Alya melepaskan kepergian Ben yang menghilang di balik dinding restoran itu. Dan Mita langsung menempati kursi Ben sebelumnya.
"Cerita sama gue atau gue perlu tanya langsung dengan bos gue sebenarnya kalian ada apa?" Ujar Mita merasa dikhianati. "Sekarang lo main rahasia-rahasiaan sama gue." sambungnya.
"Sebelum cerita soal gue sama Ben. Gue mau ngomong hal yang lain dulu sama lo." Sahut Alya.
Mita menahan tawanya, "Beda ya kelasnya, bawahan sama someone special. Gue manggil Ben selama ini Bos atau gak atasan. Lo manggil Ben tinggal sebut nama doang. Berasa properti pribadi."
"Apaan sih lo!" Alya tertawa malu. "Gue mau ngomong soal lo nih." Katanya mengalihkan topik.
Raut wajah Mita berubah murung. Ia seperti sudah tahu.
"Razman tadi pagi telpon gue minta tolong bujukin lo pulang ke rumah." Alya menggelengkan kepalanya. "Lo kenapa lagi sih. Pulanglah, kesian laki lo." Bujuknya.
Mita menghela napasnya, "Gue kesel sama dia. Masa dia beli sepatu sports baru, mahal banget harganya, Al." Mata mita melotot. "Sejutaan."
Alya menelan ludahnya. "Nekat banget laki lo beli sepatu mahal." Komentar Alya.
"Gimana gue gak marah. Cicilan masih banyak, belum lagi asuransi bulanan yang mesti dibayar." Keluh Mita. "Padahal gue sama dia udah rencana mau nambah anak." Wajahnya berubah kesal.
Alya tersenyum geli, "Tadi Razman bilangnya ke gue, lo marah karna hal sepele. Hahaha..."
Mita menghela rasa geramnya yang setiap kali muncul membayangkan suaminya menghabiskan uang jutaan cuma untuk sebuah sepatu olahraga.
"Pokoknya lo balik ke rumah malam ini, bawa anak lo sekalian. Lo jangan pernah tunjukkan didepan anak kalau kalian berantem. Apalagi sampe lo ninggalin rumah. Gak baik, Mit." Saran Alya. "Gue pernah baca, kalau suami istri berantem, sebenarnya istri itu gak boleh ninggalin rumah. Karna semua hak lo ada disana. Yang harusnya ninggalin rumah itu suami." Tambahnya.
"Gue kesel tiap lihat sepatu itu mejeng di rak." Sahut Mita emosi.
"Bicarakan baik-baik. Kesian anak lo, dia pasti rindu sama bapaknya. Rindu sama rumahnya. Mengalah demi bersama kadang ada baiknya." Pesan Alya.
Mita mengangguk pelan. Sedikit banyak ia menyetujui kalimat temannya itu. Ia melirik Alya penuh sangkaan. "Lo udah siap membina rumah tangga."
Alya memonyongkan bibirnya. "Jangan mengalihkan pembicaraan."
"Gue gak mengalihkan. Gue cuma mengatakan kalau lo lebih bijak memandang sebuah hubungan." Katanya. "Tapi coba lo juga bijak menilai Dewa. Mungkin dia juga punya sesuatu yang harus lo kesianin." Godanya.
Alya membuang wajahnya, "Kenapa jadi bawa-bawa Dewa sih." Omelnya.
Mita tertawa puas. "Ya udah. Sekarang lo cerita gimana sampe lo kenal sama atasan gue?" Pintanya.
Alya memajukan tubuhnya dan mulai menceritakan semuanya.
***
Ben duduk didalam mobilnya yang sedang melaju menembus jalanan ibukota. Arif mengemudikan mobil itu dengan santai menuju tempat pertemuan dengan seorang partner bisnis hotelnya.
"Kamu sudah berapa lama bekerja dengan saya?" Tanya Ben sambil melihat jendela diluar.
Arif melirik atasannya melalui cermin tengah. Ia tampak berpikir sejenak. "Semenjak anda pertama kali terjun ke hotel, sekitar tujuh tahun." Jawabnya.
Ben menoleh. "Selama itu kamu kenal saya, apa kamu ingat siapa saja wanita yang pernah saya dekati selama ini?"
Bola mata Arif berputar memikirkan pertanyaan Ben. Tangannya masih erat mencengkram stir. Jari-jari tangannya bermain sambil menghitung. "Lima orang, pak."
Ben tertawa kecil sambil menghembuskan napasnya, "Apa kesamaan mereka berlima?"
Arid menelan ludahnya. Pria itu baru saja bertanya padanya seperti apa kelima wanita yang pernah dekat dengannya. Jika ia harus jujur, "Cantik, oriental, putih, mandiri..."
"Bener." Sanggah Ben. Ia memotong kalimat Arif. Ben menoleh ke arah Arif melalui cermin tengah. Mereka bertatapan. "Tapi yang ini beda." Kata Ben.
Arif tidak mengerti. "Maksud anda?"
"Kali ini berbeda. Jauh dari yang kamu sebutkan tadi. Dia berbeda." Kata Ben meyakinkan. "Saya suka." Sambungnya.
Arif tersenyum, "Bukannya hubungan itu akan berjalan seimbang ketika perbedaan itu disatukan."
"Tapi saya belum menemukan alasan yang tepat." Ben mengambil sapu tangan pemberian Mita dari dalam kantong jasnya.
Arif melirik ke arah Ben. Ia melihat sapu tangan itu dan tidak tahu apa cerita dibalik itu. "Kalau saya boleh bilang, Perbedaan yang dia tawarkan pada anda cukup menjadi alasan yang tepat. Karna anda memulainya dengan orang yang berbeda."
Ben menatap keluar jendela dan menyelami lagi percakapan mereka berdua. Kalimat itu seolah menelusuri setiap relung saraf otaknya.
***
Bel istirahat baru saja berbunyi dan Alya tengah memeriksa absen murid kelasnya yang membuatnya mengelus dada. Beberapa murid ada yang sakit dan beberapa lainnya ijin dan juga tidak ada kabar berita. Untungnya Dewa masih masuk ke sekolah.
Helaan napas itu terdengar jelas. "Ibu Alya!" Panggil Guru Sosiogi.
Alya menoleh karena suara itu muncul didepannya. Melihat Guru Sosiologi mendatanginya, perasaan Alya gelisah.
"Selama ini saya masih memikirkan Dewa makanya saya kasi peringatan sama ibu kemarin. Kalau saat pelajaran saya, Dewa tidak perlu masuk kelas lagi dari pada dia tidur didepan saya. Alasan saya bilang seperti itu supaya dia tidak mengulang kesalahan yang sama." Jelasnya.
Alya berdiri dan berusaha menjelaskan. "Iya. Saya juga sudah jelaskan begitu sama Dewa."
Helaan napas Guru Sosiologi semakin jelas. "Peringatan saya bukannya diindahkan malah diabaikan begitu saja. Tadi saya masuk kelas dan Dewa tidak ada disana sampai pelajaran saya selesai. Apa maksudnya?" Nada mulai tinggi. Beberapa guru mulai memperhatikan. Bahkan murid yang keluar masuk dan sibuk dengan urusan mereka di majelis guru, juga ikut melihat Alya.
"Nanti saya cari Dewa, buk. Saya akan tanyakan dia kemana." Alya berusaha tenang walau emosinya sudah mulai membara.
Guru Sosiologi hanya menatap Alya kemudian menuju mejanya. Ia sudah kehabisan perngecualian pada Alya. Ia tidak bisa membantu lagi.
Alya kembali duduk di kursinya dengan napas yang naik turun. Ia menunduk karena rasa malunya yang membabi buta saat ini. Alya berjalan keluar kelas dengan tujuan mencari Dewa namun nyatanya kelasnya ribut sekali dan terdengar teriakan sekumpulana orang. Alya berlari menuju kelasnya saat ia melihat didepan kelasnya sudah dikerumuni oleh banyak orang.
"AWAS! AWAS! ADA APA?" Alya menembus sekumpulan orang tersebut lalu dibuat terkejut saat seorang muridnya sedang berkelahi dengan murid dari kelas lain. "HENTIKAN! SUDAH!" Pekiknya.
Namun kedua murid itu tidak mendengarnya dan terus bertengkar. Alya geram. Ia mengambil penghapus papan tulis lalu mengetuknya dengan kuat dipapan itu hingga membuat semuanya tenang. "HENTIKAN!" Pekiknya lagi.
Semua murid terdiam melihat Alya didepan kelas dengan wajah emosi. Sayangnya, Alya terlambat menyelamatnya situasi. Guru BP dan kepala sekolah muncul didepan kelas dan memasang wajah penuh tanda tanya.
"ADA APA INI?" Kata kepala sekolah. Ia menatap kedua siswi itu dengan wajah yang lebam dan berdarah disudut bibirnya. Ia beralih ke arah Alya yang berdiri didepan kelas. "KALIAN BERDUA IKUT SAYA KE KANTOR." Pekik kepala sekolah tegas.
"SUDAH BUBAR KALIAN SEMUA!" sahut Guru BP dengan lantang. Spontan murid lainnya berhamburan.
"Ibu Alya juga ikut saya!" Kata kepala sekolah kemudian pergi meninggalkan kelas itu. Alya hanya bisa pasrah kemudian meninggalkan kelasnya. Ia sempat melihat Dewa berdiri didepan kelas sambil menatapnya heran dengan situasi yang sedang terjadi. Ia mengesampingkan persoalan Dewa terlebih dahulu.
***
Hari ini begitu berat bagi Alya. Muridnya terlibat perkelahian dengan murid dari kelas IPA karena pacar. Dan Ia mencari Dewa dikelas saat jam pulang namun bocah itu sudah lebih dulu menghilang. Alya benar-benar dibuat stres kali ini. Belum lagi ia mendapatkan teguran keras dari kepala sekolah soal murid dikelasnya yang sangat bermasalah dengan tata tertib sekolah. Bahkan nama Dewa sempat disebutkan disana.
Ibu Alya, jangan ibu pikir selama ini saya tidak tahu apa yang terjadi sama Dewa. Beberapa guru sudah melapor sama saya soal Dewa. Sekarang saya harus tegaskan sama ibu. Kalau sekali lagi Dewa melanggar peraturan sekolah, saya terpaksa memanggil orang tuanya dan mengembalikannya. Dan saya juga terpaksa memberikan ibu surat peringatan pertama.
Alya menghela napasnya saat ia mengingat kembali kalimat Kepala Sekolah. Alya membuka hp nya untuk memberitahu Dewa soal itu. Namun baru saja ia hendak mencari nomor Dewa, tiba-tiba sebuah pesan masuk.
Malam ini mau makan malem bareng? Ben.
Alya tersenyum otomatis membaca pesan itu. Ia kegirangan. Dengan cepat ia membalas pesan itu dan Dewa menghilang dari pikirannya.
Boleh.
Tak lama Ben membalas pesan itu.
Jam 6.30 aku jemput dirumah ya.
Alya mengerutkan keningnya lalu membalas pesan itu.
Kamu tahu dimana rumah aku?
Ben membalasnya secepat kilat,
Kamu tunggu aku jemput.
Alya melangkahkan kakinya cepat menuju parkiran motornya yang sudah menyendiri karena motor yang lain sudah pergi lebih dulu. Ia buru-buru pulang dan bersiap menyambut malam ini.
***
Alya sudah memoleskan make-up diwajahnya saat jam baru saja menunjukkan pukul 6 petang. Ia membuka lemarinya dan mencari pakaian yang pas yang akan digunakannya malam ini. Ia melihat baju putih mahalnya yang dibelinya di Bali kemarin. Ia tidak mungkin mengenakan baju itu lagi karena ia sudah memakainya saat minum berdua dengan Ben.
Tak sengaja Alya melihat sebuah kantong bertuliskan Agusto. Ia membuka isinya dan sebuah kaos berwarna putih lengkap dengan plastik yang membungkusnya. Kaos itu ia beli untuk Dewa tapi sampai saat ini ia belum memberikannya. Lebih tepatnya ia malu memberikannya.
Alya mengambil sebuah dress berwarna biru tua sepanjang lututnya. Dress itu berkerah dan panjang menutupi tangannya. Bagian perutnya juga tampak sedikit ketat dan diberi pita putih yang berukuran mungil membentuk tali pinggang. Dress itu membuat Alya terlihat langsing. Rambut panjangnya ia belah tengah kemudian ia kucir rendah ke belakang. Bagian depan rambutnya ia rapikan dengan menyelipkannya di belakang telinga. Tak lupa tas kecil sampingnya dan juga sendal talinya.
Alya keluar kamarnya lalu menunggu diruang tamu saat jam baru saja menunjukkan pukul 6.20. Ia menunggu dengan tidak sabar. Untungnya, mamanya sedang sibuk didapur dan bapaknya baru saja selesai mandi sore.
Alya mendengar sebuah mobil berhenti didepan rumahnya. Ia bangkit dan melihat Ben keluar dari dalam mobil itu. Alya membuka pagarnya dan mengijinkan Ben masuk.
"Orang rumah kamu ada?" Tanya Ben lembut. Penampilannya menawan. Ia mengenakan kemeja putih polos dengan membuka dua kancing paling atas. Kemudian tak lupa jas semi formalnya yang berwarna biru tua serta celana jeans dan sepatu santainya.
Alya melihat Ben memakai jas yang senada dengan dressnya, biru tua. "Bapak sama mamaku, kamu mau ketemu?" Ia ragu. Ia belum menceritakan soal Ben pada siapapun kecuali Mita.
Ben mengangguk. "Kita bukan anak SMA lagi yang harus backstreet kalau mau keluar." Candanya. Ia melangkah ke dalam halaman rumah wanita itu.
Alya mengikuti langkah Ben dan mempersilahkan pria itu masuk dan duduk diruang tamunya yang serbaguna. "Kamu duduk dulu." Alya beralih ke dapur dan memanggil mamanya.
Tak lama suara langkah kaki dari arah dapur mendekat. Alya melihat ekspresi mamanya yang terkejut melihat Ben.
"Siapa, Al?" Tanya Trisnah melirik pria muda didepannya yang berkharisma.
"Temen Alya, ma." Jawab Alya.
Ben berdiri dan mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya itu. "Saya Ben, tante. Saya mau minta ijin ajak Alya pergi malam ini." Pamitnya.
Trisnah mengangguk seperti lehernya memiliki alat penggerak sendiri. "Iya, iya, gak apa, silahkan." Sahutnya cepat.
Mendengar suara berisik dari arah luar, Yusril keluar dan melihat istri dan anaknya sedang mengerumuni seorang pria yang berpenampilan rapi.
"Ben, ini bapak aku." Alya menggeser tubuhnya dan memberikan ruang kepada dua pria berbeda generasi itu.
Ben mendekat dan mengulurkan tangannya. "Om, saya Ben."
Yusril menyambut uluran tangan itu tanpa komentar.
Trisnah berbisik pada suaminya, "Teman Alya, pak."
Alya melihat gelagat mamanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Mamanya sudah masuk ke tahap ia menyukai Ben dan memanipulasi pikiran suaminya. "Alya pergi sama Ben malam ini." Katanya.
"Ijin sebentar ya, om. Mau ajak Alya keluar." Ben tampak nyaman dengan situasi ini. Trisnah mengangguk pada kalimat pria muda itu.
"Jangan malem-malem pulangnya. Soalnya besok Alya harus kerja." Pesan Yusril dengan suara rendahnya.
Ben mengangguk paham. "Iya, om." Mereka pamit dan meninggalkan rumah mungil itu.
***
Alya duduk didalam mobil sedan mewah yang sedang dikenadarai oleh Ben. Cuaca malam itu yang cerah dengan hembusan angin yang cukup kuat tak membuat keduanya mendingin. Ben melirik Alya penuh senyum.
"Bapak kamu kalem ya." Ujar Ben. "Aku sempet ciut waktu bapak kamu gak komentar apapun waktu aku perkenalkan diri." Sambungnya. Tawanya terdengar pelan.
Alya menoleh, "Bapak aku memang gitu sifatnya. Gak banyak ngomong, apalagi sama orang baru."
Ben melirik Alya manja, "Persis kamu. Pertama kita jumpa kamu juga gak ngobrol banyak." Nadanya penuh kenyamanan. "Sekarang kamu juga gak banyak ngomong."
Alya tersipu malu. Ia merasakan hp nya bergetar. Ia membaca pesan yang muncul itu bergiliran itu. Dua pesan itu muncul dari dua kedua adiknya. Alya membacanya,
Rina,
Kak kata mama lo punya cowok baru ya. Siapa? Orangnya kayak apa? Nanti cerita ya.
Dira,
Kak mama bilang cowok barunya ganteng. Aku jadi penasaran. Namanya siapa? Cerita dong.
Alya menghela napas membaca pesannya. Rumahnya memang tidak bisa menyimpan rahasia sedikitpun.
"Pesan dari siapa?" Tanya Ben mendengar helaan napas Alya.
"Kamu lagi jadi topik permbicaraan dirumah aku setelah malam ini." Ujar Alya.
Ben tertawa. "Karna aku ajak kamu keluar?"
"Lebih tepatnya karna kamu datang ke rumah aku dan memperkenalkan diri." Alya menatap Ben. "Kita bukan anak SMA lagi."
Ben paham maksud Alya. Untuk umur mereka, memperkenalkan diri bukan suatu yang biasa apalagi bagi sorang pria pada orang tua sang wanita. "Aku gak masalah." Serunya.
Alya memandang wajah Ben dari samping. Rahang pria itu tampak tegas dan sorot matanya tajam melihat jalan didepannya. "Terus malam itu apa?"
Ben diam sejenak. Ia menoleh Alya sekilas disampingnya. "Aku baru aja tolong kamu karna ban bocor dan ajak kamu keluar malam itu. Tiba-tiba aku ngaku kalau aku Benjamin Malpis anak bungsu dari pemilik Resort tempat kamu menginap. Belum lagi aku tahu kalau sahabat kamu juga kerja di hotel Malpis. Reaksi kamu akan seperti apa?" Ia teringat semua kebersamaan mereka baik yang disengaja maupun tidak.
Alya menyipitkan matanya menatap jalan didepannya. "Histeris."
Ben melihat Alya heran.
"Aku akan bangga sama diri aku sendiri karena bisa kenalan sama orang seperti kamu. Ditolongin terus diajak kenalan. Malam itu juga aku bakal telpon Mita dan cerita semuanya. Aku akan kejar kamu sampai ke Jakarta." Jawabnya jujur. Wanita mana yang akan melepaskan kesempatan sebagus itu.
Ben cukup terkejut dengan jawaban Alya. Ia tidak menyangka kalau wanita disampingnya itu akan begitu jujur.
"Kenapa aku?" Tanya Alya gusar. Ia menunggu jawaban Ben dengan sorot matanya yang dilema.
"Apanya?" Tanya Ben menyangkal pertanyaan itu.
"Dua minggu setelah dari Bali, pasti banyak yang terjadi sama kamu. Bertemu dengan banyak wanita diluar sana yang lebih daripada aku. Tiba-tiba kamu telpon aku malem-malem dan hilang gitu aja." Alya diam sejenak. "Tapi kenapa aku yang duduk disamping kamu malam ini?" Tanyanya. Ia butuh jawaban jelas mengingat hubungan mereka yang seperti mengapung ditengah laut yang terombang-ambing.
Ben memutar mobilnya memasuki sebuah parkiran Hotel Rainbow Oriental. Ia berhenti di lobi depan. "Kita turun dulu." Ajak Ben. Ia membuka seat beltnya.
Pintu mobil Alya dibukakan oleh petugas Valet yang memakai seragam cokelat. Alya turun dari mobil dan menunggu Ben disamping mobil itu. Ben turun dan membiarkan mobilnya diambil alih.
Ben berdiri disamping Alya, "Banyak yang harus kita bicarakan malam ini." Ben meraih tangan kiri Alya dan menyelipkannya ke dalam lengan kanannya. Ia memberikan senyuman manis pada wanita itu. Alya merapatkan tangannya pada lengan Ben dan berjalan menuju lift.
Ben sudah memesan makanan mereka malam itu. Dan Alya sedang mengangumi keindahan restoran di hotel mewah itu. Interior klasik dengan dominasi warna merah marun dan cokelat muda membuatnya tampak elegan. Restoran itu ekslusif dan hanya bisa didatangi jika sudah membuat pesanan terlebih dahulu.
"Kenapa malam itu kamu nangis di basemen dengan Mita?" Ben memulai percakapan diantara mereka. Ia meletakkan kedua tangannya diatas meja.
Alya menelan ludahnya karena gugup akan ceritanya ini. "Aku baru putus dari pacar aku."
Ben bersimpati. "Kenapa?"
Alya menghela napas dengan punggungnya yang tegak. "Dia belum siap menikah."
Ben menyandarkan tubuhnya di bahu kursi yang empuk itu. "Makanya kamu lagi ingin sendiri waktu itu?" Maksud pertanyaannya adalah saat di Bali.
Alya mengangguk. Ia ingin mengajukan pertanyaan pada Ben. "Apa kamu ada hubungannya dengan orang tua kamu anterin aku ke Bandara?"
"Aku baru dengar cerita itu minggu lalu waktu mereka bilang kalau mereka suka sama kamu." Ben berkata jujur. Alya tersipu malu pada pujian Ben. Ia menahan senyumannya yang akan segera meledak.
"Aku duda, Al." Kata Ben yakin.
Senyuman diwajah Alya menghilang perlahan. Ia sudah tahu soal itu, tapi kenapa mendengarnya langsung terasa berbeda.
Ben bisa melihat perubahan ekspresi diwajah Alya. Tapi ia harus meneruskan penjelasannya sebelum wanita itu berkomentar. "Aku pernah menikah sebelumnya selama dua tahun. Setelah itu kami bercerai tiga tahun lalu." Ucapnya.
Alya tidak tahu ia harus berkomentar apa saat ini. Ia tidak memiliki gangguan apapun dengan status Ben. Tapi kenapa mengatakannya terasa aneh.
"Apa kamu nyaman dengan status aku?" Tanya Ben. Ia hilang kesabaran dengan aksi diam Alya yang membuatnya gugup. Ia berharap perasaanya berbalas.
"Aku bukan cari pacar, Ben. Aku cari suami." Ujar Alya yakin. Ia juga harus mengatakan hal itu. Beberapa saat mereka terdiam.
Ben memajukan tubuhnya mendekati meja dan menatap Alya lekat. "Alya, apa kamu mau menikah dengan aku yang seorang duda?" Ia melamar wanita itu. Ben sudah menemukan alasannya saat ini. Benar kata Arif, perbedaan yang Alya tawarkan adalah alasannya. Ia menyukai Alya dan kedua orang tuanya juga. Ia mengenal sahabat Alya dan orang tua wanita itu, cukup baginya mengisi poin-poin penting dalam menetapkan hatinya malam ini. Ia tidak akan menundanya lagi. Dua minggu cukup membuatnya berpikir seperti apa perasaannya.
Alya tercengang. Ia tidak mengharapkan jawaban itu. Tapi kenapa Ben mengucapkannya secepat itu. "Ben..." Alya tidak bisa berkata-kata lagi.
"Kamu alasannya aku bisa mulai membuka hati setelah sekian lama." Kata Ben dalam.
"Aku cuma seorang guru SMA, Ben. Aku orang biasa yang gak pernah bergaul dengan orang sekelas kamu. Aku tidak terbiasa dengan sistem yang kamu bangun selama ini."
Ben menatap Alya lekat. Ia meraih tangan kiri wanita itu dan menyatukan tangan kanannya disela-sela jari panjang itu. "Aku gak perlu untuk kamu terbiasa, karna kamu bukan bagian dari sistem itu. Kamu berbeda."
"Berbeda yang kamu mau dari aku, apa bisa membuat kita bersama?"
"Bisa." Ben mengangguk. Ia memasang wajah yakin. Alya merapatkan genggaman jari Ben padanya. Ia menyetujui ajakan pria itu. Mereka sama-sama belajar untuk saling melengkapi. Tak ada keraguan diantara keduanya. Mereka yakin untuk memulai semuanya dengan perbedaan itu.
***
Dewa mengganti pakaian kerjanya lebih awal dari biasanya. Ia baru saja meminta ijin kepada manager restorannya untuk pulang cepat. Demam yang dideritanya selama seminggu ini belum juga sembuh. Penyakitnya itu timbul dan tenggelam. Dan saat ini panas tubuhnya bahkan membuatnya menggigil hingga ia tidak mampu menyentuh air karena kedinginan.
Dewa berjalan ke arah lobi dan keluar melalui pintu masuk utama Hotel Malpis. Ia akan pulang menggunakan taksi dan meninggalkan motornya disana. Ia tidak ingin mati kecelakaan dan meninggalkan segala kekacauan yang sudah ia buat untuk wali kelasnya. Ia ingin menyelesaikan hingga akhir dan membuat wali kelasnya bisa mengangkat wajahnya saat hari kelulusan.
Dewa masuk ke dalam apartemennya dan langsung menuju dapur kemudian menelan sebutir paracetamol yang selalu diminumnya sebagai penurun demam paling ampuh. Ia menuju kamar dan membuka lemarinya lalu memakai sehelai jaket yang cukup tebal sebagai penghangat tubuhnya yang menggigil. Ia berusaha tidur walau gerak giginya sudah mulai terdengar.
***
Ben menghentikkan mobilnya didepan rumah Alya. Ia melihat Alya sedang melepaskan sabuk pengaman. "Mantan istri aku namanya Elena." Ucap Ben. Alya menatap Ben dan mendengarkannya.
"Dia bosan dengan sistem yang aku bangun selama ini. Sampai membuat dia kembali sama mantannya dan meninggalkan aku." Helaan napas Ben terdengar. "Butuh waktu untuk melupakan Elena. Sekuat apapun aku berusaha tetap aja aku kalah dengan perasaan aku sendiri."
"Aku tahu rasanya seperti apa kalau kita kalah dengan perasaan sendiri."
"Sebelum ke Bali, Elena sempat datang ke Jakarta dan bertemu dengan aku." Sambung Ben. "Perasaan aku antara menerima dan menolak. Apa kamu bisa? Karna aku sendiri gak yakin dengan sistem yang berjalan sekarang."
Alya menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. Pandangannya lurus ke arah depan. "Kalau gitu ijinkan aku masuk ke sistem itu kalau sesuatu terjadi."
Ben memandang wajah Alya. Ia menyentuh pipi lembut itu dengan tangan kirinya. "Harusnya kamu muncul lebih awal."
Alya mengelus tangan Ben yang menempel pada pipinya. "Aku turun dulu ya." Pamitnya.
Ben mengangguk dan melepaskan kepergian Alya yang sudah menutup pintu mobilnya. Ia menatap wanita itu hingga menghilang ke dalam rumahnya.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.