Chereads / MALPIS / Chapter 37 - Chater 31 - She Cares a lot

Chapter 37 - Chater 31 - She Cares a lot

Agusman dan Elena mengantarkan Ben dan Arif hingga di depan lobi Hotel Rainbow Oriental. Elena dan Arif berjalan di belakang Agusman dan Ben. Kedua orang itu membicarakan hal-hal seputar galeri itu nantinya. Agusman meminta, boothnya sedikit diberi sentuhan klasik dan posisinya harus bisa dilihat oleh para tamu yang datang baik yang menginap maupun untuk sekedar makan di restoran.

"Baik Pak, kalau begitu saya permisi dulu." Kata Ben pamit. "Terima kasih makan malamnya. Semoga kerja sama kita ini nantinya akan sukses." Ia mengulurkan tangan untuk berjabat. Ben melirik Elena sesaat kemudian berjalan ke arah mobilnya yang sudah tiba didepan lobi oleh petugas valet hotel itu dan Arif juga sudah siap dibelakang kemudi.

Elena menatap Ben dan bibirnya sudah ingin sekali mengatakan sesuatu namun ditahannya karena menyangkut hal pribadinya. Dan ia tidak ingin Agusman mendengarnya.

Pria tua itu menoleh ke arah Elena dan berkata, "Tidak ada yang kamu mau katakan sama Ben?"

Elena menggeleng pelan. Ia melepaskan kepergian mobil itu yang menyatu dengan jalan utama. "Saya masih banyak waktu, Pak." Jawabnya.

Agusman memesang wajah cukup takjub. "Berarti kamu tidak akan membatalkan kerja sama ini?" Tanyanya lagi. "Ben akan menikah minggu depan."

Elena menoleh datar, "Hubungan kerja saya dan anda itu profesional dan tidak ada hubungannya dengan Ben."

Agusman mengangguk pelan. "Jangan lupa jadwal kita besok pagi." Katanya sambil berbalik menuju kamarnya untuk beristirahat. Elena menghela napas dalamnya.

***

Ben termenung didalam mobilnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi belakang dengan lelah. Beberapa kali ia menghela napas frustasinya.

"Pak, apa anda yakin mau melanjutkan kerja sama ini?" Tanya Arif memandangi atasannya menggunakan cermin tengah.

Ben masih berdiam diri sejenak. Arif menunggu jawaban atasannya.

"Kerja sama ini bukan cuma antara saya dan Agusman. Tapi antara Agusman dan juga bos besar." Keluhnya. Bos besar maksudnya adalah Papa, abang-abangnya dan juga direktur utama. "Kalau saya batalkan, saya harus mengadakan rapat direksi dan menjelaskan alasan yang sebenarnya." Katanya. "Itu sangat tidak profesional." Tambahnya. Arif hanya bisa diam.

"Alya pasti bisa mengerti." Ujar Ben ragu. Didalam hatinya ia tidak ingin menjelaskan situasinya ini, tapi wanita itu berhak tahu segalanya. Ben termenung didalam pikirannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.33 malam dan ia masih duduk didepan laptopnya dan mengerjakan beberapa file yang harus segera selesai besok. Didalam ruang kerjanya sudah mengumpul asap rokok bekas hembusannya. Pria itu akan meluahkan frustasinya dengan merokok jika ia sedang banyak pikiran.

Satu jam kemudian pekerjaannya selesai dan Ben berniat meninggalkan ruang kerjanya, namun matanya melihat puzzle yang tergeletak didalam ruang itu. Ia mendekati dan menatapnya beberapa detik. Ben menarik napas dalam lalu mulai mengerjakan kepingan puzzle itu. Semenit, dua menit, tiga menit hingga lima menit Ben mengerjakan puzzle itu namun ia hanya bisa menyambungkan kepingan itu dalam dua puluh keping. Selebihnya ia salah atau tidak bisa berpikir dengan jernih.

Ben menggelengkan kepalanya tanda ia menyerah mengerjakan puzzle itu. Bahkan sampai hari ini ia tidak tahu kenapa dirinya tidak bisa menyelesaikan puzzle itu. Sekuat atau sekeras apapun ia berusaha selalu berujung dengan kain putih yang berkibar.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi dan Ben masih belum bisa terlelap. Sejak tadi ia hanya berputar ke kiri dan ke kanan mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Tapi sejak tadi, seperti ada yang mengganjal di tubuhnya dan membuatnya tidak bisa tidur. Beberapa kali Ben sempat membuka dan menutup kembali matanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan Ben masih belum bisa tidur. Akhirnya ia memutuskan bangkit dari tempat tidurnya dan duduk didepan jendela besarnya dalam keadaan gelap. Jendela yang hanya dilapisi oleh tirai berwana putih yang tipis itu ia buka dan termenung disana.

Helaan napasnya terdengar. Kenapa kamu yang jadi penanggung jawab galerinya El, batinnya. Ben berbaring di kursi malasnya didepan jendela itu. Ia membuka hp nya kemudian melihat gambar dirinya dan Alya saat acara pertemuan keluarga yang lalu serta beberapa foto mereka saat mempersiapkan pernikahan. Senyumannya merekah saat melihat wanita itu bahagia. Wanita yang mencuri perhatiannya dan masih berada disana sampai hari ini.

Rumah Alya masih sepi walaupun pernikahannya minggu depan. Rina akan datang dari Jepang dalam dua hari lagi dan Dira juga akan menginap disana menjelang pernikahan. Saudara mereka juga akan mulai berdatangan dua hari sebelum pernikahan. Dan Ben sudah menawarkan penginapan untuk keluarga Alya sekiranya rumah itu mulai terasa sempit.

Alya mengeluarkan motornya dari ruang tamu dan tak sengaja ujung matanya melihat sebuah mobil berhenti didepan rumahnya. Ia menoleh dan melihat Ben turun dari mobil itu.

"Kamu nagapain?" Tanya Alya terkejut.

Ben membuka pagar rumah Alya dan berkata, "Hari ini aku antar kamu ya." Pintanya.

Alya memperhatikan wajah Ben yang terlihat lelah. "Kamu tidur jam berapa tadi malam?" Tanyanya.

Ben meraba wajahnya, "Nanti aja tanyanya. Aku antar kamu sekarang, nanti kamu terlambat."

Alya memasukkan kembali motornya dan pamit kepada kedua orang tuanya dan bergabung ke dalam mobil Ben.

Didalam mobil, Ben membuka volume radio cukup pelan. Beberapa kali ia menguap hingga membuat Alya keheranan.

"Kamu tidur jam berapa tadi malam?" Tanya Alya perhatian. Ia meraba kening Ben dengan lembut. "Kamu ada masalah?" Tanyanya lagi.

Ben menoleh dengan takjub. Wanita disebelahnya ini begitu peka dan memberikan bentuk perhatian yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. "Masalah kerjaan." Jawabnya singkat.

"Selama aku kenal kamu, baru kali ini urusan kerjaan buat kamu gak bisa tidur terus lelah kayak gini." Ujar Alya khawatir.

Ben merasa bentuk perhatian wanita itu sampai didalam hatinya. Ia meraih tangan kanan Alya dan menggengamnya erat.

Alya menoleh heran. Ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar dari tangan Ben. "Ada yang mau kamu ceritakan sama aku?" Ucap Alya gusar.

Ben memberikan senyuman hangatnya. "Aku gak apa-apa. Kamu jangan terlalu gelisah." Katanya lembut. "Nanti siang aku jemput, ya." Katanya. Alya mengangguk. Ia tidak berkomentar atau bertanya lagi. Pria itu seperti belum mau bercerita padanya dan Alya tidak ingin memaksa.

"Malam ini kita ada janji buat last fitting baju pernikahan kita." Ben mengingatkan. Alya mengangguk penuh senyum.

***

Saat istirahat kedua, Alya sibuk ketempat foto copy untuk memperbanyak lembar ulangan untuk muridnya. Saat kembali ke Majelis guru, Alya melihat Dewa berjalan ke arahnya dari jauh. Alya memegang erat kertas foto kopinya dan terus menatap Dewa yang semakin mendekat.

Saat posisi mereka sudah sangat dekat, Alya melihat ke arah Dewa dan memberikan senyuman tipisnya tapi muridnya itu hanya menolehnya sesaat lalu membuang wajahnya ke arah lain tanpa membalas senyumannya sedikitpun, hingga bocah itu melewatinya.

Alya mengerutkan kening memikirkan tingkah Dewa yang aneh baginya. Ia tidak mau menoleh ke belakang dan terlihat diacuhkan oleh muridnya itu.

Ia berjalam menuju majelis guru.

Sebelum Dewa masuk ke dalam ruang foto kopi, ia menoleh ke belakang sesaat dan memperhatikan wali kelasnya dari belakang dengan wajah datar. Ia bukannya marah pada waita itu namun ia hanya menyadarkan dirinya kalau semua perasaanya sia-sia.

***

Elena, Agusman dan pria borotot yang selalu bersamanya keluar dari lift dan berjalan di koridor yang didominasi oleh warna hitam dan putih. Mereka berhenti didepan sebuah pintu bernomor 1810.

Pria berotot itu membuka pintunya menggunakan sebuah kunci yang sudah dipegangnya dan mempersilahkan bosnya masuk lebih dulu. Elena ikut masuk dan disajikan pemandangan yang disukainya.

"Ini akan jadi tempat tinggal kamu selama di Jakarta. Saya harap kamu suka." Ujar Agusman berjalan pelan menuju jendela besar memberikan pemandangan gedung pencakar langit dan tentunya Hotel Malpis yang diapit oleh beberapa bangunan lainnya.

"Ini lebih dari cukup, pak." Sahut Elena. Ia tahu kalau harga sewa apartemen itu pasti mahal.

Agusman menoleh ke arah Elena dan berkata, "Ini salah satu apartemen yang saya investasikan. Jadi kamu tidak perlu merasa tidak enak." Katanya. "Disini sudah ada beberapa perabotan penting jadi kamu tidak perlu membelinya lagi." Tambahnya. Elena mengangguk paham.

Agusman menoleh ke arah pria yang selalu mengikutinya dan pria itu memberikan sebuah kunci mobil yang dikeluarkan dari kantong jasnya. "Ini untuk kendaraan kamu kemana-mana." Ucapnya sambil mengulurkan kunci itu.

Elena menoleh ke sebuah kunci yang disodorkan padanya. Ia tahu jenis kunci mobil itu karna ia pernah menginginkannya namun tidak pernah tercapai. Elena mengambil kunci itu.

"Saya tahu bagaimana memperlakukan orang yang bekerja pada saya. Dan saya tahu bagaimana menghargai orang seperti kamu." Ucapnya tenang. "Mulai hari ini saya serahkan semua masalah galeri dengan kamu sepenuhnya. Saya tunggu laporan bulan depan." Tambahnya.

Elena mengerutkan dahinya. "Anda tidak akan datang dan melihat pembukaannya?" Tanyanya.

Agusman menggeleng pelan. "Saya harus ke Australia minggu depan. Setelah itu saya ada keperluan yang lainnya. Saya serahkan kepada kamu semuanya. Saya juga sudah menitipkan daftar nama beberapa langgananmu di Sempari dan Asore dulu. Kamu bisa berikan undangan kepada mereka." Katanya. "Oh, masalah undangannya sudah diatur oleh sekretaris saya. Kamu bisa hubungi dia." Tambahnya.

Elena paham maksud Agusman. Ia juga mendengar berita soal perceraian pria itu dan beberapa masalah lainnya yang perlu perhatian khusus. Pria itu pasti butuh waktu untuk memperbaiki semuanya.

Agusman memperhatikan Elena dan berkata, "Kamu bisa hubungi Ben soal kendala dengan galeri ini. Dia tahu apa yang harus dia lakukan." Pungkasnya. Elena mengangguk yakin.

"Kalau begitu saya pergi dulu. Kamu bisa melihat-lihat dulu kalau mau." Ia berjalan ke arah pintu masuk.

"Sampai jumpa, pak." Ucap Elena. Pria itu melambai rendah dan pergi dari sana.

Elena memperhatikan ruang tamu sekaligus ruang keluarga apartemen itu yang kecil nan mungil. Dua kamar tidur yang sudah terisi dengan kasur ukuran queen serta lemari dan meja. Bagian dapur juga terlihat sudah diisi dengan beberapa barang lainnya. Lantainya dilapisi dengan kayu yang terlihat serasi dengan perabotan didalamnya. Apartemen itu seperti sudah siap menyambut dirinya.

Elena melihat kunci mobil didalam genggamannya dan ia tersenyum gembira. Dirinya bisa menggunakan mobil itu sesuka hatinya dan pergi kemana saja. Tiba-tiba ia teringat Hotel Malpis dan Ben. Kedua hal itu terlintas dikepalanya begitu saja. Elena mengunci pintu apartemennya dan menuju parkiran mobil.

Elena masuk ke dalam halaman Hotel Malpis dan langsung menuju basemen dimana mobil biasanya diparkir disana. Ia masuk ke dalam lift dan menekan angka enam untuk bisa bertemu dengan Ben. Ia sangat hapal dengan segala bentuk dan lokasi Hotel Malpis. Dua tahun bolak-balik ke sana setiap hari, cukup membuatnya tahu segalanya.

Elena keluar dari lift dan berjalan dikoridor itu dan menuju ruang paling ujung. Beberapa pasang mata sedang memperhatikannya dan Elena tahu akan hal itu, tapi ia tidak peduli. Elena berdiri didepan sebuah meja resepsionis didepan ruang Ben.

"Permisi," sapa Elena. Ia melihat papan nama yang menggantung di seragam wanita itu bertuliskan Tina.

Tina mendongak dan terkejut melihat seseorang yang tengah menjadi pembicaraan diantara temen-teman sekantornya berada didepannya saat ini. Ia berdiri dari kursinya. "Ada yang bisa saya bantu, buk?" Ia bahkan tahu nama wanita ini.

"Ben ada didalam?" Tanya Elena.

"Maaf buk, Pak Ben sedang rapat sekarang." Kata Tina. Dipikirannya penuh tanya saat ini kenapa Elena bisa datang ke kantor Ben. Rumor beredar kalau Ben akan menikahi mantan istrinya kembali.

"Saya bisa tunggu didalam?" Tanya Elena. Ia tidak mau pulang dengan tangan kosong. Tina tampak ragu.

"Kalau Ben marah, saya tanggung jawab nanti." Serbu Elena cepat. Ia meyakinkan.

Tina akhirnya mengalah, "Baiklah. Ibu bisa tunggu didalam." Ia membukan pintu ruangan Ben. "Ibu mau minum apa?" Tanyanya ramah.

Elena mengangkat tangannya, "Tidak perlu." Ia masuk dan menutup pintu itu kembali. Elena melihat tampilan ruang kerja Ben yang tidak banyak berubah. Beberapa perabotan bahkan masih sama seperti terakhir kali ia kesana. Hanya beberapa lukisan, sofa dan peralatan diatas meja Ben yang berubah, selebihnya sama saja. Elena duduk di sofa yang terletak didalam ruang kerja itu. Ia menunggu disana.

***

Rapat itu sudah berlangsung selama satu jam dan Ben tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Rasa kantuknya, lelahnya, pikirannya, semua sudah tidak terbendung. Ia tidak berkonsentrasi pada rapat pagi ini. Semua yang diucapkan oleh kepala bagian keamanan di depannya tidak ada yang masuk ke dalam pikirannya.

"Jadi bagimana menurut anda, pak?" Tanya Kepala keamanan Hotel Malpis. Ia baru saja menjelaskan sistem perlindungan yang akan dilakukan untuk tamu penting dari luar yang akan menginap di hotelnya bulan depan.

Ben memegang kepalanya dan ia tersadar ketika dipanggil oleh pria itu. "Ada apa?" Tanyanya.

Semua orang didalam ruangan itu menoleh ke arah Ben termasuk Arif yang duduk di barisan paling ujung. Ia tahu kalau atasannya itu tidak fokus pada rapat kali ini.

"Kamu tidak fokus rapat dari tadi, ada apa sebenarnya?" Tanya Direktur utama yang menyadari tingkah Ben.

"Maaf Pak." Jawab Ben. Ia segan dan hormat sekali pada Direktur utama hotelnya.

"Kamu mau istirahat sebentar?" Tanyanya.

"Saya rasa hari ini saya tidak bisa ikut rapat lagi." Katanya pelan. "Bisa kita ganti lain waktu?" Pintanya.

Direktur utama itu mengangguk. "Ya sudah. Rapat kita sampai disini dulu." Katanya pada seluruh karyawan yang mengukuti rapat disana. Serentak mereka semua berdiri dan meninggalkan ruangan itu.

Direktur utama itu tidak lantas pergi. Ia menunggu Ben untuk bertanya, "Ada apa sebenarnya? Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya." Tanyanya serius. "Ada masalah hotel yang tidak bisa kamu selesaikan?" Tebaknya.

Ben menggeleng. Ia menghela napasnya dan menceritakan soal Elena dan Agusman. Seketika raut wajah Direktur Utama itu berubah terkejut.

"Papa kamu tahu soal ini?" Tanyanya.

"Mereka tidak tahu kalau Elena penanggung jawabnya." Jelas Ben.

"Lalu kamu mau bagaimana sekarang?" Tanyanya risau. "Kamu mau saya bicara dengan Agusman?"

"Terkesan saya tidak berani mengatakannya sendiri." Sanggah Ben. Ia tidak mau seperti itu.

"Kita serahkan saja galeri itu ke bagian lain." Usul Direktur utama.

"Galerinya akan dibuka di lobi. Tidak bisa menghindar sama sekali." Jawab Ben. Direktur utama menghela napasnya dalam. Mereka tidak menemukan solusinya.

***

Ben dan Arif berjalan ke arah ujung koridor menuju ruangannya. Saat berada didepan, Tina berdiri dan berkata, "Maaf pak," wajahnya penuh ketakutan. Ben berhenti dan mendengarkan.

"Didalam ada ibu Elena. Beliau sudah menunggu dari setengah jam yang lalu." Kata Tina lagi.

Ben terdiam dan ia menooleh ke arah Arif kemudian tarikan napasnya menyusul.

"Anda tidak perlu masuk, Pak." Usul Arif. Ben menggeleng pelan. Ia berjalan mendekati pintu ruangannya dan membukanya perlahan. Arif melihat pria itu masuk ke dalam galerinya. Ia ingin sekali membantu saat ini namun atasannya menolaknya.

Ben melihat Elena berdiri didepan jendela lebarnya yang menghamparkan lapangan golf yang hijau. Elena berbalik dan melihat Ben berdiri didepan pintu. Ia memberikan senyuman manisnya. Ben menutup pintu ruangannya kembali dan berdiri disana. Ia tidak berani mendekat.

"Ada apa kamu kesini?" Tanya Ben dingin. Senyum Elena hambar.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA