Chereads / MALPIS / Chapter 40 - Chapter 34 - Elena is Invited

Chapter 40 - Chapter 34 - Elena is Invited

Ben, Alya dan Elena sedang menyantap makan malam mereka, dan keadaan cukup hening. Ketiganya saling melirik satu sama lain.

"Hari ini aku udah ketemu sama beberapa pengrajin perabotan yang pernah membuat beberapa furnitureku." Elena membuka percakapan. Ben hanya menoleh.

"Malam ini, beberapa furniture yang dari Bali akan tiba di hotel kamu." Tambah wanita itu. Ujung matanya bisa melihat Alya yang hanya diam dan mengunyah makanannya.

Ben menoleh, "Oh iya?" Ia tidak mengetahui soal itu. "Aku gak tahu."

Elena mengangguk dengan senyum gelinya, "Iya. Memang gak ada pemberitahuan sebelumnya. Aku numpang diletakkin di gudang aja sambil menunggu galerinya siap minggu depan." Pikirnya.

"Emm.. aku gak tahu apa gudangnya muat menyimpan furniture kamu." Ben pernah mendengar laporan kalau gudangnya penuh. Alya hanya mendengarkan saja percakapan kedua orang itu.

"Aku udah tanya bagian perencanaan lokasi dan gudangnya cukup." Elena memastikannya tadi pagi melalui telepon. Alya tidak suka pembicaraan itu. Wanita didepannya itu seolah memberitahukannya secara tidak langsung kalau dirinya mengetahui seluk beluk Hotel Malpis.

Ben hanya tertawa kecil, "Kamu masih tahu letak gudang?" Tanyanya gurau.

"Di basemen." Jawabnya yakin. Ia tertawa bangga. Ia berusaha mencari topik lain agar percakapan mereka tidak terputus. "Mama sama papa kamu masih menginap di Hotel?" Tanyanya. Ben hanya mengangguk. Ia tahu maksud pertanyaan mantan istrinya itu yang membuat Alya tidak bisa bergabung.

"Oh iya, dari kemarin aku pengen tanya sama kamu, tapi lupa terus." Elena meneguk minumannya. "Arif masih belum menikah?" Ia mencari topik lainnya ketika Ben tidak memberikan respon yang baik pada pertanyaan sebelumnya.

Ben mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan itu. Wanita didepannya ini benar-benar menguji masa lalunya, "Kamu tahu darimana kalau Arif punya pacar?"

Elena mencoba mengingatnya. "Aku pernah lihat dia sekali di mal." Ujarnya. Elena merasa menang karena Alya tak mampu berkomentar.

Ben melihat Alya yang diam dan melahap makanannya sambil sesekali menunduk. Ben mengelus punggung wanita itu perlahan. Alya menoleh dengan tatapan kaget sesaat, kemudian ia memberikan senyumannya yang terlihat dipaksa.

"Kalau kamu gak nyaman kita bisa pulang sekarang." Ucap Ben sambil berbisik membelakangi Elena.

Alya kembali tersenyum, "aku gak apa." Jawabnya. Ben kembali mengenggam tangan wanitanya.

"Ada apa?" Tanya Elena. "Kenapa harus berbisik?" Ia menenguk minumannya. Ia merasa diabaikan disana melihat kedua orang iu berbisik didepannya.

"Biasalah." Jawab Ben singkat. Ia membuat Elena penasaran dan tidak memberikan gambaran lebih. Elena menyelesaikan makanannya lebih dulu kemudian Ben menyusul.

Ben teringat sesuatu dan ia menoleh ke arah Alya. "Besok sore kita masih ada last meeting dengan wedding planner. Tapi aku ada meeting sampai jam empat sore. Kalau aku jemput kamu jam enam gimana?" Tanyanya.

"Aku gak apa. Tapi apa wedding plannernya mau nungguin kita sampai jam segitu?" Alya tampak ragu. Ia tengah menghabiskan suapan terakhirnya.

"Aku bisa atur ulang nanti." Ben meyakinkan. Alya hanya mengangguk saja.

Elena menarik napas dalamnya. "Pernikahan kalian udah mau deket." Ucapnya. "Undangan untuk aku belum dikasi sampai hari ini." Sindirnya. Ia menyeka mulutnya dengan serbet yang tersedia.

Ben melirik ke arah wanita disampingnya dan mereka saling memberikan tatapan bingung. Elena menoleh ke arah Alya dengan senyuman sunggingnya. Alya merasa senyuman itu memperoloknya.

Elena tertawa. "Aku bercanda." Ia meletakkan serbet itu kembali.

"Kamu diundang." Ujar Alya tegas. Ben dan Elena menoleh kaget. "Arif akan kasi undangan untuk kamu besok." Tambahnya. Elena tersenyum sungging ketika Arif yang harus memberikannya undangan. Tatapan Alya tajam terhadap Elena. Dan pertemuan yang bermaksud untuk memperkenalkan malah berakhir dengan mempertahankan ego masing-masing

Alya membuka seat belt nya dan merasa dirinya sedang diperhatikan oleh Ben. Ia memastikan dan menoleh. Benar saja. Tatapan pria itu sendu membuatnya serba salah. "Kenapa?" Tanya Alya. Keadaan didalam mobil itu dingin sekali.

"Kenapa kamu undang Elena ke pernikahan kita?" Tanya Ben akhirnya. Pertanyaan itu sudah menyesak didadanya.

Alya menghela napasnya. "Pertemuan kita malam ini, menjelaskan kalau kekhawatiran aku beralasan." Ujar Alya. "Kalian akan kerja sama dan semua orang di Hotel akan lihat kedekatan kalian. Kalau Elena tidak datang, dan dia muncul dikantor setiap hari, orang akan berpikir kalau kalian punya hubungan spesial. Tapi kalau Elena datang ke pernikahan kita, semua orang akan berpikir kalau hubungan kalian memang hanya sebatas kerja sama." Jelasnya.

Bem mengangguk. "Kamu benar." Katanya. Ia mendekat dan mencium pipi Alya lembut. Ia berusaha membalikkan mood didalam mobil itu.

"Setelah pernikahan kita, kamu mau bulan madu kemana?" Tanyanya. "Iceland?" Ajaknya.

Alya memasang wajah murung. "Aku tidak bisa, Ben." Jawab Alya pelan. "Bulan depan ujian semester akan dimulai. Aku harus fokus dengan murid-murid disekolah. Aku gak bisa ambil cuti. Maaf ya." Ia merasa tidak enak.

Ben tertawa, "Kenapa harus minta maaf. Aku akan ikut kapan dan kemana kamu mau pergi. Aku tidak akan memaksa kamu untuk meninggalkan murid-murid kamu di sekolah." Jelasnya.

"Terima kasih." Sahut Alya lembut.

"Aku berencana akan pindah setelah kita menikah. Kamu mau tinggal di rumah atau apartemen?" Ben memberikan pilihan.

Alya tercengang dengan pilihan yang didapatnya. Tinggal diapartemen adalah salah satu mimpinya kalau ia merantau ke luar negeri. Tapi rumah juga pilihan yang menggiurkan. "Aku mau apartemen." Serunya ragu. Ia takut Ben tidak sejalan dengannya.

Senyum Ben merekah. "Aku setuju." Sahutnya lucu.

Alya membuka pintu mobil sambil berkata, "Tolong kamu bilang dengan Arif untuk memberikan undangan pernikahan kita ke Elena." Ia mengingatkan. "Aku gak mau kamu ketemu sama Elena." Sambungnya. Ben mengangguk paham.

***

Roy frustasi didepan pintu rumahnya. Ia terus menghubungi nomor Elena namun gagal. Ia sudah tidak bisa menghubungi wanita itu. Bahkan beberapa teman dekat Elena tidak mengetahui keberadaan wanita itu. Kemarin Roy sempat menelepon Hotel Malpis namun ia tidak mendapatkan informasi apapun dari sana. Roy mulai kesal. Ia tidak bisa kehilangan Elena. Wanita itu seperti magnet yang menggairahkan baginya. Roy memukul daun pintunya dengan keras karena amarahnya.

***

Dewa masuk ke ruang majelis guru dan ia langsung menuju ke arah meja Guru Sejarah. Ia meletakkan tugasnya diatas meja itu diantara tumpukan kertas lainnya. Dewa menangkap sesuatu yang meyelip diantara tumpukan kertas itu. Sebuah denah lokasi dan bertuliskan Hotel Malpis. Dewa penasaran. Tempat kerjanya muncul disaat yang tidak tepat dan ia harus melihatnya.

Dewa mengambil undangan itu dan membalikannya. Ia membaca tulisan yang terdapat di depan undangan itu. Alya dan Ben. Seketika Dewa hening. Ia mencerna nama Alya. Dan hanya satu nama Alya yang ia kenal didalam hidupnya yaitu wali kelasnya. Dan kemudian nama Ben bermain di benaknya. Hanya ada satu nama Ben didalam kamusnya yaitu Bos besar di Hotel Malpis yang cukup dikenalnya.

Dewa melihat Alya dimejanya sedang menulis sesuatu disana dengan serius. Ia melihat sekeliling meja Guru sejarah itu kosong dan tidak ada yang perlu ditakutinya. Dewa membuka undangan yang sudah tidak berplastik itu. Ia membacanya.

Alya Ariana. Sorot mata Dewa berubah sendu. Itu adalah nama wali kelasnya. Benjamin Malpis. Dewa merasa dunianya hancur. Bagaimana bisa wali kelasnya menikahi orang yang dikenalnya. Ditambah lagi pernikahan itu akan dilaksanakan dalam empat hari lagi. Dewa meletakkan undangan itu meninggalkan majelis guru.

***

Arif masuk ke dalam ruang kerja Ben. Ia melihat pria itu sedang membaca sesuatu di laptopnya. "Permisi, Pak." Sapanya. Ben menoleh sekilas dan kembali serius menatap laptopnya.

"Undangan untuk Ibu Elena sudah siap. Saya akan antar setelah jam makan siang." Ucapnya.

Ben melirik sekilas, "Oke." Jawabnya.

"Tim produksi film juga sudah menyelesaikan syuting terkahir mereka di swimming pool. Dan mereka juga sudah meninggalkan hotel. Sutradaranya hanya titip salam karena tidak sempat berpamitan dengan anda saat rapat tadi." Jelasnya. Ben mengangguk paham.

"Mereka juga menitipkan ini." Arif memberikan amplop putih. "Ini untuk Dewa, kemarin dia menggantikan salah satu pemain yang tidak bisa hadir." Katanya.

"Dewa, part time di restoran buffet?" Ben memastikan.

"Iya, Pak." Jawab Arif tegas.

Ben mengambil amplop itu dan menyimpannya dilaci. "Bisa juga dia akting." Tawanya pelan. "Nanti saya berikan pada Dewa." Ia kembali menatap laptop.

"Permisi, Pak." Arif meninggalkan ruangan itu.

***

Dewa keluar dari lift lobi langsung menuju restoran Mita dan mencari wanita itu. Mita yang kebetulan baru keluar dari ruang karyawan melihat Dewa sedang berdiri didepan restorannya.

"Hei, cari siapa?" Sapa Mita. Ia hanya basa-basi. Ia tahu kalau hanya dirinya yang berurusan dengan Dewa.

"Mbak, aku mau bicara sebentar." Ucap Dewa dengan nada tegas. Ia menunjuk ke arah belakang.

Mita merasa ada yang tidak beres. Ia ijin dengan salah seorang karyawan restorannya sesaat. Mereka berjalan ke arah sudut hotel yang sunyi.

"Ada apa, Dewa?" Tanya Mita penasaran.

Dewa menarik napasnya sesaat, "Apa bener temen mbak mau menikah?" Tanyanya.

Mita menganga saat Dewa menanyakan hal itu. Ia sudah berniat memberitahu hal itu pada Dewa, hanya waktunya saja yang tidak pas. "Benar." Katanya.

Dewa memejamkan matanya kesal. "Menikah dengan Ben? Satu-satunya Ben yang ada di Hotel Malpis?"

Mita mnghela napas beratnya kemudian mengangguk. Dewa meraup wajahnya. Orang yang paling berarti baginya akan meninggalkannya sama seperti kedua orang tuanya. Ia berharap setidaknya wanita itu bisa menunggu hingga ia lulus sekolah.

"Mbak bukannya gak mau beritahu kamu. Mbak gak tahu gimana caranya bilang ke kamu." Mita memberikan pembelaan atas kesalahannya. "Ben itu adalah cowok yang dikenal Alya waktu dia ke Bali." Jelasnya. Dewa diam. Ia menunduk sesaat kemudian pergi menuju tangga darurat ke arah parkiran. Mita hanya bisa melepas kepergian bocah itu.

***

Ben berdiri didepan pintu masuk restoran buffet di hotelnya. Ia disambut oleh manajer restoran itu.

"Cari Dewa, Pak?" Tanya manajer itu.

Ben mengangguk. "Iya. Bisa tolong panggilkan dia sebentar?" Pintanya.

Wajah manajer berubah kelam. "Dewa gak masuk hari ini, Pak." Ujarnya.

"Kenapa, sakit lagi?" Ben khawatir.

"Saya tidak tahu, Pak. Dia tidak ada kabar." Ucap Manajer itu.

Ben memegang erat amplop yang mau ia berikan pada Dewa dan tampak kecewa. Ia berbalik dan menuju ruang kerjanya.

***

Alya melepaskan helmnya dan memegang tas jinjing yang terbuat dari kertas yang berisikan beberapa barang yang akan ia berikan pada Dewa. Baju kaos yang dibelinya di Bali, undangan pernikahannya serta hand cream yang dibelinya khusus untuk Dewa serta tak lupa dua bungkus makan malam untuk mereka berdua.

Alya hanya punya kesempatan hari ini untuk memberikannya karena mulai besok ia tidak boleh keluar rumah kecuali ke sekolah. Dan ia tidak mungkin memberikan barang itu pada Dewa didalam perkarangan sekolah. Makanya, Alya membulatkan tekad dan meredam ego serta rasa gengsinya demi memberikan barang-barang itu. Barang yang sudah ditumpuknya akhirnya tersampaikan karena satu alasan yaitu undangan pernikahan.

Alya berdiri di meja resepsionis dan meminja ijin untuk masuk. Dan gadis yang bertugas disana memperbolehkan Alya masuk.

Alya berdiri didepan pintu apartemen Dewa. Ia menarik napasnya dan berusaha tenang. Ia mengetuk pintu itu beberapa kali.

Dewa sedang bermain game didepan laptopnya diatas meja makan dengan headphone yang menempel pada telinganya.

Alya kembali mengetuk pintu itu. Rasa tenangnya mulai memudar dan berubah khawatir karena ia tidak mendapatkan jawaban dari dalam.

Dewa masih serius memainkan gamenya dengan volume besar mendengingkan telinganya. Ia melupakam urusannya sejenak dan memusatkan perhatiannya pada game didepannya saat ini. Jika itu tidak ia lakukan, maka dalam sekejap ia akan rapuh.

Alya mulai was-was. Ia mengambil ponselnya kemudian menelepon muridnya itu. Nada sambung terdengar ditelinganya.

Dewa melihat ponselnya menyala tepat disamping laptopnya. Ia melirik sesaat dan melihat nama wali kelasnya muncul. Pikirannya teralihkan kembali dan ia hampir saja kalah dalam permainan gamenya.

Alya mendengar suara getar ponsel dari dalam apartemen. Ia mendekatkan dirinya dan terdengar suara samar-sama berisik dari dalam rumah. Dan tentunya suara getar ponsel yang jelas sekali. Alya menggedor pintu Dewa namun tidak dibuka.

Alya kesal. Ia mengirimkan pesan pada Dewa yang berisi,

Saya ada didepan rumah kamu sekarang. Bisa tolong buka pintunya?

Sebuah pesan muncul dilayar ponsel Dewa. Ia melirik dan matanya seolah membaca isi pesan itu. Seketika Dewa kalah dengan permainan gamenya. Ia melepaskan headsetnya kemudian mendengarkan ketukan pintu dari arah depan.

"DEWA, BUKA PINTUNYA. SAYA TAHU KAMU ADA DIDALAM." Panggil Alya.

Dewa menutup matanya untuk menenangkan dirinya. Ia berdiri dari kursinya dan menuju pintu apartemennya. Ia menarik napas dalamnya kemudian membuka kunci pintu itu.

Alya melihat Dewa muncul didepan pintu. Bocah itu tidak membuka pintu dengan lebar dan hanya sebatas tubuhnya saja. "Kamu lagi ngapain didalam?" Tanya Alya.

"Ada apa?" Nadanya dingin.

Alya bisa merasakan kalau nada bicara Dewa berbeda. Nada bicaranya sama seperti saat bocah itu marah padanya dulu. Dan itu membuat Alya tidak nyaman. Ia lebih suka Dewa yang usil, nakal dan melawannya saat sedang berbicara. "Saya boleh masuk?" Pintanya.

"Maaf, gak bisa." Dewa menoleh ke arah lain. Ia tidak membuka pintunya sedikitpun. Ia melihat bawaan Alya yang mengusik matanya.

"Saya bawakan makan malam dua bungkus." Ucap Alya sambil mengangkat bungkusannya.

"Saya gak lapar. Lain kali aja." Ujar Dewa ketus dan terkesan mengusir.

Alya yakin kalau bocah ini sedang marah dengannya. Tapi ia tidak punya keberanian untuk bertanya. "Ya udah, ini buat kamu. Didalamnya ada beberapa barang. Kamu bisa lihat sendiri nanti." Alya memberikan tas jinjing itu. "Makanan ini..."

Dewa mengambil tas jinjing itu. "Saya gak lapar. Makanan itu bisa dikasi ke orang lain saja." Ujar Dewa. "Lain kali gak perlu datang kesini lagi." Tambahnya. Ia memang sedang tidak lapar saat ini. Dan pastinya, ia tidak mau makan berdua dengan wali kelasnya. Melihat wajah wanita itu sudah membuatnya tak menentu.

Alya tercengang dengan kalimat Dewa. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Dewa menutup pintu apartemennya dan menguncinya rapat. Ia masih berdiri disana.

"Saya tidak mungkin kasi barang-barang itu disekolah. Makanya saya datang kesini." Ucap Alya dari depan daun pintu yang tertutup rapat.

Dewa mendengarnya. Ia menoleh ke dalam isi tas itu. Ia melihat sebuah undangan, kaos berwarna putih dan juga botol plastik berukuran sedang.

"Saya pulang dulu." Pamit Alya.

Dewa tidak ingin membongkar isi tas itu. Ia mencampakkannya ke dalam tempat cuci piring yang saat itu sedang kering. Bunyi hentaman keras terdengar seisi apartemen. Alya bahkan berbalik karena mendengar suara lemparan. Ia menghela napas dalam. Dewa menutup laptopnya begitu saja dan mematikan semua lampu bahkan dikamarnya sekalipun. Ia memejamkan matanya dan berusaha tidur.

Alya keluar dari lift dilantai dasar apartemen Dewa. Ia masih menggenggam plastik makanannya. Ia membelikan nasi goreng kambing spesial untuk mereka berdua. Namun sepertinya Dewa tidak menginginkannya. Alya menaiki motornya dan berjalan menuju pintu gerbang apartemen. Ia memberikan nasi goreng itu kepada satpam yang berjaga disana. Ia juga tidak selera untuk menghabiskannya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.