Chereads / MALPIS / Chapter 49 - Chapter 43 - Dewa is Trying to Save Her

Chapter 49 - Chapter 43 - Dewa is Trying to Save Her

Alya jalan menuju mejelis guru saat jam istirahat berbunyi. Murid lain berbondong-bondong menuju kantin. Alya merasakan ponselnya bergetar dan ia membukanya. Pesan dari Ben muncul.

Iya malam ini jalan. Aku pulang jam 6 sore.

Alya membaca pesan singkat itu dan Ben bahkan tidak menyinggung soal sarapan yang dibuatnya atau menanyakan hal lainnya. Alya merasa Ben berubah padanya. Alya menyimpan kembali ponselnya dan menatap ke arah depan. Namun ia malah melihat Dewa sedang berjalan ke arahnya.

Dewa melihat wali kelasnya berjalan didepannya disaat ia sedang tidak ingin melihat wanita itu. Mereka sama-sama saling melihat tanpa sepatah katapun. Keduanya canggung dan sama-sama tidak mau bersuara. Alya melanjutkan langkahnya menuju majelis guru.

Ben turun di lobi utama dan membiarkan mobilnya diambil alih. Ia melihat galeri Elena sekilas yang masih tertutup. Ia juga disapa oleh beberapa karyawan yang berlalu lalang didepannya. Ben melangkah menuju lift untuk menuju kantornya. Beberapa saat ia menunggu, dan pintu lift didepannya terbuka.

Ben hendak melangkah masuk dan Elena keluar dari dalam lift. Mereka berdua saling pandang dalam kecanggungan. Keduanya seperti salah tingkah, apalagi setelah kejadian kemarin.

Jarak mereka hanya sekitar tiga langkah dan mereka berdiri didepan lift sampai pintu itu kembali tertutup. Dan beberapa tamu lain yang keluar dan masuk melalui lift lain juga ikut memandangi mereka.

Elena melegakan tenggorokannya sesaat, "Emm... kejadian kemarin itu, aku rasa sebuah kesalahan. Menurut kamu?" Ia meminta persetujuan.

Ben mengangguk spontan, "Benar, aku rasa itu salah. Gak seharusnya kita melakukan itu." Nada Ben terdengar ragu. Ia memperhatikan Elena, "Kamu tidur diatas?" Ia mengingat kalau lift itu sebelumnya bergerak dari atas.

Elena mengangguk pelan. "Iya." Jawabnya singkat.

"Kenapa kamu tidur disini?" Ben tanya balik.

Elena menggeleng pelan. "Gak apa." Ia melihat sekelilingnya yang mulai memperhatikan mereka. "Aku duluan, Ben." Pamitnya.

Ben mengangguk dan kembali menekan tombol lift. Ia menunggu lift itu seperti semula. Ia menoleh ke arah Elena yang menjauh darinya.

***

Keadaan sekolah SMA175 cukup tenang karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Alya yang saat itu sedang tidak ada kelas hanya duduk di majelis sambil memperhatikan beberapa nilai muridnya yang terancam semester ini.

Lima belas menit sebelum bel istirahat, ketua kelas 12IPS3 masuk ke dalam majelis guru dan menemui wali kelasnya. "Permisi, buk." Sapanya.

Alya heran kenapa ketua kelasnya menemuinya. "Ada apa, pelajaran apa sekarang?" Tanyanya.

Ketua kelas itu medekat ke arah Alya dan berbisik, "Sekarang pelajaran Seni, tapi Dewa gak masuk kelas dari tadi. Dia di UKS ijin karena sakit." Lapornya. Bukan kesengajaan ia melakukan itu karena Alya sudah menyuruhnya melaporkan apapun soal kegiatan yang salah dikelasnya agar bisa dibimbingnya sebelum dilaporkan kepada Kepala Sekolah.

Alya hanya geleng-geleng kepala setelah ketua kelasnya siap menuntaskan kalimatnya. "Ya sudah, makasih. Nanti saya lihat Dewa. Kamu ke kelas aja." Katanya. Ketua kelas pergi meninggalkan majelis guru.

Alya tidak membuang waktu. Ia langsung bergerak cepat menuju UKS dan masuk ke dalamnya. Kebetulan tidak ada penjaga yang bertugas dan hanya Dewa seorang. Alya mendekat, "Kamu sakit apa?" Nadanya tidak begitu tegas. Alya takut kalau Dewa bener-benar sakit seperti waktu itu.

Mendengar suara wali kelasnya, Dewa membuka matanya dan turun dari bed lalu berdiri didepan wanita itu.

Alya memperhatikan luka Dewa. Dirinya khawatir sekali dengan bocah didepannya ini. Belum lagi luka ditangannya. "Luka kamu gimana?" Tanyanya gelisah.

Dewa tidak menjawab pertanyaan wali kelasnya. Ia malah menatap Alya seperti menahan sesuatu didalam dadanya, "Kenapa ibu mau menikah dengan Ben?" Tanyanya lugas. Tak ada nada lembut disana.

Alya terkejut dengan maksud pertanyaan itu. "Maksud kamu?" Tanyanya. Alya berpikir kalau Dewa tidak pernah membahas masalah ini semenjak pernikahannya namun kenapa tiba-tiba malah mengungkitnya.

Dewa mengeraskan rahangnya. "Apa ibu gak tahu siapa Ben sebelumnya? Apa ibu gak tahu masa lalu Ben dengan mantannya?" Ungkap Dewa.

Alya mengerutkan keningnya. "Kamu tahu apa soal Ben?" Lantang Alya. "Kamu mungkin cari tahu soal Ben sama seperti kamu cari tahu soal Yogi dulu, tapi tidak seharusnya kamu ikut campur urusan pribadi saya, apalagi rumah tangga saya." Alya mulai kesal.

"Apa ibu tahu kalau mantan istri Ben membuka galeri di Hotel Malpis sekarang?" Tanya Dewa tegas. "Intensitas pertemuan mereka lebih banyak dari pada ibu dengan Ben. Apa wajar mereka berdekatan seperti itu? " Tambah Dewa. Ia hanya menunjukkan kepeduliannya terhadap wanita itu.

Alya berang. Ia merasa kalimat Dewa keterlaluan. Ia menampar wajah Dewa dengan sangat marah. Tubuh Dewa tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Sesaat setelah ia menampar wajah itu, Alya menggengam tangannya karena kaget dengan sikapnya. Namun ia menahannya dan berkata, "Selama ini saya biarkan kamu ikut campur dengan semua kehidupan pribadi saya. Tapi kali ini kamu sangat kurang ajar. Kamu belum pernah bertemu Ben dan kamu tidak kenal dia. Kamu tidak tahu apa-apa soal masa lalunya."

Dewa merasakan pipinya perih. Tamparan wanita didepannya begitu keras. Tapi ia ingin membantu wanita ini sadar dari kesalahan yang mungkin dilakukannya. Ia tidak ingin wanita itu tersakiti. Alya meninggalkan UKS dan membiarkan Dewa seorang diri disana.

Alya berjalan ke arah mejelis guru dan menahan rasa sedihnya. Terlepas dari segala keingintahuan atau informasi yang didapat oleh Dewa, apa yang disampaikannya memang benar. Alya begitu khawatir dengan segala sesuatu yang terjadi di Hotel Malpis. Dari pagi hingga malam ia tidak tahu apa yang akan atau mungkin sudah terjadi disana. Selama ini ia hanya mencoba berpikir posistif kalau kepercayaan yang ia berikan pada Ben sangat dijaga oleh pria itu.

Alya membuka ponselnya dan menelepon Ben sekedar untuk mengobrol dan menenangkan hatinya karena kegelisahaan yang mendera. Namun beberapa kali telepon itu tidak dijawab. Alya memutuskan untuk menelepon Mita, ternyata sama saja. Kedua orang itu seperti tengah sibuk dan sedang tidak bisa diganggu. Alya menunduk dan meredam emosinya. Ia memandangi telapak tangannya yang sudah menampar Dewa. Ia menyesali hal itu.

***

Siang itu Elena kembali ke apartemennya sesaat untuk mengambil baju ganti dan beberapa barang lainnya. Menghabiskan waktu makan siangnya dengan memasak makanan untuknya seorang diri. Setelah sekitar dua jam duduk didalam keheningan apartemennya dan berkutat dengan ponsel serta buku sketsanya, Elena memutuskan untuk kembali ke Hotel saja dan menjaga galerinya kembali.

Tapi kenyataan tak seindah realita. Saat Elena hendak keluar dari pintu, ia malah melihat Roy sudah bersandar di dinding tepat didepan pintu apartemennya. Pria itu menghisap sebatang rokok dan memasukkan tangan kirinya kedalam kantong celananya.

Roy menatap Elena yang juga sedang melihat ke arahnya. Ia menghembuskan asap rokoknya dengan puas. "Aku keliling cari kamu." Ucapnya. Ia tegak berdiri dan berjalan ke arah pintu. Elena spontan membuka pintu apartemennya dan membiarkan pria itu masuk. Tidak ada gunanya ia melawan.

Roy melangkah masuk dan masih menghisap rokoknya. "Kemanapun kamu pergi aku tetap bisa menemukan kamu, yang." Ucapnya. Ia menoleh ke belakang sesaat. Elena menutup pintu apartemennya kembali.

Roy berbalik dan membuang rokoknya ke lantai lalu menginjaknya dengan telapak sepatunya. "Kamu membuka galeri di Hotel Malpis dan bekerja sama dengan Agusman si tua bangka itu. Ben juga sudah menikah dengan guru SMA yang jauh sekali dari kamu. Semua informasi itu aku dapat di internet. Kalau aku mau, akses masuk ke Hotel atau Resort Malpis, aku juga bisa dapat." Jelasnya. "Aku dengan mudah masuk ke sana dan menceritakan semua masa lalu bos mereka, atau mungkin menceritakan semua masa lalu kamu. Gimana kita tinggal berdua, gimana kamu selingkuh dari Ben atau bagaimana kamu menjual galeri kamu sendiri dan memilih tinggal di pedesaan." Sambungnya.

Elena menahan dirinya yang ingin melawan tapi ditahannya. Ia tidak ingin meninggalkan bekas apapun diwajahnya. Saat ini wajah dan tubuhnya adalah aset berharga. "Kamu mau apa?" Tanya Elena.

Roy mendekati Elena dan mencium bibir wanita itu lembut. "Kita bersama lagi." Ucapnya. Ia mencium bibir itu lagi. "Biarkan aku bebas ketemu kamu tanpa ada campur tangan Agusman atau apapun." Pintanya.

"Oke." Jawab Elena singkat.

Roy mencium Elena sekali lagi dengan hembusan napasnya disana. "Ah, masih siang. Aku ada janji sore ini." Ia mengeluh nunduk. "Kamu juga harus ke galeri Agusman." Roy berjalan ke arah pintu dan menoleh ke belakang sesaat kemudian berkata, "Sampai jumpa nanti malam." Ia pergi dan menutup pintu itu.

Elena mengelap bibirnya dengan kasar hingga lipstiknya berantakan. Ia mengunci pintu apartemennya lalu berjalan ke arah kamar dan memasukkan beberapa pakaian kerjanya serta pakaian tidurnya. Tak lupa ia juga membawa barang-barang penting ke dalam kopernya. Ia tidak ingin melayani Roy lagi. Ia ingin melepaskan diri dari pria itu.

Seharian ini Mita sibuk sekali hingga ia belum sempat menghubungi Alya kembali karena tamu restorannya datang silih berganti dan beberapa bahkan mengajaknya mengobrol. Dengan terpaksa Mita melayani mereka semua. Ia membuka ponselnya lalu menghubungi sahabatnya. "Al, sorry baru bisa telpon lo sekarang. Kenapa tadi?"

Alya yang tengah duduk didepan TV langsung mengecilkan volumenya untuk berbicara dengan Mita, "Dewa hari ini bikin gue emosi." Curhatnya.

Mita tertawa mendengarnya, "Kenapa lagi?"

Alya menghela napasnya berat sekali. "Dia bilang kenapa gue mau menikah dengan Ben padahal gue tahu Elena ada disekitar Ben. Dia juga bilang apa gue gak mikir kalau pertemuan mereka dikantor lebih banyak daripada gue dirumah." Ceritanya. "Gue tampar Dewa sekali." Tambahnya.

"HAH?!" Pekik Mita kaget. "Alya, lo parah banget. Mungkin Dewa cuma cemburu makanya dia ngomong gitu." Mita tidak menyangka kalau sahabatnya mampu melakukan itu. "Dewanya gimana?"

"Dia diam aja." Jawab Alya.

Mita merasa mulutnya sudah gatal sekali ingin menceritakan pada sahabatnya soal Dewa di Hotel Malpis, tapi ia sudah berjanji dan akan menepati janjinya pada bocah itu. "Udah lo tenangin diri dulu. Jangan lo dengerin maksud Dewa bilang gitu."

"Gue gak berani ketemu Dewa lagi gara-gara tadi."

"Karna lo tampar dia?"

"Salah satunya. Gue juga gak suka dia bebas nilai Ben seperti apa padahal dia belum kenal Ben." Bela Alya.

Mita menghela napasnya. Ia tidak bisa menahan lebih lama lagi pembicaraan ini. Ia sudah semakin merasa bersalah. "Udah lah, anggap aja Dewa bikin lo kesel hari ini seperti biasa." Ia berusaha menengahi. "Al, gue harus balik nih. Besok sambung lagi ya." Pungkasnya.

"Oke. Bye." Pamit Alya. Ia mematikan ponselnya dan merenung.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA