Setelah jam istirahat habis, Alya bersiap untuk masuk ke kelasnya dan mengajar pelajaran Geografi disana. Tak ada perasaan yang mengganggunya dalam perjalanannya menuju kelas. Tapi ketika ia baru saja meletakkan bukunya diatas meja guru di kelasnya, entah kenapa matanya langsung melihat Dewa yang juga sedang menatapnya.
Alya mencoba untuk tetap tenang dan memulai pelajaran dikelas. Ia memulai kelasnya dengan mengabsen dan memberikan beberapa pengarahan terlebih dahulu sebagai wali kelas. Dan lagi-lagi matanya selalu melihat Dewa yang duduk paling belakang.
Setelah beberapa penjelasan, Alya memulai pelajarannya dengan menjelaskan tentang iklim dan suhu. Keadaan begitu kondusif dan ia tetap fokus menjelaskan. Dan benar saja, tampaknya memang sudah kebiasaan baginya untuk melihat Dewa setiap kali ia berbicara. Dan ini sudah kesekian kalinya ia melirik bocah itu. Keadaan mereka semakin canggung.
***
Ben duduk di kursi belakang saat Arif mengemudikan mobil itu menuju tempat meeting dengan sebuah maskapai penerbangan pesawat. Ia merasakan hp nya bergetar dan Ben mengangkatnya. "Iya, ada apa Tina?" Tanya Ben pada sekretaris di kantornya. Arif melirik melalui cermin tengah.
"Maaf pak, barusan sekretaris Pak Agusman menelepon kalau beliau baru saja take off dari Bandara Ngurah Rai menuju Jakarta. Mereka juga akan menginap di Rainbow Oriental." Jelas Tina. "Beliau mengajak anda makan malam ini di restoran asia Rainbow Oriental jam 7 malam.' Tambahnya.
Ben mengangguk. "Oke, terima kasih." Ia mematikan telepon itu kembali dan menoleh ke arah Arif dan berkata, "Malam ini kita makan malam di Rainbow Oriental jam 7." Ujarnya.
Arif menganggum paham. "Siap, Pak." Mereka melaju menuju tempat meeting.
***
Dewa keluar dari lift saat ia baru saja tiba di Hotel Malpis untuk kerja paruh waktunya. Ia terkejut saat melihat lobi hotel otu sudah ramai dengan beberapa properti. Bahkan sorot lampu yang terang membuatnya silau. Dewa setengah berlari menuju restorannya dan melihat beberapa teman kerjanya sedang berdiri didepan pintu masuk restoran.
"Lihatin apa, mas?" Tanya Dewa pada salah seorang pelayan restorannya yang ikut berkumpul didepan restoran.
"Itu lagi lihatin artisnya." Jawab pria itu. Dewa mwnoleh sekilas dan ia tidak tahu siapa artis yang dimaksud. Dewa menghiraukannya dan masuk ke belakang segera menukar seragam kerjanya.
***
Elena sedang duduk di kursi belakang mobil mewah yang sedang dikendarai oleh supir Agusman di Jakarta. Elena mengangumi kota Jakarta yang tidak banyak berubah dari terakhir kali ia kesana. Sayangnya sebulan lalu saat ia kesana, dirinya tidak begitu menikmatinya karena sibuk memikirkan bagaimana reaksi Ben padanya kelak. Tapi sekarang ia benar-benar bisa menikmatinya.
Agusman melirik ke arah Elena yang menatap ke luar jendela. Ia melonggarkan tenggorokannya sesaat hingga membuat Elena menoleh ke arahnya.
"Apa kamu sudah tahu berita soal Ben?" Tanya Agusman perlahan.
"Berita apa, pak?" Tanya wanita itu. Terakhir kali ia melihat Ben dan keadaan pria itu baik-baik saja.
"Saya dengar katanya... dia mau menikah." Ujar Agusman.
Elena terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Dipikirannya saat ini adalah bagaimana Ben mau menilah lagi padahal bulan lalu pria itu tidak menunjukkan gelagat memiliki seorang kekasih.
"Saya juga baru dapat berita ini tadi malam." Kata Agusman. "Saya tidak bermaksud membohongi kamu. Niat saya awalnya ingin bekerja sama adalah karena kemampuan yang kamu punya. Tapi kalau begini jadinya, saya tidak mau mencampur adukkan bisnis dan urusan pribadi kamu."jelasnya.
Elena terdiam. Ia masih memikirkan Ben yang akan segera menikah.
"Malam ini kita akan makan malam dengan Ben. Kamu bisa tanyakan langsung dengan orangnya." Ujar Agusman dengan helaan napas beratnya. Elena tidak berkomentar.
"Setelah tahu jawabannya, saya harap kamu masih mau bekerja sama soal galeri ini." Pintanya. Elena hanya memberikan senyuman.
***
"KAMPRET! LO GIMANA SIH!" Pekik suara lantang itu menembus koridor lantai 17 Hotel Malpis. Sutradara itu sedang memarahi asisten sutradanya yang lalai saat bekerja.
"Maaf, mas." Jawab Asisten sutradara itu. "Saya juga baru dapat beritanya barusan." Jelasnya.
"Makanya lain kali lo gak calling dia lagi. Kalau kayak gini, semua jadwal kita berantakan. Gue cuma booking hotel ini buat tiga hari, kalau jadwalnya molor gimana mau jalan!" Ceramahnya penuh emosi.
"Saya cari pengganti bentar, mas." Pintanya.
"Lo mau cari dimana, penggantinya?" Tanya sutradara itu.
"Maaf mas, kasi saya tiga puluh menit untuk cari penggantinya." Mintanya lagi.
"Aaargh!" Sutradara itu melemparkan topinya ke arah asistennya. Ia meninggalkan tempat itu dan pergi beristirahat.
Asisten sutradara itu turun ke lobi sambil menelepon beberapa agen yang bisa mengirimkan artis mereka kesana sekarang. Namun karakter yang dicarinya tidak ada. Ia menginginkan seorang pria muda yang cukup tampan yang akan mengantarkan makanan menuju salah satu kamar lalu tak sengaj melihat tamu didalam kamar itu tengah berciuman. Sesederhana itu namun pemain penggantinya juga belum ditemukan.
Asisten sutradara itu berjalan ke arah meja resepsionis dan bertanya, "Maaf mbak, saya mau tanya. Ada gak pegawai di hotel ini yang masih muda, umurnya sekitar dua puluhan."
Resepsionis itu mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa pak, ya?"
"Saya butuh pemain pengganti sekarang. Aktor saya tidak bisa datang." Katanya.
Resepsionis itu mengecek sesuatu di komputernya. Tak lama ia menjelaskan. "Maaf, Pak pegawai disini tidak ada yang berumur dua puluh."
Asisten sutradara itu tampak frustasi. Ie berbalik dan meninggalkan meja resepsionis dan kembali membuka hp nya kembali dan menelepon siapa saja yang bisa saat ini. Hingga akhirnya matanya menangkap seseorang yang dirasanya pas untuk menggantikan aktornya. Ia mendekatinya.
"Maaf, mas. Bisa bicara sebentar?" Tanyanya pada pria muda yang sedang mengambil piring kotor di restoran buffet.
Dewa menoleh ketika ia mendengar seseorang berbicara padanya. "Ada apa, pak?" Tanyanya bingung.
Asisten sutradara itu mengumbar senyuman. "Kamu bisa tolong saya gak, kamu akting buat jadi pelayan." Katanya.
Dewa melotot kaget. "Maksudnya akting gimana, mas?"
Manajer restoran itu mendekat ketika ia melihat seseorang berbicara dengan Dewa. Ia takut kalau sesuatj telah terjadi. "Ada apa, ya?" Tanyanya. Dewa mengangkat bahunya.
Asisten itu menjelaskan kembali situasinya pada kedua orang didepannya. Dan tak disangka respon manajer restoran baik.
"Oh, iya gak apa." Sahut manajer restoran saat Asisten sutradara itu meminta ijin padanya. "Sana Dewa, kamu ikut saja. Cuma oelayan doang." Suruhnya.
Dewa enggan sekali berada didepan kamera. Ia ingin menolaknya. Tapi wajah pria yang meminta tolong padanya sungguh memelas. Hingga ia menyetujuinya. Dewa meningalkan restirannya dan menuju lantai 17 memulai aktingnya.
Lebih kurang satu jam Dewa menyelesaikan aktingnya. Ternyata tidak sulit seperti bayangannya. Ia hanya perlu mengganti pakaian yang sudah disiapkan kemudian diberi make-up sesaat dan kemudian berakting menjadi seorang pelayan.
Dewa masuk ke dalam lift dan hendak turun menuju lobi utama. Namun di dalam lift itu cukup ramai. Dewa menggeser tubuhnya saat beberapa orang akan keluar disetiap lantai. Hingga ia tiba di lantai enam dimana kantor bos-bos besar Hotel Malpis.
Dewa menggeser tubuhnya dan mempersilahkan dua orang wanita keluar. Belum sempat pintu lift iu tertutup, kedua wanita itu berkata, "lo udah dapat undangan kawinan bos belom?" Tanyanya.
"Udah..." jawab wanita yang satunya hingga pintu loft tertutup dan Dewa tidak mendengarnya lagi.
Siapa yang mau kawin, benaknya.
***
Ben tiba di Hotel Rainbow Oriental bersama Arif. Ia melewati lobi utama dan menuju Restoran Asia yang sudah dijanjikan Agusman. Ben masuk dan tampaknya Agusman belum tiba namun pria itu sudah memesankan tempat untuk mereka. Meja yang dipilih adalah bagian tengah dari restoran itu yang berisikan enam kursi yang mengelilingi meja itu. Keadaan restoran malam itu juga cukup ramai dan membuat sekelilingnya sedikit berisik.
Ben memilih kursi yang tengah agar posisinya dengan Agusman bisa lebih leluasa. Arif memilih kursi paling ujung bagian dalam. Dan mereka disugukan air mineral di gelas kecil sebagai teman sebelum makan malam dimulai.
Ben duduk menghadap pintu masuk sembari ia bisa menyambut kedatangan Agusman kelak. Tidak ada perasaan apapun yang Ben rasakan. Ia memenuhi ajakan pria itu lantaran kerja sama mereka yang harus tetap terjalin.
Sebelum datang ke Rainbow Oriental, Ben sempat menelepon Alya sesaat dan mengatakan kalau besok mereka akan pergi berdua untuk fitting baju pengantin terakhir kalinya sebelum pernikahan mereka minggu depan. Dan ia berjanji akan menjemput Alya dirumahnya.
Ben meletakkan hp nya dan menatap ke arah pintu masuk. Tampak Agusman berjalan ke arahnya dengan santai. Gaya berpakaian pria itu tidak berubah. Bahkan ia tetap menggunakan topi saat malam hari. Namun sorot mata Ben berubah kelam dan terkejut karena ia melihat seorang wanita di belakang Agusman yang sangat dikenalnya. Arif juga melihat ke arah yang sama dengan ekspresi yang masih bisa dikontrolnya.
"Halo, Ben. Sudah lama?" Tanya Agusman ramah sambil memberikan jabatan tangan mereka. Ben meraihnya walau dengan segala pemikirannya. Agusman membukakan kursi untuk Elena bagian tengah tepat didepan Ben.
Elena cukup terkejut ketika Agusman membuka kursi tengah untuknya. Tapi dengan santai ia tersenyum dan duduk disana. Dress hitamnya ia tarik agar tidak tersangkut di kursi itu. Agusman menarik kursi di sebelah kiri Elena paling pinggir luar. Dan pria berotot yang selalu dengannya memilih duduk didepan Arif.
Ben bertanya-tanya didalam hati, apa tujuan Elena datang bersama Agusman kesini. Ingatannya membawanya pada saat pembicaraannya dengan Direktur Utama Eagle Airlines yang mengatakan kalau Agusman bercerai dengan istrinya.
Elena dengan Agusman sekarang, batinnya.
Agusman bisa melihat tatapan Ben yang lurus melihat Elena dengan segala keanehan dan dugaannya. "Saya tidak perlu perkenalkan kalian lagi, saya rasa." Senyum menyeringainya muncul. "Elena akan menjadi penanggung jawab galeri saya nantinya." Ucap Agusman.
Ben terkejut bukan main. Ia menoleh ke arah Agusman tak percaya. Arif juga sama terkejutnya.
"Maaf saya tidak memberitahu kamu sebelumnya, saya hanya tidak mau membuat kamu berubah pikiran dengan kerja sama ini kalau saya memilih Elena sebagai penanggung jawabnya." Jelas Agusman.
"Kenapa anda memilih Elena?" Ben bersuara. Elena hanya menatap Ben saat pria itu mengajukan pertanyaannya.
"Kita semua tahu pengalaman dan juga kemampuan Elena menangani segala hal yang berhubungan dengan furniture. Saya tidak bisa menemukan orang lain yang bisa melebihi dia. Secara pribadi, saya sangat menyukai semua karyanya." Agusman menyandarkan tubuhnya pada kursi itu.
"Aku tidak akan merugikan Hotel Malpis." Sahut Elena. Ia melirik Arif yang juga sedang menatapnya.
"Kita makan dulu, ya. Baru kita bicarakan galerinya." Agusman memanggil seorang pelayan yang sedang memegang buku menu.
Ben menghela napasnya menatap Elena. Kekhawatirannya terjadi. Elena memang orang yang memenuhi kriteria selera Agusman. Benar saja, wanita itu dipilih. Pikiran Ben seolah mengambang menerima kenyataannya saat ini.
Setelah piring bekas makan mereka dibereskan oleh pelayan restoran dan hanya menyisakan minuman mereka, Agusman kembali membicarakan soal rencana galerinya.
"Waktu kamu ke Bali bulan lalu, saya sempat bertemu dengan papa dan abangmu Edwin." Serunya.
Ben mencoba menyelami percakapan itu walaupun matanya tidak bisa lepas dari Elena. "Iya, mereka ada bilang soal itu." Ia menunduk sesaat.
"Kalau masalah di Singapur kemarin gak ada, mungkin sekarang galeri saya sudah open." Katanya menyesali. Ben mencoba tersenyum.
"Hotel Malpis juga sedang dipakai untuk syuting film tiga hari kedepan, pak." Sahut Arif menengahi. Ia tahu kalau atasannya tidak mampu berkata-kata lagi. "Setelah syutingnya selesai, galeri anda akan segera dibangun." Sambungnya.
Agusman tertawa kecil. "Tidak perlu terburu-buru. Furniturenya juga masih di Bali. Besok baru disebrangkan ke jawa." Ujarnya. "Elena juga banyak persiapan. Dia harus memilih apartemen untuk tempat tinggalnya, menghubungi beberapa pengrajin kayu jati dan juga menambah isi galerinya." Sambungnya.
Elena kaget dengan kalimat Agusman yang mengatakan kalau dirinya akan mencari apartemen untuk tempat tinggalnya. Mereka belum ada pembicaraan soal itu. Ben hanya diam saja saat mendengar kalimat pria tua didepannya itu.
"Oh iya, besok malam kamu harus ikut saya bertemu dengan beberapa rekan bisnis saya. Mereka akan datang kesini besok menemui saya." Ucap Agusman penuh tawa. "Saya sudah lama mau kenalkan kalian tapi waktu mereka selalu tidak tepat dengan jadwal kedatangan saya kesini. Mereka pembisnis di bidang penginapan tapi kelasnya internasional." Jelasnya.
Elena hanya mendengarkan sambil sesekali melihat ke arah Ben. Pria itu tidak berubah sama sekali dan masih terlihat tampan. Arif menoleh ke arah atasannya untuk mengingatkan soal acara fitting baju pernikahan mereka.
"Maaf pak, besok saya tidak bisa." Jawab Ben. "Saya sudah ada janji." Katanya. Elena menatap wajah Ben dalam.
Wajah Agusman tampak tenang walau terlihat guratan kekecewaan disana. "Janji kamu tidak bisa dibatalkan saja? Mereka tidak punya waktu lain untuk bertemu. Siapa tahu mereka tertarik untuk mengenal Hotel dan Resort Malpis." Rayunya.
Ben memberikan senyuman ringan, "Maaf pak, saya tidak bisa membatalkan janji saya besok." Ia bersikukuh. Alasannya murni karena ia sudah janji lebih dulu pada Alya dari pada pria didepannya ini.
"Kamu mau kemana memangnya sampai tidak bisa membatalkan janji itu?" Agusman mencari tahu. Ia melirik Elena sesaat.
Ben menghela napasnya. Ia menoleh ke arah Elena sesaat kemudian menatap Agusman dan berkata, "Besok saya harus fitting baju pernikahan saya." Jawabnya.
Agusman terdiam. Elena seperti tersambar petir karena terkejutnya. Ia tidak menyangka kalau berita itu benar.
Agusman melihat wajah Elena yang menahan segala kalimatnya. "Berita itu benar?" Tanyanya pada rekan bisnisnya.
Ben mengangguk. "Saya akan menikah minggu depan." Katanya yakin. Elena mengepalakan kedua tangannya dibawah meja. Ia tidak suka mendengarnya.
"Saya tidak tahu kalau kamu sudah punya pasangan." Agusman tertawa sumbang.
Ben tertawa, "Semuanya berjalan cepat. Saya juga tidak menyangka kalau akan secepat ini." Ia diam sejenak.
Agusman memberikan anggukan tanda setuju. "Tidak perlu waktu lama untuk mengenal orang lain. Apalagi kalau sudah merasa yakin." Katanya. "Saya belum menerima undangannya." Sindirnya.
Ben tertawa. "Undangan anda ada di Bali. Saya tidak tahu kalau anda akan datang ke Jakarta."
Agusman tertawa. "Hahaha... tidak apa." Sahutnya. Elena menunduk sambil menahan perasaan campur aduknya.
***
Roy tiba dirumah Elena dan ia melihat tidak ada pencahayaan dirumah itu sedikitpun. Roy turun lalu mengetuk pintu rumah itu dengan keras beberapa kali. Ia mengira kalau Elena sengaja tidak menghidupkan lampu agar mengelabuinya. Namun sayangnya, Roy sudah hapal gerakan wanita itu untuk menghindarinya.
Tidak mendapatkan jawaban, Roy menggedor pintu itu hingga menimbulkan suara yang mengangganggu tetangga disebelahnya.
"MAS!" Pekik seorang pria yang merupakan tetangga Elena. "Cari siapa!"
Roy mendekat ke arah pria itu. "Elena, pak. Dia dimana?"
"Mbak Elena tidak ada dirumah. Tadi pagi saya lihat dia naik mobil sama pria sambil bawa koper. " jelasnya.
Murahan, maki Roy didalam hatinya. "Makasih, pak." Roy pamit. Ia tidak menyangka kalau Elena menemukan pria baru. Roy menutup pibtu mobilnya dengan keras karena menahan emosinya.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA.
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.