Chereads / MALPIS / Chapter 47 - Chapter 41 - The Opening

Chapter 47 - Chapter 41 - The Opening

Alya bangun pagi itu dan ia menyiapkan sarapan untuk suaminya seperti biasa. Sebelum ia meninggalkan rumah, ia memastikan kalau Ben mengetahuinya.

"Ben, Ben." Panggil Alya lembut membangunkan suaminya.

Ben membuka matanya dan melihat istrinya sudah rapi dan bersiap pergi ke sekolah. "Kamu udah mau pergi?" Tanyanya. Ia masih berbaring namun menghadap ke arah wanita itu.

Alya mencium suaminya sesaat. "Nanti malam kamu jadi ikut, kan?" Tanyanya.

Ben mengangguk. Ia melambai pelan ke arah istrinya dan melihat wanita itu pergi sambil menutup pintu kamarnya. Ben kembali tidur sebelum ia bangun sejam lagi.

***

Elena bersiap untuk pergi ke Hotel Malpis pagi ini. Tapi hari ini sedikit berbeda karena dirinya akan membuka galeri itu dengan para tamu yang sudah mendapatkan undangan mereka. Ia memakai outfit terbaiknya yaitu blouse lengan panjang berwarna merah jambu dengan sedikit pita panjang dibagian leher hingga jatuh ke dadanya. Ia juga mengenakan maxi flair skirt serta sepatu hak tingginya. Rambut pendeknya ia blow hingga membentuk lengkungan yang indah. Make-upnya ia beri sedikit lebih nyaman agar bisa menyempurnakan pakaiannya.

Elena tiba di Hotel Malpis sekitar pukul 8.45 pagi. Begitu ia keluar dari lift, sudah terlihat beberapa karyawan hotel sedang memasang pita pembukaan disana. Ia memindahkan beberapa furniture kecil yang bisa dilakukannya sendiri. Ben turun didepan lobi dan meminta petugas valet untuk mengambil alih. Ia masuk ke dalam lobi dan menoleh ke arah persiapan pembukaan galeri. Ia melihat Elena sedang sibuk disana. Ben tidak berniat untuk mampir dan ia terus berjalan ke arah lift.

Arif masuk ke dalam ruang Ben dan memberitahu, "Maaf Pak, beberapa tamu sudah hadir di galeri Pak Agusman. Apa anda mau turun sekarang?" tanyanya.

Ben menutup laptopnya dan berdiri dari kursi kerjanya. Ia merapikan jasnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak disamping laptopnya. "Mari!" ajaknya.

Ben turun dan melihat lobinya cukup ramai, terlebih didaerah galeri itu. Bahkan beberapa tamu ia kenal dari jauh. Ben menoleh ke arah restorannya bagian depan yaitu Western Restaurant dan Restoran Buffet juga kena imbas ramainya. Elena melihat Ben berjalan ke arah galerinya. Ia tersenyum tipis dan mendekati pria itu.

"Terima kasih sudah datang, Ben." Elena mengulurkan tangannya. Ia melirik ke arah Arif sekilas.

Ben memperhatikan uluran tangan Elena dan mengerutkan dahinya.

"Formalitas." Kata Elena.

Ben tersenyum. Ia menyambut uluran tangan itu, "Pak Agusman sudah datang?"

Elena menggeleng pelan. "Beliau tidak akan datang karena sedang di Australia sekarang. Sepertinya sepanjang acara ini kamu Cuma akan melihat aku." Tawanya pelan. Ben ikut tertawa.

"Silahkan." Elena mengajak Ben berbaur dengan beberapa tamu undangan lainnya.

***

Bel tanda pulang berbunyi saat jam baru saja menunjukkan pukul 1 siang. Seluruh murid bersorak gembira ketika mereka bisa pulang lebih awal karena seluruh guru akan mengadakan rapat sebelum ujian semester. Alya menyiapkan beberapa lembar kertas dan juga buku yang harus dibawanya untuk rapat siang ini. Ia menyusul Rini yang lebih dulu meninggalkan majelis guru.

Saat berada didepan mejelis guru, Alya melihat Dewa berdiri disana seolah menunggu sesuatu. Spontan Alya bertanya, "Kamu lagi nunggu siapa?"

Dewa terkejut ketika ia melihat wali kelasnya muncul. Ia belum menjawab dan membuat wanita itu bebas memperhatikannya. Alya melihat luka di ditangan muridnya masih basah. Ia juga melihat kedua telapak tangan itu masih sama walaupun samar-samar ia melihatnya.

"Kamu ada keperluan?" tanya Alya. Ia sudah terlambat bergabung dengan rapat itu tapi ia juga tidak mau meninggalkan muridnya. "Kalau tidak ada saya mau pergi." Gertaknya. Dewa masih terdiam dan menunduk sambil memainkan tali tas ranselnya.

Tidak mendapatkan jawaban, Alya memutuskan untuk pergi meninggalkan bocah itu seorang diri. Dewa menatap kepergian wali kelasnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa langkah kakinya malah membawanya kesana, disaat ia berusaha untuk menerima kenyataan.

***

Saya ucapkan terima kasih untuk para tamu undangan yang datang hari ini. Dengan segala kesibukan yang ada, kalian menyisakan waktu untuk bisa memenuhi undangan ini. Dengan segala koneksi yang saya bangun selama ini, saya memberanikan diri mengambil tawaran ini sepenuhnya. Saya juga berharap bisa kembali menjadi favorit anda semua setelah sekian lama.

Saya juga mengucapkan terima kasih untuk Pak Agusman yang sudah memberikan saya kesempatan untuk bisa sepenuhnya bertanggung jawab atas galeri ini. Sayangnya, beliau tidak bisa hadir hari ini karena kesibukan yang lain. Tapi beliau menitip pesan, Galeri ini nantinya adalah langkah awal sesuatu yang besar. Beliau berharap kalau peminat Galeri ini akan semakin banyak.

Terima kasih juga untuk Pak Benjamin Malpis, yang memberikan sedikit sudut hotelnya untuk bisa membuka galeri ini. Serta tak lupa jajaran staf hotel yang membantu kelancaran acara sampai hari ini. Galeri ini akan saya beri nama Lamina.

Elena melihat ke arah Ben dan tersenyum. Pria itu juga membalasnya. Wanita itu baru saja mengucapkan kata sambutannya. Dan kemudian dilanjutkan dengan pemotongan pita olehnya ditengah, Ben disebelah kiri dan Direktir utama disebelah kanan. Tepuk tangan terdengar dengan semangat dari para tamu undangan. Galeri itu resmi dibuka dan para tamu undangan mulai melihat barang-barang incaran mereka.

Ben berdiri disebelah Elena dan berkata, "Selamat ya. Sepertinya tamu undangan kamu suka dengan apa yang kamu buat." Katanya.

Elena mengumbar senyum. "Semoga aja." Sahutnya.

"Lena, lemari itu kamu letak harga berapa?" Tanya seorang wanita paruh baya yang merupakan tamu undangan. Ia menarik tangan wanita itu mendekati lemari incarannya sejak tadi. Ben membiarkan Elena sibuk dengan pelanggannya.

***

Dewa keluar dari lift lobi dan berjalan menuju restorannya. Tak sengaja, ia melihat keramaian di sudut lobi hotel itu. Booth yang kemarin malam dilihatnya kini sudah berubah menjadi sebuah galeri kecil yang berisikan beberapa perabotan rumah. Didepannya bertuliskan papan nama Lamina. Bahkan beberapa orang masih berdiri disana sambil melihat beberapa barang.

Dewa kembali cuek dan terus berjalan ke arah restorannya. Hingga ia melihat seorang wanita berdiri didepan galeri dan berbicara dengan seorang pasangan suami-istri yang baru saja mampir. Dewa menghentikkan langkahnya ketika ia berusaha memperjelas penglihatannya pada wanita itu.

Dewa berbalik dan berjalan pelan mendekati galeri itu beberapa meter dari sana. Ia ingin melihat jelas wajah wanita itu. Ini bukannya perempuan yang pernah ngobrol dengan Mas Ben ya, batinnya. Kemudian ia teringat, mantan istrinya.

Dewa berbalik dan tidak sengaja melihat Mita sedang mengantarkan pelangganya meninggalkan restoran. Dewa mendekati wanita itu.

Mita memberikan senyumannya, "Hei."

Dewa mendekati wanita itu dan berkata pelan. "Apa teman mbak tahu kalau mantan istri suaminya ada di hotel ini?"

Mita menoleh ke arah Elena. "Tahu." Jawabnya. "Mereka bahkan sudah berbicara bertiga sebelum menikah. Elena bahkan datang ke acara pernikahan Alya. Kamu gak perlu khawatir." Jawabnya.

Dewa pergi begitu saja dari tempat itu dengan perasaan gusar.

***

Ben keluar dari lift lobi dan berjalan ke arah restoran buffet. Ia mencari sosok Dewa dan melangkah masuk.

Manajer restoran itu mendekatinya, "Dewa dimana?" Tanyanya. Manajer itu sudah memberitahunya lewat Arif kalau Dewa sudah masuk kerja kembali sejak semalam.

"Sebentar Pak, saya panggil." Manajer itu masuk ke belakang dan tak lama Dewa keluar dengan tangan yang masih terlihat basah.

Ben mengumbar senyum ramahnya selama ini. Ia mengeluarkan amplop putih itu dan mengulurkannya pada Dewa. "Kemana aja gak kelihatan, ini dari orang film kemarin katanya kamu jadi peran pengganti ya. Haha..." tawanya lerai.

Dewa menerimanya. Ia mencoba tersenyum walau berat. "Terima kasih." Katanya. Ia menyelipkan amplop itu ke dalam kantong seragamnya.

"Kamu sakit apa?" Tanya Ben mencoba perhatian. Cukup baginya mengenal Dewa dan memberikan kepeduliannya.

Dewa menggeleng pelan. Ia menarik napas dalamnya, "Selamat mas atas pernikahannya." Ucapnya.

Ben tertawa lucu. "Terima kasih." Jawabnya.

Dewa menatap Ben dalam. "Kenapa memutuskan menikah mas, padahal baru saling kenal." Tanyanya.

Ben mengerutkan keningnya.

Dewa langsung memberikan pembelaan. "Disini banyak radio berjalan, mas." Sindirnya.

Ber tertawa geli. Ia diam sejenak kemudian berusaha menjawab, "Nyaman." Sesingkat itu pejelasan Ben.

Dewa merasa tidak puas. "Apa yang membuat nyaman?" Tanyanya lagi. "Bukannya nyaman itu kalau udah saling kenal?"

"Sepertinya disini radionya bukan cuma berjalan tapi sangat akurat." Sindirnya balik. Ia tersenyum malu. "Perhatian dan pengertiannya."

Dewa mengakui apa yang dikatakan oleh Ben ada benarnya. Alya memang sangat perhatian dan pengertian bahkan denganya, apalagi jika pria itu adalah Ben yang memiliki tempat khusus dihatinya.

"Udah tanyanya?" Ben menyipitkan matanya sesaat dengan senyum sunggingnya.

"Udah, mas." Dewa membalas senyuman itu.

Ben menepuk bahu Dewa sesaat, "Nanti kalau kamu ketemu dengan perempuan yang kamu cinta, kamu juga mengerti apa yang saya bilang barusan." Katanya. "Saya pulang dulu." Pamitnya. Dewa menganggul pelan. Ia menatap kepergian Ben dari hadapannya.

Ben segera pulang dan menemani istrinya untuk makan malam dengan Rina diluar sebelum adik iparnya itu pulang ke Jepang.

***

Alya bersiap meninggalkan kelas terakhirnya, ketika bel tanda pulang berbunyi. Ia berjalan menuju majelis guru melewati kelasnya. Ia menoleh sesaat dan beberapa muridnya tengah piket saat itu.

Alya merapikan beberapa bukunya dan memeriksa isi tasnya sebelum meninggalkan majelis guru. Ia tidak menyadari kalau Dewa berjalan ke arahnya.

"Buk." Sapa Dewa.

Alya menoleh. Ia cukup terkejut melihat Dewa berdiri didepannya. "Ada apa?" Tanyanya.

Rini datang menghampiri mejanya kemudian melihat Dewa dan Alya tengah berbicara. Dewa melirik Rini dan ia enggan mengatakan apa yang ingin disampaikannya. Alya seperti menyadari kalau Dewa segan untuk berbicara.

"Mama saya kirim salam. Semalam dia telpon." Bohong Dewa. Ia baru saja mengarang cerita.

"Kirim salam balik ya untuk mama kamu." Balas Alya.

"Saya permisi, buk." Dewa pamit meninggalkan majelis guru. Alya melepaskan bayangan Dewa dari hadapannya.

"Gue ganggu ya tadi?" Kata Rini. Ia merasa sudah merusak momen tersebut.

Alya menggeleng. "Enggak. Apaan sih lo." Elaknya. Rini mengangguk paham.

***

Apartemen yang ditempati oleh Alya dan Ben memiliki tiga kamar yaitu kamar utama, ruang kerja dan kamar tamu. Didalam ruang kerja itu terdapat dua meja berbeda. Meja utama adalah barang-barang milik Ben sedangkan meja kecil yang satunya berisi barang-barang milik Alya. Tak jarang mereka sibuk dengan urusan masing-masing hingga berdiam diri didalam ruangan itu.

Alya masuk ke dalam ruang kerja sambil membawa secangkir teh manis untuk suaminya. Ia meletakkannya agak menjauh dari Ben agar pria itu lebih leluasa bergerak nantinya. "Kamu gak capek dari tadi lihatin kertas-kertas itu?" Tanya Alya. Ia berdiri disamping suaminya.

Ben menoleh dan melihat teh yang dibawakan oleh istrinya. Ia meneguknya sedikit. "Aku seneng setiap kali kamu buatin teh." Sudah hampir dua minggu semenjak mereka menikah, Alya selalu membuatkannya teh dimalam hari sebagai relaksasi kepenatan. Dan Ben sangat menikmati momen itu.

Alya merangkul Ben dari belakang dengan lembut, "Kamu udah duduk disini dua jam." Katanya.

"Sebentar ya, Al. Aku hanya perlu baca selembar lagi setelah itu selesai." Jelas Ben.

"Memangnya baca apa sih?" Tanya Alya mulai sewot. Ia meletakkan dagunya di bahu kanan Ben dengan lembut.

Pria itu mencium pipi kanan istirnya. "Ini protokol penyambutan penyanyi luar negeri. Mereka mau beberapa sistem keamanan. Aku harus tahu apa aja permintaannya." Ben kembali membaca kertas itu. "Kamu tidur dulu, nanti aku nyusul." Pesannya.

Alya melihat jam dinding sudah pukul 10 malam. Ia melepaskan rangkulannya kemudian mengambil buku nilainya. Ia membuka kursi didepan Ben dan duduk disana dengan buku yang dibawanya.

"Kamu ngapain?" Tanya Ben heran.

"Aku juga mau periksa nilai murid disekolah. Mau kasi tanda siapa-siapa aja yang tidak mencukupi." Ia membuka bukunya. Ben tersenyum melihat wanita didepannya. Alya sengaja menemaninya dengan caranya sendiri.

Setelah hampir tiga puluh menit berkutat dengan kesibukan masing-masing, mereka masuk kedalam kamar dan bersiap tidur. Belum sempat Alya menutup seluruh tubuh dengan selimut, Ben sudah memeluknya dengan erat.

Alya menoleh ke arah Ben. Pria itu mencium bahunya dengan lembut. Alya mengelus kepala Ben dengan hangat. Kedua saling bertatapan. Ben mencium bibir istrinya dengan kesadarannya. Perlahan tubuhnya terangkat hingga tepat berada diatas Alya. Dan wanita itu masih membalasnya. Mereka pun melanjutkannya hingga ke hasrat yang memuncak.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.