Ben memasuki halaman Hotel malpis. Ia menghentikkan mobilnya di depan lobi. Ia turun dari mobilnya lalu melemparkan kunci itu pada valet parking hotelnya.
Ben langsung menuju meja resepsionis dan berkata, "Kamar saya ada tamu?" Tanyanya pada resepsionis hotelnya.
Resepsionis itu tampak mengerti dan dengan cepat memeriksa kamar yang dimaksud, "Kosong, pak."
"Kasi saya kamar itu." Ucap Ben dengan nada sedikit memaksa.
Resepsionis itu langsung mengambil kunci kamar 2501 di dalam sebuah laci di bawahnya kemudian memberikan itu pada Ben.
"Thank you." Seru Ben pada resepsionis itu dan langsung menuju lift.
Melihat bayangan CEO nya menghilang di balik pintu lift, resepsionis itu langsung menelepon seseorang.
Ben duduk di kantornya menghadap jendela besar dengan pemandangan lapangan golf Hotel Malpis. Tatapannya kosong. Ia merenung sekaligus melamun bersamaan. Ben masih berusaha untuk percaya kalau dirinya dan Elena sudah berpisah. Sekuat apapun ia bertahan tapi Elena tidak memilihnya.
Pintu ruang kerja itu di buka dari luar dengan terburu-buru, "Pak!" Suara Arif muncul. Ia segera menghidupkan lampu ruang kerja itu. "Ada apa? Kenapa resepsionis bilang kalau anda meminta kamar 2501?" Arif khawatir. Kamar 2501 adalah kamar yang biasanya ditempati oleh Ben jika suasana hatinya sedang tidak bagus.
"Kamu ngapain datang ke sini lagi? Bukannya kamu sudah pulang?" Tanya Ben tanpa menoleh. Pandangannya masih ke arah lapangan golf.
"Ada apa? Kenapa anda di kantor jam segini?" Tanya Arif lagi dengan nada gelisah. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Ben memutar kursinya menghadap Arif, "Kamu lebih tahu kenapa saya ada disini."
Arif diam. Ia tidak berani menjawab.
"Kamu lebih tahu apa yang Elena lakukan sama Roy di Bali, di Jakarta atau di tempat lain. Pesan yang masuk ke hp kamu waktu itu pasti soal Elena, iya kan?" Tanya Ben dengan nada datar. Tak ada ekspresi marah disana.
Arif masih diam dan ia tidak berani menjawab. Di dalam hati, ia membenarkan kalimat Ben itu. Ben tidak pernah menyuruh Arif untuk membuntuti atau mencari tahu apa saja yang Elena lakukan. Tapi sejak pertama Arif mengenal Elena, ia tidak begitu menyukai wanita itu. Ia mencari tahu latar belakang wanita itu tanpa sepengetahuan siapapun dan membuatnya semakin tidak menyukai Elena.
Hingga kabar Roy datang ke Jakarta, Arif adalah orang pertama yang tahu soal itu melalui temannya di Hotel Aryiz. Semua pertemuan Elena dan Roy di Jakarta maupun di Bali, Arif tahu semuanya. Hingga pesan yang diterimanya saat itu berisikan informasi kalau Elena dan Roy check-in di salah satu hotel di Seminyak dan beberapa foto kemesraan kedua hingga mereka berciuman.
Arif tidak mau, tidak berani dan juga tidak tega memberitahukan Ben soal ini. Ia tahu betapa Ben sangat mencintai Elena. Pria itu seperti jatuh cinta pada Elena sejak pertama bertemu. Arif tidak mau Ben malu dengannya karena memberitahukan hal ini. Ia lebih suka Ben tahu langsung dari mulut istrinya.
"Saya gak akan marah kenapa kamu tidak beritahu saya soal ini." Kata Ben pelan. "Aku dan Elena akan bercerai." Tambahnya.
Arif juga tidak menjawab. Ia menunduk sebagai tanda maaf.
"Mulai malam ini saya akan tidur di kamar itu. Nanti kamu tolong bereskan barang-barang saya di rumah." Ben memutar kembali kursinya menghadap lapangan golf.
"Baik, pak."
Itulah akhir dari pembicaraan antara Arif dan Ben. Dan setelah itu tidak pernah lagi mereka membahas soal Elena. Bahkan berita ini sudah tersebar di satu Hotel hingga resort. Ben bercerai menjadi topik hangat di kalangan karyawan dan staff. Sarinah bahkan harus terbang ke Jakarta hanya untuk meminta kejelasan Ben dan bertemu dengan Elena. Sedangkan Malpis hanya bisa berharap kalau keputusan mereka tidak akan salah nantinya.
***
Seminggu kemudian berlalu dan Elena tidak pernah menghubugi Ben sama sekali. Tapi hari ini ia sengaja datang ke Hotel Malpis untuk menemui pria itu dan mengatakan sesuatu.
Ben dan Arif berjalan dari arah lift. Mereka baru saja selesai meeting diluar dengan mitra bisnis Malpis.
"Maaf, pak. Di dalam ada Ibu Elena." Ucap sekretaris Ben begitu pria itu tiba dì depan kantor.
Ben terdiam. Langkah kakinya bahkan berhenti. Ia menatap Arif sekilas. Ia menarik napas berat kemudian masuk ke dalam.
Pandangan pertamanya ketika ia masuk ke dalam kantornya adalah punggung Elena yang sedang membelakanginya. Begitu mendengar suara langkah kaki, Elena langsung menoleh ke belakang. Tak ada senyum di wajahnya. Ben berdiri di depan Elena. Dan wanita itu juga berdiri menghadapnya sambil memegang sebuah amplop.
"Aku sengaja kasi ini langsung untuk kamu karna aku juga mau ketemu sama kamu." Elena menyodorkan sebuah amplop berukuran sedang berwarna cokelat.
Ben meraihnya namun ia hanya menggengamnya. Ia enggan membukanya di depan Elena. Ia sudah tahu apa isi amplop itu.
"Itu surat perceraian kita. Aku mau semuanya cepat selesai. Kamu mengerti kan maksud aku?" Elena memandangi wajah Ben. Wajah yang tadi malam hadir di mimpinya.
Ben mengangguk pelan. "Kamu mau ketemu untuk apa?" Tanya Ben. Ia penasaran kenapa Elena ingin bertemu dengannya.
"Kemarin mama kamu datang ke rumah dan aku udah jelaskan semuanya." Elena diam sesaat. "Aku juga udah bilang kalau mau jual rumah itu." Ia menatap wajah Ben.
Sedangkan Ben hanya bisa diam. Ia tidak berkomentar apapun. Yang dilakukannya hanya menatap wajah Elena untuk di ingatnya terakhir kali.
Elena membuang wajahnya kesal ke arah lain. Ia menghela napas dalamnya, "Besok aku ke Bali. Aku akan tinggal lagi disana." Ucapnya dengan tegas.
Ben membuang wajahnya ke arah lain dengan helaan napasnya yang lelah. Elena menggelengkan kepalanya melihat Ben yang tidak menanggapinya. Ia mengambil tasnya yang ia letakkan di kursi sampingnya. Kemudian berjalan ke arah pintu.
Beberapa langkah berjalan, Elena berbalik dan berkata, "Kamu tahu, kamu diam kayak gini malah bikin aku semakin yakin untuk bercerai." Ucapnya.
Ben berbalik dan mengerutkan dahinya.
"Semua yang aku bilang sama kamu, sekalipun kamu gak berkomentar. Aku mau jual rumah itu, aku mau pindah ke Bali. Kamu gak peduli." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang bisa aku lakukan supaya bisa merubah jalan pikiran kamu. Aku gak peduli kamu mau jual rumah itu atau kamu mau pindah ke Bali sekalipun. Kemanapun kamu pergi aku bisa ikut, tapi kita gak harus bercerai." Akhirnya Ben mengeluarkan kalimatnya.
Elena terdiam.
"Masalah kita sepele. Aku sibuk, aku gak perhatian, aku berubah, oke aku ngerti. Kita bisa mulai semuanya dari awal dan aku akan berusaha menjadi Ben yang dulu. Kalau kamu benci sama kesibukan aku, kita bisa pindah ke Bali seperti keinginan kamu ďan aku akan lepaskan semuanya." Kata Ben dengan nada bergetar. Ingin sekali ia memeluk Elena dengan erat saat ini. Namun ia tahu kalau wanita itu akan menolaknya.
Elena menunduk sesaat kemudian menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. "Terlambat, Ben." Ucapnya. Ia menggenggam erat tasnya. "Aku pindah ke Bali dengan Roy." Elena berbalik dan pergi dari kantor itu.
Arif yang menunggu di meja sekretaris di depan kantor Ben, hanya bisa melepas kepergian Elena. Sepuluh menit kemudian, Arif masuk ke dalam kantor Ben setelah ia membiarkan pria itu menyendiri sementara.
Arif melihat Ben duduk di kursi kerjanya dan menghadap lapangan golf. "Maafkan saya, pak." Ucapnya.
Ben berbalik, "Untuk apa?" Mata Ben tampak sembab. Ia baru saja menangisi Elena yang sudah meninggalkannya. Ini pertama kalinya ia menangis setelah Elena ketahuan selingkuh.
"Kalau saya beritahu sejak awal, mungkin anda akan menghalangi hubungan mereka semakin jauh. Dan tidak akan jadi seperti ini." Wajah Arif penuh rasa bersalah.
Ben senyum sungging, "Menurut kamu kalau dari awal saya tahu dan saya bicara sama Elena, apa dia akan menjauhi Roy?" Ben diam sejenak. "Tidak. Dia pasti akan terus menemui Roy di belakang saya." Ia menghela napas. "Sesuatu yang kita larang pasti akan semakin dilakukan bahkan dengan cara yang lebih menarik."
"Pak," Arif memanggilnya ragu. "Kalau anda masih ingin melihatnya, mereka masih ada di Hotel Aryiz sekarang." Katanya.
Ben menatap Arif beberapa saat, kemudian ia bangkit dari kursinya menuju pintu.
***
Ben memasuki lobi Hotel Aryiz. Ia melemparkan pandangannya ke seluruh sudut hotel Ia tidak menemukan Elena disana. Ben berkeliling di beberapa restoran yang ada di sana namun ia juga tidak menemukan Elena. Hingga ia kembali lagi ke Lobi depan dan ia melihat Elena dan Roy bergandengan tangan dengan mesra menuju lift.
Senyum bahagia Elena terpancar dari wajah wanita itu. Sudah lama ia tidak melihat senyuman itu, tepatnya semenjak pertama kali Elena mulai berubah dan uring-uringan soal kesibukannya.
Ben melepas kepergian Elena menghilang dari balik pintu lift. Ia membiarkan Elena bahagia dengan orang yang dipilihnya. Ben berjalan lunglai menuju meninggalkan tempat itu.
***
---------------------------------------------------------------------------------
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.