Jam 16. 00 WIB
Di ruangan kamar tim A.
Jie tengah sibuk membereskan semua perlengkapannya ke dalam koper. Menata dengan baik semua perlengkapannya tak ingin tertinggal satupun.
Melipat pakaiannya, juga boneka-bonekanya. Memasukkan semuanya ke dalam koper, serta sisanya ia masukkan ke dalam tas gendongnya.
Soalnya, ini adalah hari terakhir mereka berada di panti jompo ini. Sudah tiga hari lamanya mereka disimi, hidup bersama dengan para lansia-lansia yang juga sangat baik dan sangat humoris.
Tak jarang Jie menghabiskan waktu bersama mereka.
"Sepertinya semua udah beres," monolog Jie. Mensrlenting kopernya. Kemudian bangkit berdiri.
Melihat semuanya udah beres, Jie kemudian beralih tugas dengan menata kasurnya. Melipat selimutnya, dan menepuk-nepuk bantal supaya lepas dari debu.
Tiba-tiba saja handphonenya berbunyi membuat Jie mengharuskan menunda tugasnya. Handphonenya yang bergetar dengan nada dering....
'Meong, meong.'
Di atas nakas samping tempat tidurnya. Jie melihat layar handphonenya yang tertera nama Papa. Ternyata panggilan dari sang Papa.
"Papa nelfon, kenapa?" Jie mengambil handphone tersebut. Menekan tombol hijau pada bagian kiri. Panggilan seketika terhubung.
"Hallo Pah, ada apa?" tanya Jie to the point.
"Hallo sayang. Gak ada apa-apa, cuman nanya kalo besok kalian jadi berangkat?" tanya sang Papa di seberang sana.
"Jadi dong Pah. Besok jemput Jie, ya?"
"Udah, itu udah pasti dong sayang."
Jie tertawa kecil sampai Papanya di seberang sana ikut bertanya. Ada apa dengan putrinya yang malah tertawa?
"Kenapa tertawa? Ada yang lucu, sayang?"
"Ada Pah. Hehe. Papa yang lucu. Udah kayak komandan siap sedia untuk putrinya.
Terdengar Papanya Jie tertawa terbahak-bahak. Sontak Jie menjauhkan handphone tersebut dari telinganya. Sangking kerasnya Papanya tertawa membuat kuping Jie bergetar. Untung saja gendang telinganya gak pecah.
"Apapun Papa lakuin, asalkan putri Papa senang dan selalu terjaga."
"Ihk Papa! Tawanya bikin kuping Jie hampir meledak," celetuk Jie.
"Iya-ya? Sorry putri kecilku. Kuping Jie gak apa-apa, 'kan?"
Jie menggeleng pelan, walau Papanya di seberang sana tidak tahu. "Gak, Papa. Kalo gitu udahan dulu, ya? Soalnya Jie mau berbenah. Besok Jie telfon lagi."
"Oke, putri keciku. I love you."
"To Papa."
Tut!
Panggilan dimatikan sepihak oleh Jie. Gadis itu pun langsung memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya.
Setelahnya, ia mengangkat kopernya dan memasukkannya pada bagian bawah tempat tidurnya. Isi koper pinknya itu sudah tersusun dengn rapi. Sedangkan dengan tas gendongnya ia letakkan di atas bantalnya. Jie kemudian menghela nafas, semua sudah beres.
Jie berbenah memang terlalu cepat, tapi kalo nanti ia lakukan maka acaranya malah terdesak-desak, membuat pikiran hanya fokus pada satu benda jadinya, benda lainnya bisa terlupa dan tertinggalkan.
Lalu Jie kemudian beranjak untuk bantu-banyu mendekorasi pesta yang akan diadakan malam ini. Pesta untuk merayakan hari terakhir mereka di panti jompo ini. Namun, belum juga Jie pergi, intensnya tak sengaja menangkap koper A yang srlentingnya terbuka. Seperti mukut yang menganga minta makan.
Apa tadi A berniat berberes, tapi lupa karena keasyikkan nata dekorasi di halaman panti? Yah, mungkin saja. Akhirnya, Jie memutuskan untuk membereskan barang-barang A.
Mengumpulkan pakaian A yang sedikit berserakan di atas kasur. Kemudian tak lupa melipatnya sebelum memasukkannya ke dalam koper. Semua tertata dalam beberapa menit. Ada juga sedikt mengasal dalam membereskan perlengkapan A.
Hehe. Jie menyengir mengingat itu.
Sekarang Jie melihat tas selempang A. Sebenarnya tak sopan membuka tas seseorang tanpa minta izin. Namun rntah dapat dorongan darimana, Jie malah membuka tas selempang A. Melihat isinya yang cukup banyak.
Ada parfum, ada botol kecil yang entah apa cairan di dalamnya. Jie tidak tahu dan bodoh amatan. Ia kemudian mengeluarkan satu persatu isi tas itu dari tempatnya.
Jie mengerutkan kening bingung melihat buku kecil berbentuk persegi empat, tapi ini cukup mungil. Dari cover buku mungil itu terdapat tulisan,
'Buku harian.'
Jie bingung kalo ini memang benar milik A, tapi apa benar lelaki seperti A suka menulis buku harian? Jie juga tidak tahu, tapi kali ini ia gak bisa bodoh amat. Jiwa penasarannya tiba-tiba lebih mendalam lagi saat gadis itu membuka satu lembaran buku mungil itu.
'Cinta, aku tidak percaya dengannya.'
Seperti itulah isi lembaran pertama. Terkesan lucu bagi Jie hingga gadis itu tertawa. Ia menggigit jarinya buat menahan tawanya.
Meski hanya beberapa kata, Jie melihat ada ketulusan saat A menulis isi hatinya di buku ini. Memang jahat membaca buku harian seseorang, tapi mau bagaimanapun gadis itu adalah Jie. Ia gak bisa menghentikan sampai benar-benar membaca semua isinya.
'Aku tidak suka perempuan.'
"Ya, tapi lu suka gue, 'kan?" Jie bertanya seolah membalas tulisan pada buku itu. Menghempaskan rambutnya kesana kemari. Terlalu percaya diri, huh!
'Gue benci lo Elina! 12 Juni 2019.'
Jie terkejut dengan nama Elina yang tertera di dalam buku tersebut. Otaknya terus bertanya-tanya dengan siapa gadis yang bernama Elina itu. Apa sebelum dia ada gadis lain?
'Disini dimulai kehancuranku yang sesungguhnya. Memikirkan namanya saja sudah menjadi kebiasaan di dalam diriku. Aku terkadang, kenapa gue harus sedih dan jadi sadboy satu tahun ini. Tak pernah ada semangat hidup. Aku tahu, sakit hatiku sudah membuatku hilang akal.'
Jie terus membaca buku harian itu dengan teliti.
'Aku berpikir harus menulis dan menjadikan pedoman bagaimana gue harus menghadapi sakit hati. Supaya gue bisa memilah gadis baik untukku.'
'Tentang Elina. Dia masa lalu yang baru aku ceritakan. Parasnya cantik dengan hidung mancung yang sangat mancung. Dia sangat cantik, hanya itu yang bisa gue deskripsikan tentang fisiknya. Dia sangat sempurna.'
'Tapi hatinya sangat jauh jauh dari fisiknya. Hatinya busuk! Gue jijik setiap memikirkannya, tapi gue gak akan berhenti memikirkannya supaya gue gak lupa sama pengkhianatannya.'
Tahun 2020
'Sudah cukup lama gue gak menulis. Gue udah cukup baik. Ternyata gue bisa hidup tanpa dia. Awalnya gue hancur saat dia ninggalin gue, tapi gue bersyukur, tanpa harus buang tenaga gue bisa tahu siapa dia sebenarnya.'
'Gue gak bisa hidup tanpa lo.'
'Itu ucapannya, gue masih ingat betul. Apa sekarang dia masih hidup atau udah beranak satu.'
Tahun 2021
'Dia kembali! Sepertinya menantang gue. Oke Elina gue bisa terima kehadiran lo, tapi bukan dengan tubuh yang utuh atau dengan mata terbuka. Gue bakal buat lo tersiksa sampai lo minta hidup dari gue. Lo gak tahu sedang bermain dengan siapa. Gue bakal ngebunuh lo!"
Saat membaca curhatan terakhir, Jie membungkam mulutnya sangking terkejutnya ia membaca tulisan itu. Sekarang Jie tahu kepada siapa A balas dendam dan apa alasan dari balas dendam itu.
Buru-buru gadis itu langsung mengembalikan semua barang ke dalam tas selempang A. Tangannya sedikit bergetar saat mengembalikan buku harian itu. Jie sangat terkejut bukan main. Ia juga ketakutan saat membaca tulisan yang penuh dendam itu.
Tas tersebut Jie kembalikkan pada tempatnya. Berusaha untuk biasa-biasa aja. Mengelus dada dan menghela nafas berulang kali mencoba menetralkan dirinya yang sangat khawatir.
"Jadi, gue ngebantuin A buat balas dendam ama mantan pacarnya. Gak! Ini gak bisa gue biarin apalagi pake acara bunuh-bunuhan. gue harua hentikan A buat balas dendam."