"Whoaaaammm …," anak berambut hitam itu meregangkan seluruh tubuhnya. Ia mengumpulkan kesadaran dengan berjemur sinar matahari pagi di luar karavan.
"Hei …," pemilik suara itu merupakan gadis berambut cokelat yang sebelumnya membangunkan Albert saat penyergapan. "Kita akan berangkat," ucapnya.
Pagi ini lebih hangat dari hari-hari sebelumnya. Musim dingin yang menusuk hampir selalu berhasil membuat Albert mati membeku. Bagaimana tidak, selama ini mereka hampir selalu tidur di alam terbuka kecuali saat cuaca begitu buruk. Syukurlah cuaca hari ini cerah.
Roda karavan berputar hingga memberi bekas di atas lapisan putih. Lajunya lebih cepat karena tumpukan salju pagi ini tidak begitu tebal. Para penumpang di atasnya menikmati tiupan angin lembut dari jendela kayu yang terbuka.
"Sepertinya Anda petarung yang kuat," kata Aran berusaha membangun percakapan. Pujian itu ditujukan kepada pria berkuncir di sampingnya.
"Aku rasa Anda jauh lebih hebat," balasnya singkat.
"Hei, hei, ada apa ini? Dua pria saling memuji," ucap wanita berambut merah itu. Suara Roxanne terdengar sedikit meledek. Sedangkan Aran mengabaikannya.
Fuguel dan Aran tampak bercakap mengenai kejadian sebelumnya. Aran banyak bertanya mengenai kemampuan Fuguel dalam bertarung. Menurut pemuda itu, gaya bertarungnya tidak seperti orang amatir. Jelas sekali bahwa pria berkuncir itu merupakan orang terlatih. Sepertinya Aran tertarik dengan fakta itu.
"Sebenarnya, sebentar lagi Rurall akan melakukan sebuah perayaan …," ucap pemuda itu dengan suara yang dalam. "… dan kami masih membutuhkan pengawal untuk menjaga keamanan di hari itu. Aku berpikir, jika Anda berkenan …."
"Kami sebenarnya harus bertemu seseorang di Rurall," tukas Albert yang tiba-tiba masuk dalam percakapan. Tak ada senyum dan keramahan dari caranya berbicara.
Anak itu meletakkan kedua tangannya di belakang kepala seraya bersandar di dinding kayu. "Aku rasa kami cukup sibuk untuk menyanggupi tawaranmu." Jelasnya ketus.
"Hei bocah, kau tidak harus berbicara dengan nada seperti itu. Lagi pula kami sudah memberikan kalian tumpangan," ujar Roxanne mengangkat sebelah alisnya.
Albert mengerutkan alisnya seraya menatap tajam wanita di hadapannya. Wanita itu tidak mau kalah, ia balas menatap. Suasana pagi jadi mencekik karena percakapan singkat di antara sekumpulan orang asing.
"Kalian tenanglah," kata Aran. "Bagaimana jika kita semua berkenalan terlebih dahulu …," jelas pemuda itu mencoba menghilangkan suasana canggung di antara mereka. "Aku bersalah karena tiba-tiba meminta bantuan. Pasti rasanya aneh menerima permintaan dari orang asing."
Albert dan Roxanne mendengus seraya melipat tangan di depan dada. Suasana hanya kembali canggung. Tak satu pun orang mengiyakan usulan pemuda berambut panjang itu, di sisi lain tidak ada pula yang menunjukkan penolakan. Pada akhirnya Aran bersikeras memperbaiki mood orang-orang itu.
"Seperti yang kalian ketahui, aku Aran," pemuda itu menyandarkan tangan kanannya di dada kemudian sedikit membungkuk, menunjukkan hormat. "Wanita yang di sana bernama Roxanne. Kalian bisa memanggilnya Roxy," tambahnya.
"Salam kenal," ucap wanita itu seraya menatap Fuguel dengan senyum memikat dan mengangkat sebelah alisnya.
Aran kemudian melirik kedua anak di samping Roxanne, "Mereka berdua Julia dan Julius. Si kakak bernama Julia dan adiknya Julius. Mereka berdua kembar identik."
"Salam kenal," ucap kedua anak itu mengangguk bersamaan. Fuguel dan Albert membalas anggukan tersebut.
"Aku minta maaf karena berlaku sedikit kasar," ucap anak berambut ikal itu setelah introspeksi diri.
Aran memberikan senyum hangat kepada Albert. Lalu mereka kembali diam. Tak ada lagi percakapan setelah itu. Masing-masing menyibukkan diri sembari merasakan guncangan-guncangan kecil dari dalam kereta. Perjalanan menuju negeri para peri sepertinya tidak begitu menyenangkan bagi sebagian orang.
Setelah seharian penuh melakukan perjalanan yang disertai istirahat di sela-selanya, gerbang utama memasuki Rurall akhirnya terlihat. Negeri itu memberi kesan yang misterius. Dinding pembatas Rurall dipenuhi semak belukar berwarna cokelat kemerahan. Suasananya tenang, berbeda sekali dengan Kota Festival yang menunjukkan kemeriahan bahkan ketika memandangnya dari kejauhan.
Langit merah di waktu petang menandakan akhir dari perjalanan bersama di karavan itu. Albert dan Fuguel telah selesai merapikan barang-barangnya. Karena keduanya harus segera menemukan penginapan, mereka memutuskan berpisah di sebuah desa kecil dekat perbatasan.
Setelah menuruni kereta tertutup itu---seraya memegangi ranselnya erat, Albert melayangkan pandangan kepada pemandangan sekitar. Mungkin karena musim dingin atau mungkin karena sebentar lagi hari akan gelap, tetapi keheningan, bahkan suara jangkrik yang tidak terdengar memberi kesan tidak biasa pada negeri itu.
"Kau sedang melihat apa?"
Pandangan Albert buyar, ia kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul. Suara itu berasal dari Mithyst, ia bergabung dalam lamunan anak berambut hitam itu. Rupanya Mithyst berdiri di sampingnya tanpa ia sadari.
"Apa kau sedang melihat belukar itu?" Tanya Mithyst. Dari wajahnya, tampak seutas senyum tipis. Sebisa mungkin ia mencoba tidak mengintimidasi lawan bicaranya.
"Mmmm …," Albert menggaruk kepala. "Aku hanya berpikir bahwa negeri ini sedikit aneh," jelasnya.
"Aneh?"
"Seperti bersedih."
Kepulan asap dari napas teratur terlihat di antara keduanya. Keheningan di antara mereka membuat suasana berbeda, seperti ada rasa seret di tenggorokan. Albert menatap mata sosok di hadapannya. Raut wajah Mithyst berubah setelah mendengar ucapan anak itu. Bukan sedih, bukan marah, bibirnya tampak sedikit ternganga. Bungkamnya selama beberapa detik membuat Albert tidak nyaman.
"Maaf karena aku berkata yang tidak-tidak," ucap Albert. Ia mengatakannya sembari mengalihkan pandangan.
Mithyst menggelengkan kepala, "Bukan apa-apa." Mendengar hal itu, Albert mengerutkan keningnya. Kalimat yang ia dengar terasa ringan seperti bulu tak bertulang. Pada akhirnya hanya rasa canggung yang tersisa.
"Terima kasih …," anak itu berusaha menghilangkan rasa canggung di antara mereka. "Sebelumnya aku tidak mengatakannya, terima kasih karena telah menyelamatkanku," ucapnya seraya membungkuk sembilan puluh derajat. Ucapan itu tulus dari lubuk hatinya. Tanpa pertolongan Mithyst, Albert bisa saja tewas saat itu.
Mithyst tertawa kecil, "Iya." Balasnya singkat.
Setelah percakapan singkat itu, Albert dan Fuguel akhirnya bergegas. Mereka berpamitan kepada pengembara yang mengurusnya selama dua hari ini. Seusai mengucapkan terima kasih, keduanya berjalan menuju desa kecil di perbatasan.
"Tuan Fuguel!" Aran tampak memanggil pria berkuncir itu dari belakang. Ia berlari kecil ke arah orang itu sebelum sosoknya benar-benar menghilang. "Mengenai tawaranku sebelumnya …."
Keduanya tampak bercakap. Sementara itu, Albert menunggu teman pengembaranya sembari menatap langit Rurall. Langit yang seharusnya sama dengan yang lainnya. Hal yang membedakan adalah waktu, tempat, momen ketika berpijak. Rasanya ada perasaan membuncah. Rasa ketidaksabaran. Rasa rindu yang segera diluapkan. Pertemuan antara mereka dan Iriel adalah sesuatu yang Albert sangat nantikan. Bagi Albert, hanya Iriel yang selalu ada di pihaknya. Ia mempercayai wanita itu lebih dari siapa pun.
~