Jie terus mencari keberadaan A yang setengah hari ini belum ia lihat. Entah kemana pria itu. Sungguh! Jie sangat khawatir jika sedetik saja, ia tak melihat A. Padahal ini waktunya bagi mereka untuk makan siang.
Apalagi mengenai pesan yang aneh semalam yang terus dipikirkan oleh Jie. Gadis itu yakin, ada yang tidak beres dengan pesan itu. Maka jika itu benar, nyawa A dalam bahaya.
Jie tersentak kala bahunya disentuh oleh seseorang.
"Astaga Nenek," ujar Jie menghela nafasnya dengan lega. Ternyata Nenek.
"Kamu kenapa di sini? Ayo makan," ajak Nenek itu.
"Maaf Nek, kalian duluan saja," balas Jie dengan sopan.
"Kenapa? Kau mengkhawatirkan lelaki tampan itu, ya?" tanya sang Nenek yang mampu membuat Jie melotot tak percaya.
"Bagaimana nenek tahu? Akh Nenek peramal, ya?" tebak Jie sekenanya.
"Tidak, kau, 'kan pacarnya. Sudah tentu mengkhawatirkannya," jawab sang Nenek.
"Akh! Nenek bisa aja. Ya, sudah Nenek makan duluan saja. Aku mau mencarinya dulu," ujar Jie mengedipkan matanya yang sebelah ke arah Nenek.
Sang Nenek hanya bisa geleng-geleng kepala sembari tersenyum melihat Jie yang sudah mulai hilang dari hadapannya. "Dasar anak muda."
Jie tidak lelah mencari A hingga menanyai beberapa murid yang ia temui. Mana mungkin mereka tahu dimana keberadaan lelaki itu.
"Hei, lo tahu dimana A?" tanya Jie kepada murid yang tak sengaja ia temui.
Wajah Jie memelas kala murid itu menggeleng yang artinya ia tidak tahu keberadaan A.
"Astaga! Lo dimana sih?"
Jie kembali mencari A di belakang panti jompo. Ia tidak pernah lelah sampai ia menemukan A. Jujur, kini Jie tahu apa dan kenapa ia seperti ini. Ia sudah jatuh hati kepada A.
Inilah yang paling Jie tidak suka, ia selalu jatuh cinta kepada seseorang pada pandangan pertama. Jie sudah lama menyukai Mr.A yang tampan itu, meski awalnya sempat membuat ia kesal. Namun, rasa kesal itu berubah jadi cinta. Bagi Jie, cinta pada pandangan pertama itu lebih mengesankan. Seperti halnya yang ia rasakan kepada Guan.
Namun yang Jie tidak tahu adalah apakah cinta yang ia rasakan kepada Guan sama seperti cinta yang ia rasakan kepada A. Cintanya untuk Guan sudah lama hilang.
Setelah cukup lama mencari, Jie berhenti di sudut dinding bagian belakang ruang makan. Jie mampu melihat murid-murid serta lansia-lansia makan dengan tenang. Namun, matanya masih belum menemukan A, gadis itu pikir mungkin A sudah berada di ruang makan, tapi apa yang ia dapatkan? Astaga.
Perut Jie sudah keroncongan, tapi tetap saja bersikeras untuk mencari A. Namun, saat gadis itu ingin melangkah mencari A, ia malah melihat A sedang menggandeng seorang perempuan yang mampu membuat wajah Jie berubah kecut.
"Bukankah itu Reyna? Lalu kenapa dia bersama A?" Jie cemburu melihat A yang dekat dengan Reyna. Lantas ia puh menghampiri mereka.
"A!" panggil Jie.
A yang tadinya melihat wajah Reyna yang terus merintih kesakitan mengalihkan pandangannya melihat Jie yang sudah berada di hadapannya. Lelaki itu menelisik wajah Jie yang menggembung karena marah.
"Apa?" tanya A dengan juteknya membuat Jie lagi dan lagi melotot tak percaya akan sikap A menanggapinya.
"Lo kemana aja sih dari tadi gue cariin?"
Bukannya menjawab pertanyaan Jie, A malah bersikap acuh dan berjalan melewati gadis itu sambil membantu Reyna untuk berjalan. Jie yang merasa diacuhkan dan tak mengerti akan sikap A itu penuh dengan tanda tanya yang terus menghantui kepalanya.
"Kenapa A jutek banget?"
"A lo kenapa sih?" Jie berlari mensejajarkan tubuhnya dengan A dan Reyna yang berjalan ke ruang makan. Namun tetap saja, yang ia dapatkan hanya A yang tidak menjawab pertanyaan, bahkan meliriknya saja tidak.
Sudah tentu Jie gundah akan sikap A yang tiba-tiba acuh kepadanya. Kenapa lelaki itu? Apa salahnya sehingga ia diacuhkan? Jie tidak mengerti apapun.
Kedatangan mereka di ruang makan disambut dengan senyum hangat para lansia, juga tatapan-tatapan aneh yang murid-murid berikan. Mereka bertanya-tanya dengan A yang menggandeng Reyna yang berjalan pincang. Tak terkecuali Jie yang berjalan duduk di salah satu kursi dengan wajah cemberut.
Aktivitas makan siang terjadi dengan lancar, tapi tanpa seorang lagi dari mereka, yaitu Gilang. Mereka tak ambil pusing. Hanya dua guru yang terus menanyakan keberadaan Gilang yang tiba-tiba hilang.
"Kok Gilang gak ada?" tanya pak Hendra. Namun tak ada seorangpun yang menjawabnya.
Pak Hendra pun beralih menanyakan keberadaan Gilang kepada A. "Kakakmu dimana A?"
A mendongak, menghentikan aktivitas makannya.
"Dia ada kok pak, tapi di tempat spesial," jawab A sembari tersenyum miring. Pak Hendra hanya mengangguk saja. Jika sudah begini, maka Gilang pasti baik-baik saja.
Jie meletakkan sendok yang niatnya ingin ia masukkan ke dalam mulutnya lalu menatap A. Lelaki itu baik-baik saja bicara dengan orang lain lalu kenapa jika dengan berbicara dengan dia?
Akh! Jie sungguh bingung.
***
Selesai makan, Jie tak ikut membantu untuk membersihkan piring-piring kotor. Akh biarlah, sekarang ia harus mengejar A yang entah mau kemana.
"A!" Jie tersenyum kala A berhenti saat ia panggil. Gadis itu pun berlari menghampiri A.
"Kamu marah ya sama aku?" tanya Jie dengan pelan. Ia tidak mau jika satupun yang ia lakukan akan membuat A marah.
A tidak menjawab. Lelaki itu hanya berdiri tanpa menoleh kepada Jie. Tatapannya datar melihat ke depan. Karena tak mendapat jawaban, Jie malah menarik dengan lembut lengan A.
"Lo kalo marah sama aku bilang dong. Jangan begini, aku khawatir A. Apa salahku?!" Jie mulai meninggikan volume suaranya.
Kali ini A menoleh menatap wajah Jie. "Berhenti mengikutiku, lo jangan dekati gue lagi. Lo baru boleh menemuiku jika lo sudah tahu apa kesalahan lo." Setelah mengatakan hal yang membuat Jie begitu bingung, A berlalu pergi meninggalkan Jie.
Jie menatap punggung A yang perlahan menjauh darinya dengan nanar. Apa kesalahannya?
Jie sangat bingung, ia pun mencoba berpikir-pikir apa kesalahannya. Namun, satupun gadis itu tidak tahu. Jie menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Kepalanya sangat sakit. Mencari apa kesalahannya? Sungguh ia sangat bingung. Apa kesalahannya?
"Gue harus apa coba? Apa kesalahan gue."
Sepanjang hari Jie hanya berguling tidak jelas di atas ranjangnya. Gelisah, khawatir sudah bercampur aduk dalam hati dan pikirannya. Sepanjang hari ini tak ada yang Jie lakukan selain memikirkan apa kesalahannya.
"Sialan!" Jie mengumpat sembari memukul kasurnya kala mengingat Reyna yang sangat centil itu menggoda kekasihnya.
"Reyna ... yah, dasar pelakor. Dia pasti yang hasut A supaya acuh sama gue." Dengan emosi yang membuncak, Jie keluar dari kamar dengan membanting pintu kamar dengan keras, membuat anak-anak lain yang berada di dalam kamar terkejut bukan main.
Jika saja Jie bukan kekasih Mr.A maka mereka sudah memberi pelajaran dengan gadis itu. Dia dengan pacarnya sama saja. Aneh!
Terkadang ... mereka iri dengan Jie yang beruntung dijadikan kekasih oleh A. A tampan, tapi siswi yang lain tak ada yang berani mendekatinya, karena A kasar dan sombong. Mereka menyukai A, tapi mereka tidak berani untuk mendekati lelaki itu barang sedikitpun.
Hanya Jie gadis itu yang berani meruntuhkan keras hati A yang sombong dan kasar. Baru kali ini mereka jarang melihat A yang sombong dan sangat kasar itu.