Chereads / MALPIS / Chapter 46 - Chapter 40 - The Puzzle is Moved

Chapter 46 - Chapter 40 - The Puzzle is Moved

Saat diparkiran apartemen mereka, Ben mengajak Alya ke salah satu sudut parkir. Ben mengeluarkan sebuah kunci mobil untuk wanita itu. "Ini, hadiah dari papa dan mama untuk kamu." Ia mengulurkannya.

Alya terpana melihat sebuah kunci mobil diulurkan padanya. Ia tidak menapik kalau ia juga ingin memiliki mobil. Alya menatap suaminya, "Ben, aku rasa ini terlalu cepat." Katanya.

"Aku tahu. Aku juga tidak akan melarang kamu berhenti menggunakan motor kesayangan kamu. Tapi ini bisa kamu simpan, kapanpun kamu mau pakai, bisa kamu gunakan." Ben membuka dompetnya kemudian memberikan sebuah kartu kredit yang sudah ia persiapan untuk istrinya. "Dan ini hadiah dari aku." Ujarnya lembut.

"Ben," panggil Alya sambil menghela napasnya. "Apa selama ini memberikan hadiah sudah menjadi kebiasaan dikeluarga kamu?" Tanyanya.

Ben tersenyum tipis. "Mama bilang kalau dia tidak mau membenani kamu dengan semua fasilitas yang kamu dapatkan. Makanya dia bilang ini hadiah."

Alya menarik napas dalamnya dan menerima kartu kredit itu untuknya. Ia memeluk suaminya erat dan Ben membalasnya dengan lebih erat. Dulu Ben pernah bilang kalau dirinya belum mencintai ataupun menyanyangi Alya. Tapi saat ini, perasaanya mengatakan kalau ia mulai mencintai wanita itu. Dengan segala kerendahan hati yang dimilikinya, wanita itu menarik simpatinya.

***

Elena mengecek beberapa barang di gudang Hotel Malpis yang sudah tiba kemarin. Sekaligus ia datang untuk melihat pembuatan galerinya di lobi sudah dimulai hari ini.

"Mas, suhu digudang tolong direndahkan lagi ya. Kalau terlalu panas akan merusak warna kayunya." Pesan Elena pada penganggung jawab gudang itu.

"Baik, mbak." Jawan pria itu.

Elena pergi meninggalkan tempat itu dan berjalan ke arah lobi utama. Dari jauh ia sudah melihat Ben dan Alya berjalan ke arahnya. Ia sudah mengenal siluet keduanya dari jauh.

Alya menggandeng Ben yang ada disamping kanannya ketika ia melihat Elena cukup jauh dan namun akan berjalan ke arah mereka. Ben tahu kenapa Alya melakukannya. Tapi ia tidak berkomentar dan membiarkannya.

"Hai." Sapa Elena dengan senyum. Orang pertama yang dilihatnya begitu mereka berhadapan adalah Ben.

"Hai." Sapa Alya. Senyumamnya seperti tidak tulus. "Kamu lagi ngapain disini?" Tanyanya.

"Aku lagi ngecek barang di gudang sekalian lihat galerinya dibangun." Jelasnya santai.

Alya menoleh ke arah belakang dan melihat disudut lobi itu sudah ada beberapa orang yang mulai mengukur lokasi.

"Kalian dari mana?" Tanya Elena. Lirikannya bergantian pada kedua orang didepannya.

"Habis jalan-jalan sebentar." Sahut Ben. Alya merapatkan gandengannya pada Ben.

Elena bisa melihat gandengan Alya pada mantan suaminya itu. Ia tahu kenapa Alya melalukannya. Ben pernah mengatakan alasannya. Elena merasa semakin asing saat itu. "Aku kesana dulu, ya. " pamitnya. Ia pergi begitu saja dan tidak menunggu jawaban kedua orang itu.

Alya melepaskan gandengannya pada Ben ketika mereka sudah masuk ke dalam lift. Tapi Ben menarik tangan wanita itu kembali dan tidak ingin melepasnya.

"Seharusnya kita seperti ini didepan semua orang bukan cuma Elena." Ujar Ben jelas didalam lift itu. Alya menyandarkan kepalanya pada lengan pria itu. Ben merasakan sesuatu yang beda didalam dirinya. Ia mengelus kepala istrinya lembut.

***

Alya merapikan beberapa baju Ben yang lipatnya ke dalam koper. Pria itu sudah memilih pakaian penting yang akan dipakainya selama seminggu ini. Sisanya akan ia serahkan kepada petugas hotel yang akan membawanya ke apartemen mereka.

Ben masuk ke dalam ruang kerjanya dan ia melihat puzzle yang selama ini masih disimpan yang tergeletak disana. Ia ingin memberitahukan Alya rahasianya.

Ben berdiri didepan pintu ruang kerjanya, "Alya." Ia mengayunkan kepalanya untuk memanggil istrinya itu. Alya masuk ke dalam ruang itu dan melihat sebuah puzzle dengan ukuran yang sangat besar. Bahkan tumpukan kepingannya terlihat seperti gunung.

"Aku mau tunjukkan kamu ini." Kata Ben. Wanita itu berdiri disamping kanannya.

"Puzzle?" Nada Alya heran. Kenapa pria itu harus menunjukkan itu padanya.

"Puzzle ini hadiah dari Elena waktu bulan madu pernikahan kami ke Swiss. Ia memberikan hadiah ini karena dia tahu aku sangat suka dengan puzzle." Ben seolah memutar waktunya kembali. "Elena bilang kalau aku bisa menyelesaikan puzzle ini, maka kami akan pergi bulan madu lagi. Tapi... itu tidak pernah terjadi." Jelasnya. "Sampai hari ini aku tidak pernah sekalipun menyelesaikan puzzlenya." Tambahnya.

Alya mengelus lengan suaminya. "Aku baru tahu kalau kamu suka puzzle." Ia melihat wajah Ben yang menjelaskan kalau pria itu masih ingin menyelesaikannya. "Kamu masih mau selesaikan ini?" Tanya Alya.

Ben menoleh ke arah istrinya. "Kalau itu tidak menganggu kamu." Ijinnya.

Alya tersenyum lugas. "Kamu boleh bawa puzzle ini. Aku mau lihat kamu selesaikan." Ucapnya.

"Kamu yakin?" Ben menegaskan. "Gambar di puzzle ini nanti akan membuat kamu marah." Ia takut kalau Alya akan cemburu saat melihat gambarnya yang berciuman dengan Elena.

"Semua yang ada dipuzzle ini cuma masa lalu. Aku mau kamu selesaikan masa lalu kamu, termasuk puzzle ini." Jelasnya. Ben merangkul Alya erat.

***

Setelah bubar upacara, semua murid menuju kelas mereka masing-masing, termasuk Alya yang berjalan ke arah Majelis guru untuk bersiap dengan pelajaran pertama. Tapi anehnya, sejak upacara tadi, Alya sudah memperhatikan Dewa dari tempatnya berdiri. Ia melihat muridnya itu berdiri paling belakang karena tubuhnya yang tinggi.

Namun kali ini Alya melihat sesuatu yang menbuatnya tercengang pada Dewa. Alya melihat muridnya itu memakai sendal jepit ke sekolah dan beberapa luka dilengannya. Luka itu cukup besar dan masih merah serta basah. Bahkan cairan bening yang terdapat dipermukaan luka terlihat jelas. Ingin sekali Alya bisa mendekati Dewa dan bertanya, namun ia juga tahu batasannya.

Alya masuk ke dalam majelis guru dan mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu kepada Dewa.

SETELAH PULANG, TEMUI SAYA DI KANTOR.

Dewa membuka ponselnya dan membaca pesan wali kelasnya. Ia menghela napas sesaat. Dewa tak membalasnya dan langsung menutup ponselnya kembali.

***

Saat jam istirahat kedua, Alya sedang mengobrol dengan Rini soal pernikahannya. Alya melihat Dewa masuk ke dalam majelis guru,  karena posisi dudunya menghadap pintu. Ia melihat Dewa berjalan ke arahnya.

"Ada apa ibu panggil saya?" Tanya Dewa didepan Alya dan Rini.

Alya terdiam. Seingatnya ia memanggil Dewa sepulang sekolah bukannya istirahat kedua. "Bukannya pulang sekolah?" Bisiknya namun cukup membuat teman disebelahnya terdengar.

Rini tersenyum simpul. Ia tak sengaja melihat luka ditangan Dewa. 'Tangan kamu kenapa?" Tanyanya kaget.

Alya tidak ingin membuang kesempatan. Ia langsung mengutarakan pertanyaan yang sama.  "Luka ditangan kamu kenapa?" Tanyanya. "Kenapa kamu pakai sendal ke sekolah?" sambungnya.

Dewa meletakkan lengannya ke belakang dan menyembunyikan lukanya.

"Kamu berkelahi, berantem, atau apa?" Tebak Alya dengan banyak memugkinan yang mugkin dilakukan  oleh anak seumuran Dewa.

Enggak ada apa-apa." Jawab Dewa. Ia tidak ingin menjelaskan kepada wanita didepannya ini.

Tidak mendapatkan jawaban, Alya merasa malu. Selalunya bocah ini menjelaskan padanya tentang apa saja dengan panjang lebar tapi tidak kali ini. Ia tahu kalau Dewa seperti merubah sifatnya sejak mengetahui pernikahannya. "Ya sudah, balik ke kelas." Usir Alya secara halus. Ia bangkit dari kursinya dan menuju WC guru sebagai alasannya.

Dewa tidak berkomentar dan keluar meninggalkan majelis guru. Rini yang berada disana merasa heran dengan kecanggung diantara keduanya. Alya menoleh kebelakang sesaat sebelum ia masuk ke WC guru.

***

Jam pulang sekolah, Alya berjalan dengan Rini menuju depan. Mereka berpisah disana ketika suami Rini sudah datang menjemput. Alya memberikan lambaian manisnya ke arah temannya itu. Tak sengaja ia melihat Dewa melintas didepannya. Alya memperhatikan bocah itu yang sama sekali tidak menoleh kearahnya. Alya berusaha cuek dan berjalan ke arah motornya.

Alya memutar motornya dan bersiap meninggalkan halaman sekolahnya. Namun Dewa lebih dulu berjalan ke arah gerbang dan melintas didepannya. Mata Alya terperangah ketika ia melihat goresan yang cukup parah yang terdapat pada body sepeda motor muridnya itu. Bahkan helm yang digunakan Dewa juga tergoras dibagian samping kirinya. Alya bisa menebak kalau luka yang didapat dari muridnya itu ada hubungannya dengan sepeda motor. Ia menggelengkan kepalanya ketika memikirkannya.

Alya mematikan mesin motornya. Ia tidak bisa membohongi dirinya kalau ia khawatir saat ini. Tapi sikap Dewa membuat jarak mereka begitu jauh. Alya membuka ponselnya kemudian mengirimkan pesan pada muridnya itu, untuk kesekian kalinya.

Kamu jatuh dari motor ya? Lain kali hati-hati kalau di jalan.

Alya membaca sekali lagi pesan itu sebelum ia mengirmkannya. Ia memperhatikan kalimat yang digunakannya agar tidak terlalu jelas. Setelah mengirimkan pesan itu, Alya meninggalkan sekolahnya.

Dewa tiba diapartemennya dan  ia langsung mandi untuk bersiap menuju restoran yang selama ini ditinggalinya. Berlama-lama dirumah, ternyata membuatnya bosan. Dan ia ingin mengalihkan perhatiannya dari semua kegalauannya. Dewa membuka pakaiannya dan ia melihat ada pesan dilayar ponselnya. Ia membacanya dan tidak ada guratan apapun diwajahnya. Ia mematikan ponselnya kemudian menuju kamar mandi.

***

Arif masuk ke ruang kerja Ben dan berdiri didepan atasannya itu sambil membawa sebuah tas jinjing yang terbuat dari kertas bertuliskan Limoar. Ben menoleh dan menunggu apa yang ingin disampaikan oleh orang kepercayaannya itu.

"Pak, keluarga anda sudah tiba di Bali lima menit yang lalu." Ucap Arif menyampaikan pesan itu. Ben mengangguk. Keluarganya sudah kembali beraktifitas seperti biasa dan kini ia juga kembali melakukan kesibukannya sama seperti Alya.

"Barang-barang dikamar anda sudah dirapikan, dan ini." Arif memberikan tas itu kepada Ben. "Apa barang ini mau dibawa sekalian dengan barang anda yang lain atau anda mau membawanya sendiri." Tanya Arif. Ben melihatnya.

"Saya pikir mugkin itu kejutan yang anda siapkan. Makanya saya bawa kesini." Sambung Arif.

Ben melihat sebuah floral dress berwarna merah yang pernah dibelinya saat ia ke Bali kemarin. Niatnya membeli dress itu adalah untuk Elena karena wanita itu sangat menyukai model serupa. "Terima kasih." Ucap Ben. Ia menyimpannya di lemari dibawah meja kerjanya. Ia masih belum tahu apa yang akan dilakukannya.

"Pak, galeri Pak Agusman sudah selesai. Saat ini mereka sedang menyusun furniture yang disimpan di gudang kita." Ujar Arif lugas.

Ben mengangguk. "Elena dimana?"

"Beliau ada dibawah sedang memantau galerinya." Arif meneliti wajah atasannya. "Anda mau ke bawah?"

"Tidak." Jawab Ben tanpa pikir panjang. "Setelah makan siang kita langsung pergi?" Tanya Ben sambil menoleh.

"Iya, pak."

"Kita makan diluar saja disekitar lokasi meeting, takutnya macet." Usulnya.

"Siap, Pak." Arif keluar dari ruangan itu.

***

Elena berdiri didepan meja sekretaris Ben yang tengah mengetik sesuatu dilayar komputernya. "Permisi, ini undangan pembukaan galeri tolong kamu berikan untuk Ben, ya." Kata Elena.

Tina menerimanya dan memperhatikan sekilas. "Iya, buk."

Elena berjalan ke arah ruang Direktur utama untuk memberikan undangan yang sama.

Ben keluar dari ruangnya dan bersiap untuk menemui Arif yang sudah lebih dulu menunggunya dibawah. "Tina, saya pergi dulu ya." Katanya.

"Pak, maaf." Tina menahannya. "Ini ada undangan untuk anda dari ibu Elena." Ia memberikannya.

Ben berbalik dan mengambil undangan itu kemudian membacanya. Elena keluar dari ruang Direktur Utama dan melintas didepan Ben. Pria itu melihatnya. Mereka saling bertatapan.

"Galerinya sudah siap dibuka?" Tanya Ben basa-basi sambil memegang undangan itu.

Elena melirik Tina yang melihat ke arahnya. "Sudah 80% siap. Malam ini akan dikebut dan lusa sudah bisa pembukaan." Jelasnya. "Kamu mau kemana?" Tanyanya.

"Oh, aku mau meeting keluar." Ben tersadar.

"Aku duluan, ya." Elena pamit dan berjalan ke arah lift.

Ben menoleh ke arah sekretarisnya dan berkata, "Saya pergi dulu." Pamitnya.

Elena berdiri didepan lift dan Ben juga berdiri disampingnya. Mereka saling menoleh dan canggung.

"Berapa orang tamu undangannya?" Tanya Ben basa-basi.

"Sekitar tiga puluh orang, rata-rata adalah langganan galeri aku dulu." Jawabnya.

"Aku gak sempat melihat galeri kamu seperti apa. Tapi aku dengar galerinya ramai pembeli." Kata Ben semakin ramah.

Elena menoleh dengan tawa kecilnya, "Arif yang bilang sama kamu?"

Ben ikut tertawa. Ia membenarkan akan hal itu. "Arif nanti akan beri kunci kamar untuk tempat istirahat kamu. Aku sudah suruh Arif samarkan nama kamu didaftar tamu." Katanya. Elena tidak berkomentar. Pintu lift terbuka dan mereka masuk. Kebetulan saat itu hanya mereka berdua saja yang ada didalamnya. Ben memperhatikan CCTV yang saat itu berkedip. "Roy masih menghubungi kamu?" Tanyanya.

"Cepat atau lambat, Roy pasti akan muncul lagi. Sebagian penerima undangan ini adalah langganannya SEMPARI, beritanya pasti akan sampai ke telinga Roy." Jelas Elena. Ben menoleh Elena yang berdiri disampingnya.

"Kamu gak perlu lihat aku sebegitunya." Elena melirik lucu. "Ini bukan pertama kalinya aku seperti ini. Aku udah kebal." Pintu lift terbuka dilantai dua. Ia keluar lebih dulu dan menoleh ke arah belakang sesaat sebelum pintu lift tertutup.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9.45 malam. Mita bersiap untuk menuju basemen dan pulang. Ia keluar dari arah restorannya dan tanpa sengaja melihat Dewa yang sedang mengambil piring kotor. Sudah beberapa hari ini dirinya tidak melihat Dewa disana. Namun tidak hari ini.

Mita membatalkan niatnya untuk ke basemen. Ia berjalan ke arah restoran buffet. Ia mendekati Dewa perlahan dan menyusun kalimatnya. "Kemana aja gak kelihatan?" Sindirnya. Ia melihat luka pada lengan Dewa karena seragam yang digunakan bocah itu berlengan pendek.

Dewa menoleh. Ia melihat Mita ada dibelakangnya. Senyumnya mengembang tipis. "Udah pulang, mbak?" Sapanya.

Mita mengangguk. Ia melihat ekspresi Dewa berbeda. "Masih betah kerja disini?" Tanyanya. Tak ada maksud lain disana kecuali hanya sekedar basa-basi. Ia sengaja tidak bertanya soal luka itu.

"Masih mbak. Saya mau kemana lagi." Sahut Dewa tanpa menoleh.

Mita tidak punya pertanyaan lagi. Saat ini ia dilema antara pulang dan mengobrol dengan Dewa. "Kamu pulang jam berapa?" Ia hanya sekedar bertanya.

"Mungkin jam sebelas, mbak." Dewa siap mendorong meja trolley nya ke arah pintu dapur.

"Saya duluan, ya." Mita pamit. Dewa memperhatikan wanita itu. Ia seperti bisa menebak kalau Mita akan mengatakan sesuatu padanya, namun tertahan.

Dewa menoleh ke belakang dan melihat Mita berjalan menuju lift. Ia kembali menoleh depan dan tak sengaja ia melihat ada sesuatu yang berubah dilobinya. Benar saja, disudut lobinya ada semacam booth kecil yang berdindingkan semacam jendela besar dengan garis hitam disana. Dewa tidak tahu akan hal itu dan ia juga tidak mau mencari tahu. Ia kembali ke dapur dan mencuci semua piring-piring itu.

***

Alya sudah berbaring diatas tempat tidurnya dan sedang melihat sesuatu didalam ponselnya. Ben baru saja keluar dari kamar mandinya dan langsung duduk disamping istrinya. Kakinya yang setengah basah, sengaja ia tempelkan pada kaki istrinya.

"Ben, kaki kamu basah." Alya terkejut ketika ia merasakan kaki itu menyentuhnya.

Ben bersandar dikepala tempat tidur barunya dan melihat Alya sibuk dengan ponselnya. "Kamu lagi balas pesan siapa?" Tanyanya.

Alya menunjukkan layar ponselnya. "Rina. Besok malam dia ajak makan malam diluar. Kamu ikut ya?" Ajaknya.

Ben mengangguk. Ia berbaring dan memeluk Alya dari samping. Kepalanya ia letakkan diatas paha istrinya. "Kamu belum ngantuk?" Tanyanya.

Alya mematikan ponselnya kemudian ikut berbaring. Pria itu beralih memeluk tubuhnya. "Aku matiin lampunya, ya." Ia memadamkan lampu kamarnya menggunakan saklar sambung disamping tempat tidurnya yang sengaja dipasang disana. Seketika ruangan itu gelap.

Alya menarik selimut dan menutup tubuh mereka berdua. Ben masih memeluk wanita itu dan menatap wajah Alya dengan sendu. Ia tidak menyangka kalau wanita itu memiliki daya tarik yang membuatnya bisa mengeluarkan sifat manjanya beberapa kali semenjak menikah.

Alya menoleh ke arah Ben dan menatap kedua bola mata pria itu. Ia memberikan senyumannya dan mencium pipi kanan pria itu. "Goodnight, Ben." Ia mulai memejamkan matanya.

Ben masih tak bergerak. Sudah tiga malam mereka tidur bersama dan Alya selalu melakukan hal yang sama sebelum tidur yaitu menciumnya. Namun Ben hanya sekali melakukannya yaitu saat malam pertama. Selebihnya Alya yang lebih menunjukkannya. Ben menarik tangannya dan ia terlentang menghadap langit apartemen. Ia tidak mengucapkan kalimat apapun dan langsung merapatkan matanya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.