"Aku minta maaf atas nama Jie, Kak." A mengambil kursi dan meletakkannya di samping kursi Gilang, lalu mendudukan bokongnya pada kursi tersebut.
A memicingkan matanya, melihat Gilang yang tidak menghiraukannya. Karena kesal A pun merebut dengam paksa Handphone Gilang. A mengerucutkan bibirnya. Gilang lebih mementingkan handphone daripada dia. Sangat kesal.
"Kakak dengat aku, gak?" tanya A.
Gilang akhirnya menoleh. Mengulurkan tangan. "Kembalikan handphone gue," titah Gilang.
A menggeleng dengan keras. "Gak! Sampai kakak maafin Jie. Maafin aku juga. Aku gak tahu Jie dan Reyna memiliki perselisihan tersendiri, Kak," ucap A meminta maaf berulangkali.
Gilang manggut-manggut. "Lo tahu?"
"Mana A tahu, 'kan Kakak belum kasih tahu." Dengan polosnya A memotong ucapan Gilang membuat lelaki itu kesal bukan main.
"Dengerin bego! Gue belum bicara udah main motong-motong aja." A terkekeh melihat ekspresi Gilang yang kesal.
"Oke, kak lanjutin. Hehe." A terkekeh dengan pelan.
Tanpa sadar Gilang mengukir sebuah senyum. Namun ia kembali menarik senyum itu karena takut ketahuan oleh A. Saat ini ceritanya dia masih kesal sama A. Sebenarnya, Gilang itu lebih kesalnya pada Jie, tapi ia ikutan kesal dengan A karena A adalah pacarnya Jie.
Ini masih kesel, lo!
Gilang memutar bola matanya dengan malas. "Aku bisa saja maafin lo, tapi gue gak akan maafin Jie. Gue gak mau gadisku disakiti. Semenjak ada Jie lo berubah seratus persen dari yang 'SADBOY' jadi 'BADBOY' tahu gak?"
A geleng-geleng kepala. "Gak tahu," jawabnya polos. Gilang merenggut kesal. Benar, 'kan adiknya itu sudah berubah. Dia seperti Raja mood saja. Suasana hatinya sering berubah-ubah.
"Lo makan apa tadi? Ceria banget."
"Gak ada! A gak makan seharian. Soalnya makanannya gak enak," ujar A.
"Lah? Kenapa lo ceria banget kalo makanannya gak enak?" tanya Gilang.
"Kakak." A merangkul Gilang. "Kalo A Menangis mulu, murung mulu, 'kan gak lucu. Sekarang A akan berubah. Tak ada A yang sadboy, tapi adanya badboy. Lihat saja. A akan membuktikan bahwa A bukan culun!" tekan A pada kata culun.
"Yalah. Terserah lo aja. Gue pusing. Kalo begitu kembalikan handphone gue."
"Gak!" Dengan cepat A menyembunyikan handphone Gilang di dalam celananya.
"Ihkkk! Handphone. Hiks!" Gilang dramatis melihat handphonenya memasuki rongga privat bagi laki-laki.
"Jorok banget! Sejak kapan lo tahu ini?"
"Sejak dinosaurus belum lahir," jawab A dengan santai dan sekenanya.
"Lo.... Kembalikan gak handphone gue?!"
"Akhhh! Kakak! Burung gue anjirt. Kakak laknat hentikan! Gue bakal kembaliin handphone lo!" teriak A spontan begitu keras ketika Gilang langsung meremas juniornya.
"Huh! Anak pintar."
Dengan wajah kesal A mengambil dengan perlahan handphone Gilang dalam celananya.
"Aduh! Handphone gue belepotan spe*ma lo. Bau anying tahu gak!" Dasar konyol! Gilang malah mencium handphonenya. Udah tahu handphonenya itu belepotan jeli A, tapi masih niat cium. Dasar goblok!
"Siapa suruh cium?"
Gilang merenggut kesal. Melap handphonenya menggunakan baju yang dikenakannya.
"Sekarang kakak udah maafin gue sama Jie?"
"Udah! Terpaksa! Yang penting lo bisa tersenyum dan seceria ini lagi." Gilang tersenyum.
"Pastinya dong, kak. Ini semua berkat Elina." A tersenyum miring.
"Balas dendamku dimulai hari ini," batin A dalam hatinya.
A menatap sang kakak. Oh, iya! Ia hampir lupa menanyakan sesuatu yang penting sama Gilang.
"Kakak," panggil A.
"Hemm?" Gilang hanya berdehem.
"Semalam kakak ngapain di luar?" tanya A. Inlah hal yang ingin A tanyakan sedari malam. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Gilang daripadanya. Ia harus mengetahui kenapa kakaknya keluar dimalam hari. Kalau tidak maka A akan mati penasaran.
Gilang melotot, tapi kembali pada sikap biasa-biasa aja. Seolah benar ada sesuatu yang disembunyikan oleh lelaki itu.
"Apa? Lo juga kenapa keluar malam hari?" Bukannya menjawab, Gilang malah bertanya balik.
"Lah? Kok malah balik nanya. Gue yang pertama bertanya jadi, kakak harus jawab dulu. Gue, 'kan udah bilang semalam gue keluar karena nyari angin. Pengap banget di dalam kamar. Gak ada AC." A beralibi berbalik dari fakta.
"Emang ada nyari angin jam 12 malam?"
"Ada kalo diadain."
"Bukti?"
"Buktinya gue dong dugong. Gue, 'kan nyari angin malam hari jadi, ada orang dong yang nyari angin malam hari dan itu gue." A ingin sekali membogem wajah Gilang saat ini juga. Tahu ah, banyak nanya.
"Yang benar saja," cetus Gilang kesal.
"Kakak banyak nanya deh, cepetin jawab!" Nada bicara A sedikit meninggi.
Dengan gelegapan Gilang menceritakan semuanya di malam itu. Mulai saat ia mengajak Reyna untuk berhubungan badan dengannya. Hingga mereka hampir melakukan hubungan terlarang itu.
Sedangkan A yang mendengar cerita Gilang terbawa emosi hingga membogem wajah Gilang. Gilang sedikit oleng dengan hantaman itu.
"Kakak! Apa yang kakak lakukan itu sudah membuat A merasa kecewa kak. Kita di ajarkan untuk melindungi perempuan bukan merusak mereka." A benar-benar tidak mengerti dengan Gilang. Nafsunya untuk hasratnya sangat tinggi.
"A, lo ceramahin gue seakan lo gak pernah nyakitin perempuan. Lo aja benci sama perempuan." Gilang sedikit kesal. Melap bibirnya yang mengeluarkan darah. Efek dari bogeman itu terpancar langsung dari bibir Gilang yang pecah.
"Oh, jadi kakak nyalahin gue. Sebejat-bejatnya gue kak, gue masih perjaka dibanding kakak yang pasti sudah mencicipi tubuh para perawan. Iya, 'kan kak?"
Bugh!
Spontan Gilang langsung membalas bogeman sang adik. Ia merasa dihina oleh perkataan A walau memang kenyataannya apa yang dikatakan A itu adalah benar.
Gilang saja yang lari dari kenyataan.
Gilang menepuk-nepuk wajah A. "Lo memang adik gue, tapi ucapan lo itu udah keterlaluan. Lo pantas nerima pukulan gue."
Dengan kasar A menepis tangan Gilang. "Ingat kak! Kakak gak boleh memperlakukan wanita sebagai pelampiasan nafsumu. Lebih baik cari banci sana, mereka produk ilegal. Sementara perempuan adalah produl legal."
Gilang menatap tajam A. Ucapan A itu benar-benar menusuk hatinya.
"Lo udah keterlaluan A. Setidaknya lo kecewa gak ngerendahin gue kayak gini. Apa karena gue bukan saudara kandung lo?"
A melotot. Kenapa Gilang mengungkit itu lagi. A pun menangkup wajah Gilang.
"B-bukan begitu kak. A hanya kecewa dengan kemesuman kakak. Pikirkan Ayah kalo dia sampai dengar ini. Jangan katakan itu kak, kakak adalah saudara A. Bahkan, saat kematian menjemput kakak. Nama yang ditulis di batu nisan kakak adalah Gilang apradipto Clovis bukan yang lain. Jadi, kakak adalah saudara kandung A. A menyayangimu Gilang." A memeluk Gilang dengam erat.
Dekapan kedua saudara itu ternyata disaksikan banyak siswa. Mereka terharu dengan kedua saudara yang berpelukan itu. Meski mereka tidak tahu apa pokok permasalahan yang terjadi. Mereka hanya tahu bahwa Gilang dan A bukan saudara kandung.
Mereka pun melepaskan pelukan mereka. Saling menatap satu sama lain.
Gilang tersenyum, mengacak rambut A dengan gemes.
"Aku mengerti A. Aku ke kamar dulu. Istirahat."
A menatap kepergian Gilang. Ia tersenyum memegang kepalanya yang baru diusap sang kakak. Ia kemudian berdiri. Beranjak pergi ke suatu tempat juga. Sudah tentu ingin menemui Jie.
A tak tega mengingat tamparan yang ia berikan kepada Jie beberapa jam yang lalu. Ia harus minta maaf bagaimanapun caranya. Meski A malu sedikit, tapi tak apa-apa. Ia akan membayar kesalahannya karena telah menyakiti rekan kerja setianya itu.
Di sela-sela perjalanannya menemui Jie, A tak sengaja berpapasan dengan Reyna. Gadis itu tersenyum saat melihat A.
Tiba-tiba dahi A berkerut membaut Reyna bingung.
Lantas Reyna bertanya, "Ada apa A? Ada yang salah sama wajahku?"
A menggeleng. "Gak kok. Kaki lo udah sembuh?" tanya A.
Reyna mengangguk. "Sudah. Makasih, ya."
"Iya," balas A singkat.
Reyna pun berjalan meninggalkan A. Dengan perasaan berkelut A menatap kepergian Reyna.
"Tapi kenapa Reyna tak menolak keinginan Gilang untuk bersetubuh dengannya, ya? Atau Reyna juga suka? Gadis itu sepertinya bukan gadis baik-baik. Aku harus menjauhinya dari kakakku. Juga kepada Jie, jangan sampai ia mencuci otak gadisku yang polos itu," batin A dalam hatinya.
"Heh! Dasar jalang!"
Yah, benar yang dipikirkan oleh A. Jika memang Reyna tak suka diperlakukan seperti itu, maka ia mungkin sudah berteriak dan memberitahu bahwa Gilang hampir saja menodainya, tapi ini tidak. Jadi, Reyna patut dicurigai.