Waktu berjalan begitu cepat hingga dua minggu sudah berlalu sejak pertemuan keluarga. Semua rencana berjalan lancar dan persiapan juga sudah hampir tujuh puluh persen. Kedekatan Ben dan Alya juga bisa dibilang sempurna. Mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu satu sama lain setiap hari. Bahkan beberapa kali setelah pulang dari sekolah, Alya akan pergi dengan Sarinah untuk fitting baju pengantin yang akan dipakainya nanti.
Situasi Alya dan Dewa disekolah juga mulai membaik. Terlebih untuk Dewa. Beberapa guru bahkan memuji bocah itu karena mampu mengikuti ketertinggalan yang sudah menumpuk. Tapi kedekatan mereka tidak seperti dulu lagi. Khususnya untuk Alya. Ia seperti menghindari berbicara hal yang tidak penting dengan Dewa. Ia hanya mengontrol dari jauh dan memperhatikan muridnya itu. Bahkan ia sudah tidak pernah lagi menelepon atau mengirimkan pesan untuk Dewa, tidak seperti sebelumnya.
Berita pernikahan Ben sudah menyebar ke seluruh Hotel Malpis. Bahkan topik ini juga menjadi hangat di kalangan karyawan. Namun sampai hari ini tidak ada yang tahu ataupun pernah melihat Ben membawa calon istrinya ke Hotel Malpis untuk sekedar makan bersama atau menghadiri acara.
Banyak rumor yang beredar dan mengatakan kalau Ben akan menikahi seorang pengusaha, guru TK, putri tunggal konglomerat, wanita dari kalangan orang biasa dan juga dosen kampus negeri. Bahkan yang paling parah adalah Ben diisukan akan kembali rujuk dengan Elena. Mita mendengar semua itu dari karyawan direstorannya. Namun ia tidak membenarkan ataupun menyalahkan. Ia merasa belum berhak mengatakan siapa sebenarnya pasangan Ben. Pasalnya atasannya belum secara resmi membawa atau memperkenalkan Alya kepada seluruh staff Hotel. Makanya ia tidak mau mendahului siapapun.
Agusman berada didalam mobilnya yang sedang melaju. Ia duduk kursi belakang dengan sebuah hp canggih didalam genggamannya. Supirnya mengemudikan mobil itu menuju rumah mereka yang masih setengah jam perjalanan dari Bandara Ngurah Rai. Mereka baru saja tiba di Bali setelah mengurus segala urusan di Singapura.
Agusman meletakkan hp nya dan bersandar sejenak untuk bersantai. Ia melihat orang kepercayaannya menerima telepon dari seseorang dan memperlihatkan ekspresi yang membuatnya terusik.
"Dari siapa?" Tanya Agusman pada pria dengan berkulit hitam serta beroto itu begitu ia menutup sambungan teleponnya.
"Dari mbak Oki, Pak." Kata pria itu. Oki adalah sekretaris Agusman di kantor.
"Kenapa?" Agusman penasaran. Belakangan ia khawatir akan mendapatkan berita yang menyangkut Hotel cabangnya di Singapura.
"Mbak Oki baru mendapatkan berita dari temannya yang kerja di Hotel Malpis katanya Pak Ben akan menikah bulan depan." Jelasnya.
Agusman cukup kaget. "Kamu yakin? Dengan siapa?"
"Belum ada konformasi langsung dari atas. Belum ada yang pernah melihat perempuan itu." Ia diam sejenak. "Elena pernah muncul di Hotel Malpis sekitar sebulan lalu untuk menghadiri pernikahan temannya. Dan mereka terlihat mengobrol berdua." Sambungnya.
Agusman tertawa kecil. "Ternyata dia sudah tidak sabar." Ia diam sejenak. "Besok pagi kita jemput Elena." Katanya.
"Siap, pak." Pria itu mengingatnya. Ia kembali menghadap depan.
***
Alya baru kembali dari sekolah kemudian ia masuk ke dalam rumahnya dan dihadapkan pada sebuah plastik berukuran cukup besar. Ia mendekat dan melihat undangan pernikahannya sudah siap cetak dan akan segera disebarkan pada kolega keluarganya. Helaan napas Alya mulai tersengal. Ia tidak menyangka kalau hidupnya bisa mengalami proses seperti ini. Seingatnya ia baru saja putus dan memulai untuk menatap hatinya kembali dan malah berujung pernikahan yang hanya didasari dengan keyakinan.
Trisnah berjalan ke arah kamarnya dan tak sengaja melihat putri sulungnya duduk di sofa depan sambil memilih nama penerima undangan. "Kamu kapan pulang?"
Alya menoleh, "Dari tadi, ma." Jawabnya.
Trisnah mengambil sesuatu didalam kamarnya dengan pintu terbuka dan sedikit berteriak, "Kamu bagikan ya undangan untuk guru-guru kamu disekolah." Pesannya. Alya mengangguk tanpa kalimat. Ia sibuk memilih.
"Bapakmu sudah pergi dari tadi membagikan undangan buat teman lamanya." Ujar Trisnah.
Alya terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka kalau pria itu akan pergi mengantarnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Trisnah keluar dengan membawa beberapa baju kotor dan kembali menutup pintunya. "Mama sudah bilang biar kita suruh orang saja yang membagikan undangannya. Tapi kata bapakmu gak enak kalau sebar undangannya lewat orang. Katanya dia mau silaturahmi sekalian." Senyumannya merekah. "Dia senang sekali kamu menikah." Ia berjalan ke arah dapur dan meninggalkan putrinya.
Alya meletakkan plastik itu kembali ketika ia sudah mengumpulkan undangannya. Ia membawanya ke dalam kamarnya.
Tiba-tiba Trisnah mengetuk kamarnya dan berkata, "Minggu depan Rina balik dari Jepang sama anaknya. Nanti kamu jemput ya." Pesannya. Alya mengangguk paham. Wanita itu menutup kembali pintu kamarnya. "Oh iya mama lupa,l" Ia membuka kembali. "Mulai minggu depan kamu sudah melakukan ritual kawinan. Jadi gak boleh ketemu dengan Ben lagi sampai acara pernikahan." Ia menutu pintu itu kemudian pergi meninggalkan putri yang tercengang.
***
Alya duduk diatas meja kerjanya dan membuka daftar nama tamu undangan yang akan diundangnya. Ia memberikan tanda pada nama yang tertulis dikertas itu jika undangannya sudah tercetak. Beberapa menit itu berlangsung dan Alya dengan fokus melakukannya.
Hingga pada bagian akhir Alya termenung ketika ia melihat nama Dewa Ibram pada nomor 78 yang sudah dicoretnya namun masih bisa terbaca. Sempat terlintas dibenaknya kalau dirinya tidak ingin memberikan undangan untuk Dewa namun ia ragu dan memutuskan untuk menyertakan undangannya saja tanpa kepastian.
Helaan napasnya mengembang ketika ia sendiri sampai hari ini masih dilema dengan dirinya kenapa ia harus mengundang Dewa ke acara pernikahnnya. Ia masih belum bisa menemukan jawabannya. Iya atau tidaknya, Alya masih tidak tahu.
Alya bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah lemari plastik yang tegak berdiri dengan empat lubang disana untuk mencari kantong yang lebih baik agar bisa menampung undangan ini supaya dapat dibawa ke sekolah besok tanpa harus dimasukkan kedalam tasnya. Ia membuka laci paling bawah dan menemukan kantong jinjing paling pas untuk memuat undangannya. Hingga matanya melihat sebuah tas jinjing lainnya bertuliskan Limoar. Itu adalah butik dimana ia membeli blouse putih mahalnya.
Alya teringat sesuatu. Ia berdiri dan membuka lemarinya dan melihat sebuah tas jinjing dibagian bawah bertuliskan Agusto yang sengaja ia letakkan disana. Ia membukanya dan masih tersimpan sebuah kaos putih yang masih terplastik rapi. Ia masih belum bisa menemukan waktu yang tepat untuk memberikan itu pada Dewa. Alya menyimpannya kembali.
***
Alya masuk ke dalam majelis guru sambil membawa tas jinjing yang berisikan undangan pernikahannya. Ia tidak akan membangikan undangan itu sepagi ini. Ia akan menunggu hingga istirahat pertama. Rini masuk ke dalam majelis guru dan memberikan senyum kepada teman akrabnya disana yang kebetulan melihat ke arahnya.
Alya mencari nama Rini didalam tumpukan undangan itu dan ia memberikannya diam-diam. Ia mencolek lengan temannya dan menyelipkan undangan itu perlahan kedalam pangkuan temannya. "Ini buat lo!"
Rini menoleh heran. Matanya terbelalak ketika ia melihat sebuah undangan mendarat diatas pahanya. Ia menoleh Alya dengan wajah yang meminta penjelasan. Namun belum sepat mulutnya berkata, Alya sudah lebih dulu meletakkan jari telunjuknya didepan bibirnya yang menyuruhnya untuk tenang. Rini menangguk paham. Ia membuka undangan itu.
Alya menunggu temannya membaca undangannya. Dan ketika ia melihat ekspresi Rini berubah, Alya langsung berbisik. "Nanti gue ceritain, ya." katanya.
Rini hanya bisa mengangguk pasrah. Ia diam sejenak dan kemudian berkata, "Kenapa lo kasinya diam-diam?"
Alya tertawa lucu, "Yang lain mau gue bagikannya nanti jam istirahat." jawabnya. Rini hanya bisa tersenyum.
***
Elena tersadar dari tidurnya dan ia langsung menuju dapur untuk meneguk air putih. Sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur nyenyak karena sibuk mempersiapkan beberapa furniture yang akan dijual digaleri milik Agusman. Belum lagi dua hari lalu, Agusman meneleponnya dan berkata kalau ia akan segera kembali ke Bali dan langsung mengajaknya ke Jakarta.
Elena duduk di meja makannya sambil memperhatikan lahan padi yang terhampar melalui jendelanya. Ia menyukai suasana pagi di tempat tinggalnya, dan ia menikmatinya. Setelah melakukan rutinitas paginya, Elena berjalan ke arah kamar mandi dan ia bersiap untuk membersihkan dirinya. Sebelum melucuti pakaiannya, Elena melihat pantulan dirinya didepan cermin dan memperhatikan wajahnya yang sudah kembali sempurna dan hilang dari bekas memar dan lebam yang didapatkannya dari Roy. Ia siap bertemu dengan Ben dengan wajah seperti ini.
Setelah lebih kurang tiga puluh menit berada didalam kamar mandi, Elena keluar dan ia mendengar suara hp nya berbunyi. Elena berlari ke arah kamar dan melihat nama Roy muncul disana. Ia tidak ingin mengangkatnya. Elena sudah hapal dengan tabiat Roy yang akan meneleponnya jika ada sesuatu yang diinginkannya. Elena bergegeas memakai pakaiannya dan menutup rapat semua pintu dan juga jendelanya serta tirainya. Ia tidak memberikan seibas cahaya masuk ke dalam rumahnya. Jika ia tidak mengangkat telepon Roy, maka pria itu akan datang ke rumahnya dalam hitungan jam. Dan Elena tidak mau itu.
Beberapa kali berdering, akhirnya Roy berhenti menghubunginya. Elena bingung dengan nasibnya malam ini. Ia bisa memastikan kalau Roy akan datang tapi ia juga yakin kalau pria itu akan membuat keributan jika pintu rumahnya tidak dibuka. Elena mencari nama seseorang yang dikenalnya di Bali. Namun semua temannya disana mengenal Roy. Ia tidak mau salah berlindung. Elena mengambil kopernya dan ia memasukkan beberapa helai pakaiannya dan juga alat make-upnya.
Tiba-tiba Elena mendengar suara mobil berhenti didepan rumahnya. Ia berdiri disudut kamarnya dan memasang telinganya agar mendengar segala kejadian diluar rumahnya. Suara langkah kaki menaiki anak tangga didepan rumahnya dan berhenti tepat didepan rumah.
Tuk! Tuk! Tuk! Pintu rumah Elena diketuk.
Elena tidak menjawab ataupun membuka pintu rumahnya. Ia masih berdiam diri.
"Permisi!" Panggil suara itu. Elena mendengar jelas suara itu.
"Elena! Ini saya Agusman." Panggil pria itu lantang.
Elena berjalan ragu menuju depan. Ia mengintip perlahan dari celah tirai dan tampak Agusman berdiri didepan pitnu rumahnya. Elena membuka pintu itu dan muncul dengan wajah penuh harap.
"Pak!" Sapanya.
Agusman melihat pantulan diri Elena yang sudah berpakaian rapi, "Sepertinya kamu sudah siap ikut saya." Serunya. Elena mengerutkan keningnya. Ia melirik pria berotot disebelah Agusman.
"Kita ke Jakarta siang ini." Ujar Agusman. Rasa bahagia Elena rasanya menjalar dari kaki menuju kepalanya.
Agusman memberikan senyuman ramahnya. "Persiapan kamu sudah sejauh mana?" Tanyanya.
"Beberapa sudah selesai dibuat. Gudang pembuatannya ada di ujung jalan ini. Saya menyewa beberapa pengrajin daerah sini untuk membuatnya." Jelas Elena.
Agusman mengangguk. "Ya sudah, saya tunggu kamu dimobil setelah itu kita mampir ke gudang yang kamu bilang tadi." Ajaknya. "Maaf kalau saya datang tidak memberitahu kamu sebelumnya. Apa lima belas menit cukup untuk kamu bersiap?" Tanyanya lagi
Elena mengangguk. Ia setengah berlari menuju kamarnya dan memasukkan beberapa helai baju yang ditambahkannya ke dalam kopernya. Barang-barang pentingnya juga tak lupa ia bawa. Jika ada yang kurang, ia bisa membelinya di Jakarta dimana tempat-tempat disana sudah dihapalnya diluar kepala.
Elena mengunci pintu depannya dan masuk ke dalam mobil mewah Agusman kemudian melaju meninggalkan daerah itu. Elena membawa Agusman ke sebuah gubuk berukuran kecil yang terbuat dari batako yang belum diplaster. Mereka turun dan Elena memutari gubuk itu.
Beberapa pengrajin sedang mengamplas kayu jati yang akan dibuat menjadi kursi empuk nan mahal kelak. Mereka menghentikan aktifitas itu saat melihat Elena dan Agusman datang.
"Pak Iku, ini kenalkan Pak Agusman, orang yang akan membuka galerinya nanti." Elena memperkenalkan.
Pria paruh baya bernama Pak Iku itu menyalami Agusman dengan sopan. Ia adalah ketua pengrajin disana.
"Saya mau melihat furniturenya." Minta Agusman. Elena membawanya memasuki gubuk itu lebih dalam dan tersusun beberapa lemari, meja makan atau kabinet yang sudah selesai dibuat oleh pengrajin itu. Ukirannya beragam dan pastinya sudah akan memenuhi kriteria galeri Agusman.
"Saya tidak salah memilih kamu." Puji Agusman sambil melihat ke arah Elena yang berada disampingnya. "Tapi setelah kamu di Jakarta, apa kamu akan bolak-balik kesini?" Tanyanya.
Elena menggeleng. "Tidak, Pak. Saya punya beberapa pengrajin di Jakarta yang bisa bekerja sama." Jelasnya.
Agusman mengangguk. "Biarkan mereka menyelesaikan semuanya, setelah itu saya akan atur ini semua dibawa ke Jakarta." Ucapnya. Elena mengangguk paham maksud pria itu.
"Mari!" Ajak Agusman. Mereka meninggalkan tempat itu menuju Bandara.
***
Ben keluar dari lift ketika ia hendak menuju lobi utama dan pergi dengan Arif yang sudah menunggunya dimobil. Siang itu lobinya tampak ramai dengan beberapa properti produksi film yang diangkut oleh beberapa orang seperti box besar, lighting, kabel, meja kecil, kursi dan lain sebagainya.
Ben tahu kalau Hotelnya akan dijadikan lokasi syuting untuk sebuah film namun ia tidak tahu kalau properti yang digunakan akan sebanyak itu. Bahkan area lobinya juga mulai kelihatan sempit. Ia mencoba menghiraukannya dan berjalan menuju mobilnya yang sudah terparkir didepan lobi utama.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.