Alya sedang menyisir rambutnya didepan meja riasnya. Ia masih memikirkan apa yang dirinya ucapkan pada Dewa hingga situasi mereka begitu canggung disaat akhir. Alya menarik napas dalamnya lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Ia menghela napas beratnya lalu berdiri dari kursi duduknya.
Alya mengambil tas kecilnya. Malam ini ia mengenakan sebuah dress manis berwarna cokelat muda yang pas ditubuhnya. Dibagian leher diberi kerah dengan sedikit sentuhan manik disana. Sedangkan dibagian perutnya dibuat sedikit lebih ramping dan bagian bawah dibuat mengembang. Ia mengenakan flat shoes nya malam ini.
Trisnah menghampiri putri sulungnya yang menuju ke kamar mandi. Alya meletakkan tasnya diatas meja. Saat Alya keluar dari kamar mandi, ia melihat mamanya sedang mencuci tangan di sink.
Trisnah seolah menoleh tak sengaja ke arah putrinya yang berdiri didepan kamar mandi. "Kamu mau kemana?" Tanyanya.
"Alya mau keluar dengan Ben, ma." Beritahunya. Ia melihat ke arah ruang tengah dan melihat bapaknya masih duduk didepan televisi.
Trisnah tampak menyusun kalimatnya sejenak. Ia mendekat, "Kamu sudah bilang dengan Ben soal permintaan bapak kemarin?"
Alya mengangguk. Ia melirik ke arah bapaknya. Ia tahu kalau pria tua itu menitipkan pesan pada istrinya untuk memberitahu dirinya akan hal itu.
Trisnah sumringah. "Bener kamu udah bilang sama Ben?" Ia memastikan. "Terus Ben jawab apa?"
"Ben setuju." Jawab Alya.
Trisnah memegang dadanya, "Syukurlah." Serunya bahagia. "Terus kapan mereka mau datang?" Tambahnya.
"Belum tahu, ma. Orang tua Ben gak di Jakarta. Mereka tinggal di Bali." Sahut Alya.
Mata Trisnah berbinar, "Wah, mereka orang Bali?"
Alya menggeleng. "Mereka orang Jakarta. Tapi karna Resort mereka di Bali, makanya mereka tinggal disana sekalian kontrol." Jelas Alya. Sedikit banyak ia sudah tahu seluk beluk keluarga Ben. Pria itu menceritakannya disela-sela obrolan mereka soal menikah.
Trisnah menepuk bahu putrinya sesaat, "Kamu yakin mau sama, Ben?" Tanyanya.
Alya menghela napasnya. "Yakin, ma."
"Ben duda loh, Al." Seru Trisnah. "Kamu harus tahu mantan istrinya seperti apa, kalau bisa juga kamu harus jumpa sekedar berkenalan. Supaya kedepannya sama-sama enak." Pesannya.
"Alya terima Ben apa adanya, ma." Sambung Alya yakin. Trisnah hanya bisa mengangguk paham.
Suara pagar dibuka terdengar hingga ke dapur, dan membuat seisi rumah tersadar.
"Ben udah dateng, ma." Alya mengambil tasnya. "Alya pamit dulu, ma." Ia berjalan ke arah pintu depan.
Ben memberikan senyumannya pada Alya yang mencul dari arah dalam. Ia mendekat ke arah pintu masuk dan melihat calon mertuanya sedang menonton televisi.
Alya mengijinkan Ben masuk dan pria itu menerimanya dengan senang hati. Ben melepaskan sepatunya dan memberikan salam kepada kedua orang tua calon istrinya.
"Sehat, om?" Tanya Ben pada pria tua itu.
Yusril memberikan senyuman tipis dan mengangguk. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Tante, apa kabar?" Tanya Ben basa-basi.
Trisnah mengangguk lembut, "Sehat." Jawabnya. "Kamu lama gak kesini." Komentarnya.
Ben tersenyum menoleh Alya, "Saya sering kesini tante, cuma jarang mampir aja." Jelasnya. Trisnah hanya mengangguk.
"Pak, mah, Alya pergi sebentar ya." Pamitnya. Ben keluar dari rumah itu dan memakai sepatunya kembali.
"Jangan malem-malem pulangnya, nak." Pesan Yusril pada putri kebanggannya. Alya mengangguk paham kemudian pergi meninggalkan rumahnya.
***
Ben dan Alya turun dari mobil dilobi luar depan Hotel Malpis. Pria itu dengan sigap menarik tangan Alya dan menyelipkannya ke dalam lipatan lengannya. Mereka berjalan menuju lobi utama.
"Kamu mau mampir dulu ketemu dengan Paramita?" Tanya Ben saat mereka melewati western restoran saat menuju lift.
Alya menoleh ke arah restoran itu dan tidak melihat sahabatnya disana. Selalunya, Mita akan selalu siap sedia dibagian depan ataupun kasir saat jam kerjanya. Namun kalinya sahabatnya tidak ada disana. "Kayaknya cuti." Seru Alya.
Ben kembali menoleh dan ia mengangguk untuk mengiyakan ucapan wanita disebelahnya. Mereka menunggu lift yang akan mengantar mereka menuju lantai dua.
"Kita mau kemana sebanarnya?" Tanya Alya. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam hotel Malpis sedikit lebih jauh daripada sebatas Western Restaurant.
"Kamu ikut aja." Jawab Ben. Senyumannya penuh maksud.
TING! Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke dalam lift yang kebetulan saat itu hanya mereka saja. Tak berapa lama, mereka tiba dilantai dua dan langsung ditujukan dengan tulisan Hall Room disebelah kiri dan Meeting Area disebelah kanan.
Ben melepaskan tangan Alya dari lengannya namun malah menggandengnya erat sekali. Ia memberikan senyumannya pada wanita itu dan berjalan ke arah sebuah pintu yang bertuliskan VVVIP di bagian Meeting Area.
Ben membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya dengan mengajak wanita yang akan segera dilamarnya. Alya ikut masuk dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Papa dan Mama Ben menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Akhirnya!" Seru Sarinah. Ia mendekat lalu memeluk Alya dengan erat. Ben menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang pada kedua orang itu. Alya membalas pelukan wanita itu dengan hangat.
Arif berdiri disudut ruangan tepat disebelah Malpis. Ia memperhatikan wajah calon istri atasannya yang tidak biasa. Ia membenarkan kalimat Ben yang mengatakan kalau wanita itu berbeda dari wanita-wanita sebelumnya. Bahkan dibalik balutan dress itu malah tidak terlihat apapun yang menjadi daya tariknya.
Namun ada sesuatu didalam diri Arif yang mengatakan kalau wanita itu adalah pilihan yang tepat yang ditakdirkan untuk atasannya. Ia sudah menyukai wanita itu dan mendukung segala rencana yang akan segera dilaksanakan. Senyumannya merekah lebar.
Sarinah melepaskan pelukannya pada Alya dan mengajak wanita itu duduk tepat disebelahnya. Ben duduk didepan mamanya dan Malpis duduk di pangkal meja yang berbentuk persegi panjang itu.
Malpis memberikan tanda pada Arif untuk segera memulai makan malam ini.
Pertama kalinya untuk Ben melihat mamanya sangat dekat dengan Alya. Mereka seperti sudah mengenal sangat lama, tampak akrab. Ben bahkan tidak pernah melihat mamanya mengobrol sedekat ini dengan Elena. Wanita tua itu memang tidak menolak pernikahan putranya namun Ben tahu kalau ada sesuatu yang mengganjal mamanya untuk bisa akrab dengan mantan istrinya. Dan tidak ada yang tahu apakah sesuatu itu.
Tak berapa lama, pintu dibuka kembali dan Arif muncul dengan seorang pelayan yang membawa kereta dorong yang berisikan menu set makan malam mereka. Alya takjub melihat pelayanan Hotel Malpis yang profesional. Ia bahkan belum pernah seperti ini sebelumnya.
Alya sedang memperhatikan pelayan itu mempersiapkan makanan mereka. Sarinah menoleh ke arah Ben dan mengerutkan kening seolah memberi kode.
"Alya." Panggil Ben. "Sebenarnya, tujuan aku malam ini ajak kamu adalah... karna mama sama papa mau datang ke rumah kamu." Jelas Ben jelas.
Alya melototkan matanya terkejut. Ia tidak menyangka kalau semuanya akan secepat ini. Pertemuan mereka di Bali dua bulan lalu, menggulir masa dan waktu hingga tamu yang paling ditunggunya sejak dua minggu terakhir, akan segera datang.
Malpis melirik istrinya, "Kami maunya sesegera mungkin. Karna lebih cepat lebih baik." Ujarnya.
Alya menelan ludah bukan karena appetizer didepannya menggiurkan, melainkan kalimat Malpis membuatnya gugup.
Ben menatap Alya yang terlihat bingung. "Kamu gak perlu jawab sekarang. Mama sama papa memang gak sabaran." Ia menenangkan Alya. Wanita itu kaget dengan situasi yang ada. Ia memberikan senyumannya dan Alya membalasnya malu.
"Menurut kamu, kapan baiknya?" Tanya Sarinah menatap calon menantunya.
Alya mencoba tersenyum tapi malah hambar. Ia melirik Ben. "Alya gak bisa... mutusin ini sendiri. Ini bukan cuma Alya tapi juga ada Ben." Ia meminta bantuan.
Sarinah menoleh putranya, "Kamu mau cepet apa gimana?" Tanyanya tegas.
Ben melihat ke arah Arif yang juga sedang menatapnya. Pria itu memberikannya senyuman dengan sedikit anggukan tipis menandakan kalau dirinya setuju. Ben menoleh ke arah Alya lagi dan menatap wanita itu sejenak. "Aku mau kita... secepatnya." Nadanya pelan. Ada kekhawatiran disana.
Alya memberikan senyumannya pada pria itu kemudian mengangguk. "Oke." Ia menoleh ke arah calon ibu mertuanya, "Iya tante." Serunya.
Sarinah memeluk Alya dengan gembira. Ia akan segera bermenantukan wanita hebat ini.
"Kalau begitu, besok malam kami akan datang ke rumah kamu. Bagaimana?" Tanya Malpis.
Alya mengangguk yakin dengan melihat ketiga orang yang saat ini berada didepannya. Mereka semua ikut tertawa geli. Mereka melanjutkan obrolan lain sambil melahap makan malam yang spesial ini.
***
Dewa tersadar dari tidurnya. Ia membuka matanya perlahan dan melihat jam di hp nya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ia bangun dan berjalan ke arah dapur. Ia mencuci wajahnya dan duduk di meja makan menghadap sebuah plastik yang ia tahu isinya.
Sejak Alya pulang dari apartemennya sore itu, Dewa langsung berbaring didalam kamarnya sambil mendengarkan musik keras. Gundah didalam hatinya tidak bisa terobati dengan musik yang didengarnya.
Dewa membuka plastik itu dan mengeluarkan isinya yang merupakan martabak telor. Dewa menuangkan kuahnya terlebih dahulu kemudian mengambil sepotong martabak itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya dengan sekuat tenaga namun rahangnya sangat sulit bergerak. Karena rasa laparnya ia memaksakan diri.
Dewa mengambil hp nya dari dalam kamar lalu kemudian mencoba menelepon orang tuanya. Ia mencari nomor mamanya dan menghubunginya. Namun sambungan itu langsung terputus, yang artinya wanita itu mematikan hp nya. Dewa kembali ke meja makan dan mencoba menelepon papanya namun ia juga menerima jawaban yang sama. Kedua telepon orang tuanya gagal. Dewa menarik napas dalam sambil menatap martabak telor didepannya.
Cuma satu orang yang peduli dengan gue selama ini, batinnya. Tapi sekarang orang itu juga udah pergi, benaknya.
***
Ben menghentikkan mobilnya tepat didepan rumah Alya. Ia mematikan mesin mobilnya dan membuka sabuk pengamannya. Ia menoleh ke arah wanita disebelahnya. "Aku perlu temenin kamu ngomong sama keluarga kamu?" tanyanya.
Alya juga membuka sabuk pengamannya dan memberikan senyuman manis, "Gak usah, biar aku aja yang jelasin. Besok juga kamu bakal ketemu dengan mereka." Ujarnya lembut.
Ben meraih tangan Alya yang hendak memegang tas kecilnya. "Al, dengan segala kekurangan yang aku punya, aku senang kamu masih disini dan bersedia mengenal aku lebih dalam. Kamu bahkan belum sepenuhnya mengenal aku, kita masih sama-sama mencari celah untuk masuk. Tapi kamu dengan yakin mengijinkan aku masuk ke sana tanpa hambatan."
Alya menimpali tangan Ben dengan tangannya yang lain. "Aku yang harusnya berterima kasih dengan kamu karna mau memenuhi keinginan aku. Suami adalah sosok yang aku cari selama ini, dan kamu hadir dengan segala pesona yang kamu punya." Senyumannya mengembang. "Mungkin pesona yang aku lihat berbeda dari yang orang lain lihat. Tapi itu yang membuat aku bahagia." Ucapnya.
Ben mendekatkan dirinya lalu mencium pipi Alya dengan lembut tepat ditulang pipi wanita itu. Alya memejamkan matanya dan mersapi lekuk bibir Ben menyentuh kulitnya.
"Sampai ketemu besok." Ucap pria itu setengah berbisik didepan Alya.
"Aku turun dulu, ya." Alya melepaskan tangannya dari Ben lalu turun dari mobil itu. Ia melambai kecil ke arah mobil yang meninggalkan rumahnya itu.
Alya masuk ke dalam rumahnya dan melihat bapak dan mamanya sedang duduk didepan televisi dan masih menyaksikan acara Talkshow politik malam itu. Alya mengumpulkan keberaniannya dan duduk disebelah orang tuanya sambil melepaskan tasnya.
"Pasangan seumuran kalian itu kalau pacaran kemana sih?" Tanya Sarinah mencoba bergurau.
Alya menoleh, "Makan diluar." Ujarnya.
"Makan dimana?" Tanyanya.
Alya menarik napas dalamnya. "Pak, mah, besok malam keluarga Ben mau datang ke rumah kita." Ucapnya takut.
Serentak Trisnah dan Yusril menoleh ke arah putri sulung mereka. Alya cukup kaget melihat reaksi kedua orang tuanya.
"Kok mendadak, Al?" Tanya Sarinah dengan nada tinggi.
Alya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Namun ia ingat pesan bapaknya kemarin, "Kata bapak Ben harus datang supaya direstui." Serunya.
Trisnah melirik suaminya kesal. "Iya. Tapi mama gak nyangka kalau kamu beneran mau serius dengan Ben." Helaan napasnya berat. "Pilihanmu udah mateng, Al?" Tanyanya lagi.
Alya mengangguk yakin.
"Baguslah." Sahut Yusril tegas. "Biar besok mamamu yang siapkan semuanya." Tambahnya.
Trisnah memukul lengan suaminya geram. "Ih! Bapak gimana sih. Bukannya mikirin pilihan anaknya malah sibuk urusin mereka datang besok."
Yusril menoleh bingung. "Pilihan apalagi? Alya sudah memilih Ben sejak awal, makanya keluarga mereka datang. Apalagi yang mau dipilih?"
"Coba bapak pikirkan. Kita punya anak perempuan tiga. Masa anak sulung kita menikah dengan duda. Sedangkan dua adiknya menikah dengan pria lajang. Bapak mau letak muka dimana?"
Alya menatap mamanya. "Mah, kekurangan Ben cuma satu, dia duda. Tapi mama gak lihat semua kelebihan yang Ben punya." Ia menarik napas dalamnya. "Ben mapan, dewasa, pengalaman, baik, perhatian. Dan paling penting dia mau menjadi suami Alya bukannya pacar." Sambungnya.
Yusril mematikan televisi dengan remot yang dipegangnya. "Sudah malam." Serunya tegas.
Ia menoleh istrinya. "Kalau kamu mau berkomentar, tunggu sampai besok. Bertemu dulu dengan keluarganya dan mengobrol dengan calon menantumu lebih lama. Baru kamu bisa bilang kalau Ben bukan orang yang tepat." Ia bangkit dan menuju kamarnya. Trisnah menyusul suaminya masuk ke dalam kamar. Alya terduduk diam di sofa itu.
***
Alya bersandar di tempat tidurnya dan menatap layar hp nya untuk menelepon Dewa. Entah kenapa ia ingin memastikan kalau bocah itu sudah makan malam. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi kekhawatiran itu tidak bisa ia sembunyikan.
Alya hanya bisa menatapnya tanpa berani menelepon lebih dulu seperti biasanya. Setelah ia tidak menjawab pertanyaan kemarin, kecanggungan diantara mereka jelas terlihat. Alya menyesali akan hal itu. Bagaimana ia akan menghadapi muridnya itu disekolah besok. Ia berbaring dan menarik selimutnya menutupi tubuhnya.
***
Alya bangun pagi dan bersiap ke sekolah seperti biasanya. Ia berjalan ke arah pintu luar dan tak sengaja melihat meja makannya penuh dengan beberapa bahan makanan. Alya mendekat untuk melihat sekejap.
"Ini untuk apa, mah?" Tanya Alya heran. Dapur itu tampak sibuk.
"Katanya calon mertua kamu mau datang." Sindir Trisnah. "Beginilah kalau mendadak." Ujarnya.
Alya merasa tersindir. "Kalau gitu, mama gak usah buat kue, nanti Alya beli aja jalan pulang."
Trisnah menggeleng. "Gak usahlah. Beli diluar belum tentu enak. Mending mama buat aja." Sewotnya. "Udah sana kamu pergi." Usirnya.
Alya menahan senyumannya. Ia berjalan ke arah luar. Ia melihat bapaknya sedang memotong beberapa batang bunga yang tampak berantakan. "Tumben, pak. Pagi-pagi udah beberes?" Tanyanya sambil mengeluarkan motornya dari pagar rumahnya.
"Menyambut tamu ya harus seperti itu. Jadi mereka kerasan disini." Jawab Yusril. Rona diwajahnya begitu gembira walau tidak ada garis senyum disana. Alya pamit dan meninggalkan rumahnya.
***
Ben berada didalam lift bersama Arif. Pria itu sibuk melihat pantulan dirinya dipintu lift sedangkan Arif melihat sesuatu dilayar hp nya.
"Sepertinya urusan Pak Agusman masih lama, pak." Ujarnya sambil menutup layar hp nya.
"Kenapa?" Tanya Ben tampak tidak peduli.
"Peresmian hotel itu diundur sampai bulan depan." Jawabnya. Ben hanya mengangguk paham tanpa banyak berkomentar.
Elena mematikan hp nya ketika ia baru saja berbicara dengan Agusman saat pria itu masih berada di Singapura. Elena bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya.
Agusman meminta maaf padanya karena menunda hal ini yang tentu saja menunda untuk mendekatkannya kembali pada Ben. Sambil menunggu urusan pria itu selesai, Elena mengusulkan diri untuk membuat beberapa furniture yang nanti ya akan dijual di galerinya. Tentu saja, Agusman mengiyakan dengan senang hati.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.