Alya terpaksa mencuci rambutnya karena banyaknya sprai yang disemprotkan ke batang rambutnya. Ia memakai baju mandinya dan menutup kepalanya dengan handuk. Ia berjalan keluar kamar mandi dan melihat Ben sedang menutup matanya dengan kepala yang sedikit mendongak ke atas.
Alya mendekati pria itu. "Ben, kamu mandi dulu baru tidur." Panggil Alya.
Ben membuka matanya kemudian melihat Alya dalam balutan baju mandi yang tidak pernah dilihatnya. Wajahnya yang polos tanpa make-up serta lehernya yang terlihat begitu menggodanya. Ben bangkit dan mulai melepas jasnya. "Kamu mau makan lagi gak?" Tanya Ben.
"Enggak, aku masih kenyang." Jawab Alya membuka rambutnya yang basah dan mulai mengeringkannya.
"Kamu yakin?" Tatapannya menggoda. "Nanti kamu lapar." Tambahnya.
Alya menoleh ke arahnya dengan heran. "Enggak, Ben. Aku masih kenyang."
Ben mengangguk paham kemudian membuka kemejanya didepan Alya. Wanita itu memutar tubuhnya ke arah lain. Canggung sekali baginya melihat Ben seperti itu.
Ben tahu kalau Alya menghidari kontak mata dengannya. Ia membuka celana hitamnya dan dengan sengaja membiarkannya dilantai kamar. Hanya celana pendeknya yang terlihat. Alya membalikkan tubuhnya membelakangi Ben sambil mengeringkan rambutnya. Ia melonggarkan tenggorokannya dan berjalan ke arah pakaian tidur yang sudah disiapkan oleh pihak Wedding planner. Ben tertawa kecil kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Kamu lucu banget sih, batin Ben.
Tak berapa lama, Ben keluar dari dalam kamar mandi dan melihat Alya sedang memakaikan krim di wajah polosnya. Tatapan mereka saling bertaut. Alya bisa melihat bagaimana kekar tubuh Ben dalam balutan handuk yang menggantung dipinggang pria itu.
Ben berjalan ke arah Alya dan berdiri dibelakang wanita itu. Alya menghentikkan gerakan tangan pada wajahnya. Matanya menatap Ben lurus melalui cermin. Bibirnya sudah terasa kering dan jantungnya berdetak cepat.
Ben mulai menyentuh bahu Alya dengan lembut. Ia mengelusnya disana. Ben tidak bisa merasakan ada penghalang disana seperti tali bra. Ben memastikan dengan mengelus punggung wanita itu. Benar saja, Alya tidak memakai bra.
Alya mulai merasakan sentuhan Ben membuatnya bergelik remang dan menggoda. Alya tidak bisa menahannya lagi karena ada sesuatu yang menyuruhnya untuk membiarkannya saja keluar dan menikmatinya.
Ben mengangkat tubuh Alya dari kursi itu. Ia memutar tubuh Alya hingga menghadapnya. Tatapannya begiu sendu seakan ia mau meledak karena menahannya. Ben mencium bibir Alya lembut sambil memejamkan matanya. Alya tidak mengelak. Ia membalas ciuman itu dan mulai meraba dada Ben yang bidang.
Ben menggendong Alya dan membawa wanita itu ke atas tempat tidur. Ia menindih Alya dan menatap wanita itu dengan senyumannya. Perlahan dan lembut ia membuat Alya mabuk akan sentuhannya. Hingga mereka larut didalam gairah masing-masing. Alya bahagia karena ia bisa menjadi istri seutuhnya ketika ia merasakan surgawi terindah untuk pertama kalinya.
Ben menatap Alya yang terlelap didalam tidurnya. Wanita itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya tengah dipandangi oleh suaminya. Ben memperhatikan lekuk wajah itu. Wanita didepannya ini adalah istrinya, lebih tepatnya mereka baru saja mengesahkannya.
Ben masih memandangi wajah itu. Wajah yang lembut dan terlihat menyimpan sejuta cinta untuknya. Saat mereka tengah dimabuk cinta, Ben bukan hanya merasakan Alya disana namun juga cinta wanita itu yang ikut tercurahkan. Alya memberikannya rasa yang tidak pernah ia dapatkan dari Elena. Ben mencium kening Alya lembut sambil tersenyum. Ia memejamkan matanya dan mencoba tidur.
***
Dewa tiba ditempat balap liar itu. Tempat itu cukup jauh dari pemukiman warga dan cukup terpencil. Suasana sudah ramai. Para penoton sengaja ditertibkan dengan meluruskan motornya ke arah arena dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan motornya. Karena jika polisi sudah datang, mereka tidak perlu repot-repot berlari, hanya tinggal menghidupkan motor masing-masing.
Dewa mendapatkan posisi hampir paling ujung karena ia tiba saat jam sudah pukul 9 malam. Balap liar ini tidak memakai ronde. Sekali pertandingan dan langsung mendapatkan pemenangnya. Mereka juga tidak menyebarkannya melalui umum, hanya dari mulut ke mulut saja. Dan Dewa mendapatkan informasi ini dari rekan kerjanya di restoran buffet.
Tak berapa lama, pertandingan dimulai. Ada enam kelompok motor yang bertarung dan mereka diwakili oleh satu orang yang paling diandalkan di grup itu. Mereka akan bergerak sejauh dua kilo meter kemudian memutari sebuah air mancur dan kembali ke finish untuk menetukan sang juara.
Bendera sudah diangkat tanda pembalap itu melaju dengan maksimal. Suara deru motor dan asap knalpot memenuhi garis start. Teriakan penonton juga tak kalah histeris. Dewa memperhatikan balap itu dan melupakan sejenak kisah hidupnya yang menyedihkan. Senyum hambarnya terukir disana dan ia masih berusaha.
Lima menit kemudian, sorot lampu motor mulai mendekat tanda acara balap akan segera selesai. Dewa memperhatikan sorot lampu itu dan tawanya merekah ketika salah satu pembalap andalannya menang yaitu Karep. Dewa berdecak gembira melihat kemenangan karep. Ia melihat pria itu menerima segumpalan uang yang menjadi hadiahnya.
"POLISI!" Teriak seseorang dengan kecang. Serentak semuanya bubar dan menghidupkan motornya masing-masing lalu meninggalkan tempat itu berlawanan dengan arah datangnya polisi dari sebelah kiri. Tak ada bunyi sirine namun lampu kelap-kelipnya sangat dikenal dan bisa dilihat siapa saja. Polisi mulai turun dan menyerbu para bocah itu.
"SIAL!" Dewa melajukan motornya ke arah kiri yang jalannya semakin sempit dan sepi. Ia tidak peduli. Yang penting dirinya harus lolos dari pengejaran ini. Dewa menoleh ke belakang dan mobil polisi cukup jauh tapi masih mengejarnya. Ia menoleh ke depan dan hendak berbelok ke sebelah kiri untuk kembali ke jalan protokol.
Dewa tidak sempat mengerem motornya dan ia terjatuh dengan kecepatan laju. Motornya terseret ke depan hingga menimbulkan percikap api. Ia juga berguling mencium aspal ke arah yang sama. Dewa mengerang kesakitan namun sorot matanya melihat lampu mobil polisi semakin dekat. Tubuhnya spontan berdiri dan mendirikan motornya kembali.
Untungnya, motornya masih menyala. Dewa langsung melaju meninggalkan tempat itu dan masuk ke jalan protokol yang saat itu masih ramai karena malam minggu.
Beberapa menit kemudian, Dewa merasakan perih dari arah tangan kirinya. Terpaan angin malam menandakan ada yang salah dengan tangan kirinya. Dewa menepi disebuah warung pinggiran yang memiliki cahaya yang cukup terang. Ia menumpang disana sebentar.
Dewa melihat jaketnya robek parah dibagian tangan. Dari celah-celah itu Dewa melihat ada goresan luka. Dewa menengok ke arah telapak tangannya yang basah. Ternyata darah mengalir dari lukanya. Dewa melihat ke arah celana jeansnya yang juga robek. Ia menahan rasa sakitnya dan kembali berjalan menuju pulang.
Dewa tiba diapartemennya dan langsung menuju kamar mandi kemudian membuka semua pakaiannya. Ia cukup takjub dengan beberapa lukanya yang besar. Bagian pergelangan kirinya banyak goresan yang besar dan lebar karena tajamnya aspal saat ia terseret. Bahkan beberapa ototnya terlihat berwarna putih dan juga kulit terkelupasnya masih menempel disana.
Kakinya juga tak kalah serius. Dari lutut sampai punggung kaki kirinya, semua penuh goresan dan luka. Bahkan luka itu bukan lagi mengeluarkan darah melainkan cairan bening yang lengket dan berbau yang melapisi epidermis kulit.
Dewa berjalan ke arah meja belajarnya dikamar dan mencari obat merah. Untungnya, obat merahnya masih tersisa sedikit dan bisa gunakan. Dewa nekat, ia membersihkan lukanya dengan menyiramkan air hangat ke daerah lukanya menggunakan shower.
Dewa berteriak kesakitan. Ia salah perhitungan. Ia mengira sakitnya tidak sebegitu parah. Ia menahannya hingga rasanya kebas dan kaku. Dewa mengambil tisu dan mengeringkan pinggiran lukanya. Ia menahan rasa sakit ketika tisu itu menyentuh permukaan lukanya. Ia mulai meletakkan obat merah itu pada kakinya.
Sayangnya, obat merah itu habis saat ia hendak memberi pada area tangannya. Alhasil, Dewa tidak meletakkan apapun pada luka ditangannya. Ia tidak mau keluar malam itu dan membiarkan lukanya seperti itu.
***
Pagi itu Alya tersadar dari tidurnya ketika ia merasakan sesuatu bergerak didepannya. Ia membuka matanya dan melihat Ben berbaring miring menghadapnya. Pria itu langsung memberikan ciuman pertamanya pagi itu.
"Kamu yakin gak mau bulan madu?" Kalimat itu keluar dari mulut Ben dengan lembut. "Tiga hari cukup untuk kita pergi jalan-jalan." Ajaknya.
Alya memberikan senyumannya pada suaminya. "Setelah ujian semester selesai, kamu bisa ajak aku pergi kemana aja." Jawab Alya lembut. Selimut itu masih menutupi tubuhnya yang hanya dilapisi kaos oblong.
Ben menatap Alya. "Hari ini aku mau ajak kamu ke tempat baru." Ucap Ben.
"Kemana?" Tanya Alya curiga dengan wajah malunya.
Ben membuka selimut Alya dan menyelipkan tubuhnya disana kemudian memeluk istrinya dengan hangat. "Setelah ini." Tangannya mulai bermain disana membuat Alya harus menghentikannya.
Ben menggandeng tangan Alya keluar dari lift menuju restoran buffet karena orang tua mereka sudah menunggu disana. Beberapa pegawai menyapa Alya dan memberikan senyuman sebagai tanda kalau dirinya adalah istri sah Benjamin Malpis. Perlahan, Alya mulai terbiasa dengan itu.
Ben membukakan kursi untuk istrinya saat yang lain sudah menunggu dan menyantap sarapan pagi yang ada. Sudah ada keluarga besar mereka disana, baik orang tua maupun adik beradik, semua berkumpul disana karena mereka menginap dihotel setelah acara selesai.
Semua pandangan menuju ke arah Alya dan Ben yang baru saja menempelkan bokong mereka pada kursi itu. Alya melihat keluarganya tampak lahap menyantap makanan hotel yang pastinya jarang mereka temui. Bahkan adik-adiknya juga terlihat penuh senyum menghabiskan makanan yang ada. Mereka tampak kompak baik keluarga Ben ataupun keluarganya. Tidak ada kecanggungan disana.
"Ben kamu mau ikut main golf setelah ini?" Tanya Malpis. "Papa mengajak bapak mertuamu untuk bergabung. Mau ikut?" Ajaknya.
Ben menggeleng, "Ben gak bisa, Pa. Hari ini Ben mau ajak Alya pergi." Sahutnya.
Alya menoleh. "Kita bisa pergi lain kali. Kalau kamu mau bergabung aku gak apa." Sambungnya.
Ben menggeleng menatap Alya. "Main golf bisa lain kali. Tapi ini gak bisa ditunda lagi." Jawabnya.
"Ehem..." batuk Edwin. "Gak usah mesra gitu. Masih pagi." Sindirnya. Yang lain hanya tertawa.
"Hotel bakal kosong kalau penghuninya pindah." Sabung Arifin. Alya mengerutkan keningnya. Ben hanya bisa tertawa melihat abangnya.
"Kalian makan dulu gih," Kata Sarinah.
Alya menoleh ke arah Ben, "Kamu mau makan apa?" Tanya Alya perhatian. "Biar aku ambilkan sekalian." Ujarnya.
Ben merasa terharu. Sudah lama tidak ada yang begitu peduli padanya. "Aku roti sama kopi." Jawab Ben.
Alya bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah hidangan dan mulai mengambil sarapan untuk suaminya.
"Mbak Trisnah, setelah ini kita jadi pergi?" Tanya Sarinah pada besannya. Ben hanya memperhatikan.
Trisnah masih canggung dengan besannya itu. "Saya ikut aja," jawabnya.
"Yang lain juga ikut, kan?" Sarinah memastikan. Trisnah mengangguk yakin.
Ben berbisik pada Dira yang ada disebelahnya. "Memangnya mau kemana?"
"Tante Trisah mau ajak ke Mal, katanya udah lama gak pernah ke Mal rame-rame." Jawab Dira. Ben mengangguk paham. Ia bersyukur karena mamanya bisa berbaur dengan mertuanya.
***
Dewa duduk di dalam kelasnya seorang diri sambil menulis nama Alya Ariana didalam buku tulisnya. Ia menegakkan kepalanya dan melihat semua kursi itu kosong dan hanya ada dirinya. Dewa kembali menulis.
Samar-samar Dewa mendengar suara langkah dari arah depan. Ujung matanya melihat kalau seseorang menoleh ke arahnya. Dewa menegakkan kepalanya dan melihat wali kelasnya berjalan mendekatinya. Dewa memberikan senyuman dan wanita itu membalasnya.
Alya duduk disamping Dewa yang tersedia kursi kosong. Ia melihat apa yang sedang ditulis oleh muridnya itu. Tubuhnya semakin dekat dan memperhatikan dengan jelas apa yang dibacanya.
Dewa memberikan buku itu kepada wali kelasnya sambil tersenyum. Alya mengambil buku itu dan membacanya. Kemudian ia menoleh ke arah Dewa sambil memperlihatkan giginya yang rapi.
Alya meletakkan buku itu dan memeluk Dewa dengan erat. Dewa membalas pelukan itu dengan erat. Ia mencoba mengelus rambut panjang wanita iu yang tergerai. Alya melepaskan pelukannya mencium pipi Dewa dengan lembut.
Dewa menahan wajah Alya dan ia mencium bibir wanita itu dengan lembut. Beberapa saat Dewa masih melakukannya hingga ia terus membanjiri wanita itu hingga posisi Alya terbaring dan Dewa berdiri dari kursinya mengikuti gerakan Alya. Ciumannya semakin panas dan tiba-tiba Alya terjatuh dari kursi itu dan berteriak, "Argh!"
Dewa membuka matanya dan ia merasakan tangannya sakit. Posisi tangannya yang terluka baru saja mencium tempat tidurnya hingga meninggalkan bekas darah pada spreinya. Dewa mengelus tangannya yang kesakitan. Tapi ia merasakan sesuatu basah di bagian bawah.
Dewa membuka selimutnya dan melihat celananya basah. Ia baru saja mimpi basah dengan wali kelasnya. Ia menghela napas kesal karena tempat tidurnya juga terkena imbasnya. Dewa bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya sambil ia tertawa geli pada dirinya sendiri.
***
Ben membelokkan mobilnya memasuki sebuah area apartemen yang mewah. Alya sangat hapal daerah itu karena diujung jalan yang dilewatinya kelak ada sebuah apartemen mewah yang ditempati oleh Dewa.
Alya tidak banyak bertanya dan mengikuti langkah Ben yang menggandengnya lembut menuju lift.
Mereka tiba di lantai dua puluh dan Ben masih menggenggam tangan Alya menuju pintu apartemennya yang hanya berjarak beberapa langkah. Ben mengeluarkan sebuah kunci dari dalam kantong jasnya. Ia membuka pintu itu dan mempersilahkan istrinya masuk lebih dulu.
Kesan pertama Alya adalah ia menyukainya. Sedangkan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah ruang keluarga yang luas dan menyatu dengan dapur. Lantainya yang dilapisi dengan kayu membuat Alya semakin mengaguminya. "Ben, ini maksudnya apa?" Tanyanya.
Ben berdiri didepan Alya dan meraup wajah manis itu, "Ini punya kamu, milik kamu." Ia memberikan kunci apartemen itu pada istrinya. "Kita akan tinggal disini mulai malam ini." Katanya.
Alya tercengang. Ia bahkan tidak bisa berkata-kata hingga matanya berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya erat sekali sebagai tanda terima kasih.
"Aku gak pernah sebahagia ini. Ketemu kamu, menikah, tinggal diapartemen." Ujarnya. "Terima kasih, Ben." Ia semakin merapatkan pelukannya.
Ben membalas pelukan itu, "Aku hanya perlu bawa kamu ke Iceland." Sahut Ben manja.
"Gak perlu ke Iceland. Kamu ajak aku ke Singapur aja, aku udah seneng." Alya melepaskan pelukannya. Ia berjalan ke arah dapur dan semua peralatan masak sudah ada disana, termasuk panci dan penggorengan. Ia membuka kulkas dua pintu yang lebih tinggi darinya dan melihat isinya yang masih kosong.
"Ehm... aku sengaja belum isi." Ucap Ben. "Nanti kita bisa pergi ke supermarket bareng-bareng." Tambahnya. Alya mengangguk girang.
Tak jauh dari dapur ada sebuah meja kayu yang bisa diisi untuk empat orang yang terbuat dari kayu jati. Alya berjalan ke arah ruang keluarga yang luas. Jendela besar yang diberi tirai berwarna abu-abu, sengaja dibuka. Alya melihat pemandangan ibukota yang indah. Bangunan tinggi, gedung perkantotan serta hotel mewah ada didepannya. Bahkan disamping sisi kiri dan kanannya juga ada bangunan apartemen lain yang tak kalah mewahnya. Disudut kirinya paling ujung, tampak jalan tol dalam kota yang lengah saat itu. Namun sesaat ia teringat Dewa yang juga tinggal dijalan yang sama dengannya dan hanya berjarak lebih kurang dua ratus meter dari apartemennya.
'Kamu lihat apa?" Tanya Ben yang muncul dari sampingnya. Ia merangkul Alya. "Kita mau kemana dulu sekarang, ke supermarket apa ke rumah kamu ambil barang-barang penting kamu?" Ajaknya.
Alya menoleh dan tersenyum, "Ke rumah aku dulu." Ajaknya. Ben mengangguk. Mereka berbalik dan meninggalkan apartemen.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.
Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.
xoxo!!!