Chereads / MALPIS / Chapter 17 - Chapter 11 - He Thinks of Her

Chapter 17 - Chapter 11 - He Thinks of Her

Ben dan Arif berjalan ke arah western restaurant setelah pulang dari lapangan golf.

"Selamat siang, pak." Sapa Mita begitu Ben sudah tiba di depan restorannya.

"Hari ini ramai, ya?" Sapa Ben melihat kursi di restoran itu dipenuhi oleh beberapa kumpulan orang yang beragam. Mulai dari turis, pekerja kantoran maupun para tamu yang menginap di hotelnya.

"Iya, pak. Hari ini memang sedikit ramai." Jawab Mita dengan penuh senyum. Ia mengantarkan Ben dan Arif menuju salah satu meja yang kosong.

"Udah makan, mbak?" Sapa Arif pada wanita itu. Mereka tampak dekat.

"Sudah," jawab Mita pada cowok itu. Mereka saling bertukar senyum keakraban.

Seorang pelayan memberikan Ben dan Arif buku menu. "Paramitha, hari ini saya mau makan Squid pasta saja." Ucap Ben tanpa melihat buku menu. "Air putih saja ya." Tambahnya.

"Saya fish and chips aja, mbak." Sambung Arif. "Airnya juga air putih." Pungkasnya.

Mita mengangguk dan langsung memesan makanan atasannya kepada salah seorang pelayan yang bertugas di bagian pemesanan. Ia mengambil buku menu kembali.

"Yang kemarin di basemen itu teman kamu?" Tanya Ben begitu ada kesempatan yang pas. Sejak pertemuannya kemarin, Ben tidak bisa bohong kalau ia penasaran dengan wajah teman Paramitha yang membelakanginya. Terlebih lagi ia penasaran kenapa perempuan itu menangis.

Mita tampak bersemangat saat Ben menanyakan hal itu, "Iya, dia teman SMA saya. Kami dulu bertetangga sebelum saya pindah." Jelasnya.

Arif mencoba mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang di depannya ini. Kenapa ia tidak tahu akan hal itu. Dan siapa teman yang dimaksud oleh atasannya.

"Dia udah gak apa-apa sekarang?" Tanya Ben lagi.

"Sekarang dia sudah lebih baik, pak." Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala Mita saat itu. Ia ingin menjodohkan Alya dengan atasannya.

"Baguslah, waktu itu saya lihat dia kayaknya sedih banget sampai harus datang kesini dan ketemu kamu untuk cerita." Ben tidak sadar kalau ia menunjukkan perhatiannya.

"Anda tahu dari mana?" Mita kaget dengan ucapan Ben.

"Bukannya perempuan itu akan mencari sahabatnya kalau mereka lagi sedih. Cuma didepan sahabatnya mereka bisa menangis seperti itu."

Mita mengangumi kemampuan atasannya soal memahami wanita.

"Teman kamu itu kerja dimana?" Tanya Ben mulai mencari tahu.

Arif tampak curiga dengan sikap Ben yang penasaran akan sosok perempuan itu. Ia menahan senyumannya karena pikiran nakalnya.

"Oh, dia guru SMA, pak." Jawab Mita. "Dia mengajar di ..."

"Excuse me," panggil seorang pelanggan sambil melambaikan tangannya.

"Maaf pak, saya permisi dulu." Mita pergi dari hadapan Ben dan menuju pelanggan restorannya yang meminta bantuan.

Ben hanya bisa melepas kepergian Paramitha dan menggantung rasa penasarannya akan perempuan itu. Ben tidak sadar kalau diam-diam Arif memperhatikannya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9.45 pagi. Jam segitu adalah jam dimana anak-anak SMA 278 mendapatkan istirahat pertama mereka.

"Ibu alya, ini undangan untuk ibu. Datang ya ke kawinan anak saya." Seorang guru Biologi memberikan sebuah undangan pada Alya sambil tersenyum bangga. "Ini juga untuk ibu Rini. Dateng ya." Sambungnya.

Alya menerima undangan itu dengan wajah sedih. Ia berharap bisa membagikan undangan yang tertera namanya disana kepada guru-guru di sekolahnya. Namun apa daya kalau dirinya sudah resmi sendiri sejak semalam.

"Ini anak ibu yang nomor dua, ya?" Tanya Rini basa-basi padahal ia sudah tahu karena guru Biologi begitu membesar-besarkan cerita soal pernikahan anaknya.

"Iya. Ini anak saya yang baru selesai S2 nya kemarin di Jogja. Seneng sekali rasanya kalau calon suaminya udah siap lahir batin." Jawabnya bangga. Ia melirik Alya. "Ibu Alya kapan menyusul? Pasangannya sudah datang melamar?" Tanyanya.

Rini melirik kasihan. Ia sudah sering menjadi saksi Alya ditanya akan hal itu oleh guru ataupun orang lainnya.

Alya memberikan senyum lebarnya, "Belum, bu. Kami belum siap." Alya sengaja memberikan jawaban itu agar percakapan mereka selesai. Padahal calon saja ia tidak ada.

"Loh, kapan siapnya bu? Jangan ditunda kalau sudah merasa matang. Nanti keburu berubah pikiran." Sahut guru Biologi.

Gimana gak berubah pikiran, kalau emang gak jodoh, mau pacaran selama apapun tetap saja menikah dengan orang lain, pikir Alya dalam hati. Ingin sekali ia menjawab seperti itu tapi ia menahannya. Ia tahu diri kalau dirinya masih minim pengalaman dibandingkan guru Biologi yang seumuran dengan orang tuanya.

"Berubah pikiran diawal juga bagus, bu." Timpal Rini lembut. "Lebih baik putus sebelum menikah daripada putus sesudah menikah. Gak ada yang tahu jodoh seseorang." Sambungnya.

Guru Biologi terdiam. Ia seperti diceramahi oleh Rini. Alya melirik Rini sambil menahan senyuman.

"Kalau gitu jangan lupa datang, ya." Pesan guru Biologi sekali lagi sebelum meninggalkan Alya dan Rini.

"Thanks, Rin. Lo memang penyelamat gue." Ucap Alya bersyukur saat mereka hanya berdua.

"Memang jawaban sebenarnya seperti itu." Sahut Rini bangga.

Alya mengangguk. Ia melirik perut temannya itu, "Perut lo udah makin kelihatan." Ia menyentuhnya pelan.

"Minggu depan udah masuk lima bulan. Udah gak bisa lagi pakai celana. Semua udah ketat." Ia bersandar dibahu kursinya.

"Minggu depan udah pakai baju hamil dong." Seru Alya iri.

"Iya." Jawab Rini malu.

Alya ingin sekali bisa merasakan apa yang Rini rasakan. Memiliki pasangan, menikah, memiliki anak. Umur Rini yang lebih muda satu tahun darinya sudah bisa membina rumah tangga. Mita sahabatnya, bahkan sudah menikah dan memiliki seorang putri berumur empat tahun.

Diumur Alya yang sudah genap 30 tahun. Ia sudah cukup sukses. Wanita muda itu sudah menyelesaikan S2 nya sejak umur 24 tahun, lalu menjadi guru honor di SMA 278 itu selama dua tahun. Dan lebih kurang empat tahun terakhir ia sudah menjadi guru tetap di sekolah itu.

Tapi bagi Alya itu semua bukan keinginannya. Cita-citanya adalah bisa ke luar negeri. Sejak SMA ia sudah menantikan dirinya masuk universitas dan mengambil jurusan Hubungan Internasional lalu ia akan bekerja di kedutaan Indonesia diluar sana. Tapi bapaknya yang seorang Kepala Sekolah SMP menentanganya habis-habisan.

Pria itu memohon pada Alya agar mau mengikuti jejaknya dan menggantikannya kelak. Alya terpaksa mengalah. Ia mengambil jurusan yang ia senangi yaitu Geografi. Setidaknya dengan belajar geografi ia bisa melihat dunia luar dari sisi berbeda.

Ada banyak pergulatan didalam diri Alya. Impiannya bisa tinggal diluar dan hidup mandiri seperti bayangannya, harus buyar ketika ia melanjutkan hidupnya dan mengajar disekolah.

Sedangkan kedua adik-adiknya bebas memilih jalan hidup mereka tanpa pakasaan. Adiknya yang pertama, Rina bekerja disebuah kantor pelayanan kargo dan menikah dengan cowok yang dikenalinya disebuah acara ulang tahun. Mereka bahkan sudah memiliki putri berumur dua tahun.

Dan adiknya yang nomor dua, Dira baru saja selesai S2 dengan nilai terbaik di bidang manajemen. Tapi dibalik itu semua, adik bungsunya adalah seorang wira usaha online shop yang sibuk. Pemesanannya setiap hari bisa mencapai 30-50 unit. Ia bahkan sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri dan membeli mobil pertamanya. Bahkan lebih kurang dua bulan lalu, Dira baru saja melangsungkan pernikahannya dengan seorang pengusaha showroom mobil keturunan cina. Dan mereka sudah pindah ke rumah baru sejak pulang dari bulan madu di Jerman.

Sedangkan Alya masih menggunakan motor matic-nya sejak empat tahun terakhir yang dibawanya kemanapun ia pergi.

Itulah kenapa kadang Alya selalu merasa sedih dengan keadaannya jika ia ingat kembali. Ingin sekali ia melawan pada bapaknya dulu dan tetap mengambil jurusan yang ia inginkan. Belum lagi ia harus menghadapi pahitnya kisah cinta yang ia jaga hingga kandas ditengah jalan sebanyak dua kali. Dan kedua nya selalu gagal ketika rencana lamaran sudah terucap.

***

Jam istirahat kedua sudah berbunyi, Alya dan Rini tengah asyik mengobrol hingga suara guru Sosiologi menggema di dalam majelis guru.

"Bu Alya." Pekik guru Sosiologi.

Alya menoleh cepat karena kaget mendengar namanya dipanggil. "Iya ada apa, bu?"

"Kesabaran saya sudah habis untuk Dewa." Teriak Guru Sosiologi.

"Kenapa dengan Dewa, bu?" Wajah Alya tak kalah kesalnya.

"Jam pelajaran saya dia ijin ke WC, tapi sampai istirahat dia gak masuk lagi. Sudah dua kali dia seperti ini." Guru Sosiologi menggelengkan kepalanya. "Saya merasa tidak dihargai, buk." Ucapnya. "Tolong bilang sama Dewa, minggu depan sampai seterusnya dia gak perlu masuk kelas saya lagi." Wajah guru Sosiologi tampak murung.

Alya kaku. Amarah Guru Sosiologi pada Dewa seolah untuknya juga. Alya hanya bisa memberikan senyum hambar. Ia menoleh Rini sesaat kemudian menunduk. Alya menghela napas berat sekaligus jengkel.

***

Alya membuka hp nya kemudian menelepon Mita. Tak butuh waktu lama wanita itu mengangkatnya, "Mit," sapa Alya begitu mendengar 'Halo' dari seberang.

"Apa, Al?" Tanya Mita.

"Gue gak bisa anterin online shop lo. Nanti lo ambil aja dirumah gue ya. Gak apa kan?" Tanya Alya. Biasanya Alya selalu bertugas mengantarkan online shop milik Mita. Sekaligus juga sebagai alasan dirinya bisa bertemu dan mengobrol dengan sahabatnya itu.

"Lo mau kemana?" Tanya Mita.

Alya mulai meneritakan rencananya ke Bali atas pemberian Rina.

"ASTAGA! Lo mimpi apa kemarin?" tanggapan histeris Mita. "Lo nginep di Resort Malpis, Al!" Serunya girang.

"Iya. Makanya gue sekarang mau pulang terus ke bandara."

Terdengar tawa kecil Mita, "Ya udah gak apa. Lo pergi aja." Ucapnya. "Titip oleh-oleh ya, Al. Buat anak gue juga." Pesannya.

Alya mengangguk. "Iya." Ia melihat Dewa baru saja meninggalkan halaman sekolahnya dengan tergesa-gesa dan mengedarai motornya dengan laju. Ia menutup teleponnya sambil melihat ke arah Dewa pergi. Ia menggelengkan kepalanya. "Kalo disuruh pulang aja cepet. Kalo datang ke sekolah sengaja telat." Omelnya.

***

Alya duduk didalam pesawat yang tengah menanjak naik. Ia menatap keluar jendela dan melihat cantiknya kota kelahirannya yang penuh dengan lampu yang senada. Perasaanya sedang baik saat ini. Kesedihan yang ia lalui sudah lewat sejak ia bangun tadi pagi.

Lampu pesawat kembali dihidupkan. Ia melihat sekelilingnya yang tidak begitu ramai. Bahkan disebelahnya juga kosong. Ia kebagian kursi penumpang nomor 28A. Alya mendongak ke depan dan ia juga tidak melihat adanya keramaian. Bahkan diruang tunggu tadi juga tidak begitu ramai.

Beberapa jam kemudian, Alya tiba di Bandara Ngurah Rai. Luapan bahagia terpancar dari senyumannya yang tak hilang sedikitpun. Ia mengirimkan pesan pada adiknya itu.

Udah sampe Bali nih. Makasih ya.

Tak lama, Rina membalas.

Seneng-seneng ya disana.

Alya mengirimkan pesan pada Mita.

Gue udah sampe Bali.

Mita membalas pesan itu lima menit kemudian.

Next trip bareng gue ya perginya.

Alya tersenyum simpul membaca pesan dari Mita. Ia berjalan keluar Bandara menarik kopernya. Ia melihat seseorang memegang kertas dan menulis namanya. Alya Ariana, Jakarta.

"Pak Wayan, ya?" Tanya Alya.

"Mbak Alya, ya." Tanya pria paruh baya itu balik.

"Iya pak." Alya mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Wayan membalasnya dengan penuh senyum. Namun matanya tak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya baru saja keluar dari pintu kedatangan. "Mbak, sebentar ya."

Alya mengangguk. Ia melihat kepergian Wayan mendekati seseorang. Ia tidak mengenali pria itu karna ia memperhatikan hal lain.

"Mas Ben?!" Panggil Wayan semangat. Tangannya begitu sopan menggunakan gerakan adat jawa.

Ben menoleh saat ia menarik koper kecilnya. "Pak Wayan." Sambutnya gembira. "Jemput siapa, pak?"

"Saya jemput tamu dari Jakarta." Ia menoleh ke arah belakang dan menunjuk seorang gadis yang berdiri sendiri ditengah lobi pintu kedatangan dengan kopernya yang berwarna biru tua.

Ben melihat ke arah yang ditunjuk oleh Wayan. Ia memperhatikan gadis itu dari samping. Rambut yang panjang, kulit kuning langsat, rahang yang lembut, hidung mancung dengan dagu berlekuk yang indah. Tubuhnya langsing dan ia mengenakan dress panjang floral yang dilapisi dengan cardigan rajut serta sendal tali hitamnya.

"Mas Ben mau bareng aja atau gimana?" Tanya Wayan menawarkan.

"Memangnya tamu bapak mau ke Resort juga?" Tanyanya balik.

"Iya. Bos sama nyonya juga ada di Resort." Ucapnya.

Alya menoleh ke arah Wayan dengan sabar menunggu. Ngomongin apa sih, lama banget, gerutunya. Ia menoleh ke arah cowok yang tengah berbicara dengan Wayan. Sekali lagi ia tidak mengenal wajah itu.

"Enggak apa, pak. Saya naik yang lain aja." Ben menolak secara halus.

"Ya udah kalau begitu, saya duluan." Wayan pamit dengan sedikit membungkuk kemudian menemui Alya. "Mari mbak Alya saya bawakan kopernya." Ia menarik koper berwarna biru tua itu. "Maaf ya menunggu lama."

Alya mengikuti langkah Wayan yang menuju parkir. Ben melihat ke arah Wayan sekali lagi namun gadis itu membelakanginya. Hanya terlihat gerai rambutnya saja.

Ben berjalan ke arah depan. Beberapa langkah berjalan, ia menyadari sesuatu. Sekali lagi ia menoleh ke arah tamu yang dibawa oleh Wayan namun mereka sudah tidak terlihat. Dari belakang seperti temannya Paramita, ucapnya. Ia melanjutkan langkahnya.

***

Alya turun dari mobil hitam yang disupiri oleh Wayan. Ia memandangi bagian depan Resort Malpis yang indah dan asri. Dibagian depan ada sebuah kolam ikan mungil dilapisi dengan dedaunan merambat yang berbunga gemulai. Marmer lantainya bersinar diterpa cahaya lampu yang menghiasi setiap sudut tempat itu.

"Mari mbak." Wayan mengajak Alya menuju meja resepsionis. Alya mengikuti langkah Wayan. Ia diberikan segelas jus oren sebagai minuman sambutan yang diberikan oleh Resort itu.

Alya diantar oleh Wayan kembali saat menuju kamarnya.

"Mbak kok liburannya sendiri saja?" Tanya Wayan basa-basi. Dimobil tadi ia tidak sempat basa-basi karena memperhatikan jalanan yang ramai. Ia juga memberikan waktu pada Alya untuk mengagumi setiap sudut Kota yang penuh dengan lampu kerlap-kerlip.

"Ini hadiah dari adik saya, pak." Sahut Alya. Ia mencari dompetnya lalu menyiapkan selembar uang yang akan ia berikan pada Wayan.

"Pertama kali ke Bali, mbak?" Wayan membuka pintu kamar Alya yang bernomor 5055.

"Kelihatan ya, pak?" Alya merasa kampungan saat ini.

"Iya. Kalau tamu yang selama ini saya pernah bawa, mereka selalu mampir dulu ke tempat lain baru ke resort ini. Biasanya mereka juga menanyakan tempat-tempat yang mereka akan datangi." Ia menoleh. "Mbak mau rencana kemana?" Tanyanya.

"Saya enggak tahu, pak." Alya tidak tahu tujuannya kemana saja. "Mungkin saya cuma jalan disekitar resort aja."

Wayan mengangguk. "Mbak bisa pinjam sepeda atau motor Resort kalau mau. Mbak nanti keluar dari resort ini akan ketemu jalan protokol, disana banyak dijual souvenir, makanan, tas, yang lain juga ada."

"Iya pak, terima kasih ya." Ia mengulurkan uang yang sudah disiapkannya.

"Terima kasih mbak." Wayan menerimanya dengan gembira. Ia meninggalkan Alya seorang diri dikamarnya.

Alya membuka pintu kacanya yang langsung menuju balkon. Seketika hempasan angin malam menerpanya dengan nyaman. Alya menghirup udara malam yang indah. Samar-samar terdengar suara alunan musik dan tawa seseorang. Namun suara deru ombak jauh lebih terdengar saat ini. Alya meletakkan kedua tangannya diatas besi balkonnya dan menatap laut luas didepannya.

Alya menoleh ke bawah dan langsung dimanjakan dengan birunya air kolam yang dipenuhi oleh beberapa orang yang tengah berenang. Disekitar kolam itu juga ada kursi panjang untuk menikmati matahari yang bersinar. Alya masuk ke dalam dan menutup kembali pintu kacanya. Ia hendak membersihkan tubuhnya.

Ben menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur empuk milik Resortnya. Sepanjang perjalanan tadi didalam pikirannya hanya ada Elena. Niat hatinya ingin menelepon wanita itu namun gengsinya belum bisa mengalahkan perasaannya.

Akhirnya Ben mencoba menelepom Arif. Tak butuh waktu lama untuk pria itu mengangkat teleponnya.

"Saya sudah sampai, Rif." Ia memberitahukan kabarnya.

Arif tersenyum sungging. "Anda mau alamat ibu Elena" ia sudah tahu kalau atasannya itu hanya basa-basi padanya. Ia bisa menebak dari nada suaranya.

Ben diam sejanak. Ia berpikr keras, perlukah alamat Elena. "Gak usah."

Arif cukup terkejut dengan penolakan atasannya. Ia menyangka kalau pria itu akan menerimanya tanpa menawar lagi. Nyatanya salah. "Iya pak."

Ben menutup teleponnya dan membanting ke arah sampingnya. Ia menutup matanya dan mencoba tidur.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.

Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.

xoxo!!!