Ben menghentikkan mobilnya di lobi dan membiarkan kendaraannya diambil alih oleh petugas valet Hotel Malpis. Ia berjalan lelah melewati bagian resepsionis. Jam yang sudah menunjukkan pukul 10.28 malam membuat keadaan lobi hotelnya tenang dan lenggang.
Ben mendengar suara berisik dari arah resepsionis dan ia menoleh. Matanya menyipit heran ketika melihat resepsionis pria itu menelepon seseorang dengan nada yang kurang sopan. Ben mendekat dan karyawannya itu menutup telepon dengan wajah kesal.
"Ada apa?" Tanya Ben dengan nada datar. Ia bisa melihat guratan kekesalan karyawannya. Tertulis nama Riko pada papan nama yang menggantung di seragamnya.
"Maaf pak, tidak ada apa-apa." Jawab Riko si resepsionis itu.
"Kalau gak ada kenapa nada bicara kamu tadi kasar?" Ben masih mencari tahu.
"Maaf pak," Ia menunduk dengan rasa bersalah.
"Siapa yang telepon tadi?"
"Dia tidak bilang namanya tapi mencari tamu dengan nama Elena." Katanya. Raut Ben berubah.
"Saya sudah bilang tidak ada tapi dia masih memaksa sampai harus mencaci-maki saya." Wajahnya berubah sedih. "Nada bicaranya seperti orang mabuk." Tambahnya. Ben bisa menebak kalau pria itu adalah Roy yang sedang mencari Elena.
"Maaf pak, nanti saya perbaiki lagi nada bicara saya." Pria itu merasa bersalah.
"Tidak apa kalau peneleponnya seperti itu." Ia paham apa yang terjadi. "Kamu bisa tolong lihat asal nomor pria itu?" Pintanya.
"Pria itu menelepon dengan handphone dan kode area Jakarta." Jelasnya. Ben berbalik dan menuju petugas valet untuk meminta kunci mobilnya kembali kemudian bergegas menuju Hotel Rainbow Oriental.
***
Ben memasuki lobi utama Hotel Rainbow Oriental dan langsung menuju lift lalu menekan angka 20 pada nomor yang tertera disana. Saat didalam perjalanan tadi, Ben sempat menelepon Arif untuk mencari tahu nomor kamar Elena disana. Dan dalam sekejap Ben mendapatkannya. Tak ada pertanyaan yang ditanyakan oleh Arif dan pria itu hanya mengerjakan perintahnya begitu saja.
Ben berdiri didepan kamar 2010 dan mengetuknya beberapa kali. Elena keluar dari dalam kamar mandi masih dengan baju mandinya dan rambut yang tersimpul handuk. Ia mengintip pada cermin kecil yang menempel pada pintunya. Dan betapa tekejutnya ia melihat Ben berdiri didepan kamar hotelnya. Dengan segera Elena membuka pintu itu.
Pintu itu terbuka dan Ben melihat Elena muncul dari dalam.
"Kenapa, Ben?" Tanya Elena bingung. "Kamu tahu darimana aku disini?"
Ben masih ingat kejadian mereka berdua dikantornya kemarin, ketika Elena meninggalkan kantornya dalam keadaan kesal karena dirinya dituduh menjadi orang ketiga dalam rumah gangga Agusman. Dan saat ini ia berada didepan wanita itu hanya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. "Boleh aku masuk?" Pintanya. Elena membuka pintu kamarnya dan membiarkan Ben masuk ke dalam.
Beberapa langkah didepan pintu, Ben berbalik dan melihat Elena menutup daun pintu itu. "Roy telepon ke hotel dan cari kamu." Kata Ben.
Elena lelah dengan semua yang berhubungan dengan Roy. "Sejak semalam dia udah telepon aku. Tapi enggak aku jawab." Jawabnya.
"Agusman tidak kasi kamu perlindungan?" Ben gelisah.
Elena tertawa kecil, "Kamu pikir aku ini putri kerajaan atau anak presiden yang butuh pengawalan."
Ben geram. Elena menganggap remeh niat baiknya. "Aku serius, Elena!" Nadanya tegas. "Roy itu bukan pria yang bisa diajak kompromi. Berapa kali harus aku jelaskan ke kamu kalau dia itu kasar." Nada Ben penuh penekanan.
Elena menatap Ben. "Kalimat barusan keluar dari mulut partner kerja atau mantan suami?" Ia memastikan.
"Apa itu penting sekarang?" Tanya Ben tegas. "Roy mungkin sudah ada di Jakarta sekarang. Dia bisa kapan aja datang kesini dan melukai kamu."
"Ini malam terkahir aku disini." Ujar Elena. Ia membuka handuk dikepalanya dan mengacak rapi rambutnya yang basah. "Besok aku udah tinggal di apartemen. Agusman memberikan aku apartemen." Sambungnya. Ia berjalan ke arah tempat tidurnya dan menyeka air yang masih menempel pada rambutnya.
"Disana aman?" Ben hanya memastikan.
"Gak ada tempat yang aman buat aku, Ben. Kemanapun aku pergi akan selalu dikejar Roy." Jelasnya.
"Roy bukan hanya menginginkan kamu tapi dia terobsesi." Sambung Ben.
Elena menoleh ke arah Ben dan tersenyum tipis. "Kamu datang kesini cuma untuk memastikan itu?" Tanyanya.
Ben tersadar dari kekhawatirannya untuk Elena. Ia sudah masuk ke dalam kamar itu dan berdiri diruang utamanya. Dan wanita itu sedang mengeringkan rambutnya dengan baju mandinya.
"Aku minta maaf soal kemarin." Ia tidak enak hati.
Elena berbalik melihat Ben. "Aku paham kenapa kamu berpikiran seperti itu." Ia tersenyum. Elena maju perlahan hingga posisi mereka begitu dekat. Ben bisa mencium aroma tubuh juga rambut wanita itu. Elena meraih tangan kiri Ben dan memainkan jarinya dengan manis. Mereka bertatapan. Elena mendekatkan dirinya ke arah Ben dan hanya berjarak satu jengkal.
Ben bisa merasakan hembusan napas Elena diwajahnya. Entah apa yang merasukinya, melihat Elena sedekat ini membuat gairahnya bergejolak. Ben menarik Elena ke dalam pelukannya dan mencium bibir yang pernah menjadi miliknya itu. Elena meraba kepala bagian belakang Ben dan memainkan rambut pria itu sembari membalas ciuman hangatnya.
Ben membawa Elena ke tempat tidur dan membaringkannya disana. Ciuman mereka masih terpaut gelora hingga tidak melewatkan seinci pun disana. Ben mulai terbawa suasana dan ia mulai menuruni bagian leher hingga bahu wanita itu dan mengakibatkan baju mandi itu terbuka setengah dibagian atasnya.
Elena membiarkan dirinya diperlakukan sesuka pria itu dan ia menikmatinya. Elena semakin memberikan tatapan menggoda pada Ben hingga pria itu semakin menurunkan baju mandi itu hingga dada bagian atas. Pria itu memberikan beberapa kecupan disana hingga Elena memejamkan matanya.
Deru napas Ben semakin tidak karuan hingga ia semakin ganas menciumi leher wanita itu. Elena yang juga sangat menikmatinya, ingin memberikan lebih pada Ben. Ia membuka tali bajunya dibagian pinggang. Ben melihat Elena mengusiknya dengan gigitan bibirnya yang menggoda.
Elena mengambil tangan kiri Ben dan menyelipkannya ke dalam baju mandinya. Seketika keduanya merasakan sensasi yang luar biasa. Ben kembali menciumi Elena dengan egonya. Perlahan tapi pasti, ciuman itu turun ke bawah. Elena membuka perlahan bajunya dan memperlihatkan tubuh indahnya yang seksi. Ben mendesahkan napasnya begitu disuguhkan pemandangan yang sudah lama ia rindu. Pemandangan yang pernah menjadi kenikmatan hidupnya.
Wajah mereka yang begitu dekat, membuat keduanya bisa mendengar suara napas masing-masing.
"Aku masih sayang dengan kamu, Ben." Ucap Elena pelan namun dalam. Tiba-tiba saja melihat pria itu, sesuatu didalam dirinya menyuruhnya untuk meminta lebih. Ia terbawa suasana intim didalam kamar itu.
Ben menatap wajah Elena begitu kalimat wanita itu selesai diutarakan. Tiba-tiba Ben teringat wajah Alya yang sedih dimobilnya tadi sore. Kalinat Alya bergulir dikepalanya, Aku gak tahu seberapa besar rasa sayang kamu. Dan kamu juga gak tahu seberapa banyak cinta aku untuk kamu.
Ben berdiri dari posisinya yang menindih tubuh Elena. Matanya terbelalak melihat apa yang baru saja terjadi padanya. Tubuh Elena yang terbaring didepannya, malah membuatnya bingung.
"Ben!" Panggil Elena. Ben berjalan ke arah pintu.
Elena menutup tubuhnya kembali dan mengejar Ben tepat didepan pintu. "Kamu mau kemana?" Tahannya.
"Aku mau pulang Elena," jawab Ben melepaskan pegangan wanita itu.
"Kita baru aja mencoba mengulang semuanya." Kata Elena penuh bujukan. "Kita masih punya perasaan yang sama." Sambungnya.
"Perasaan aku untuk kamu sudah hampir tidak ada." Sahut Ben. "Yang tadi itu hanya nafsu." Ujarnya.
"Kalau perasaan kamu tidak ada lagi, kenapa kamu kesini?" Elena mulai kesal.
"Aku mau memastikan kalau Roy tidak akan menyakiti kamu." Ben diam sejenak. "Dan aku mau ajak kamu makan malam besok jam 7 di Hotel Malpis. Aku mau kenalin kamu dengan Alya." Jelasnya.
Elena menampar wajah Ben dengan cukup kuat. Ben terkejut karena ia mendapatkan tamparan itu.
"Kemarin kamu tuduh aku punya hubungan dengan Agusman. Sekarang kamu datang kesini dan ajak aku buat kenalam sama calon istri kamu setelah kita ciuman." Nada Elena marah. "Kita sama-sama masih menikmatinya tapi kamu mengelak." Ia melipat tangannya didepan dada. "Perempuan itu tidak akan bisa kasi apa yang kamu sia-siakan tadi." Tambahnya.
"Dia mungkin tidak bisa, tapi dia tidak akan meninggalkan aku demi laki-laki lain." Ben membuka pintu itu dan pergi dari sana. Elena terdiam ditempatnya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 6.40 malam dan Alya sudah menunggu Ben diruang tamu sambil bermain dengan keponakannya. Alya bahkan meminjam dress panjang nan manis milik Dira yang berlengan panjang dan polos bagian lehernya. Dress iu berwarna biru tua. Alya membiarkan rambut panjangnya terurai untuk mengimbangi pakaiannya.
Suara mobil berhenti didepan rumahnya dan Alya menoleh untuk melihat sekilas. Tampak mobil Ben sudah menepi. Alya bergegas mengambil tas kecilnya dan meninggalkan halaman rumahnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil pria itu. Ben menatap Alya dengan senyum kecilnya kemudian pergi dari tempat itu.
Alya menarik napas dalamnya ketika Ben membelokkan mobilnya memasuki perkarangan Hotel Malpis. Pria itu berhenti didepan lobi dan membantu Alya turun dari mobilnya. Untuk pertama kalinya setelah lama menyendiri, Ben membawa seorang wanita yang digandengnya memasuki Hotel Malpis. Ini juga pertama kalinya bagi Alya memasuki halaman itu sebagai calon pasangan yang akan dinikahi oleh pria yang paling dibicarakan disana.
Ben menggandeng Alya sambil melewati lobi utama. Semua mata karyawan Hotel Malpis menatap mereka sambil berbisik. Alya bisa merasakan kalau dirinya saat ini sedang diperhatikan. Ia merapatkan tangannya pada Ben dan menarik napas dalamnya. Saat melewati western restaurant, Alya menoleh dan ia melihat Mita sedang melihat ke arahnya sambil tersenyum. Banyak hal yang belum ia ceritakan pada sahabatnya itu. Dan ia berharap bisa meluapkan semua keresahannya kelak.
Dewa sedang istirahat sejenak sambil melihat layar ponselnya dan membaca balasan pesan dari temannya yang memberitahu kalau besok akan ada ulangan Matemetika disekolah. Suara berisik mengisi dapur seketika, dan Dewa menyimpan kembali ponselnya sambil mencari arah sumber suara.
Dewa keluar dari ruang istirahat khusus karyawan yaitu sudut dapur yang sengaja diberi kursi panjang disana. Ia mendengarkan pembicaraan tiga rekan kerjanya.
"Kamu udah lihat calonnya bos Ben." Seru seseorang. "Tadi aku cuma lihat sekilas soalnya lagi top up makanan ke depan." Tambahnya. Dewa mengerutkan keningnya dan masih mendengarkan.
"Orangnya gimana?" Tanya seorang lagi. "Dengan mantan istrinya cakepan mana?"
"Aku gak tahu. Gak kelihatan jelas tadi." Sahut pembicara pertama. "Tapi kalau dilihat dari tampilannya sih masih cakep ibu Elena." Sambungnya.
Dewa sudah penasaran. "Ngomongin apa sih mbak?" Tanyanya. Mereka bertiga kompak menoleh ke arah Dewa.
"Pacar barunya bos Ben." Jawab pembicara ketiga. "Oh iya, kamu kan deket sama bos Ben. Kamu tahu siapa pacar barunya?"
Dewa menggelengkan kepalanya, "Aku baru tahu kalau dia mau nikah." Ia memasang wajah polos. "Siapa calonnya?"
"Ada yang bilang sih guru TK, ada juga yang bilang anak konglomerat." Sahut pembicara pertama.
"Kalau anak konglomerat harusnya lebih cakep dari Ibu Elena dong." Sambung pembicara kedua.
"Pewaris hotel menikah sama konglomerat, cocoklah mbak." Dewa meninggalkan sekumpulan orang itu dan kembali ke tempat kerjanya. Tumpukan piring sudah mulai meninggi.
Ben dan Alya memasuki sebuah restoran oriental di Hotel Malpis. Posisi restoran itu agak menyudut dibalik dinding lift dan mempunyai akses langsung menuju cafe di sebelah swimming pool.
"Aku deg-degan, Ben." Seru Alya begitu mereka memasuki restoran itu.
Ben menepuk tangan Alya pelan untuk menenangkan. "Ada aku." Ia menoleh lembut ke arah wanita itu. "Aku gak akan tinggalin kamu sendiri." Senyumnya. Alya membalas senyuman itu walau kegelisahannya tidak menghilang.
Bukan cuma Alya yang gelisah dengan pertemuan ini, dirinya juga. Setelah kemarin malam terjadi hal yang diluar kendalinya, Ben merasa ragu untuk bertemu wanita itu. Namun ia harus melakukannya. Ben hanya bisa berharap kalau Elena tidak mengatakan hal yang aneh-aneh didepan Alya kelak.
Ben diantar oleh seorang pelayan menuju meja pesanannya. Ia melihat Elena sudah tiba lebih dulu dan sedang menoleh ke arahnya. Alya bisa melihat dari jauh bagaimana rupa Elena karena hanya dia seorang yang menatap ke arah mereka berdua.
Ben tidak melepaskan gandengannya pada Alya. Ia berdiri didepan meja dengan senyum hambar pada mantan istrinya. Alya menatap Elena dari dekat dan ia mengakui kalau pesona wanita itu tidak biasa.
Elena berdiri dari bangkunya dan ia memberikan senyuman manisnya pada Ben walau ia sesekali melirik calon istri Ben dengan tatapan datar namun penuh interogasi. "Hai." Sapanya. Masih terasa jelas sentuhan pria itu kulitnya.
"Ini Alya, calon istri aku." Ucap Ben pada Elena. Ia merangkul pinggang Alya dengan lembut.
Elena melihat rangkulan Ben pada wanita itu dan ia tidak menyukainya. Ia berusaha menyambut kalimat Ben. "Hai, Elena." Ia mengulurkan tangannya.
Alya merasa gugup. Ia meremas tangan kanannya sesaat sebelum menyambut salam dari Elena. "Alya." Ucapnya.
Ben membukakan kursi untuk Alya dan mempersilahkan wanita itu duduk. Alya memegang tangan Ben pertanda kalau ia gugup. Dan Ben tahu akan hal itu. Elena hanya bisa memperhatikan kemesraan yang terjadi didepannya.
Elena memperhatikan wajah Alya dengan seksama. Wajah yang kental asli Indonesia dengan rambut panjang dan rahang yang lembut. Tersirat ketegasan disana. Polesan make-up yang natural dengan lipstik tipis. Blouse putih yang tergolong biasa untuknya, serta tanpa bubuhan aksesoris disana, sangat polos. Bukan selera Ben, batin Elena.
Alya memperhatikan sekeliling restoran itu yang tampak ramai. Namun dibalik itu semua ia melirik Elena dan memperhatikan wanita itu. Wajah oriental dengan mata sipit dan hidung yang mancung. Rambut sebahu yang lurus serta kulit putih mulus. Wanita itu bahkan mengenakan dress hitam tanpa lengan yang memperlihatkan keseksiannya. Anting-anting yang menyatu dengan dress itu serta kalung tipis yang seolah semakin membuat Elena menjelma sebagai pemeran utama disana. Beda sekali dengannya yang dibawah level wanita itu.
Alya menoleh ke arah Ben yang mengenakan kemeja putih polos dengan jas biru tua serta celana kain yang sempurna menutupi kaki jenjang pria itu. Tak lupa jam tangan mahalnya disebelah kiri serta sepatu mahalnya yang berwarna cokelat. Wajah Ben bahkan terlihat bersih seolah ia sengaja membersihkannya sebelum acara malam ini. Pria itu bahkan merapikan rambutnya agar menambah kesempurnaannya. Alya hanya bisa menyesali dirinya yang tidak begitu mempersiapkan acara malam ini.
"So!" Elena membuka pembicaraan. "Ben sudah cerita sama kamu soal aku?" Pertanyaan itu untuk calon istri Ben.
Alya menoleh ke arah Ben sekilas. Ia menurunkan tangannya ke bawah dan memainkan salah satu kukunya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Entah kenapa, tatapan Elena begitu mengintimidasinya. "Sudah." Jawabnya singkat.
Elena tersenyum melirik Ben. "Oke, tapi aku akan perkenalkan diri secara langsung." Ia diam sejenak. "Aku akan menjadi penanggung jawab galeri yang akan dibuka di Hotel Malpis. Dan Ben merasa kalau aku perlu bertemu dengan kamu." Jelasnya.
"Aku rasa juga gitu." Alya berusaha tenang. "Pernikahan kami akan dilaksanakan minggu depan dan aku rasa pertemuan ini menjelaskan ke orang-orang kalau kerja sama itu akan baik-baik saja nantinya." Alya membuang lirikan matanya ke arah lain. Elena merapatkan giginya mendengar kalimat Alya.
Ben menoleh ke arah wanita disampingnya yang terlihat gugup. Ia meraih tangan Alya yang mengumpul di bawah meja dan menggengamnya erat. Tangan wanita itu keringat dingin dan basah. Ben tertawa kecil melihatnya. Ia mengambil kain serbet didepanya dan mengelap tangan wanita itu lembut.
Elena tidak tahan dengan segala kejadian didepannya. Ia berdiri dan berkata, "Aku ke belakang sebentar." Ia menoleh ke arah Alya. "Kamu mau ikut ke belakang juga?" Ajaknya. Alya menatap Elena ragu.
"Tidak." Sahut Ben. "Alya disini aja." Ia menatap Elena yakin. Wanita itu tidak berkutik. Elena pergi meninggalkan meja itu.
"Ben, aku merasa gak nyaman." Ujar Alya begitu Elena sudah menjauh.
"Relaks, Al." Ben menenangkan. "Selesai makan kita langsung pulang." Ia meyakinkan. Alya mengangguk.
Elena berdiri didepan cermin besar didalam toilet. Ia melihat pantulan dirinya yang sempurna malam ini. Ia mempersiapkan dress khusus yang sengaja dibelinya tadi siang. Ia tidak ingin berada jauh dibawah wanita pilihan Ben. Tapi nyatanya, wanita itu bahkan tidak bisa dibandingkan dengannya.
Arif mengetuk pintu kamar Malpis dan pria itu masuk. "Permisi, Pak." Sapanya.
"Bagaimana?" Tanya Sarinah yang sudah gelisah sejak tadi.
"Mereka sudah direstoran sejak lima menit yang lalu." Ia menyampaikan pesan itu. Sarinah dan Malpis hanya bisa mengangguk dan berharap kalau semuanya berjalan lancar.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.