orang itu menggunakan ujung pedangnya. Ujung pedang itu lalu diarahkan ke tenggorokan orang tadi. "Apa tujuanmu?" Tanya pemuda itu.
Baru saja mereka berpikir semua musuh telah dikalahkan, tiba-tiba dari arah belakang mereka muncul satu orang lagi. Satu orang berjubah dan bertopeng sama dengan lainnya hendak menyerang salah seorang anak. Kemunculannya tidak terduga karena sepertinya ia bersembunyi sedari tadi. Ia merupakan orang ke-16 dari para penyergap itu.
Semua penumpang karavan tidak menyadari serangan tiba-tiba yang dilancarkan. Pergerakan mereka terhambat sepersekian detik dan "Slaaaasshhhhh!" Tubuh pemuda berambut hitam itu penuh warna merah pekat.
"Albert …," ucap sosok dengan pakaian serba putih itu. Ia berdiri di hadapan anak yang saat ini masih terdiam. Mata anak itu hanya terbelalak saking terkejutnya. "Kau tidak apa-apa?" Tanya Mithyst.
"I-Iya," jawab Albert kaku.
"Aran, sepertinya kau lengah," tukas Mithyst. Ia berjalan seraya memegang pedangnya yang masih berlumuran darah. Pemuda berambut ivory itu menunduk dan membiarkan ucapannya tak berbalas.
"Jadi apa tujuanmu?" Tanya Mithyst pada pria yang ditangkap itu. Tapi ia hanya dibalas tatapan nanar.
"PERSETAN KAU!" Bentak pria tersebut, beberapa saat kemudian muncul api dari tubuhnya. Ia tiba-tiba terbakar. Para pengembara mengambil jarak karena api yang semakin membesar.
"CEPAT PADAMKAN!" Teriak Aran. Sayangnya sudah terlambat. Dalam sekejap tubuh pria itu menghilang dan menyisakan abu. Pada akhirnya mereka tidak mengetahui motif di balik penyergapan yang terjadi.
"Ck." Mithyst berdecak kesal. Ia membersihkan pedangnya lalu menyarungkannya.
Setelah kejadian itu, para pengembara terdiam dalam keheningan malam. Insiden kali ini meninggalkan banyak tanya. Hal yang disisakan dari pembantaian malam itu hanya sebuah misteri tak terpecahkan.
"A-apa kita harus menlanjutkan perjalanan?" Tanya Si Kusir yang sejak tadi bersembunyi saat kejadian berlangsung.
"Kita lanjutkan saat matahari muncul, lagi pula sepertinya sudah aman," jelas Aran. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Hanya saja, senyum itu justru terlihat menyeramkan karena mantel biru yang ia kenakan dipenuhi bercak merah.
Setelah membenahi diri, para pengembara kembali beristirahat. Masing-masing menyelimuti diri dan melanjutkan tidur yang sempat terpotong, kecuali dua orang di balik tirai. Suaranya sangat pelan, tetapi bayangan dari lentera itu memperlihatkan mulut yang berkomat-kamit.
"Sepertinya mereka dari arah kaki gunung …," suara itu terdengar dalam. Suara dari Aran. "Jalan ini satu-satunya menuju Rurall dan sebelumnya tidak ada tanda-tanda kedatangan orang lain," jelas pemuda itu.
"Kita tidak tahu motif dari mereka, untuk saat ini kita tetap waspada …,"
Albert sempat mendengar samar-samar percakapan mereka. Tetapi kantuk menyerang tanpa toleransi. Anak itu tidak mampu menahan kelopak matanya. Terasa begitu berat hingga satu-satunya cara adalah membiarkannya terpejam. Albert terlelap hingga fajar menyingsing.
~