Elena sedang memperhatikan para pengrajin furniturenya yang tengah membentuk pola desainnya. Ia berjalan pelan sambil memperhatikan para pekerja yang lainnya. Jika ada beberapa detil yang salah atau tidak sesuai keinginannya, Elena akan mengulangnyakembali. Bahkan ia tidak memperdulikan hal lain selain furniturenya saat ini.
Seseorang masuk ke dalam gudang yang penuh dengan kayu dan juga debu itu. Ia berjalan pelan sambil mendekati Elena. Senyumannya mengukir disana penuh tatapan tajam. "Aku tahu kamu disini." Ucapnya.
Elena berbalik dan ia melihat Roy berdiri dibelakangnya dengan tangan terlipat didepan dada. Tak ada wajah ketakutan disana. Ia hanya sedikit terkejut saat melihat pria itu. "Ada apa kamu mencari aku?" Ia berusaha untuk bersikap biasa.
Roy memberikan senyuman sunggingnya, "Aku mau ajak kamu pulang." Katanya.
"Aku tidak bisa. Aku ada kerjaan disini." Elena berbalik dan mengacuhkan pria itu.
Roy mulai kesal. Ia menekan leher Elena bagian belakang dengan tangan kanannya hingga membuat wanita itu mendongak sambil menahannya. "Apa perlu aku paksa?" Ancamnya.
Elena mulai tidak nyaman. "Jangan disini, Roy!" Pintanya. Ia melihat para pekerjanya menoleh heran ke arah mereka.
Roy melepaskan leher Elena. Wanita itu menatapnya marah dan berjalan menuju mobilnya. Didalam mobil itu mereka mulai berbicara.
"Aku sudah kerja sama Agusman dan aku tidak bisa pergi gitu aja." Jelas Elena.
Roy mengerutkan bibirnya kesal. "Dengan Agusman atau dengan mantan suami kamu, hah? Kamu terima kerjaan ini karena dia kan?" Tebaknya dengan wajah kasar.
"Hubungan kita sudah selesai, Roy. Dengan siapa aku sekarang bukan urusan kamu lagi. Kita sudah lama pisah semenjak aku keluar dari rumah kamu." Pekik Elena didalam mobil.
"Pisah?" Roy berang. Ia memegang tangan Elena erat. "Aku kerumah kamu dan kita tidur itu pisah namanya? Bukan satu atau dua kali kita lakuin itu semenjak kamu pergi, sering Elena. Itu bukan berpisah namanya." Ia membuka fakta yang ada.
Elena tidak terima. "Kamu yang paksa aku melakukannya. Kamu datang mabuk-mabukan dan memukul aku untuk bisa melampiaskan gairah kamu. Kalau aku tidak turuti, kamu akan..."
Roy menampar Elena kuat dipipi kirinya. Rambutnya bahkan menutupi wajahnya karena gerakan kepalanya yang kaget. "Sekarang kamu banyak omong. Bukan cuka aku yang mau, tapi kamu juga."
Elena menyeka air matanya yang keluar dari pelupuk matanya. Ia sedih sekali saat ini karena tidak bisa melawan Roy.
"Persetan dengan urusan Agusman. Aku gak mau kamu menginjak Hotel Malpis lagi." Katanya tegas. Elena hanya bisa terdiam dan tidak berani berkutik.
Elena menginjinkan Roy mengemudikan mobilnya menuju Hotel Aryiz. Didalam perjalanan begitu banyak kemungkinan yang bermain dikepalanya. Mulai dari mengubungi Ben atau Agusman. Tapi jika ia menghubungi Ben, maka pria itu tentu saja akan bertengkar dengan Roy sedangkan pernikahannya akan dilaksanakan lusa. Ia tidak mungkin melibatkan pria itu.
Elena masuk ke dalam kamar hotel Roy. Ia memperhatikan isi kamar itu yang berantakan. Pria iu bahkan tidak meminta jasa kebersihan. Elena duduk di pinggir tempat tidur dan Roy langsung mendekatinya.
"Aku gak akan menyakiti kamu kalau kamu nurut apa yang aku bilang." Kata Roy lembut. Ia mengelus rambut Elena. "Setelah ini kita ke tempat kamu dan ambil beberapa barang penting terus kita pulang." Ujarnya. Ia mencium bahu Elena beberapa kali disana.
Elena menghela napas, "Aku gak bisa Roy. Aku sudah tanda tangan kontrak kerja dengan Agusman. Furniturenya sudah dibuat dan galerinya akan dibuka, aku gak mugkin pergi gitu aja." Jelasnya.
Roy kesal. Ia menampar wajah Elena lagi ditempat yang sama. Wanita itu bahkan terjatuh disana. "JANGAN PERNAH MEMBANTAH!" ia berdiri dan menatap kekasihnya.
Elena menguatkan hatinya dan mulai bersikap tegas. Ia bangkit dan menatap Roy lekat. Ia menampar pipi kiri Roy dan mendorong tubuh itu hingga mundur beberapa langkah. "Kamu pria biadab! Kamu berengsek! Aku gak mau pulang. Aku akan tetap disini. KAMU JANGAN GANGGU AKU LAGI!" Teriaknya nyaring.
Elena berlari ke arah pintu dan bersiap untuk membukanya. Belum sempat ia menyentuh ganggangnya, Roy sudah menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Elena meronta minta dilepas namun pria itu semakin memeluknya erat sekali.
"Maafkan aku, sayang." Bujuk Roy lembut. "Aku salah! Aku salah!" Katanya. "Please, maaf." Sambungnya. Elena masih tidak percaya kata-kata pria itu. Elena masih meminta untuk dilepas dari pelukan itu.
Roy berlutut didepan Elena dengan wajah sendu dan sedih. Matanya bahkan berair. "Jangan tinggalkan aku, Len. Kamu tahu betul, aku gak bisa hidup tanpa kamu. Kemanapun aku pergi dan siapapun perempuan yang aku jumpa, aku pasti kembali ke kamu lagi. Kamu tahu itu." Urainya.
Elena membenarkan kalimat itu didalam hatinya. Roy adalah pria seperti itu. Pria yang mencintainya dan berubah kasar serta egois ketika emosi menyelimutinya. Banyak kali mereka putus dan menyambung namun akhirnya tetap kembali bersama. Namun entah kenapa Elena merasa jenuh dengan semuanya hingga ia berpikir untuk meninggalkan rumah pria itu. Tapi nyatanya tetap saja, Roy menemukannya.
Roy meluk kedua kaki Elena dan mulai membujuk wanita itu dengan kalimat memohon agar tidak meninggalkannya. Elena terenyuh. Ia berjongkok didepan Roy dan mereka saling menatap.
"Jangan tinggalkan aku, Len." Pintanya. Elena memeluk Roy erat. Dan pria itu membalasnya.
Mereka berjalan ke arah tempat tidur dan Elena masih merangkul Roy erat. Ia tidak mungkin meninggalkan pria itu setelah rengekan dan bujukannya barusan. Ia mengusap kedua pipi Roy dan menciumnya lembut.
Roy mengelus pipi Elena yang ditamparnya tadi. "Aku gak bermaksud menyakiti kamu." Katanya. Elena mengangguk pelan.
Roy mendekatkan wajahnya dan mulai membanjiri Elena dengan ciuman mautnya. Ia menyentuh bagian sensitif wanita itu untuk membuatnya lemah dan kalah dengan perasaannya saat ini. Roy tahu bagaimana memulai aksi nakalnya. Ia memberikan sentuhan yang membuat Elena tidak bisa menolak.
Benar saja, Elena sudah mulai menutup matanya rapat pertanda ia sudah tidak bisa melawan dan membiarkan Roy memperlakukannya sesuka hati. Pria itu tidak membuang waktu, ia langsung melakukannya hingga mereka lelah.
Tiga jam berlalu, Elena tersadar dari tidurnya. Ia bangkit dan merasakan tubuhnya sakit dibeberapa tempat. Roy benar-benar meruntuhkan pertahannya dan membuatnya kalap. Elena masuk ke dalam kamar mandi dalam keadaan tanpa sehelai pakaianpun dan membawa ponselya. Ia mengambil baju mandi yang menggantung disana dan memakainya. Ia mengirimkan pesan pada Agusman, satu-satunya orang yang bisa melawan Roy.
***
Agusman, Sarinah dan juga Ben sedang makan di salah satu restoran sunda malam itu. Mereka sengaja mengadakan makan malam ini sebelum besok Ben harus mulai melakukan beberapa adat istiadat pernikahan kemudian hari H dimana ia akan menaiki pelaminannya.
Tak ada guratan tawa diwajah Ben. Ia menunduk sambil sesekali melihat ponselnya dan sibuk menghabiskan makanannya. Sarinah sudah memperhatikannya sejak tadi dan ia merasa ada seauatu yang dipikirkan oleh putranya.
"Kamu ini kenapa, Ben?" Tanya Sarinah. Raut wajah putranya sungguh mengganggunya. Malpis hanya menoleh dan tidak mengerti maksud istrinya.
Ben menggeleng, "Gak ada, mah." Jawabnya.
"Ada urusan pernikahan yang belum terselesaikan? Atau masalah hotel?" Sarinah terus menggali informasi.
Ben melirik mama dan papanya bergantian. "Mungkin cuma gugup." Katanya pelan.
Sarinah memberikan senyuman manisnya. "Yang seharusnya gugup itu Alya bukannya kamu." Tawanya renyah disambut oleh Malpis.
Ben ikut tertawa walaupun hambar. Ia memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Sejak kejadian dirinya dengan Elena, Ben tidak bisa melupakan wanita itu. Setiap kali ia menutup mata akan selalu terbayang sentuhan Elena didalam tubuhnya. Setiap kali ia masuk ke dalam kamarnya dan melihat tempat tidur, malah membuatnya teringat dengan aksi nakalnya kepada wanita itu dimana mereka sama-sama menikmatinya didalam kamar yang berbeda.
Ben tidak bisa menghilangkan pikiran itu, bahkan saat pernikahannya sudah didepan mata. Ia ingin menghubungi Alya sebagai penawar kegelisahannya namun mereka sedang berada didalam ritual pernikahan yang tidak boleh dilanggar. Ben hanya bisa berjuang dengan dirinya sendiri saat ini.
***
Ben sedang mengemudikan mobilnya dimana papanya duduk di depan dan mamanya di belakang. Ia memasuki halaman hotelnya dan berjalan ke arah basemen. Ia memarkirkan mobilnya disana dan merasakan ponselnya bergetar. Nomor Agusman muncul disana.
"Mama dengan papa naik duluan aja." Katanya pada kedua orang tuanya yang sedang menuruni mobil sedannya.
Setelah mereka turun, Ben mengangkat telepon Agusman. "Halo, Pak. Ada apa?" Tanyanya.
"Ben, kamu bisa ke Rainbow Oriental sekarang kamar 1205. Saya tunggu." Kata Agusman lugas.
Ben diam sejenak memikirkan apa yang akan pria itu bicarakan. "Saya kesana sekarang." Ucapnya. Ia membawa mobilnya meninggalkan Hotel Malpis.
Ben masuk ke dalam kamar 1205 dan melihat didalam kamar itu sudah ada Agusman dan juga Elena disana serta dua orang pria berbaju kaos hitam dengan tubuh yang kekar dan salah satunya adalah pria berotot yang selalu mengikuti Agusman kemanapun. Ben melihat Elena yang menunduk dan menutupi wajahnya.
"Silahkan duduk." Ucap Agusman menunjukan sebuah kursi kosong yang sudah disediakan.
"Ada apa ini?" Tanya Ben. Ia menoleh ke arah Elena.
Agusman melirik Elena sesaat dan berkata, "Roy muncul digudang pembuatan furniture dan dia ingin mambawa Elena ke Bali." Jelasnya. Ben kaget. Ia melihat ke arah Elena dan sedikit kecewa karena wanita itu tidak memberitahunya.
"Saya sudah mengurus soal Roy tapi itu tidak akan lama. Pria itu gila dan berambisi. Dia harus mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan dia menginginkan Elena, saya harus melawannya. Saya bermaksud memberikan Elena seorang bodyguard sekaligus supir yang akan menemaninya tapi dia menolak." Jelas Agusman dengan suaranya yang berat.
Ben melihat ke arah Elena dan menatapnya terheran-heran.
"Bagaimana menurut kamu?" Agusman menanyakan pendapat Ben.
"Saya setuju, Pak. Dengan begitu Roy tidak akan bisa mendekati Elena." Ucapnya.
"Aku tidak perlu, Ben." Elena menegakkan wajahnya dan menentang usul itu. Ben terkejut ketika melihat wajah itu memerah dibagian kiri. Ia ingin mendekat dan bertanya namun Agusman masih disana. Ia tidak mungkin menunjukkan perhatiannya didepan Agusman.
"Baik kalau kamu masih tidak mau. Ben, bisa kamu berikan satu kamar di Hotel Malpis untuk Elena tempati. Seandainya keadaan tidak mendukung, dia bisa tidur disana tanpa harus pergi terlalu jauh." Pintanya. "Dan pastikan sedikit orang yang tahu. Karna Roy akan dengan mudah mendapatkan informasi." Sambungnya.
"Bisa." Jawab Ben yakin. Ia merasa itu juga cara terbaik.
"Sementara malam ini biarkan dia istirahat disini saja." Agusman bangkit. "Saya harus ke Bandung malam ini. Sepertinya banyak hal yang kalian mau bicarakan." Ia melirik Elena. "Sampai ketemu dipernikahan nanti." Ia pergi meninggalkan kamar itu dengan kedua pria yang mengikutinya.
Ben melihat pintu itu tertutup rapat dan ia menoleh ke arah Elena. "Kenapa kamu gak beritahu aku lebih dulu?" Tanyanya.
"Gak terpikir waktu itu." Jawab Elena. Ia berbohong. Elena masih duduk dikursinya.
"Aku bisa tolong kamu sebelum Roy mukul kamu seperti ini." Ben mulai emosi.
Elena merasa sedih. Air matanya mengumpul. "Apa kamu mau muncul dipernikahan dengan wajah babak belur?" Tanya Elena. "Aku gak mungkin membiarkan kamu berkelahi dengan Roy hanya hanya karna ini. Kamu nanti mau bilang apa ke Alya." Elena berusaha menolong pria itu agar tidak salah langkah.
Ben terdiam. Ia tidak bisa menjawabnya.
"Mama kamu pernah bilang kalau dia mau pernikahan ini berjalan lancar. Secara tidak langsung dia meminta aku membantu kelancaran acara kamu. Acara penting untuk kalian." Elena menyeka air matanya.
Ben bangkit dari kursinya lalu berjongkok didepan Elena. Ia mengusap wajah itu dengan perlahan. Ia tidak ingin Elena kesakitan karena sentuhannya. Ben memeluk Elena erat dan menenangkan wanita itu. Elena menangis didalam pelukannya.
***
Agusman mengangkat teleponnya ketika mobilnya melaju dijalan tol yang lengah malam itu. "Iya?" Sapanya.
"Roy sudah tiba di Bali, pak." Ucap suara serak itu melalui telepon.
"Pastikan dia tidak kembali lagi ke Jakarta sementara waktu." Ujar Agusman.
"Baik, Pak." Jawab pria itu. Ia melihat Roy sedang menarik kopernya keluar dari pintu kedatangan dengan wajah lebam dan bengkak dibeberapa tempat. Pria itu tampak kesakitan serta kelelahan. Ia langsung mencari taksi dan pergi dari sana.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.