Chereads / MALPIS / Chapter 43 - Chapter 37 - Wedding Day

Chapter 43 - Chapter 37 - Wedding Day

Mita datang ke rumah Alya berdua dengan putrinya. Ia sengaja pulang lebih awal hari ini karena ingin menghabiskan malam itu berdua dengan sahabatnya. Ia ingin menemani sahabatnya di malam terakhir sebelum pernikahan. Mita masuk ke dalam kamar Alya dan melihat sahabatnya sedang menunggu heyna ditangannya kering.

"Buk, bisa tinggalkan kami berdua?" Pinta Alya pada wanita yang mengukir heyna ditangannya.

Mita duduk didepan Alya begitu wanita itu sudah menutup rapat pintu kamar dari luar. "Gimana perasaan lo?" Wajahnya sungguh gembira melihat sahabatnya segera menikah.

"Gak jelas, Mit. Semua campur aduk." Ucap Alya. Gadis senyumnya terus naik.

"Setelah ini lo akan segera menjadi nyonya Ben. Lo gak perlu lagi sendiri dan kesepian. Lo bakal punya Ben yang selalu nemenin lo." Mita mengelus lengan temannya.

Alya menghela napas leganya. "Gue harap besok semuanya berjalan lancar." Inginnya.

Mita menatap wajah Alya sejenak dan berkata, "Dewa gimana?"

Wajah Alya redup seketika. "Gue dapat telepon dari Rina, katanya Dewa hari ini gak masuk sekolah. Dia sakit, dia telpon kepala sekolah langsung." Jelasnya. Sehari sebelum pernikahannya, Alya sengaja mengambil cuti hari itu.

"Lo belom ngomong lagi sama Dewa dari kemarin?" Tanya Mita. Mulutnya sudah gatal ingin menceritakan semuanya tapi ia sudah berjanji.

Alya menggeleng. "Gue gak ngerti kenapa dia begini." Ia menunduk sedih. "Gue khawatir ada sesuatu yang lagi dipikirin sama Dewa." Gusarnya.

Mita dilema luar biasa. "Menurut lo Dewa bakal datang gak?"

Alya merenung melihat heyna ditangannya. "Gak tahu." Ia diam sejenak. "Gue pengennya dia datang. Walau gimanapun Dewa itu tanggung jawab gue selama ini, gue mau dia juga ada dihari spesial gue." Ucap Alya tulus dari hatinya.

Mita melihat sekeliling Alya yang menumpuk beberapa pernak-pernik pernikahan. Ia teringat satu pertanyaan yang hampir terlupakan olehnya. "Al, gue tahu ini konyol tapi kita juga gak bisa bohong."

"Apa?" Alya sedikit panik.

"Lo tahu kan kalo Dewa itu suka sama lo?" Tanya Mita lugas. Ia tidak mau basa-basi lagi.

Alya menatap Mita sendu. "Tahu, mit. Gue bohong kalau misalnya gue gak tahu." Tidak ada nada kekesalan disana. Itu semua murni dari hatinya. "Gue udah bisa lihat sejak lama, bahkan dari kelas dua. Tapi karna gue anggap Dewa itu adik gue, semuanya biasa aja."

"Dewa tahu?"

Alya mengangkat bahunya lunglai. "Gue gak pernah bilang secara gamblang ke Dewa, tapi gue rasa di tahu. Apalagi waktu sakit kemarin, gue rasa kita sama-sama udah tahu perasaan masing-masing. Seharusnya Dewa mengerti."

"Setelah pernikahan ini, apa sikap lo bakal berubah ke Dewa?"

Alya menggeleng yakin. "Enggak, mit. Gue gak mungkin ninggalin dia apapun keadaannya. Gue akan temenin dia sampai lulus nanti."

"Karna?" Mita menunggu lanjutannya.

"Karna..... dia murid gue dan tanggung jawab gue." Jawab Alya ragu. Ia ditodong pertanyaan menjebak. Mita mengangguk yakin sambil tersenyum hambar.

Alya tahu kalau bukan itu jawaban yang sahabatnya ingin dengar. Ia tidak bisa berbohong kepada orang yang paling mengertinya. "Karna... gue sayang sama Dewa. Selama ini gue marah, karna gue peduli sama dia." Ia mengungkapkannya. Mita memeluk sahabatnya dari samping. Ia tidak mau mengenai heyna yang mulai mengering itu.

***

Ben mencoba tidur ketika ia sudah menjalankan adat pernikahan yang dilakukannya sejak pagi. Dari ujung rambut hingga mata kakinya, sudah dibersihkan dan dirinya siap menyambut hari pentingnya besok. Sudah dua hari ini ia tidak mengubungi Alya karena merupakan salah satu larangan yang harus dijaga sebelum pernikahan.

Tidak ada perasaan rindu disana hanya saja ia ingin mendengar suara calon istrinya itu.

Ben berusaha memejamkan matanya namun bukannya wajah Alya yang muncul melainkan Elena. Ben mengambil ponselnya kemudian menghubungi wanita itu untuk mengetahui kabarnya.

"Kenapa, Ben?" Jawab Elena begitu telepon itu ia letakkan di telinganya.

"Kamu dimana sekarang?" Tanyanya.

"Aku baru sampai apartemen." Sahut Elena. "Aku baru pulang dari gudang." Jelasnya.

"El, kamu ngapain kesana lagi. Kamu lebih aman di hotel." Ben mulai panik.

Elena tertawa kecil. "Tadi pagi Agusman sudah beritahu aku kalau Roy sudah di Bali dan dia gak akan ke Jakarta lagi. Hahaha.... lagian aku bukan anak kecil yang dikurung di hotel." Sewotnya.

"Maksud aku bukan gitu..."

"Aku paham, Ben." Jawabnya. "Kamu lagi ngapain?" Tanyanya balik.

"Aku... baru selesai melakukan ritual kawinan." Jelasnya.

Elena diam sejenak. "Mungkin besok aku bakal telat karna aku harus ke gudang lebih dulu."

"Ya... gak apa." Anggukannya pelan seolah ragu dengan kalimatnya sendiri.

Elena merenung meja kosong didepannya. "Selamat ya... kamu akan segera menikah. Semoga ini pernikahan kamu yang terakhir." Katanya.

Ben merasa aneh dengan kalimat itu. Ia tidak terbiasa. Jarak diantara mereka semakin jelas dan tidak boleh dilanggar. "Makasih, El."

Elena menghela napasnya. "Kamu jangan panggil aku dengan nama itu lagi." Pintanya. Ben terdiam. Ia tidak bisa menjawab.

"Aku mau mandi dulu." Elena menyudahi telepon itu.

"Oke. Bye." Ben juga menutup teleponnya. Ia merenung sejenak dan memikirkan hal yang seharusnya tidak seperti ini.

***

Alya menatap layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Dewa. Ia ingin menelepon bocah itu dan sekedar menyampaikan beberapa hal yang harus didengar oleh muridnya. Alya membulatkan tekadnya dan menelepon nomor itu.

Dewa sedang sibuk dengan game di laptopnya dalam keadaan gelap di meja makan. Ia melihat ponselnya menyala dan nama wali kelasnya disana. Dewa melepaskan headphonenya dan menghentikkan gamenya sementara. Ia menatap layar ponselnya.

Alya masih menunggu teleponnya diangkat namun seketika tidak tersambung. Alya kembali menghubunginya lagi hingga cukup lama ia menunggu. Dewa meyakinkan dirinya dan menekan tanda hijau kemudian meletakkan ponsel itu ditelinganya.

Alya tahu kalau sambungan telepon itu sudah tersambung namun bocah itu tidak mengeluarkan sepatah katapun. "Dewa." Panggilnya.

Dewa menutup rapat mulutnya dan ia membiarkan wali kelasnya berbicara.

"Saya tahu kalau kamu dengerin saya bicara sekarang. Saya cuma mau sampaikan sesuatu." Alya diam sesaat. "Baju kaos itu saya beli di Bali kemarin. Jangan tanya kenapa saya beli itu untuk kamu, karna saya juga tidak tahu jawabannya. Semoga kamu suka dengan kaos itu." Katanya.

Dewa menoleh ke arah tempat cuci piring. Ia tidak berniat kesana untuk melihatnya. Ia menyadarkan tubuhnya ke kursi dan masih mendengarkan.

"Kamu sudah pakai hand cream yang saya belikan? Saya tidak tahu apa cream itu cocok untuk kulit tangan kamu. Maaf baru bisa kasi kamu sekarang. Karna selama ini saya selalu cari alasan untuk tidak memberikan itu semua ke kamu padahal saya sudah beli." Nada Alya berubah lunak.

Dewa berdiri seketika dari kursinya dan menuju sink. Ia melihat isi tas itu dan menungkannya. Undangan, kaos dan hand cream. Dewa mengambil hand cream itu dan melihatnya dari dekat.

"Saya harap kamu bisa datang besok. Selain sahabat dan keluarga saya yang jadi tamu spesialnya, kamu juga." Alya mengucapkan kalimat yang harusnya bisa ia tahan. "Bye." Ia menutup sambungan teleponnya.

Dewa meletakkan ponselnya dan ia tetap tidak bersuara hingga akhir. Dewa membuka kaos yang sedang digunakannya. Ia membuka bungkus plastik baju barunya dan langsung mengenakannya. Baju itu sempurna di tubuhnya yang mulai berotot dan sedikit kurus. Bahu bidangnya terlihat disana.

Dewa membuka tutup hand cream itu mencium baunya yang ternyata natural. Ia mengoleskan ketelapak tangannya sedikit. Krim itu tidak lengket dan meresap cepat ke dalam kulitnya.

Dewa membaca undangan itu secara utuh. Ia melihat nama wali kelasnya tertulis disana dengan pria yang dikenalnya. Hal yang tak bisa ia cegah.

***

Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Sejak pagi kedua belah pihak sudah berkumpul bersama dan Ben dengan lantang mengucapkan kalimat dimana ia resmi menjadi suami Alya. Kedua orang tua Alya bahkan meneteskan air mata. Mereka tidak menyangka kalau putri sulungnya menikah setelah perjalanan jauh mencari jodoh yang terbaik.

Acara resepsi pernikahanpun digelar. Para tamu undangan hadir meramaikan acara. Tepat pukul satu siang, Ben dan Alya menaiki pelaminan dan mulai menyalami para tamu yang hadir ke acara mereka. Malpis dan Sarinah bahkan tak henti-hentinya mengubar senyum. Bahkan tidak ada yang tahu betapa mereka bangga dan bersyukur bisa memiliki menantu seperti Alya. Yusril dengan bangga bisa menceritakan putrinya kepada rekan-rekannya yang datang ke acara itu.

Mita sudah sejak pagi menemani Alya. Ia berada disana dan menyambut para tamu yang mungkin ia kenali. Mita juga rela mengambil cuti kerja dan meluangkan waktu bersama anak dan suaminya disana. Alya melihat satu persatu tamunya yang hadir saat dua jam acara berlangsung, dan keadaan mulai ramai. Ia bahkan mengundang seluruh jajaran guru, tata usaha dan murid kelasnya disekolah serta tak lupa Dewa. Saat semua orang disekolahnya sudah hadir, Dewa tidak terlihat. Alya mencoba menenangkan diri dan berkata didalam hati, "Mungkin dia bakal datang agak sorean. Mungkin dia gak mau ketemu guru-guru yang lain." Ia mencoba berpikir positif.

Ben tak bosan-bosannya memberikan senyumannya kepada Alya. Ia senang sekali hari ini, dimana ia bisa menjadi suami Alya Ariana. Wanita yang memberikannya sesuatu yang berbeda. Wanita yang menjadi penawar Elena. Benar saja, semenjak melihat wajah Alya tadi pagi, segala kegelisahan dan kegusaran Ben soal Elena lenyap seketika. Ia bahkan tidak bisa membayangkan Elena didalam pikirannya saat ini. Alya seolah mengisi seluruh ruang kosong didalam dirinya. Perasaan itu membuatnya semakin yakin kalau wanita yang dipilihnya itu adalah yang terbaik.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.