Sore itu Ben sudah siap dengan pakaian golfnya. Ia mau sedikit berolahraga petang ini dengan bermain bersama beberapa tamu VIP hotel mereka. Ia berjalan melewati lobi samping dan tak sengaja melihat galeri Elena belum buka sejak ia pulang meeting diluar pukul 2 tadi.
Ben khawatir. Ia melihat jam ditangannya yang sudah pukul 4.00 petang. Ia mulai gelisah. Ben berbalik dan berjalan ke arah lift untuk mengecek kamar Elena dilantai tujuh belas. Saat ia menunggu lift ternyata Elena turun dari lift yang lainnya dan ia melihatnya.
"Kamu dari mana?" Tanya Ben resah.
"Aku ketiduran." Jawab Elena tenang. Ia berdiri didepan pria itu.
"Semuanya baik-baik aja?" Tanya Ben sekali lagi memastikan.
Elena memberikan senyuman manisnya, "Iya." Angguknya.
Ben merasa situasinya canggung, "El, kamu udah makan?"
"Sudah." Jawab Elena lembut. Ia memperhatikan penampilan Ben. "Kamu mau main golf jam segini, tumben. Masih panas, Ben." Perhatiannya.
"Lagi pengen olahraga bentar."
"Malam ini kamu rencana kemana?"
"Kenapa memangnya?" Ben penasaran.
Elena menggeleng ragu, "Aku tanya aja."
Ben memasang wajah kecewa. "Aku ada janji dengan Alya mau jalan ke Mal."
Elena mengangguk paham. "Oh." Jawabnya singkat. "Aku duluan, ya." Pamitnya dan berjalan ke arah lobi. Ben menatap kepergian Elena dengan sendu. Ia berjalan menuju lapangan golf dengan sedikit kegelisahan.
***
Ben dan Alya sudah tiba di Mal disekitar apartemen mereka. Alya sudah memesan dua tiket film superheros yang tengah tayang dan menjadi favorit semua orang. Ia juga membeli popcorn untuk mereka berdua.
Sepanjang film itu bergulir, Alya beberapa kali dibuat takjub dengan adegan yang terjadi. Namun disela-sela itu pula ia sempat menoleh ke arah Ben dan melihat tatapan kosong pria itu yang tidak menyelami jalan cerita.
Alya juga beberapa kali menggengam tangan Ben untuk mengajaknya menonton dan menikmati film yang sedang diputar. Namun fokus pria itu seolah tidak ada disana.
Setelah film selesai, Ben mengajak Alya ke sebuah restoran Italia yang ada lantai dasar mal itu. Saat menunggu pesanan mereka tiba, Ben hanya memandangi ponselnya tanpa peduli Alya yang duduk didepannya sedang menatapnya gusar.
"Kamu lagi ada masalah ya?" Tanya Alya mencari tahu. Ia tidak bisa lagi menahan sikap Ben malam ini. "Dari tadi aku lihat kamu gak menikmati filmnya. Kamu juga gak peduli aku ada didepan kamu." Katanya.
Ben berusaha menatap Alya walau pikirannya sudah melayang entah kemana. "Kamu ngomong apa sih. Aku suka kok film nya. Tadi seru banget."
"Kamu lagi ada masalah dihotel?" Alya mencoba mengurangi beban pria itu. "Ada yang bisa aku bantu?"
Ben menggeleng. Ia memberikan senyumannya. "Semua baik-baik aja. Kamu gak perlu khawatir." Ujarnya.
Alya tidak melanjutkan percakapan itu lagi karena Ben tetap akan menutupinya. Mereka hanya berdiam sepanjang makan malam itu dan berakhir dengan pikiran masing-masing dimobil. Alya bisa merasakan kalau Ben menutupi sesuatu darinya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 10.48 malam dan Dewa sudah berada didalam lift menuju basemen untuk menuju ke parkiran motornya. Namun saat ia baru saja keluar dari lift, Dewa melihat Elena masuk ke dalam lift yang lain dan wanita itu tidak sempat melihat ke arahnya.
Ngapain dia di hotel jam segini, kata Dewa didalam hatinya. Dewa berjalan beberapa langkah meninggalkan tempat itu kemudian terhenti. Ia berbalik dan kembali berdiri didepan lift yang Elena masuki. Ia memperhatikan angka yang tertera disana.
Lift itu berhenti di lantai tujuh belas Hotel Malpis. Ngapain dia dilantai tujuh belas, disana cuma ada kamar, batin Dewa. Ia berdiam diri dan merenung sejenak apa yang Elena lakukan disana. Pikirannya mulai melayang ke arah yang negatif. Dewa setengah berlari ke arah parkiran mobil dan mencari kendaraan Ben disana. Hatinya sedikit lega ketika mobil yang dicarinya tidak terparkir dibasemen. Dewa berusaha tenang walau ia masih menaruh curiga. Ia berjalan ke arah motornya dan berjalan pulang.
***
Hari minggu itu Alya bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Ia membuatkan sarapan untuk mereka berdua lalu sejenak menonton acara televisi. Setelah agak siang, Alya mulai membersihkan beberapa sudut rumahnya seorang diri. Sedangkan Ben menyembunyikan dirinya didalam ruang kerja dan berkutat dengan beberapa dokumen yang penting.
Alya mencuci pakaian kotor mereka, membersihkan lantai serta mengganti sprai tempat tidur mereka kemudian menyusun pakaian sehari-hari serta menyikat kamar mandi. Ia melakukannya tanpa ada rasa lelah. Sudah menjadi kebiasannya sejak ia pindah kesana. Ia lebih suka melihat sudut apartemennya bersih dan rapi.
Setelah selesai membersihkan seisi ruangan, Alya langsung menuju dapur dan memasak makan siang untuk mereka. Ia hanya membuat masakan yang sederhana seperti sayur capcai, ayam goreng serta sambal tumbuk. Setelah itu ia pun pergi mandi dan membersihkan setiap lekuk tubuhnya dari atas hingga bawah.
Alya masuk ke dalam ruang kerja dan mendekati suaminya. "Ben, makan yuk. Udah jam setengah satu nih." Ajaknya.
Ben menoleh sesaat dan melihat Alya berdiri didepan mejanya. Ia menutup dokumennya dan berdiri dari kursi itu lalu mengikuti istrinya menuju meja makan. Ia melihat masakan rumah yang sederhana namun menggungah seleranya. Ia menyukainya, tapi ekspresi wajah dan sikapnya tidak bisa menunjukkan itu.
Alya mengambilkan makanan untuk suaminya terlebih dahulu. Ia melirik Ben yang tampak lahap menyantap masakannya. Ia tersenyum sungging. "Sore ini kamu ada acara?" Tanyanya.
Ben menggeleng sambil melirik sekilas.
"Jalan yuk sore ini. Kamu mau gak?" Ajaknya.
"Kemana?" Tanya Ben balik. "Tadi malam bukannya kita udah jalan?"
Alya merasa tanggapan Ben tidak sesuai harapannya. "Maksud aku kita jalan-jalan sore gitu." Jelasnya.
Ben menghela napasnya. "Aku banyak kerja." Pungkasnya. Wajahnya sudah terlihat kelam.
Alya mengangguk paham. Nada bicara Ben yang belakangan tajam membuatnya ciut. "Ya udah, gak apa." Ia menunduk dan mencoba tenang. Walau perasannya mengatakan sebaliknya.
Ben menyudahi makannya dan berdiri lalu meletakkan begitu saja piring kotornya didalam sink. Ia menuju ruang kerjanya kembali setelah ia mengambil air botol dari dalam kulkas dan membawanya bersama. Alya hanya menatap kepergian pria itu yang tidak menghabiskan nasi didalam piringnya. Alya mengeluhkan sikap Ben dengan napas beratnya. Ia juga kehilangan selera makan.
Setelah merapikan semua sisa makanan, Alya berdiri didepan pintu ruang kerja dan menarik napasnya dalam. Ia tidak suka suasana rumah yang seperti ini. Ia ingin memperbaikinya.
Alya masuk ke ruang kerja dan melihat suaminya tengah sibuk membaca beberapa lembar kertas ditangannya. Alya mendekat dan duduk didepan Ben. Pria itu hanya menatapnya tanpa garis senyum. Alya memperhatikan suaminya yang tengah serius dan ia tidak ingin mengganggunya. Niatnya untuk berbicara juga hilang seketika.
Alya melihat sekeliling ruang kerja itu dan matanya menangkap tumpukan puzzle yang ada disana. Ia bangkit dari kursi dan mendekati puzzle iu. Ben menoleh sesaat dan masih diam saat istrinya berdiri didepan tumpukan puzzle. Alya memperhatikan kepingan puzzle itu dan perlahan mencari sambungan gambar berikutnya. Ia membongkar tumpukan puzzle itu dan mulai menatanya.
Ben mendengar suara berisik didepannya dan ia menoleh. Keningnya berkerut saat melihat Alya menyentuh puzzle itu. "Kamu lagi apa?" Tanyanya dengan suara yang agak keras.
Alya sudah keasyikan memainkan puzzle itu dan ia hanya menoleh sekilas sambil berkata, "Aku lagi coba main ini." Tawanya.
Ben meletakkan kertas yang dipengangnya dan berdiri. "Jangan disentuh, Al." Kata Ben tegas.
Alya mengangguk namun tangannya masih mencari kepingan puzzle itu, "Iya, bentar Ben. Dikit lagi ya." Jawabnya.
Ben emosi. "AKU BILANG JANGAN DISENTUH!" ucapnya lantang.
Alya terkejut hingga bahunya bergetar mendengar teriakan Ben. Ia menatap suaminya heran dan bingung bersamaan. Ini pertama kalinya mereka bertengkar, atau lebih tepatnya Ben meninggikan suara padanya. Alya merasa sedih melihat ekspresi wajah suaminya yang sedang menatapnya tanpa berkedip seolah ia baru saja melakukan kesalahan yang tak termaafkan.
Alya meninggalkan ruang kerja itu dan masuk ke dalam kamarnya. Ben mengajak rambutnya karena kesal. Ia tidak menyadari apa yang sudah ia lakukan pada Alya. Ben mengejar Alya ke kamar. Ia melihat istrinya sedang duduk membelakangi pintu masuk dan menunduk. Terlihat bahunya bergoyang karena menangis.
Ben mendekat dan duduk tepat disebelah Alya. Ia melirik wanita itu dan memikirkan kalimat yang tepat. "Maafin aku, Al. Aku tadi marah sama kamu." Ucapnya.
Alya menyeka air matanya. Ia masih menunduk dan tidak melihat Ben sama sekali.
"Belakangan aku memang gak kontrol emosi dan membuat kamu merasa gak nyaman. Maaf ya." Ben menatap lantai kamar didepannya.
Alya menoleh ke arah Ben dengan tatapan sendunya. "Aku gak apa." Ujarnya.
Ben menghela napasnya karena mendengar kalimat Alya yang dengan mudah memaafkannya. "Di Hotel belakangan, lagi ada beberapa kerjaan yang buat aku pusing. Aku melampiaskannya ke kamu." Ia semakin merasa bersalah.
Alya merangkul lengan Ben dan mengelus paha pria itu. "Aku paham kerjaan kamu. Aku juga minta maaf karna udah menambah pusing kepala kamu."
Ben merangkul Alya dengan lembut. Ia berusaha menutup rasa bersalahnya. Wanita disebelahnya ini begitu percaya padanya dan mengerti keadaannya. Tapi kenapa Ben masih belum bisa mencintainya sepenuhnya.
***
Roy menelepon Elena dengan wajah kesalnya. Ia duduk di sofa ruang tengah apartemen wanita itu. Tak berapa lama Elena mengangkat teleponnya.
"Kamu dimana?" Tanya Roy lantang.
"Aku masih di Hotel Malpis." Jawab Elena. Ia terpaksa berbohong. Saat ini ia sedang berada di dalam kamar hotelnya dan baru saja tiba.
"Aku ada di apartemen kamu. Pulang sekarang!" Perintahnya kasar.
Elena menarik napasnya dan siap menolak. Namun lidahnya terasa kelu untuk berbicara.
"Kalau kamu gak pulang dalam satu jam lagi. Aku akan ke Hotel Malpis dan cari kamu kemanapun. Kalau aku harus berurusan dengan Ben, aku tidak peduli. Apa perlu aku lakukan itu?" Ancamnya tak peduli.
Elena kalah. Ia tahu kalau ia tidak bisa berbuat apapun lagi kecuali menuruti permintaan pria itu. "Aku pulang sekarang." Jawabnya. Ia langsung mematikan sambungan telpon itu dan melampiaskan amarahnya dengan membuang tasnya ke lantai dengan kasar. Ia kesal sekali.
***
Elena masuk ke dalam apartemennya saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Begitu dia masuk Roy langsung membanjirinya dengan ciuman panas. Elena berusaha menolak. Tubuh dan pikirannya lelah. Ia sedang tidak ingin melakukannya. Namun Roy seolah tidak peduli dengan penolakan wanita itu. Ia terus membanjiri Elena dengan ciuman kasarnya. Ia bahkan membuka pakaian Elena dengan paksa dan menarik wanita itu ke kamar.
Elena dihempas diatas tempat tidur dan kedua kakinya menggantung diujung. Roy berdiri tepat diujung tempat tidur dan menahan kedua kaki Elena dengan kakinya yang kekar. Roy membuka pakaian atasnya dan langsung menindih Elena lalu mencium wanita itu disemua sisi tubuhnya.
Elena masih kuat untuk berontak namun Roy lebih kuat darinya hingga wanita itu tidak berkuasa. Elena menendang perut Roy hingga membuat pria itu kesakitan. Roy menampar Elena dengan kasar hingga wanita itu pusing dan melemah. Roy membuka ikat pinggangnya dengan terburu-buru. Elena menendang roy sekali lagi dan ia bangkit lalu berlari ke arah pintu. Sayangnya, Roy dengan ligat menangkap Elena. Ia menggendong wanita itu yang masih menggeliat memukulinya. Roy mencengkram leher Elena keras hingga wanita itu menahan kesakitan. Sekali lagi ia menampar Elena hingga tenaga wanita itu terkuras. Ia leluasa melakukannya.
***
Ben keluar dari kamar mandi setelah ia membersihkan wajahnya sebelum tidur. Ia melihat Alya keluar dari ruang wardrobe disudut kamarnya.
"Besok kamu mau sarapan apa?" Tanya Alya penuh ketulusan pada suaminya.
Ben mendekati tempat tidur dan menjawab, "Apa aja."
Alya mengangguk paham. "Baju kerja kamu besok sudah aku siapkan." Ujarnya menarik perhatian.
"Iya." Sahut Ben singkat sambil membaringkan tubuhnya.
Alya ikut berbaring disamping suaminya. "Lusa bapak sama mama akan ke Bali." Ia hanya sekedar mengingatkan.
"Iya." Jawab Ben lagi. Ia sedang mencoba merebahkan tubuhnya yang lelah. Alya hanya menatap suaminya yang sedari tadi hanya memberikan jawaban singkat. Ingin rasanya ia berontak dengan sikap Ben tapi ia mengurungkannya dan kembali mengingat alasan pria itu tadi siang. Alya mencoba tidur dan tentunya menghadap suaminya disebelah kanan. Sedangkan pria itu sudah lebih dulu menutup mata.
***
Ben tiba di lobi dan melihat galeri belum dibuka padahal sudah pukul 9 pagi. Ia berusaha mengacuhkannya walau ia juga bertanya-tanya kemana Elena belum juga tiba.
Ben masuk ke dalam ruang kerjanya dan Arif mengikutinya dari belakang. "Hari ini ada agenda apa?" Tanya Ben.
Arif berdiri didepan meja atasannya dan berkata, "Hari ini penyanyi internasionalnya akan tiba di Jakarta dan mendarat pukul 5 sore. Penjagaan di hotel dimulai dari jam enam, pak." Jelasnya.
Ben mengangguk paham. "Ya sudah. Kamu tolong koordinasikan dan sampaikan sekali lagi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab. Pastikan mereka tidak melakukan kesalahan." Pesannya.
"Baik pak." Arif meninggalkan ruangan itu.
Alya masuk ke kelasnya setelah jam istirahat. Didalam perjalanan menuju kelasnya tadi, pikirannya sudah tidak tenang. Alya meletakkan bukunya diatas meja guru dan menghamparkan pandangannya ke seluruh murid. Tatapan matanya menangkap sosok Dewa yang duduk paling belakang dan menunduk.
"Baiklah, hari ini ibu akan memberikan kalian beberapa bahan untuk ujian semester dan contoh soal ujian yang bisa kalian pelajari." Jelasnya didepan kelas. "Sekretaris mana, tolong ini di tulis didepan." Panggilnya.
Alya sedang tidak ada minat untuk berbicara banyak di kelas hari ini. Ia melihat ke arah Dewa sekali lagi dan muridnya itu hanya memandanginya dengan ekspresi datar.
***
Ben dan Arif baru saja kembali dari meeting diluar. Saat melwati lobi dan hendak menuju lift, Ben melihat kalau galeri Elena belum juga dibuka sejak pagi. Ben merasa ada yang tidak beres disana.
"Kamu coba tolong lihat di kamar Elena, apa dia ada disana." Suruh Ben pada Arif.
"Baik, pak." Mereka masuk ke dalam lift bersama. Ben turun di lantai enam sedangkan Arif menuju lantai tujuh belas.
Arif masuk ke dalam kamar itu menggunakan kartu master yang selalu dibawanya kemanapun. Ia melihat kamar itu masih tertata rapi. Namun pandangan Arif menyipit ketika ia melihat koper berukuran besar terbuka disana dan terlihat beberapa isinya. Arif membuka ponselnya dan menelepon atasannya.
"Maaf pak, Ibu Elena tidak ada di kamar." Katanya.
"Oh ya?" Ben mengerutkan keningnya.
"Tapi pak, disini ada koper. Sepertinya Ibu Elena bukan cuma istirahat tapi juga tinggal disini." Sambungnya lagi.
Ben merasa ada yang sudah terjadi saat ini. "Ya sudah, kita pergi ke apartemen Elena saja sekarang." Ia mematikan ponselnya. Arif keluar dari kamar itu dan menuju lift.
Ben berdiri didepan apartemen Elena seorang diri karena Arif memilih untuk menunggu di dalam mobil saja. Ben mengetuk pintu itu dan menunggu beberapa saat. Tak lama pintu itu terbuka dan Elena muncul.
"Astaga, kamu kenapa?" Tanya Ben histeris. Ia masuk ke dalam dan langsung melihat beberapa barang diruang itu berantakan.
Elena berusaha tenang walau sebenarnya ia butuh seseorang saat ini. Ia menutupi pipi kirinya yang lebam dan sedikit bengkak karena tamparan Roy beberapa kali bahkan setelah pria itu mendapatkannya dan meminta lebih.
Ben mendekati Elena dan meminta penjelasan. Elena meneteskan air mata dan menceritakan semua perlakuan Roy padanya.
Ben kesal setengah mati. Ia bahkan memukul sofa yang didudukinya karena marah akan cerita yang didengarnya. Ia bangkit dan menuju pintu apartemen.
"Kamu mau kemana?" Elena menahannya.
"Aku harus ketemu Roy dan kasi dia pelajaran." Ben sudah emosi.
Elena menggeleng dan masih menahannya. "Jangan Ben. Kamu tidak akan bisa melawan Roy."
"Jangan tahan aku, El." Ben berusaha melepaskan tangan Elena darinya.
"Bukan dia yang aku takutkan tapi kamu. Kalau kamu sekarang mukul Roy dan bikin dia marah, dia akan ngelakuin ke kamu dua kali lipat lebih parah. Apa kamu bisa menahan tanggapan orang yang nanti, kamu juga harus pikirkan Hotel, resort dan Alya." Elena menjelaskan. Ia tidak mau Ben terlibat dengan Roy.
Ben mengalah. Kalimat Elena benar sekali. Semua kebohongan yang dia sembuyikan dari Alya belakangan ini pasti akan terbongkar dan membuat wanita itu mungkin akan meninggalkannya. Ben tidak mau itu.
Ben memeluk Elena erat. "Kamu ikut aku ke hotel aja sekarang. Disana lebih aman. Aku gak perlu khawatir lagi kalau Roy akan menemui kamu." Ajaknya. Elena mengangguk pelan dan setuju pada bujukan pria yang memeluknya itu.
Arif melihat atasannya merangkul Elena menuju mobil. Ia turun dan melihat wajah Elena yang terlihat lebam dibeberapa tempat. Ia membukakan pintu mobil bagian belakang dan melihat perhatian atasannya pada Elena yang membuatnya tidak nyaman. Arif hanya bisa menatap pria itu yang kalah lagi dengan Elena.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.