Chereads / MALPIS / Chapter 41 - Chapter 35 - They Did it Again

Chapter 41 - Chapter 35 - They Did it Again

Ben baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaannya dan bersiap untuk meninggalkan ruang kerjanya namun matanya malah menoleh puzzle yang yang tergeletak didepannya. Ia berdiri didepan meja puzzle itu dengan tatapan kesal.

"Kenapa aku gak bisa selesaikan ini, El?" Ucapnya pada diri sendiri. Ben mulai mencari kepingan puzzle yang menjadi penyambung selanjutnya dari puzzle yang sudah tersusun. Beberapa menit ia mencari namun ia tidak menemukannya. Entah kenapa, dimatanya semua kepingan itu sama. Ia juga tidak bisa fokus dan selalu teralihkan dengan mood dihatinya.

KRING! KRING! KRING!

Telpon kamar itu berbunyi. Ben meninggalkan puzzlenya dan menyambut telepon itu. "Halo?"

"Selamat malam, pak. Ini Riko bagian resepsionis." Sapanya. "Maaf pak, mengganggu jam segini. Saya cuma mau menyampaikan sesuatu." Jelasnya.

"Apa?" Ben tidak ada curiga sedikitpun.

"Barusan pria yang mencari Ibu Elena menelepon kembali. Dia menanyakan hal yang sama. Dia ingin tahu apakah ibu Elena ada di hotel ini."

"Lalu kamu jawab apa?"

"Awalnya saya bilang kalau saya tidak bisa memberitahu daftar tamu yang menginap. Terus beliau semakin mendesak. Akhirnya saya bilang disini tidak ada Ibu Elena." Riko mulai takut. Ia khawatir kalau kalimatnya salah.

Terdengar helaan napas Ben disana, "Dia masih ada telpon lagi setelah itu?"

"Tidak, pak." Jawab Riko. "Tapi, pak..." ia tampak ragu mengatakannya.

"Ada apa?" Ben mulai gusar.

"Nomor yang menelepon saat itu adalah nomor telepon Hotel Aryiz." Ucap Riko.

Ben terkejut. Jika Roy menelepon menggunakan telepon Hotel Aryiz, artinya pria itu sudah ada di Jakarta. "Kamu yakin?"

"Yakin, pak. Kodenya 021." Jelasnya yakin.

"Terima kasih." Ben langsung mematikan teleponnya dan mengambil ponselnya kemudian menelepon Elena. Sambil mencari nomor Elena, Ben melihat tampilannya yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dengan celana pendek.

Beberapa kali ia menelepon dan wanita itu belum mengangkatnya. Perasaan Ben semakin khawatir saat ini. Hingga kelima kalinya, Elena mengangkat telepon itu.

"El, kamu dimana sekarang?" Tanya Ben histeris.

Elena sempat kaget melihat Ben menghubunginya setelah semua yang terjadi. "Aku diapartemen. Kenapa, Ben?" Tanyanya mulai penasaran karena nada bicara Ben yang gelisah.

"El, dengerin aku ya. Kamu kunci pintu apartemen kamu sekarang. Jangan biarin siapapun masuk sampai aku datang ke sana. Kamu kirim alamat kamu sekarang. Aku kesana." Kata Ben.

Elena tidak panik. Ia malah mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa sebenarnya? Kenapa aku harus kunci pintu dan kirim kamu alamat segala." Tanyanya. Ia tidak mengerti maksud pria itu.

Ben berlari ke arah wardrobe nya dan mengambil kaos oblong, jaket tipis serta celana trainingnya. Ia menarik napasnya. "Roy ada di Jakarta. Dia barusan nelpon ke hotel tanya keberadaan kamu. Roy telepon dari Hotel Alyiz."

Elena tidak terkejut sama sekali. Ia menghela napas dalamnya. "Aku sudah duga." Katanya. "Tapi aku sudah block nomornya. Cepat atau lambat, Roy pasti akan menemukan aku, Ben. Gak ada tempat lain yang bisa aku tuju selain Jakarta." Jelasnya.

"El, aku gak akan biarin Roy mendekati kamu sedikitpun. Aku kesana sekarang." Ben mematikan ponselnya dan pergi meninggalkan kamarnya dan membawa dompetnya.

Elena merasakan sesuatu bergetar dari ponselnya. Ia melihat nomor dengan kode 021 meneleponnya. Seketika Elena yakin kalau itu adalah Roy. Beberapa kali nomor itu meneleponnya namun tidak dijawabnya. Beberapa menit akhirnya getaran itu berhenti menandakan kalau penelepon menyudahinya.

Namun nyatanya salah. Tak lama setelah itu ponsel Elena bergetar kembali dan ia melihat nomor ponsel baru lainnya tengah meneleponnya saat ini. Ia yakin kalau nomor yang menelepon itu masih orang yang sama. Elena tidak ingin mengangkatnya. Ia tidak mau berurusan lagi dengan pria itu. Ia harus mengabaikannya. Jika pertahanannya kalah, maka dalam hitungan jam, Roy akan menemukannya.

***

Ben berjalan menuju lobi resepsionis apartemen Elena. Resepsionis itu memberitahunya dan Ben diijinkan masuk. Ben berjalan menuju lift dan menekan angka 20 disana.

Tuk! Tuk! Tuk!

Ben mengetuk pintu apartemen Elena. Dalam sekejap pinu itu terbuka dan ia memeluk wanita itu erat. Ia membawa masuk Elena dan mengunci rapat pintu itu.

"Kamu gak perlu ngelakuin ini semua, kamu tahu itu." Kata Elena menyambut kedatangan Ben. Pria itu melepaskan pelukannya.

"Cukup buat aku tahu apa yang udah Roy lakukan sama kamu selama ini. Aku gak mau dia melakukannya lagi, disini." Sahut Ben.

"Cepat atau lambat, pada akhirnya Roy akan menemukan aku, Ben. Semuanya tergantung sikap aku untuk bisa melawan Roy." Jelasnya.

Ben menggelengkan kepalanya, "Kamu ganti nomor aja." Usulnya. "Besok aku carikan nomor baru utuk kamu." Sambungnya.

Elena menggelengkan kepalanya, "Tidak akan membuat Roy berhenti. Dia pasti akan melakukan cara apapun untuk bisa menemukan aku. Sedangkan aku setiap hari akan ada dilobi. Dengan mudah ia bisa menemui aku, Ben." Jelasnya.

Ben menghela napas. "Kalau gitu, kamu harus minta tolong Agusman untuk membantu."

Elena menggelengkan kepalanya. "Ben! Ini bukan soal minta perlindungan. Ini semua harus aku yang mengakhirinya. Selama ini aku tahu kalau Roy itu kasar tapi aku masih mau menerima dia, karna aku lemah. Aku gak bisa melawan Roy selama ini." Ia menolak usul itu.

Ben menggelengkan kepalanya resah. Ia duduk disalah satu sofa menghadap Elena. "Apa sulitnya melawan Roy, El?" Tanyanya.

Elena menerawang pria didepannya. "Kenapa kamu sulit melupakan aku, Ben?" Ia membalikkan pertanyaan itu. Ben terdiam. Ia menatap Elena sendu.

"Kalau kamu sudah bisa move on, kamu tidak akan datang kesini." Elena mendekati pria itu. "Datang kesini adalah sebuah kesalahan besar." Ia semakin mendekat. Ben menunduk dan merenung kalimat wanita itu.

Elena mengusap wajah Ben pelan dan posisi mereka begitu dekat. Ia berdiri didepan Ben yang sedang duduk disofa. Pria itu menengadah kepalanya melihat Elena. Mereka saling menatap satu sama lain. "Aku seharusnya meninggalkan Roy sejak dulu. Tapi nyatanya, aku meninggalkan kamu yang sampai detik ini masih disini." Empat mata itu tak bergerak sedikitpun.

"Apa hebatnya kamu, sampai aku belum bisa melupakan semua tentang kita?" Ujar Ben. Ia menanyakan pertanyaan itu untuk mereka berdua.

"Apa hebatnya Alya sampai kamu mau menikah dengan dia yang jauh sekali dari semua tipe wanita yang kamu temui?" Elena membalikkan pertanyaan pria itu lagi.

Ben diam sejenak. Ia memikirkan kelebihan Alya yang membuatnya memiliki nilai lebih. "Dia berbeda." Nadanya ragu.

"Apa kamu mencintai Alya?"

Ben terdiam. Ia melepaskan tangan Elena darinya. Ia berdiri dari sofa itu dan menatap ke arah lain karna ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ben belum menemukan hal yang membuatnya mencintai Alya. Entahlah, ia belum merasakannya.

Elena duduk disofa itu tepat ditempat Ben sebelumnya. Ia menghempaskan tubuhnya disana. "Kenapa kamu harus menikahi Alya kalau kamu tidak cinta. Kamu sendiri yang bilang, untuk apa menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak mencintai kita. Kamu sedang menyakiti Alya sekarang." Ia hanya berusaha membuka jalan pikiran Ben.

"Tapi pernikahannya akan segara dilakukan dalam tiga hari. Apa aku harus membatalkan semuanya? Ini bukan lagi soal perasaan tapi juga keluarga. Papa akan jadi orang paling depan menentang hal ini." Jelas Ben.

Elena diam. "Kamu tidak akan pernah memiliki rasa cinta untuk Alya selagi aku masih disini. Tidak akan bisa." Ia menggelengkan kepalanya.

Ben berbalik dan tidak setuju dengan kalimat Elena. "Aku memang belum ada rasa cinta untuk Alya. Tapi Alya punya sesuatu yang lebih dari cukup. Dia punya ketakutan. Rasa takutnya itu yang membuat dia yakin untuk melindungi aku dari kamu." Ia tertawa kecil. "Alya berpikir kalau kita akan bersama lagi. Aku akan kembali dengan kamu dan kamu akan menyakiti aku seperti dulu." Pungkasnya.

Elena bangkit dari sofa dan mendekati Ben dengan begitu dekat. Ia menatap pria itu lurus dan tanpa berkedip. "Bukannya tujuan kamu kesini untuk itu?" Tanya Elena. Ia mendekat dan mencium bibir Ben dengan lembut. Pria itu membalasnya. Beberapa detik mereka masih meresapi rasa yang pernah ada.

Elena melepaskan ciumannya. "Sorry, Ben. Aku gak bisa menahannya."

Ben merasakan sesuatu didalamnya siap meledak dan meminta untuk dilepaskan. Ia tahu apa itu. Sekuat tenaga Ben menahannya.

"Menurut kamu apa Alya bisa melindungi hubungan kalian kalau aku melakukan ini?" Elena mencium bibir Ben kembali namun lebih dalam. Ia memegang leher pria itu dan menahannya agar tidak melepaskan ciuman mereka.

Ben membalas ciuman wanita itu tanpa mampu menjawab pertanyaannya. Ia mengelus punggung Elena lembut dan membuat sesuatu didalam dirinya siap meluncur.

Elena mengangkat kedua kakinya lalu melingkarkannya dipinggang Ben dengan kokoh. Pria itu menahan bokongnya dan perlahan tapi pasti langkahnya menuju tempat yang paling terlarang, yaitu kamar Elena.

Ben membaringkan Elena disana. Ben tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia menginginkan wanita itu. Dan ia baru saja mengesampingkan Alya diatas rasa egonya saat ini. Mereka larut dalam keinginan mereka masing-masing. Dan mereka melakukannya.

***

Ben menutupi tubuh mereka dengan selimut tebal milik Elena. Mereka masih berbaring disana dan saling berpelukan. Elena menyandarkan kepalanya pada dada pria itu. Sentuhan yang masih sama dan mengingatkan keduanya masa indah yang lalu.

"Ben, kamu tahu ini salah kan?" Tanya Elena.

"Hmm..." jawab Ben. Ia menerawang langit apartemen itu yang dihias dengan bentuk bunga disetiap sudutnya.

"Ini alasannya aku tidak bisa meninggalkan Roy. Dia tahu bagaimana membuat aku mengalah dengan semua buaian tangannya. Dan aku melakukannya untuk kamu barusan." Ia mengelus dada pria itu. "Aku tidak tahan melihat kamu dengan Alya." Ia diam sejenak. "Aku sudah terima undangannya dan aku akan datang."

Ben mengelus kepala wanita itu. "Kamu gak perlu datang kalau kamu tidak mau melihatnya."

Elena menoleh ke arah pria itu. "Kedatangan aku bukan sebagai mantan istri, tapi partner kerja. Seperti yang Alya inginkan. Makanya dia menyuruh Arif yang mengantarkannya, karna dia gak mau kamu bertemu aku dan melakukan hal sudah kita lakukan." Jelasnya.

Ben tidak berkomentar karena ia tahu maksud wanita itu.

"Ben, aku tahu ini salah. Setelah hari ini, kamu bisa kembali seperti semula." Ujar Elena. Ben mencium kening wanita itu lembut.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi saat Ben kembali ke Hotel Malpis. Ia langsung membersihkan tubuhnya. Ben berdiri dibawah shower hangat yang menyala. Ia menunduk meresapi kesalahan yang dibuatnya. Namun tiba-tiba pikirannya malah kembali dimana ia dan Elena sama-sama diambang surgawi yang tak tergantikan. Ben menarik napas dalamnya karena sentuhan Elena seolah masih menempel dikulitnya.

Ben menggelengkan kepalanya dan berharap pikiran nakalnya menghilang. Namun nyatanya salah. Ia bisa merasakan dirinya menyatu dengan Elena dan segala rasa yang dialaminya seperti mengalir didalam darahnya. Ben memegang dinding didepannya dan ia menghela napas gairahnya. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya kembali dan menyesali semuanya.

***

Alya berjalan ke arah parkiran dari majelis guru. Saat itu jam pulang sekolah dan ia merupakan salah satu penghuninya yang berbondong-bondong menuju gerbang. Alya menoleh ke arah kelasnya dan ia melihat Dewa keluar dari sana.

Wajah Dewa tampak murung dan tidak ada semangat. Alya bisa melihatnya. Lebih kurang tiga tahun ia mengenal bocah itu dan ia tahu bagaimana tingkah Dewa. Dan sejak kemarin, Dewa berubah.

Alya merasa khawatir. Ia takut kalau muridnya itu mengalami suatu hal yang sedang dipikirkannya tentang sekolah atau mungkin keluarganya. Alya mengeluarkan motornya dan bersiap meninggalkan sekolah. Ia menoleh ke arah Dewa sesaat dan bocah itu tidak melihat ke arahnya sama sekali. Ada hal yang ingin Alya katakan padanya termasuk soal pernikahnnya. Tapi berhubung situasinya tidak mendukung, Alya mengurungkannya.

Dewa masuk ke dalam apartemennya dan mengunci pintunya. Sepatunya ia lepas dan tak sengaja ia menoleh ke arah tempat pencucian piring yang masih tergeletak barang pemberian Alya. Dewa tidak mendekati. Ia berjalan ke arah kamarnya dan berbaring menggunakan seragan sekolahnya. Ia menutup matanya dan membuang semua perasaan campur aduknya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.

Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.

xoxo!!!