Chereads / MALPIS / Chapter 23 - Chapter 17 - Truth of Benjamin Malpis

Chapter 23 - Chapter 17 - Truth of Benjamin Malpis

Alya tiba dirumahnya dan ia membanting badannya diatas tempat tidur. Tubuhnya masih lelah pulang dari liburan. Belum lagi kopernya belum ia bereskan dan masih tergeletak di lantai kamarnya dalam keadaan menganga. Ditambah dengan masalah Dewa disekolah. Semuanya menyatu saat ini.

Alya menukar pakaiannya dan mengambil handuk lalu mandi, saat berjalan menuju kamar mandi, ia melewati lemari hias yang berisikan guci dan piring-piring unik milik mamanya. Disana ia melihat paket Mita masih tergeletak.

"Mah, Mita belum ambil paketnya?" Tanya Alya pada mamanya yang tengah memasak didapur.

"Belum. Kamu antar gih sana. Kesian Mita. Mungkin dia gak sempet mampir." Suruh Trisnah.

"Ya udah bentar, Alya mandi dulu." Ia bergegas menuju kamar mandi.

Saat Alya keluar dari kamar mandi, ia melihat mamanya sedang membungkus beberapa makanan yang akan dibawa oleh Rina ke Jepang malam ini. Adiknya itu akan melakukan penerbangan tengah malam dan mereka sekeluarga berencana mengantarnya bahkan dengan Dira yang berbeda rumah.

Alya masih menggunakan handuknya yang menggantung dipinggangnya. Sedangkan tubuhnya ia tutupi dengan sehelai kaos. Rambutnya ia cepol ke atas dan terlihat anak rambut yang basah disetiap sisi wajahnya. Alya duduk di meja makan dan memperhatikan mamanya membungkus makanan.

"Makanan sebanyak ini siapa yang mau makan disana, mah?" Tanya Alya menatap mamanya.

"Kalau disimpan ke dalam kulkas, bisa tahan lama. Apalagi disana sebentar lagi musim dingin." Ujar Trisnah.

Alya juga melihat beberapa peralatan didapur yang dibawa oleh Rina. "Gelas itu juga mau dibawa?" Ia melihat sebuah mug bewarna putih yang sudah tampak menguning.

"Iya. Itu gelas kesayangannya. Tolong kamu bungkuskan koran gelasnya." Perintah Trisnah.

Alya menurut dan mengambil kertas koran yang ada didepannya. Ia membungkus mug itu dan tak sengaja matanya membaca dua buah kata yaitu Hotel Malpis. Mug yang sudah sebagian terbungkus harus dibukanya kembali karena Alya ingin membaca artikel yang terdapat di kertas tersebut. Judul artikelnya adalah Pernikahan Nasional.

Isi artikelnya membahas tentang sepasang pengantin selebriti yang akan segera menikah dan menyiarkan acara resepsinya secara langsung melalui televisi. Dan acara itu akan digelar di Hotel Malpis.

Alya terus membaca artikel itu hingga ia menemukan sebaris kalimat dibagian akhir yang berbunyi,

Kami sangat senang bisa andil dalam pernikahan sebesar ini, jawab Ina, Creative Wedding Planner Malpis Hotel. Pihak Hotel tidak memberitahu seperti apa detil dekorasi yang akan mereka tampilkan. Jika ditelisik ke belakang, banyak pesohor negeri yang pernah mengelar resepsi pernikahan di hotel bintang lima ini, termasuk putra bungsu pendiri Hotel Malpis yaitu Benjamin Malpis pada tahun 2013.

Alya berdiri dari kursi meja makan dan membawa kertas koran itu ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya dan duduk ditepi tempat tidur dan membaca sekali lagi bagian akhir dari artikel itu.

Namanya Benjamin Malpis, ucap Alya. Nama dia juga Benjamin, ucapnya lagi. Ia mengingat saat dirinya berkenalan dengan seorang pria yang membantunya saat kebocoran ban di Kuta. Pikiran Alya mulai liar dengan menggabungkan semua kejadian yang menimpanya. Mulai dari Pak Wayan, restoran, kebocoran ban, kenalan, minum bersama, ditraktir hingga pemilik Malpis mengantarnya ke Bandara. Otaknya tidak berhenti menghubungkan semuanya.

Alya membuka hp nya kemudian mengetikkan nama Pendiri Malpis pada pencarian internetnya. Beberapa detik kemudian muncul artikel lengkap tentang pendiri Malpis. Alya membaca artikel itu hingga setiap link yang terhubung disana.

Saat ia membuka link Benjamim Malpis, hanya ada biodata lengkap pria itu disana dan tidak memiliki foto. Alya mengetikkan nama Benjamin Malpis pada pencarian internetnya kembali. Kemudian ia membuka images disana dan muncul beberapa foto yang tampak lama.

Alya membuka salah satu foto itu dan disana tertulis Benjamin Malpis. Alya sangat terkejut saat melihat pria yang bernama Benjamin Malpis mirip dengan Benjamin yang dikenalnya di resort. Mirip, batinnya. Apa mereka orang yang sama, benaknya.

Benjamin Malpis yang dilihatnya di internet tampak lebih muda dengan potongan rambut rapi. Sedangkan Benjamin yang dikenalnya lebih berisi, berkharisma dengan potongan rambut yang gondrong dibagian depan dan sedikit belah tengah, membuatnya tampak dewasa.

Alya bangkit dan membuka tas kerjanya. Dari dalam tas itu ia mengambil sehelai sapu tangan yang selalu dibawanya kemanapun. Alya ingat saat Mita mengatakan kalau yang memberikan sapu tangan ini adalah Bosnya. Dan Bos itu adalah bos yang paling besar disana yakni, Benjamin Malpis.

Tiba-tiba perasaan bergejolak Alya bangkit untuk mengembalikan sapu tangan itu dan memastikan kalau pria yang ditemuinya adalah Benjamin yang merupakan CEO Hotel Malpis. Alya buru-buru mengganti pakaiannya dengan yang lebih sopan dan rapi. Ia duduk didepan cermin dan mendandani wajahnya.

Kalau bener Ben itu Benjamin Malpis kenapa dia harus bohong ke gue dan bilang kalo dia pegawai kantor, tanya Alya pada dirinya sendiri. Alya kembali memoles wajahnya. Berarti dia gak mau kalo gue tahu siapa dia sebenarnya, ucapnya pelan.

Alya menghela napas bingung. Ia menghentikkan gerakan tangan pada wajahnya. Tak ada gunanya ia berdandan jika Ben tidak ingin menemuinya. Kalo bener Ben itu Benjamin Malpis terus gue balikin sapu tangan itu, gue kelihatan matre di mata dia, Alya tertawa kecil. Dia pasti mikir kalo gue cari tahu soal dia terus cari dia sampai ke Hotel Malpis. Apalagi kalau dia mikir gue rencanain semua ketidaksengajaan yang selama ini terjadi, kata Alya pada dirinya didepan cermin.

Alya mengurungkan niatnya untuk pergi ke Hotel Malpis hari ini. Ia takut jika bertemu dengan Ben atau siapapun disana yang akan berpikir kalau dia memanfaatkan situasi. Alya kembali membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian rumah.

***

Dewa terbaring didalam kamarnya dengan seragam sekolahnya yang masih menempel. Dua jam lagi, jadwal kerjanya dimulai. Ia harus bersiap segera. Tapi tubuhnya menolak untuk bergegas. Seluruh tubuhnya terasa pegal dan suhunya juga meningkat. Sejak semalam ia merasakan tenggorokannya hangat dan tubuhnya mudah kedinginan. Namun ia hanya mengganjalnya dengan paracetamol. Namun kali ini kambuh lagi.

Dewa mengambil hp nya dari dalam kantong lalu mencari nomor mamanya. Tiba-tiba saja ia rindu pada wanita itu. Beberapa kali nada sambung berbunyi namun tidak diangkat. Hingga akhirnya telepon Irma mati dan tidak dapat dihubungi.

Dewa menelepon papanya dan tidak terhubung. Ia mencobanya lagi namun tidak juga terhubung. Pria itu mematikan hp nya. Dewa butuh seseorang untuk menemaninya namun hanya ada satu orang yang ia inginkan saat ini. Tapi pastinya orang tersebut tidak menginginkan hal yang sama dengannya.

Dewa menatap layar hp nya yang berisikan nomor telepon wali kelasnya. Beberapa menit ia hanya melihatnya dengan tatapan sendunya yang mengantuk sambil mengingat pesan wanita itu untuk menghabiskan masakan mamanya. Namun minatnya untuk makan saat ini sedang tidak ada. Ia hanya ingin tidur sejenak. Hingga matanya terpejam dan ia lupa untuk memasang alarm jika waktu kerjanya sudah tiba.

***

Arif mengendarai mobil itu dan menembus kemacetan yang sedang berlangsung. Ben mengeluarkan hp nya untuk menelepon seorang rekan bisnisnya namun nama Alya muncul pada baris kedua dari daftar kontaknya. Ben tidak bisa membohongi dirinya kalau ia memikirkan Alya semenjak pulang dari Bali. Hanya saja ia sedang sibuk dan belum memiliki waktu yang pas untuk bertemu dengan wanita itu.

Arif terpaksa mengambil jalan lain untuk bisa lebih cepat tiba di Hotel Maŕilyn. Dan kemacetan pun terjadi lagi hingga membuat mereka terhenti. Ben melihat ke arah luar jendela, dan tatapannya terfokus pada gerbang sekolah yang bertuliskan SMA 278. Ia ingat kalau sekolah itu adalah tempat Alya mengajar. Ben celingak-celinguk mencari wanita itu yang mungkin masih berada disekolah.

Arif hanya memperhatikan melalui cermin tengah melihat sikap aneh atasannya yang melihat bangunan sekolah di sebelahnya. Padahal cukup sering mereka melewati jalan itu jika macet, namun ini pertama kalinya atasannya begitu memperhatikan.

Satu jam kemudian, Ben tiba di Hotel Marilyn dan memulai meetingnya tanpa bersantai. Ia memberikan perhatiannya seratus persen pada rapat kali ini hingga ia mengabaikan telpon mamanya beberapa kali.

Ben duduk dimobilnya dalam perjalanan pulang menuju Hotel. Ia menelepon mamanya kembali. "Halo, mah. Ada apa, tadi Ben lagi meeting."

"Mama cuma kangen sama kamu." Jawab Sarinah pelan.

"Mama udah makan?" Perhatiannya terlihat jelas.

"Udah tadi dengan papamu." Sarinah diam sejenak. "Ben, kamu belum berpikir untuk menikah?" Tanyanya.

Ben menghela napas dalamnya. "Siapa lagi kali ini, mah?" Ia tidak menolak ataupun menerima. Ia memijat kening tengahnya yang terletak antara alis kanan dan kirinya.

"Alya Ariana. Kamu kenal dia kan?" Tanya Sarinah.

Ben terkejut. Ia melirik Arif didepan yang tengah menyetir. "Mama tahu darimana?"

"Sebenarnya..." Sarinah mulai menceritakan semua keajdian yang ia lakukan bersama Alya. Ben mendengarkan.

Alya duduk di atas tempat tidurnya sudah dalam keadaan selimut menutupi bagian kakinya. Ia akan bersiap tidur. Alya menatap layar hp nya seperti menunggu seseorang menelponnya. Kenapa Ben gak pernah telpon ya, batinnya. Apa bener Ben sengaja bohong soal status dirinya selama ini, benaknya.

Semenjak ia mengetahui soal siapa Benjamin Malpis sebenarnya, pikirannya tidak pernah berhenti membayangkan hal terburuk kalau ternyata Benjamin adalah orang yang sama. Alya masih tidak tahu apakah hal itu baik atau buruk.

***

Lampu ruang kerja itu menyala dan Ben duduk didepan meja puzzle nya. Tumpukan puzzle didepannya ia pandangi. Kalimat mamanya terngiang.

Mama sama papamu suka sama Alya. Kami setuju kalau kamu meneruskan hubungan kalian.

Ben mulai mencari puzzle yang dicarinya diantara tumpukan puzzle itu. Satu-persatu kepingan itu ia perhatikan. Kalimat mamanya kembali terngiang.

Mama tahu kamu sudah bisa melupakan Elena selama ini. Tapi kamu juga harus memikirkan diri kamu dengan cara membuka hatimu untuk orang lain.

Ben tidak menemukan puzzle yang dicarinya. Diantara banyak tumpukan itu, ia mulai frustasi hingga ia berdiri dari kursinya dan terus mencari.

Kalau kamu memang menyukai Alya, mulailah dari awal yang baik agar semuanya berakhir baik. Mama lihat Alya anaknya baik. Jangan jadikan dia sebagai alat, tapi jadikan dia sebagai alasan.

Ben menemukan puzzle yang dicarinya. Ia meletakkan kepingan puzzle itu samping gambar yang sudah terhubung. Ia menghela napasnya.

"Kalau kamu yakin dengan Alya, mama sama papa bisa..."

"Biarkan Ben yakin dulu, ma." Sanggahnya cepat. "Ben harus tahu kenapa Alya menjadi alasannya."

Ben membuang tumpukan puzzle yang ada didepannya hingga berserakan ke bawah. Ia keluar dari ruang kerja itu dan membanting tubuhnya diatas tempat tidur.

Ben mengakui kalau dirinya tertarik pada Alya. Wanita itu memberikannya sesuatu yang berbeda yang tidak pernah ia jumpai diwanita manapun. Alya menarik perhatiannya dan membuat Ben tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika mereka bersama. Tapi saat nama Elena muncul diantara mereka, Alya seolah memudar dan menghilang begitu saja.

Ben membuka hp nya kembali dan melihat nomor Alya yang tersimpan didalam kontaknya. Helaan napasnya terdengar jelas dengan tatapan tajamnya memperhatikan deretan nomor yang sedang dilihatnya.

Ben menekan tanda hijau pada layar hp nya yang menadakan kalau ia menelepon Alya. Ben meletakkan hp itu ditelinganya dan nada sambung mulai terdengar.

Alya sudah mematikan lampu kamarnya dan ia sudah mulai tidur. Namun suara getar hp nya membangunkannya. Alya mengambil hp nya kemudian melihat nama nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Alya enggan mengangkatnya namun nama Dewa melintas dikepalanya. Ia takut kalau sesuatu terjadi pada bocah itu dan satu-satunya orang yang bisa dihubungi adalah dirinya. Dengan ragu dan harapan kalau semuanya baik-baik saja, Alya mengangkat telepon itu. "Halo." Sapanya.

Ben diam sejenak. Ia mengatur napasnya.

"Halo, siapa ini?" Tanya Alya yang mulai cemas. Keadaan diseberang begitu tenang membuatnya semakin khawatir.

"Ini Ben." Sapa Ben. Suaranya tenang namun menyimpan sejuta kegelisahan disana.

Alya terdiam. Mendengar nama itu disebut, pikirannya seolah buntu. Pikirannya soal Dewa lenyap dan tergantikan oleh sosok Ben yang bermain disana. "Ada... apa... Ben?" Ia gugup. Kenapa pria itu meneleponnya saat jam sudah menunjukkan pukul 10.38 malam.

"Maaf, telepon kamu jam segini." Kata Ben. Ia melonggarkan tenggorokannya. "Kamu dimana sekarang?"

Alya menegakkan tubuhnya. Kamarnya hanya mendapatkan pencahayaan dari arah luar melalui ventilasi saat dirinya mulai tersenyum ketika Ben menanyakan dirinya. "Aku di rumah." Jawabnya. "Kamu dimana sekarang?"

"Emm... dirumah." Ben melihat sekelilingnya yang merupakan fasilitas hotel. Apakah itu bisa dikatakan rumah. Ia diam sejenak. "Kabar kamu gimana?" Tanyanya lagi.

"Baik." Alya mulai tersipu malu. Ia mengacuhkan fakta siapa Ben sebenarnya sebab saat ini ia sedang berbunga-bunga karna mendapatkan telepon dari pria yang sedang ditunggunya. "Kabar kamu gimana?"

Ben mulai tersenyum pelan. "Aku juga baik." Ia diam sejenak. "Hmm... Al, kapan-kapan kita bisa ketemuan?" Ia ingin memulai pencarian isi hatinya. Apakah Alya muncul didalam hidupnya sebagai alat atau sebagai alasan. Ia hanya tidak ingin menyakiti wanita itu kalau nyatanya ia hanya sebagai alat untuk mengisi perasaannya yang kosong.

"Boleh." Jawab Alya yakin. Ia tidak akan membuang kesempatan itu karena dirinya juga merasa nyaman dengan Ben terlepas siapa pria itu sebenarnya.

"Kalau gitu, nanti aku hubungi kamu lagi kalau waktunya pas." Ujar Ben. "Udah malem, besok kamu pasti mau ke sekolah lagi." Pungkasnya.

"Iya." Jawab Alya. "Selamat malem, Ben." Ucapnya. Ia menutup teleponnya lebih dulu. Alya kembali berbaring kemudian menutup wajahnya dengan selimut karena gembira. Sedangkan Ben menutup matanya dengan tangan kirinya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam dan Dewa baru saja meninggalkan area Hotel Malpis dan bergegas pulang. Tubuhnya yang kuat akhirnya rapuh juga. Sekuat apapun ia menahannya tetap saja kalah dengan rasa meriang yang muncul tiba-tiba dan membuatnya menggigil. Sudah kemarin ia menahannya di sekolah. Ditambah lagi semalam ia tidak masuk kerja karena ketiduran saat suhu tubuhnya tengah meninggi. Dan hari ini ia memutuskan masuk kerja saat ia merasa tubuhnya sudah baik-baik saja. Nayatanya ia salah.

Demam ditubuhnya yang datang dan pergi membuatnya tidak nyaman. Ingin rasanya ia tidur namun ditahannya saat dikelas. Namun nyatanya tetap saja ia kalah dan tertidur saat pelajaran masih berlangsung.

Saat tiba dirumah, Dewa langsung menuju kamarnya dengan baju yang digunakannya. Baru beberapa detik ia berbaring diatas tempat tidurnya, matanya perlahan mengantuk dan menutup rapat hingga membuatnya tertidur pulas. Ia bahkan tidak sempat mengaktifkan alarm untuk ke sekolah besok.

***

Ben duduk dikursi belakang saat Arif mengemudikan mobil menuju tempat meeting hari ini. Pandangannya terfokus ketika ia melewati SMA278. Tubuhnya yang tengah bersandar tiba-tiba berdiri tegak dan melihat keluar jendelanya memperhatikan sekolah itu. Mobil itu melaju meninggalkan sekolah SMA278 dan Ben hanya bisa menghela napasnya.

Alya sedang sibuk memeriksa hasil pekerjaan muridnya saat istirahat pertama. Rini yang duduk disebelahnya juga sibuk melakukan perkerjaannya.

Seorang guru Akuntansi menghampiri Alya dan berkata. "Bu Alya!" Panggilnya tegas. Alya menoleh dan menelan ludahnya. Ia yakin sesuatu pasti telah terjadi.

"Saya tidak ijinkan Dewa masuk kelas saya lagi mulai hari ini dan seterusnya." Ucapnya tegas.

"Kenapa, buk?" Alya bangkit dari kursinya.

"Hari ini dia datang terlambat dan lima belas menit sebelum kelas saya berakhir dia baru masuk kelas. Bukannya mengejar ketertinggalannya Dewa bahkan tidak mengumpulkan tugas yang saya berikan dan dia tidur di kelas sampai kelas saya selesai. Kurang ajar apalagi itu namanya?" Terdengar nada emosi disana.

Alya malu sekali saat itu. "Ibu, nanti saya bicara sama Dewa."

"GAK PERLU!" nadanya membentak. Alya terkejut.

"Saya tidak perlu lagi pembelaan dari ibu. Selama ini saya sudah tolerir kenakalan Dewa. Tapi tidak kali ini. Kesabaran saya juga punya batasnya. Kalau dia tidak suka pelajaran saya, tidak perlu masuk kelas, jadi tidak merusak pemandangan saya melihat dia tidur." Guru Akuntansi itu berlalu meninggalkan Alya.

Alya menunduk dan menghela napas kesalnya. Ia duduk di kursinya dengan tubuh lunglai. Gimana lagi caranya jelaskan ke dewa, batinnya. Alya sudah kehabisan akal.

***

Ben berjabat tangan dengan seorang produser yang bertanggung jawab atas pembuatan film yang akan dibuat di hotelnya.

"Saya harap kerja sama kita akan berlangsung dengan baik." Ucap produser itu.

"Saya seneng bisa bekerja sama dengan anda." Sahut Ben. "Kalau begitu segala keperluan lainnya nanti akan saya berikan pada penanggung jawab lokasi hotel saya. Nanti segala kepentingan yang anda butuhkan, anda bisa hubungi dia."

"Baik, pak."

Ben pamit dan meninggalkan ruang meeting itu. Ia dan Arif menuruni tangga. Arif menerima telepon dari seseorang dan berbicara dengan sangat serius.

"Siapa?" Tanya Ben begitu Arif selesai berbicara.

Arif menyimpan hp nya kembali, "Pak Agusman mau proyek galerinya diundur karena beliau harus ke Singapur mengurus sesuatu yang penting disana." Jelas Arif. Ia membuka sesuatu di hp nya. "Ini pak." Ia menunjukkan isi hp nya kepada atasannya.

Ben membaca tulisan yang muncul itu. Hotel Rainbow Oriental di Singapura tidak lolos uji struktur bangunan.

Elena termenung di meja makannya saat ia baru saja mendapatkan telpon dari sekretaris Agusman yang mengatakan kalau penerbangan mereka lusa besok harus diundur hingga masalah yang di hadapi oleh Agusman selesai. Elena meletakkan hp nya dan membayangkan berapa lama ia harus menunggu. Padahal kopernya bahkan sudah ia isi sebagian dengan barang-barang yang akan dibawanya ke Jakarta.

***

Lima menit lagi bel pulang berbunyi. Alya sudah bersiap pulang saat ia tidak ada kelas terakhir. Alya baru tiba di depan pintu majelis guru ia dipekik oleh seseorang.

"Bu Alya." Panggil seseorang.

Alya mencari arah sumber suara namun tidak menemukan wujud yang memanggilnya.

"Bu Alya!" Panggil guru Bahasa Indonesia.

"Iya. Ada apa buk?" Tanya Alya.

Helaan napas Guru Bahasa Indonesia tampak berat. "Tolong buk diperhatikan Dewa. Tadi jam pelajaran saya dia tidak masuk alasannya sakit. Dia tidur di UKS. Mau jadi apa Dewa, buk?" Nadanya penuh emosi.

Alya menggelengkan kepalanya. Ia tidak mampu berkomentar.

"Ini kesempatan terakhir saya untuk Dewa. Kalau sekali lagi dia bertingkah, saya terpaksa mengambil cara yang sama dengan guru yang lain." Ancam guru Bahasa Indonesia.

Alya memegang tangan guru Bahasa Indonesia, "Bu, jangan. Nanti saya bicarakan lgi dengan Dewa. Saya akan pikirkan cara terbaik."

Guru Bahasa Indoensia hanya diam saja dan masuk ke dalam ruang Majelis.

Alya melangkahkan kakinya menuju ruang UKS. Emosinya ia tahan sekuat tenaga. Begitu sampai didepan pintu UKS, ia sudah bisa melihat Dewa tertidur. Alya masuk ke dalam dan ruangan itu kosong hanya ada Dewa disana.

"Dewa, bangun!" Panggil Alya tegas. "Bangun, Dewa!" Sekali lagi panggilnya. Tak ada pergerakan dari Dewa. Alya geram. Ia menggoyangkan tangan Dewa dengan kasar, "DEWA, BANGUN!" Bentaknya.

Dewa membuka matanya karena terkejut. Ia menoleh ke kiri dan melihat wali kelasnya sedang menatapnya kesal.

"Kamu lagi ngapain disini?" Tanya Alya.

"Sakit, buk." Nada suara Dewa rendah dan serak.

"Gak usah alasan! Sudah banyak alasan kamu. Sakit lah, telat lah, gak suka pelajaran ini-itu lah. Bosan saya lama-lama sama alasan kamu." Bantah Alya.

Dewa terdiam. Ia mengucek kedua matanya lalu turun dari tempat tidur. Ia berdiri didepan Alya.

"Kamu tahu sudah tiga orang guru yang komplain ke saya karna tingkah laku kamu di kelas. Kamu tahu?" Hari ini ia mendapatkannya dari guru Akuntansi dan Bahasa Indonesia.

Dewa mengangguk pelan.

"TAHU APA? JANGAN CUMA MENGANGGUK!" Bentak Alya. Dewa tidak menjawab dan hanya menunduk.

"Kamu sudah tahu terlambat datang ke sekolah, malah tidur pelajaran Akuntansi. Kamu tahu gak itu semua salah? Kamu sudah kelas tiga SMA bukan anak SD lagi." Alya menceramahinya. Dewa hanya menunduk dan menahan rasa kantuknya yang masih tersisa.

"Sekarang lihat, kamu alasan gak masuk pelajaran Bahasa Indonesia dan kamu tidur disini. Masih tidak sadar juga kesalahan kamu?" Alya berang.

Dewa menatap Alya. "Buk, saya sakit."

Alya menggeleng. "Alasan apalagi yang kamu buat sekarang. Kamu pikir saya percaya. Kamu pikir saya tertipu sama akal-akalan kamu."

"Buk, saya enggak bohong." Dewa meyakinkan.

Alya memegang kening Dewa. "Kamu gak sakit." Tidak ada rasa panas disana.

"Buk, tapi tadi saya sakit. Tadi malam saya demam." Dewa masih meyakinkan.

"SUDAH!" Bentak Alya. "Kamu jangan bohong sama saya lagi. Saya capek sama tingkah laku kamu."

"Bu, saya tidak bohong."

"Dengar Dewa, kalau sampai masalah ini terdengar oleh Kepala Sekolah, saya tidak bisa membantu kamu lagi. Saya kasi kamu kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki. Jangan kecewakan saya. Jangan bertingkah sesuka hati kamu." Pesan Alya.

"Tapi buk, saya gak bohong kalau saya sakit."

"SUDAH!" Alya menyudahi. "Saya akan bicara sama guru-guru itu supaya kamu bisa masuk ke kelas lagi dan belajar seperti biasa. Selebihnya kamu sendiri yang pilih, masih mau disini atau saya kembalikan sama orang tua kamu." Ancam Alya.

Dewa menunduk. Alya keluar dari ruang UKS dan meninggalkan Dewa seorang diri.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.