Namun, belum sempat niatnya untuk mencuci wajah gadis itu supaya ia tersadar dari ngigaonya, A malah dicegah oleh seseorang membuat A mengerutkan keningnya.
Lantas A berkata, "Lo siapa?" tanya A berpura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu persis siapa di depannya itu adalah sahabat Jie yaitu Bryan.
"Lo pura-pura gak tahu? apa beneran gak tahu?" tanya Bryan dengan logat sedikit menantang.
"Bryan sahabat kecilnya Jie," ujar A dengan malas. Sebenarnya, ia sangat tidak suka dengan Bryan. Lelaki yang sok dekat banget di depan Jie.
"Tahu? Jie biar gue tanganin aja. Lo sana ganti pakaian lo," ucap Bryan.
"Maksud lo apa? Dia kekasih gue jadi, gue yang bakal ngurus dia," balas A tak kalah tajam.
"Tapi, gue yang lebih tahu dia daripada lo. Gue sahabat kecilnya!" tukas Bryan kemudian mengambil alih Jie yang masih tidak sadar dengan keadaan yang sedang terjadi dari tangan A.
A menghela nafas dengan tangan yang di angkat di atas.
"Baiklah. Urus dia," ucap A dengan menekan kalimat terakhir. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Bryan dan Jie begitu saja.
Setelah berlalu dari situasi yang buruk itu, A sekarang tengah berkutik dengan para murid lain yang sibuk memperbaiki genting panti yang bocor. A yang berada di bawah senantiasa menyuruh murid-murid lain untuk bekerja. Sementara dia hanya melihat saja dari bawah.
A acuh dan menganggap itu biasa saja. Namum, siapa disangka tindakan A itu terkadang membuat murid-murid itu kesal.
Tak jarang dari mereka akan mengumpat A di belakang. Sedangkan jika di depan A mereka akan terlihat biasa-biasa saja. Malahan akan menghormati A layaknya seorang raja. A tahu jika murid-murid itu mengotori namanya di belakang, tapi dia tidak ambil pusing, mungkin ada saat yang tepat baginya untuk membungkam mulut anak-anak itu.
"Hei! Jangan bicara saja. Cepat lo kerjakan dengan baik!" teriak A dari bawah.
Sedangkan dua anak laki-laki yang dicelotehi oleh A itu hanya bisa mengikut saja.
"Siapa yang bicara saja dan tidak bekerja?" tanya salah satu dari mereka.
"Mr.A. Tuan muda itu. Sok banget!" tekannya.
"Hei, hei sudah. Lebih baik kalian bekerja daripada dia akan mengoceh lagi," lerai seorang laki-laki. Mereka pun kembali bekerja. Dengan hati-hati, mereka memperbaiki genting itu.
Memang pekerjaan ini butuh kehati-hatian yang tinggi. Kalo tidak, lenceng sedikit akibatnya patah tulang.
A bersidekap dada sembari terus melihat ke atas tanpa ia sadari, seorang laki-laki mengendap-ngendap dari belakang. Siapa lagi kalo bukan Gilang.
"Boommm!"
"Aaaa!" Reflek karena terkejut, A langsung melancarkan kuda-kudanya dengan pistol kesayangannya yang langsung ia todongkan ke arah Gilang. Sontak, tingkah A itu jadi tontonan para murid dari atas genting. Tak ada dari mereka yang tidak tertawa akibat tingkah A yang lucu itu ketika terkejut.
Gilang sama halnya, ia tertawa terbahak-bahak melihat kuda-kuda A yang lucu itu.
A merenggut kesal. "Tawa lo! Gue tembak beneran baru tahu rasa," A menyungut dengan kesal seraya mengetok kepala A dengan pistolnya itu membuat Gilang menjerit sakit.
"Sakit tahu!"
"Biarin! Kakak ngapain sih?" tanya A seraya mengantongi pistol itu.
Gilang tersenyum sembari merangkul A. "Kita ke restoran dekat sini, ya? Gua laper, siswi belum siap buatin makan siang."
"Males ah! Ini baru jam 10 pagi. Kakak pergi aja sendiri," ujar A menolak.
"Lo tahu kartu kredit gue hilang," ungkap Gilang.
Gilang dengan puppy eyesnya memohon kepada A. Tangan mengatup di depan dada. "Please!"
A menatap sang kakak. Ide gila muncul seketika. Sekarang waktunya untuk mengerjai Gilang yang selalu menggagalkan rencananya untuk balas dendam.
"Beneran kakak lapar?" tanya A menggoda. Gilang mengangguk.
"Oke, tapi mau jalan apa?" tanya A lagi.
Gilang berdiri tegak. Ia tak memohon lagi. Kini, tangannya beralih menggaruk keningnya. Benar kata A, mereka kendarain apa kesana? Tidak mungkin jalan kaki bukan?
"Sudah kak, A tahu jalan apa ke sana." A tersenyum smirk.
***
Gilang meneguk ludahnya dengan susah payah saat melihat kendaraan apa yang akan mereka pakai. Yah, mereka memang memakai mobil, tapi pemiliknya...
"Ayo kak, pinjam mobilnya." A mendorong tubuh Gilang untuk maju.
Bukan apa-apa, Gilang mau saja meminjam mobil itu, tapi kenapa harus pinjamnya dengan laki-laki tambun berotot besar dan badan yang sangat tinggi. Pasti sangat sulit bukan?
"A, lo dapat orang ini darimana?"
A menahan tawanya saat melihat wajah sang kakak yang ketakutan.
"A kita pulang saja, kakak gak jadi laper," ujar Gilang yang masih dalam keadaan ketakutan.
"Ayo kak. Masa takut beginian. Ini teman A saat keluar cari angin semalam," ucap A membuat Gilang menoleh menatapnya.
"Yang benar saja?"
Yap. Lelaki tambun berotot ini tak sengaja bertemu dengan A saat keluar malam-malam untuk melancarkan misinya. Hampir saja A tersesat jika om ini tidak menunjukkan jalan yang benar kepadanya. Lelaki berotot ini merupakan penjaga luar panti ini jika malam hari. Sedangkan jika di siang hari, lelaki ini berganti tugas dengan satpam panti.
Ehk, malam itu, bukannya nunjukkin jalan yang benar, lelaki berotot itu malah menyuruhnya untuk kembali ke panti jompo. Bersamaan dengan itu, sang kakak yang entah kenapa keluar malam-malam dengan keringat di keningnya tak sengaja bertemu dengan A.
Yah benar, apa yang dilakukan Gilang malam itu? Kenapa ia baru teringat saat ini?
"Kakak, apa yang kakak lakuin malam-malam di luar?" tanya A di sela-sela ketakutan Gilang.
"Apa? Apa maksudmu?"
"Iya kak. Malam saat kakak menangkap A yang juga keluar malam itu."
Gilang melotot. "Ehk itu, itu... A sudahlah jangan ingatkan aku itu lagi. Kita harus pergi, kalo tidak maka orang ini akan membunuh kita."
A melihat sekelilingnya, terdapat sebuah batu sebesar kepalan tangan di samping mereka. Dengan menggenggam kerah baju belakang sang kakak, A berjalan mengambil batu itu.
'Aku harus memberimu pelajaran kak,' batin A dalam hatinya.
Dilemparnya batu itu ke arah mobil yang terparkir di depan rumah Om berotot itu hingga mengenai kaca bagiaj depan mobil hingga pecah. Sontak Gilang menatap sang adik dengan tajam.
"Lo apa-apaan sih A. Lo mau kita mati?"
"Bukan aku kak, tapi kakak."
"Siapa di sana?!" teriak seseorang menuju ke arah mereka. Siapa lagi kalo bukan Om berotot yang pasti melihat kaca mobilnya pecah. Bagaimana tidak, Om berotot itu sedang duduk di teras rumahnya.
Gilang melotot lalu menyuruh sang adik untuk pergi. Namun, bukannya pergi, A malah mendorong sang kakak hingga terjatuh. Sontak A berlari meninggalkan Gilang sambil tertawa terbahak-bahak.
"Rasain lo kak! Mau macam-macam sama gue lagi. Gue gak sabar, kakak lagi apa sekarang sama om gay itu."
***
"Alister!"