Alya turun dari taksi dan melangkah masuk menuju ruang IGD. Langkah kakinya langsung membawanya menuju bed Dewa. Saat itu suasana di IGD cukup ramai karena ada dua orang pengendara motor yang kecelakaan dan membuat seisi ruangan menjadi sibuk. Alya membuka tirai pembatas bed Dewa dan kosong. Ia kaget sekali hingga kedua matanya melotot.
Alya berlari ke arah meja perawat dan bertanya, "Suster, maaf murid saya kemana ya?" Tanyanya panik.
Perawat itu mengangkat kedua alisnya bingung, "Murid ibu siapa namanya?"
"Dewa. Dia menginap disini dari kemarin. Dia sudah pulang ?"
Perawat itu membuka buku daftar pasiennya. "Infusnya sudah dilepas sejam yang lalu, buk." Ia menoleh Alya. "Di tempat tidurnya gak ada?" Tanyanya perawat balik.
Alya menggeleng. "Gak ada." Ia menoleh ke kiri dan ke kanan.
Perawat itu berdiri dan memanggil perawat yang lain, "Kak, lihat pasien namanya Dewa murid ibu ini gak?" Tanyanya pada perawat yang tampak senior.
"Tadi masih ada." Jawab perawat itu. Alya semakin panik.
"Ibu, biaya administrasinya belum dilunasi." Kata perawat yang duduk di meja informasi.
Alya mengangguk paham. Perawat itu memberikannya beberapa lembar kertas yang harus Alya bawa ke bagian administrasi. Ia berjalan gelisah ke arah luar pintu IGD bagian dalam.
Lima belas menit kemudian, Alya kembali ke ruang IGD dan melewati bed Dewa. Ia menoleh sekilas sambil berjalan dengan wajah khawatir dan seketika langkahnya terhenti karena Dewa sedang duduk di bed nya dengan wajah menunduk. Alya mendekatinya histeris, "DEWA!" Panggilnya. Dewa menoleh ke arah sumber suara.
Alya berdiri didepan Dewa sambil meyakinkan dirinya kalau muridnya benar berada didepannya saat ini. "Kamu kemana aja?" Tanyanya.
"Saya ke WC." Jawab Dewa tenang.
"Ibu cariin kamu dari tadi. Ibu kira kamu udah pulang." Ceritanya.
Dewa mengangkat gelang nama berwarna biru yang melingkar di pergelangan kanannya. "Ini belum dilepas." Katanya. "Biaya administrasi juga belum dibayar." Sambungnya.
Alya mengangkat kwitansi pembayaran. "Semua sudah selesai. Ayo, pulang." Ajaknya. Ia menyentuh bahu kanan Dewa. Alya berjalan lebih dulu ke arah meja jaga perawat dan Dewa menyusul. Perawat itu memotong gelang nama Dewa. Mereka meninggalkan rumah sakit.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Alya saat mereka berjalan ke arah gerbang utama rumah sakit untuk mencari taksi.
"Saya gak lapar, buk." Jawab Dewa menunduk.
Alya merasa aneh dengan jawaban itu. "Kita naik taksi aja ya. Motor ibu juga masih ada di apartemen kamu." Ia berusaha mencairkan suasana. Dewa tidak menjawab. Ia terus berjalan mengikuti arah wali kelasnya.
Didepan rumah sakit, Alya mampir ke sebuah pedagang bubur ayam dan membelinya sebungkus untuk Dewa. Sambil menunggu buburnya dibugkus, Alya melirik Dewa yang menunggunya sedikit lebih jauh. Bocah itu terus menunduk dan memainkan sendal jepitnya.
Taksi itu melaju menembus kemacetan yang sedang berlangsung. Tak ada pembicaraan didalam taksi kecuali suara radio yang terdengar pelan. Alya dan Dewa duduk berjauhan di kursi belakang, hingga membuat supir taksi melirik ke arah mereka beberapa kali.
Alya merasakan hp nya bergetar dan ia melihat nama Ben muncul. Alya menoleh ke arah Dewa sesaat lalu mengangkatnya. "Halo." Sapanya. Dewa melirik sekilas.
Ben sedang duduk di meja kerjanya dan senyumnya merekah ketika ia mendengar suara Alya. "Kamu dimana?"
"Aku lagi di taksi baru pulang dari rumah sakit." Nadanya terdengar pelan seolah tidak ingin membuat keributan. "Kamu masih dikantor?" Tanyanya balik. Dewa menatap Alya lekat.
"Sebentar lagi jam pulang. Tapi aku ada janji dengan tamu VIP untuk main golf bareng." Suara Ben begitu lembut. "Murid kamu gimana keadaannya?"
Alya menghela napas dalamnya. "Dia udah enakan. Tapi masih harus banyak istirahat." Jawabnya. Dewa membuang wajahnya ke arah lain dengan kesal.
"Ya udah. Setelah urusan kamu selesai, langsung pulang." Pesannya. "Hati-hati ya, Al."
"Iya, bye." Alya menutup teleponnya dan menoleh ke arah Dewa yang melihat ke luar jendela.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, mereka turun dari taksi dan melangkah masuk ke dalam apartemen. Alya mengantar Dewa hingga didepan pintu masuk bocah itu.
"Ibu belikan kamu bubur ayam, kamu baru sembuh jadi jangan makan yang sembarangan." Ia memberikan bubur ayam itu. Dewa masih membelakanginya dan menatap ke arah pintu. Kepalanya menunduk ke bawah.
"Dewa, ini." Ia masih menyodorkan bubur ayam itu. "Besok kamu gak usah masuk sekolah dulu. Istirahat aja sehari, lusa baru kamu masuk sekolah." Pesannya.
"Saya gak akan datang ke sekolah lagi." Jawab Dewa dengan nada datar dan membelakangi wali kelasnya yang masih memegang bubur ayam.
Alya terkejut. "Maksud kamu apa bicara begitu?" Tanya Alya.
Dewa berbalik. "Ibu sendiri yang bilang, saya masuk atau tidak bukan urusan ibu lagi. Kepala sekolah juga sudah menelepon orang tua saya. Jadi untuk apalagi saya ke sekolah." Katanya lirih.
Alya menghela napasnya. Bubur ayam itu ia tarik kembali. "Kepala sekolah tidak jadi keluarkan kamu karena sampai hari ini orang tua kamu belum bisa dihubungi. Kepala sekolah batal mengeluarkan kamu dari sekolah, makanya kamu harus berubah." Nada Alya mulai meninggi.
Dewa menghela napas beratnya. "Ibu anggap saya apa?"
Alya mengerutkan dahinya. "Murid saya."
"Tapi saya rasa, gak ada guru sebaik ibu didunia ini yang rela berbuat seperti ini demi orang seperti saya." Dewa mengaktifkan semua saraf egonya.
"Memangnya kamu itu orang seperti apa?"
"Setelah semua yang saya lakukan disekolah, buat ibu malu. Tapi ibu masih disini."
Alya memberikan senyuman tipisnya. "Kamu tidak tahu rasanya diberi tanggung jawab menjaga seseorang itu seperti apa. Saya membuang semua rasa malu saya dan memperjuangkan kamu sampai akhir karena saya merasa bertanggung jawab sepenuhnya atas diri kamu. Orang tua kamu menitipkan saya anak nakal, susah diatur dan berandalan seperti kamu. Apa saya harus menolak dan membutakan mata dan telinga saya kemudian lepas tangan soal kamu?" Nada Alya datar, bijak dan lembut. Ada kesan kasih sayang didalam kalimatnya. "Saya ini guru. Tugas saya adalah menjadi orang tua kamu disekolah, menjaga, membimbing, dan mengajarkan yang baik."
Dewa menatap wajah Alya kembali. "Jadi bener, kalau ibu sudah menemukan pengganti Yogi di Bali?" Tanyanya. "Dia yang telpon di taksi tadi?" Tebaknya.
Alya mulai kesal karena Dewa membawa masalah pribadinya. "Kenapa kamu selalu mau tahu urusan pribadi saya?" Ia mulai kesal.
"Apa ibu gak tahu kenapa saya seperti ini?" Dewa bertanya balik. Bola matanya mulai berair.
Alya terdiam.
"Apa saya hanya seorang murid dimata ibu selama ini?" Tanya Dewa dalam. Empat mata itu saling bertatapan lurus.
Alya tidak menjawab.
"Kalau saya bukan murid sekolah, apa ibu akan melihat saya berbeda?"
Alya menggelengkan kepalanya mendengar kalimat Dewa. Ia melangkah maju lalu menarik tangan Dewa dan menyelipkan bubur ayam itu pada muridnya. "Kamu sudah tahu jawaban saya, tapi kenapa masih bertanya." Alya menatapnya tajam. Ia berbalik dan menuju lift.
"Ternyata mendengarkan langsung lebih menyedihkan." Suara Dewa pelan. Alya berhenti melangkah. Ia berbalik dan membalas tatapan Dewa.
"Ibu mau temenin saya makan?" Ajak Dewa tiba-tiba. Alya menarik napasnya yang menyangkut di dadanya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa melepaskan diri dari bocah ini. Dewa begitu menyedot pikirannya hingga ia harus ikut pusing dengan segala tingkah laku bocah itu. Namun dibalik itu semua, ada hal yang ia khawatirkan pada Dewa yaitu kebersamaan.
Alya melangkah maju lalu mendekati Dewa dan berdiri didepan muridnya. Ia meraih kembali plastik yang dipegang oleh Dewa. "Buka pintunya." Katanya. Dewa tersenyum tipis. Ia berbalik kemudian merogoh kunci didalam kantong celananya.
***
Ben mengendarai mobil golfnya dengan seorang caddy duduk disebelahnya. Mereka baru saja menyelesaikan track pertama. Dan saat ini mereka akan melanjutkan track kedua yang semakin sulit.
Ben turun dari mobil golfnya. Peralatannya dibawa oleh caddynya. Mereka berjalan mengarungi hamparan pasir hijau menuju titik awal bola pertama.
"Saya dengar Agusman akan membuka galeri di hotel kamu, benar?" Tanya Mr. Tan yang merupakan Direktur Utama Eagle Airlines.
"Benar, pak." Jawab Ben memperhatikan pria paruh baya itu meletakkan bola itu pada titik pertama.
"Pria itu tamak sekali." Komentar Tan penuh canda.
Ben ikut tertawa kecil, "Maksud anda bagaimana?"
Direktur utama itu memukul bola itu dengan keras. Hingga lengkungannya terlihat sekali. "Saya dengar dari teman saya di Bali, Agusman baru saja digugat cerai oleh istrinya. Padahal mereka sudah menikah tiga puluh tahun."
Ben cukup kaget. Ia menggenggam erat bola golfnya. "Lalu maksud anda dengan tamak?"
"Masalah hotelnya disingapur cukup berat kalau sudah berurusan dengan struktur bangunan, kemudian bercerai lalu masih membuka galeri demi pundi-pundi uangnya yang terus mengalir." Mr. Tan menggelengkan kepalanya.
Ben meletakkan bola itu di titik yang sama seperti Mr. Tan. Pikirannya mulai bermain disana. Ia berusaha untuk fokus namun pikiran nakalnya sudah mengkonfrontasi dirinya.
"Siapa yang akan mengurus galeri itu nanti?" Tanya Mr.Tan.
Ben menoleh dan berkata, "Masih belum tahu, pak. Pertemuan soal itu dibatalkan karena masalah di Singapur." Jawabnya.
Mr.Tan tertawa kecil. "Agusman pasti memilih orang yang terbaik karna dia bukan tipe yang akan setengah-setengah dengan bisnisnya."
Ben mengangguk karena ia mengakui kalimat Mr.Tan barusan.
***
Alya masuk ke dalam rumah Dewa dan matanya dibuat terkejut. Apartemen itu tampak luas dan kosong. Ruang pertama adalah dapur yang terlihat sepi akan aktifitas hingga tidak terlihat ada sampah yang berserakan. Lalu ruang keluarga yang hanya terdapat sebuah sofa berwarna hijau tua dengan sebuah televisi yang menggantung didinding. Kemudian terlihat dua buah pintu kamar yang tertutup.
Alya meletakkan bungkusan bubur ayam itu diatas meja makan yang terbuat dari kayu balok berwarna kuning dan hanya memiliki empat buah kursi yang terletak antara pembatas dapur dan ruang keluarga. Alya dibuat takjub oleh jendela kaca yang besar yang mengampar di ruang keluarga. Jendela itu tidak diberi tirai sama sekali.
Saat ini jam sedang menunjukkan pukul 6.18 sore dan saatnya matahari menghilang perlahan dan meninggalkan warna oren keemasan yang mengisi kekosongan langit senja. Alya yang berada dilantai 25 sedang mengagumi keindahan alam yang pertama kali dilihatnya.
Dewa membuka kulkasnya dan mengeluarkan sisa rendangnya yang terakhir dari sisa masakan mamanya. Dan hanya ada itu saja disana. "Ibu mau coba masakan mama saya?" Bujuknya.
Alya mengangguk. "Boleh." Ia melihat isi kulkas itu kosong. Bahkan air sejuk saja tidak ada.
"Tapi berasnya gak ada." Sahut Dewa.
Alya menggeleng pelan. "Saya makan begitu saja. Saya cuma temanin kamu makan." Ia tidak masalah akan hal itu.
"Saya boleh mandi, buk?" Tanya Dewa. Entah kenapania berubah manja.
"Jangan. Kamu bersihkan aja badan kamu dengan handuk basah." Usulnya.
Alya memanaskan rendang itu menggunakan microwave. Lalu ia membuatkan Dewa teh manis hangat untuk muridnya serta air putih untuk dirinya. Alya duduk di meja makan sambil menunggu Dewa selesai mandi.
Setelah sepuluh menit, Dewa keluar sudah dengan sweater hitam dan celana training warna senada. Ia duduk didepan wali kelasnya. Ia meraih sendok makannya. "Saya udah lama gak makan seperti ini." Ujarnya.
"Seperti ini?" Tanya Alya.
"Ada yang temenin makan." Jawab Dewa. Ia mulai melahap bubur ayamnya yang mulai mendingin.
Dewa menatap lirih Alya. Ia menyimpan perasaannya untuk wanita itu selama ini. Awalnya ia menyukai wali kelasnya karena tampak muda dan bisa diajak bergurau. Namun nyatanya perasaan kagumnya berubah semakin dalam saat ia mengetahui wanita itu membelanya setiap kali ia berbuat nakal. Semakin dalam ketika Alya memasukannya lagi ke dalam kelasnya dan menjadi wali kelasnya kembali.
Saat mengetahui kalau Alya berpacaran dengan Yogi, membuatnya cukup sedih dan terpukul. Ia merasa kalau orang yang paling berharganya sudah direbut oleh orang lain. Hatinya cukup sakit saat itu. Ia merasa dikhianati.
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia. Pubertas Dewa meningkat seiring hormonnya melonjak. Ia merasa kalau perasannya pada wali kelasnya semakin larut dan membuatnya bisa merasakan bahagia setiap kali bertemu dan rindu setiap kali libur sekolah. Dewa semakin sayang pada wanita itu saat ia mengetahui segala pengorbanan Alya lewat Mita. Penjelasan Mita membuka mata Dewa lebih lebar kalau wanita itu sudah banyak merasa malu karena dirinya. Dan saat ini Dewa merasa kalau perasaanya bukan lagi rasa sayang namun melebihi itu semua.
Alya menguyah daging rendangnya sambil menoleh ke arah lain. "Ibu boleh tanya sesuatu?" Tanya Alya ragu. Ia menoleh ke arah Dewa yang baru saja memandanginya. Dewa mengangguk dan mengijinkan wanita itu bertanya padanya.
"Tangan kamu kenapa?" Alya memperhatikan kedua telapak tangan Dewa yang terlihat kasar, kering dan terkelupas. "Kamu ngapain bisa sampai begitu?" Ia menunggu jawabannya.
Dewa meletakkan tangan kirinya ke bawah meja dan hening sejenak. "Saya alergi." Katanya.
"Alergi apa?" Tanya Alya khawatir.
Dewa tidak menjawab dan dia hanya diam. Bagaimana ia bisa memberitahukan wali kelasnya kalau tangannya seperti itu karna ia mencuci piring di restoran. Tidak mendapatkan jawaban, Alya tidak memaksa. Mereka kembali hening.
"Orang itu siapa?" Tanya Dewa setelah beberapa menit. Ia menoleh sambil mengunyah bubur ayamnya.
Alya tahu maksud pertanyaan Dewa. Tapi rasa amarahnya tidak seperti biasanya. Gerak bibirnya seolah menyuruhnya untuk berkata sesuatu, "Dia baik. Kamu bener, saya ketemu di Bali." Ia diam sejenak. "Ternyata dia juga orang Jakarta." Sambungnya.
Dewa menyuapkan bubur ayamnya yang terakhir. "Apa yang ini ada rencana menikah?"
Alya melihat Dewa dengan kening berkerut. "Kenapa kamu bilang begitu?"
Dewa tersenyum simpul. "Feeling." Ia menyeringai lirih. "Waktu ibu bicara di taksi tadi, saya merasa kalau yang ini berbeda." Tambahnya.
Alya menelan daging rendangnya dan meletakkan sendoknya. "Dia duda." Entah kenapa ia ingin mengatakan hal itu pada Dewa.
Dewa mengangguk paham. "Semoga ini yang terakhir." Ucapnya. Alya tersenyum samar.
"Kalau ibu menikah nanti, apa ibu akan berubah?" Dewa hanya bertanya seolah ia tidak ingin kelihangan sosok yang peduli padanya.
Alya tertawa kecil. "Saya tidak akan berubah."
"Ibu benci sama saya?" Tanya Dewa dengan nada pelan. Sorot matanya memperlihatkan seseorang yang merasa bersalah.
"Kalau saya benci sama kamu sudah lama saya lepas tangan soal kamu." Jawab Alya tegas.
Dewa tertawa mendengarnya. Wanita didepanya ini benar-benar peduli padanya.
***
Ben baru saja selesai mandi saat jam sudah menunjukkan pukul 7.09 malam. Ia melihat layar hp nya kemudian membaca pesan dari Alya yang tidak kunjung muncul. Langit sudah gelap namun wanita itu belum ada kabar.
Ben menelepon Alya namun tidak dijawab oleh wanita itu. Ben kembali menghubungi namun tetap sama.
Kamu kemana sih, katanya pelan.
Ben kembali menelepon dan dalam tiga kali deringan Alya mengangkatnya.
"Halo, Ben!" Sapa wanita itu lembut.
"Kamu masih belum pulang juga?" Nada Ben terdengar khawatir.
"Udah. Aku baru selesai mandi." Ucapnya. Ia memegang handuknya yang mengantung di bawah ketiaknya.
Raut wajah Ben berubah seketika, "Aku juga baru selesai mandi. Kita jodoh." Katanya lucu.
Alya tertawa. "Kamu kayak anak muda, hal begitu udah dibilang jodoh." Serunya. Ben ikut tertawa geli.
"Besok aku antar ke sekolah lagi, gimana?" Bujuk Ben penuh harap.
"Jangan ah. Aku naik motor aja ke sekolah." Ia menolaknya halus.
"Beneran gak mau?" Gertak Ben manja.
"Kamu kenapa sih belakangan jadi gini!" Komentar Alya perhatian.
"Gak tahu, hahaha..." Ben tertawa. Tiba-tiba ia mendapatkan telpon dari Arif. "Al, nanti aku telpon lagi ya. Ada telpon masuk." Jelasnya. Alya mematikan telponnya.
"Ada apa?" Tanya Ben ketika ia mengangkat telepon Arif.
"Pak, anda harus ke restoran buffet sekarang." Ucap Arif tegas.
"Kenapa?" Ben mengerutkan keningnya.
"Anda akan lihat sendiri." Arif menutup teleponnya. Ben merasa kalau ada hal yang Arif sembunyikan darinya.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.