LIMA TAHUN YANG LALU
Ben setengah berlari menelusuri lobi Hotel Aryiz. Ia sudah terlambat menghadiri pernikahan teman kuliahnya tiga puluh menit dari batas waktu berakhirnya acara.
Ben berjalan menuju Hall tempat berlangsungnya acara pernikahan itu. Ia menggunakan tangga daripada lift. Sesampainya di lantai dua, Ben sedikit lega karena tempat acara masih ramai oleh para undangan. Ben mendekat ke arah pintu masuk dan menuliskan namanya.
Ben masuk ke dalam Hall dan berniat untuk mendekati temannya yang berada diatas pelaminan yang di dekorasi secantik mungkin dengan warna putih dan biru laut yang dominan. Namun niatnya harus dibatalkan lantaran para keluarga besar tengah berfoto dengan pengantin.
Ben mengatur napasnya sejenak, kemudian ia beralih ke meja hidangan. Masih banyak makanan dan minuman yang tersisa. Ben mengambil piring kecil dan mulai melahap beberapa hidangan dan juga kue lainnya.
Tak lama setelah makanannya habis, mempelai pria rupanya mengetahui kedatangan Ben dan melambai ke arahnya untuk menyuruhnya mendekat. Ben membersihkan mulutnya lalu menaiki pelaminan. Tak sengaja Ben menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita juga ikut naik mengikutinya.
"Ben, apa kabar lo?" Tanya teman Ben yang menikah itu.
Ben memberikan salam pada temannya kemudian memeluknya, "Selamat ya." Terakhir kali mereka bertemu adalah saat mereka wisuda sekitar lebih kurang tiga tahun lalu.
"Makasih, bro. Lo kapan nyusul?" Tanya teman Ben penuh gurau.
"Lenaaaaaa...." teriak pengantin perempuan saat melihat sahabatnya datang ke acara pernikahannya.
Wanita yang dipanggil itu pun berlari mendekati sahabatnya dan memeluknya erat. Ben melepaskan pelukannya pada temannya dan mereka menoleh bersama ke arah kanan. Kemudian kembali sibuk dengan hal masing-masing.
"Lo gak undang anak-anak yang lain?" Tanya Ben.
"Undang, semua gue sebar undangannya. Cuma gak semua bisa datang. Besok aja gue udah harus balik ke New Zealand." Temannya itu menepuk bahu Ben pelan. "Sukses lo sekarang." Tawanya pelan. "Gue kira lo duluan yang bakal kawin, rupanya gue hahaha..." ucapnya.
Ben tampak malu dan menoleh ke arah kanan. Tak disangka ia berpandangan dengan teman pengantin wanita.
"Calon lo udah ada?" Tanya temannya.
Ben menoleh kembali ke arah temannya dan menjawab, "Belum." Ia kembali melirik ke arah kanannya dan tampak teman pengantin wanita itu tengah asyik mengobrol.
"Foto, yuk." Seru teman Ben. Ia menarik tangan Ben berdiri di sebelahnya.
"Ayo, foto." Sambut pengantin perempuan. "Lo juga foto, Len." Ajaknya untuk temannya itu.
"Hah," wanita yang dipanggil Lena itu tampak kaget. Ia menoleh ke arah kirinya dan seorang cowok sedang memandanginya dengan senyuman manis. Tangannya di tarik mendekat ke arah kiri pengantin perempuan.
KLIK. Sebuah foto tersimpan di memori kamera fotografer.
"Ben, kenalin ini Elena. Dia teman bini gue." Ucap teman Ben begitu sesi foto selesai.
"Iya, Ben kenalin nih." Sambar pengantin perempuan. "Len, ini Ben. Dia teman kuliah laki gue dulu waktu S1." Lirikannya menggoda Elena. "Dia baru putus loh, ben."
Elena mencubit pelan tangan sahabatnya itu. Ia malu di depan Ben.
"Hai," sapanya pada Elena. "Ben." Ia mengulurkan tangannya lebih dulu. Ben terkesima oleh cantiknya wajah Elena yang begitu Asia. Wanita didepannya seperti memiliki campuran cina di dalam darahnya. Tampak dari matanya yang sedikit sipit, dan kulitnya yang putih bersih.
"Elena." Ucapnya. Ia menyambut uluran tangan Ben. Elena sudah melihat Ben semenjak pria itu masuk ke dalam Hall. Pandangan pertama, Elena sudah menyukai parasnya yang tampan dan menawan.
"Kalian ngobrol dulu gih. Siapa tahu jodoh." Celetuk teman Ben berusaha mendekatkan kedua orang itu.
Ben yang paham akan maksud temannya, hanya bisa tersenyum tanda terima kasih. Ia dan Elena turun dari pelaminan. Elena yang berjalan lebih dulu, tidak berani menoleh ke belakang.
"Sorry," panggil Ben sambil meraih lengan Elena lembut.
Akhirnya Elena memiliki alasan untuk bisa menoleh ke belakang, "Iya, kenapa?"
"Kamu sendirian?" Tanya Ben memastikan.
Elena mengangguk pelan, "Iya."
Ben kegirangan, "Hmm... aku juga sendiri sih. Tadi aku datangnya telat, kirain udah selesai acaranya." Ia menggaruk belakang kepalanya. "Kamu... udah makan belum?"
"Belum," jawab Elena. Ia memang belum mencicipi hidangan yang tersedia di acara itu. Karena ia juga tiba di akhir acara dan langsung sibuk mengobrol dengan teman-temannya yang sudah lama ia tidak temui.
"Oh, aku juga belum makan." Seru Ben. Ia berbohong demi bisa mengobrol lebih lama dengan Elena.
Elena menahan senyumannya. Ia tahu Ben berbohong padanya. Ia melihat kalau Ben sudah mencicipi hidangan ditempat itu dengan lahapnya. Ia sudah memperhatikan Ben sejak tadi.
"Kamu mau makan disini atau di tempat lain?" Ajak Ben.
Elena menaikkan kedua alisnya tanda bingung sekaligus kegirangan.
"Emm.. maksud aku kalau kamu mau makan disini juga boleh. Tapi kalau kamu mau ditempat lain, hmm... di lobi hotel ini ada satu western restoran yang enak. Aku mau ajak kamu ke sana." Ben memasukkan tangannya ke dalam saku tanda gugup.
Elena memperhatikan wajah Ben yang tampak tulus mengajaknya. "Boleh." Ucapnya. Ia menyetujui ajakan pria itu.
Ben menahan kegembiraannya dan langsung mengajak Elena menuju restoran yang dimaksud. Itulah awal perkenalan Ben dengan Elena. Hotel Aryiz menjadi saksi mati pertemuan mereka. Namun siapa sangka kalau Hotel Aryiz juga menjadi saksi perpisahan mereka.
***
Setelah pertemuan hari itu, Ben semakin cekatan mendekati Elena. Setiap hari ia mengirimkan pesan romantis untuk wanita itu. Sedangkan Elena, seperti menemukan dunia yang baru saat ada Ben disampingnya. Apalagi dirinya baru saja putus dari Roy dan berhenti dari pekerjaan impiannya.
Elena memutuskan untuk meninggalkan Roy dan juga Bali. Ia memilih Jakarta karena itu merupakan kota kelahirannya. Dan benar saja, disini ia menemukan sosok Ben yang sempurna di matanya.
Wanita mana yang tidak menyukai Ben, pria tampan dan mapan. Walaupun jabatan Ben masih sebatas bawahan Direktur Utama tapi itu sangatlah cukup untuk Elena dibandingkan Roy yang hanya seniman tato yang hidup bebas. Elena mulai menyukai kehidupan yang Ben jalani. Ini semua baru baginya.
Dua bulan kedekatan mereka, Ben merasa mantap dengan keputusannya. Ia ingin menikahi Elena. Wanita itu dipilihnya karena ia sangat menyayangi Elena. Ben meminta pendapat keluarganya dan mereka menyetujui pilihan Ben. Bagi Malpis dan Sarinah yang merupakan orang tua Ben, siapapun pilhannya yang penting saling mencintai. Jangan menikahi seseorang yang tidak mencintai kita karena itu hanya akan melukai diri sendiri, pepatah Malpis untuk putra bungsunya.
Sedangkan kedua abangnya yang sudah lebih dulu berumah tangga dan memiliki anak yaitu Edwin dan Arifin, mereka tidak terlalu ambil pusing soal Ben. Adiknya itu sudah dewasa dan bisa menetukan pilihannya.
Malam itu Ben menemui Elena di apartemen wanita itu. Ia tidak memberitahukan Elena tentang kedatangannya. Alhasil, wanita itu terkejut.
"Ben, kenapa datang ke sini malem-malem?" Tanya Elena dengan wajah polos tanpa make-up. Ia sudah mengenakan baju tidurnya.
Ben berlutut depan Elena dan membuka sebuah kotak beludru biru dan menunjukkan sebuah cincin berlian yang sudah dipesannya seminggu yang lalu. "Aku cinta kamu, elena. Kamu mau menikah denganku?" Tanya Ben lembut dengan nada kasih sayangnya.
Elena tertegun. Perempuan mana yang tidak terenyuh hatinya ketika pacarnya berlutut didepannya dan melamarnya. Mata Elena berair. Seumur hidupnya pacaran dengan banyak pria, tidak pernah mereka memperlakukan dirinya seperti Ben saat ini. "Ben," seru Elena. Ia terharu sekali.
"Sebelum kamu menjawab, biar aku bilang sesuatu dulu." Ucap Ben.
"Apa?" Kening Elena berkerut.
"Elena, kamu tahu kalau aku hanya seorang pesuruh Direktur. Aku gak tahu berapa lama status ini aku pegang." Ia menatap kedua bola mata Elena lekat. "Kalau sepuluh tahun ke depan dan aku masih menjadi pesuruh, kamu gak apa?" Tanyanya lirih. Ia berharap Elena mencintainya apa adanya.
Elena menangis. Ia ikut berlutut dihadapan Ben. Tinggi mereka sudah hampir sama sekarang. Elena memegang lengan Ben dan berkata, "Aku bukan perempuan suci seperti yang lainnya. Kamu bisa cari perempuan yang lebih sempurna di luar sana daripada aku, tapi kenapa kamu ke sini?" Elena merasa dirinya jauh tidak layak untuk Ben. "Masa laluku dengan Roy, apa kamu bisa terima?" Sejak pertemuan mereka pertama kali, Elena sudah menceritakan kisah cintanya dengan Roy. Ia menjelaskan semuanya termasuk dirinya yang tinggal serumah dengan Roy di Bali.
Ben menghela napas dalamnya, "Masa lalu itu bisa kamu jadikan alasan supaya kamu bisa melangkah maju. Dan masa lalu yang kamu punya sudah aku terima sejak pertama kali kamu cerita." Ben diam sejenak. "Jadi, apa ada masa lalu kamu yang lebih dari ini?"
Elena menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia benar-benar bersyukur memiliki Ben.
"Kamu gimana?" Tanya Ben. Ia berharap Elena bisa menerimanya.
Elena mengulurkan tangan kanannya pada Ben sebagai tanda kalau dirinya menerima Ben apa adanya. Ben dengan girang memasukkan cincin berlian itu ke jari manis Elena. Mereka berpelukan.
"Aku cinta sama kamu apa adanya, Ben." Elena merapatkan tubuhnya. "Apa yang kamu punya sekarang, cukup untuk kita berdua." Kata Elena.
Ben mengelus punggung Elena lembut. Ia mencintai wanita itu lebih dari apapun. Elena sudah melengkapi hidupnya.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!