Bel masuk berbunyi dan seluruh murid berbondong-bondong masuk kelas dan para pengajar juga keluar dari majelis guru hampir berbarengan. Pagi ini Alya harus mengajar di kelas 10-5 namun langkahnya membawanya berjalan ke arah kelas 12IPS3. Ia hanya ingin mengecek sesaat.
Alya melihat meja guru masih kosong dan ia berdiri didepan kelas sambil berkata, "Siapa gak masuk hari ini?" Tanyanya. Ia melihat Dewa sedang duduk di bangkunya paling belakang dan sedang menatapnya.
"Masuk semua, buk." Jawab sekretaris kelas itu.
Alya mengangguk kemudian keluar dari kelas itu dan berjalan menuju kelas 10. Senyumannya mengembang tipis saat ia meninggalkan kelasnya. Dewa tidak terlambat hari ini. Dan melihatnya kembali sehat membuat Alya tenang.
***
Saat jam istirahat akan habis lima menit lagi, Alya baru kembali ke majelis guru karena ia sibuk mengurus beberapa kertas yang harus difoto kopi untuk ulangan muridnya. Dan saat ia baru saja duduk di kursinya, Guru Akuntansi mendekatinya.
"Ibu Alya kasi Dewa makan apa?" Tanyanya penuh makna.
Alya mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti maksud guru Akuntansi itu. Tiba-tiba ia berpikir kalau Guru Akuntansi ini mengetahui soal dirinya yang datang ke apartemen Dewa. Perasannya mulai tidak enak.
"Saya itu gak marah loh buk sama Dewa." Ujarnya penuh senyum. "Tapi saya keras seperti itu karna saya peduli dengan dia." sambungnya.
Ngomongin apaan sih, batinnya pada Guru didepannya itu. Setelah mengucapkan kalimat itu Guru Akuntansi pergi meninggalkan Alya. Dan Bel tanda masuk berbunyi.
***
Ben menghampiri kedua orang tuanya yang tengah makan siang di restoran indonesia di Hotel Malpis. Ia memilih duduk didepan papanya. Ketika ia tiba, makanan sudah tersaji dan Malpis juga sudah mulai mengambil beberapa lauk yang ada didepannya.
"Papa dengan mama tadi kemana?" Tanya Ben ingin tahu. "Kata Arif jam sepuluh udah pergi." Sambungnya. Saat itu dirinya tengah rapat direksi dan tidak sempat bertanya.
"Kami pergi ke Mal buat beliin hadiah buat Alya. Gak enak kalau datang dengan tangan kosong." Ujar Sarinah.
"Kalau mama cuma kasi ke Alya, nanti yang lain gak enak kalau gak dikasi." Sahut Ben.
"Tujuan kita kesana untuk Alya, wajar kalau mama cuma beliin untuk Alya." Jelasnya. "Lagian mama juga belum pernah ketemu calon mertua kamu. Jadi mama gak bisa belikan mereka apapun." Tambahnya.
Ben mengangguk paham sekedar menuntaskan obrolan itu. Ia mengambil piring kosong dan meraup nasi beberapa lauk disana.
"Kamu mau tanggalnya kapan?" Tanya Malpis sambil setengah mengunyah.
Ben menatap papanya bingung, "Tanggal apa maksudnya?"
"Pernikahan kalian. Kamu maunya bulan ini atau bulan depan?" Malpis menelan kunyahannya. "Jadi nanti waktu papa menjelaskan ke mereka, gak serba bingung."
Ben diam sejenak. "Ben sih terserah mana baik ya aja. Kalau Ben bilang bulan ini, nanti Alya gak mau. Kapanpun mereka tentukan tanggalnya nanti malam, Ben ikut aja." Ucapnya.
Malpis mengangguk paham.
"Bagus begitu, Ben." Sambar Sarinah. "Kalian bukan anak muda lagi yang bingung mau tanggal baik atau bulan baik. Kalau sudah merasa cocok dan sama-sama siap, gak perlu lama-lama." Unagkapnya.
Ben tersenyum untuk dirinya sendiri. Ia tidak sabar akan bertemu dengan keluarga Alya nanti malam.
***
Saat bel tanda pulang berbunyi, Alya sudah kembali ke ruang Majelis guru dan bersiap untuk pulang. Malam ini ia akan menemui calon mertuanya, dimana mereka pernah bertemu sebelumnya.
Alya baru saja bangkit dari bangkunya dan ia melihat Dewa masuk ke dalam majelis dan menghampirinya. Alya menelan ludahnya karena tenggorokannya kering. Entah apa yang salah dengan dirinya namun bertemu dengan Dewa setelah semua kejadian yang terjadi, rasanya agak berbeda. "Ada apa?" Tanya Alya. Ia membuat suaranya setegas mungkin.
"Saya mau lapor sama ibu. Saya udah ketemu dengan guru-guru yang melarang saya masuk kelas kemarin." Jelasnya. Alya tercengang.
"Saya meminta maaf dengan mereka dan meminta tugas untuk mengisi nilai yang kurang." Katanya.
"Terus mereka bilang apa?" Tanya Alya balik. Ia mulai mengerti maksud Guru Akuntansi tadi.
Dewa memberikan senyuman manisnya. "Mereka setuju."
Alya lega mendengarnya. "Kamu jangan main lagi sekarang. Udah punya kepercayaan mereka harus benar-benar dikerjakan." Ia bersiap pulang.
Dewa melihat wali kelasnya sudah membawa tas. Ia juga pamit pulang. "Saya permisi, buk." Ucapnya.
Alya menatap wajah Dewa, "Kamu cuma mau bilang itu aja?"
Dewa menoleh dan berkata, "Saya tahu ibu gak akan telpon saya lagi. Makanya saya kesini mau kasi tahu dengan jelas untuk ibu." Ia memberikan senyuman tipis dan permisi darisana. Alya terdiam dengan kalimat Dewa.
***
Alya msuk ke dalam rumahnya dan melihat beberapa sudut ruang serbagunanya berubah.
"Kak!" Panggil Dira ketika ia melihat kakaknya berdiri diruang tamu.
Alya menoleh karena suara yang dikenalinya. "Dira!" Sebutnya. Mereka berpelukan. Sudah agak lama mereka tidak bertemu. "Kamu dari jam berapa?"
Dira melepaskan pelukannya dan menjawab. "Dari siang tadi terus bantuin mama masak." Ungkapnya. Ia melirik nakal ke arah kakaknya. "Ganteng gak, kak?" Usilnya.
Alya mencubit pelan lengan adiknya yang tengah hamil itu. Ia tidak menjawab dan masuk ke dalam kamarnya. Pertanyaan Dira sama saja dengan pertanyaan Rina yang tadi siang meleponnya dengan pertanyaan yang lebih detil.
Dewa berjalan dari arah lobi menuju restorannya. Ia sedang mempersiapkan dirinya yang akan dicerca pertanyaan karena lebih kurang seminggu ia tidak masuk kerja. Dewa melihat manajer restorannya berdiri didepan pintu masuk memperhatikan para tamu. Dengan sedikit was-was Dewa mendekat.
"Permisi, pak." Sapa Dewa pada manajernya. Ia memasang wajah gelisah.
Manajer itu menoleh dan cukup kaget melihat salah satu karyawan part time nya sudah kembali masuk. "Wah, Dewa!" Sapanya. "Kamu sudah sehat?" Tanyanya.
Dewa terkejut karena manajernya tahu soal dirinya. Ia mengangguk malu.
"Ya sudah, kamu langsung masuk aja ya." Kata manajer itu. "Kamu gak ada, dibelakang kalang kabut." Sindirnya.
Dewa penasaran darimana manajernya itu tahu soal dirinya. Sebelum masuk, Dewa menyempatkan diri untuk bertanya. "Maaf pak, saya mau tanya. Bapak tahu dari mana kalau saya sakit?"
Manajer itu tertawa kecil, "Dari Paramitha, manajer di resto wastern sana. Kemarin dia kesini cari kamu. Saya bilang saja kalau kamu gak masuk. Malamnya dia kesini lagi dan bilang kamu masuk rumah sakit." Jelasnya.
Dewa tersenyum tipis. Sekarang ia sudah menemukan jawaban yang pas atas rasa penasarannya. Ia masuk ke ruang karyawan dan memulai pekerjaannya.
***
Alya dan anggota keluarganya sudah berkumpul malam itu. Kedua orang tuanya, Dira dan suami, Mita sekeluarga dan juga beberapa om dan tantenya yang juga ikut hadir malam itu. Diruang depan juga sudah ditambah beberapa buah kursi agar keluarga Ben akan nyaman nantinya. Alya bermain dengan anak Mita sambil menghilangkan rasa gugupnya.
Trisnah juga sudah masak beberapa menu makan malam untuk mereka ala kadarnya. Ia juga membuat cemilan dan memotong beberapa buah dan juga menyediakan minuman segar untuk para tamu. Ia menyiapkannya dengan bantuan beberapa anggota keluarganya yang lain. Dan jauh didalam lubuk hatinya ia senang karena ada yang akan segera melamar putrinya.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 6.35 malam tampak sorot lampu berhenti tepat didepan rumah Alya. Spontan Alya semakin gugup melihatnya. Ia berdiri dan menuju dapur untuk meneguk segelas air.
***
Yusril dan Trisnah berdiri didepan pintu masuk menyambut keluarga Ben yang hanya terdiri dari empat orang saja. Dari jauh Malpis sudah bisa melihat tampilan keluarga calon menantunya yang sederhana dan ia menyukainya. Sudah lama ia tidak merasakan suasana kekeluargaan. Dan salah satu alasannya mengajak pertemuan ini dirumah Alya adalah karena ia ingin mengenal mereka yang sebenarnya.
Trisnah sempat ciut melihat tampilan calon besannya alias mama Ben yang berbeda jauh dengannya. Wanita itu tidak mengenakan hijab namun tatanan rambutnya sangat trendy serta kaca matanya yang membuatnya tampak lebih muda. Ia menenangkan dirinya yang mungkin gugup berbicara dengan kedua orang itu.
Dira melongo saat melihat calon abang iparnya begitu menawan. Ia hapal semua mantan kakaknya. Dan dari semua mantannya itu tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanan Benjamin Malpis malam ini. Pria itu begitu berkharisma dengan segala pesona yang dimilikinya. Dira senang kakaknya menemukan pria yang lebih baik dari pada sebelumnya.
Yusril mempersilahkan para tamunya masuk ke dalam dan duduk di sofa. Sedangkan mereka sekeluarga duduk diatas susunan kursi plastik yang berhadapan ke arah sofa. Acara pun dimulai dengan perkenalan keduanya.
Arif duduk disalah kursi tambahan disamping sofa. Ia memperhatikan satu persatu keluarga Alya dan wajah mereka memperlihatkan kalau keluarga itu menyambut Ben dengan tangan terbuka.
Ben duduk berhadapan lurus dengan Alya dan mereka saling bertatapan saat kedua orang tuanya sedang membicarakan maksud dan tujuan acara itu dibuat. Melihat Alya didalam balutan dress panjang yang ramping, membuat Ben terkesima. Ia mengangumi cara wanita itu berpakaian yang tergolong sederhana namun menarik perhatiannya. Alya pun sama. Melihat Ben mengenakan setelan semi-formal malam ini membuatnya tidak bisa menutupi kekagumannya. Ia menyukai bagaimana pria itu berpakaian sejak awal.
Malpis melirik Ben sesaat, "Jadi sebenarnya pak, kami sekeluarga maunya mereka segera menikah. Gak perlu ditunda lagi, mereka juga sudah tidak muda lagi. Haha..." ucap Malpis dengan memberikan sentuhan tawa renyahnya agar terkesan tidak terlalu tegang.
Yusril menoleh ke arah istrinya dan kedua mata mereka berbicara. Kemudian ia menoleh ke arah Alya yang juga melihat ke arahnya. Dari sorot mata putrinya, Yusril sudah mengetahui apa jawabannya. "Kami terserah saja bagaimana mereka yang menjalani. Kalau mereka merasa sudah yakin, kami juga tidak melarang." Ujarnya. Ada rasa sedih didalam dirinya saat ia mengucapkan hal itu. Perasaan yang untuk ketiga kalinya ia rasakan saat ia harus melepas putrinya.
Malpis menatap Alya dengan penuh kasih sayang layaknya anak sendiri. "Alya, apa kamu mau menikah dengan Ben?" Tanyanya.
Alya melihat ke arah Ben yang juga sedang menatapnya. Ben memberikannya senyuman dengan tulus dan Alya membalasnya. Ia menganggukan kepalanya pada Malpis dan berkata, "Iya. Saya mau." Ucapnya.
Malpis dan Sarinah tampak sumringah dengan deretan gigi yang berjejer rapi. Trisnah mengusap bahu suaminya pelan. Ia tahu bagaimana rasanya melepaskan seorang putri yang akan segera meninggalkan mereka. Kelak rumah itu akan sepi dan hanya ada mereka berdua saja disana.
Sarinah menatap ke arah mama Alya dan berkata, "Bagaimana kalau rencana pernikahannya bulan depan?" Usulnya. Rencana ini sudah mereka bicarakan sekeluarga.
Yusril menoleh ke arah Alya untuk meminta jawaban atas kesiapan putrinya. Alya mengangguk yakin ke arah bapaknya. Yusril menghela napas lega, "Kami setuju." Mereka semua mengucap syukur dengan kesepakatan yang terjalin malam ini. Kedua belah pihak merasa senang.
Setelah mengobrol panjang, akhirnya keluarga Ben pamit pulang saat jam sudah menunjukkan pukul 9.20 malam. Mereka sudah membicarakan soal gedung, seragam keluarga, pakaian pengantin dan juga hal lainnya. Sebagai keluarga mempelai wanita, Yusril tidak mau berpangku tangan. Dana yang sudah ia siapkan selama ini untuk pernikahan putri sulungnya, akhirnya bisa ia gunakan tanpa ada rasa bersalah atau kekurangan satu apapun. Ia tidak mau memanfaatkan kekayaan besannya yang bisa membayar semua biaya pernikahan. Tapi ia hanya ingin melakukannya sebagai tanda kasih sayangnya. Pernikahan pertama dan tentunya terakhir untuk putrinya. Ia ingin Alya bahagia dengan pilihannnya.
***
Arif mengemudikan mobil itu meninggalkan rumah Alya. Ben duduk didepan dengan raut wajah bahagia. Sebentar lagi ia akan melepaskan status dudanya dan memiliki seseorang yang akan selalu ada disampingnya.
"Alya itu kelihatannya dekat sekali dengan bapaknya, ya?" Komentar Malpis pada istrinya.
"Iya, mas." Sahut Sarinah. "Aku juga suka sama masakannya mama Alya. Beliau rupanya juga menerima pesanan order untuk acara-acara kecil." Ujarnya. "Aku salut sama keluarga mereka." Tambahnya.
Malpis mengangguk. "Tadi aku juga bilang sama Pak Yusril untuk main golf bareng. Katanya dia dari dulu ingin sekali bermain golf tapi gak pernah kesampaian." Nada Malpis begitu bersahabat. "Aku udah janji mau ajak dia main minggu depan." Serunya.
"Ya sudah, kalau begitu aku ajak jeng Trisnah saja mengobrol berdua sambil menunggu kalian main golf." Sahut Sarinah semangat.
Ben menoleh ke arah belakang. "Mama sama papa komentar udah kayak kenal lama dengan keluarga Alya. Padahal baru juga ketemu tadi." Semuanya tertawa termasuk Arif.
"Mereka sangat terbuka dengan kita. Apalagi bapaknya Alya yang cara berpikirnya cukup smart dalam menanggapi papa." Ungkapnya. "Papa seperti menemukan temen baru yang punya hobi yang sama." Jelasnya. Ben hanya tertawa mendengarnya. Ia senang kalau kedua belah pihak begitu dekat.
Alya membantu keluarganya berberes didapur. Mita sudah pamit lebih dulu karena putrinya yang rewel. Alya mencuci piring bekas mereka dan Dira membantu menyimpan dan membungkus beberapa makanan yang masih tersisa.
Trisnah mendekati putri sulungnya. "Mama salah menilai Ben." Serunya. Alya menoleh kaget.
"Anaknya baik." Ucap Trisnah penuh senyum. "Mama setuju kamu memilih dia." Ia mengelus punggung putrinya. "Semoga kalian langgeng." Harapannya. Alya merasakan matanya berair saat mamanya mengucapkan hal itu.
***
Ben berjalan ke arah lobi hotel bersama kedua orang tuanya. Sedangkan Arif meletakkan mobil di basemen dan diperbolehkan pulang. Ben menoleh ke arah kirinya di restoran buffet. Ia melihat seseorang yang dikenalnya sedang memungut piring kotor. Orang itu sudah cukup lama tak dilihatnya.
"Papa sama mama duluan, ya. Ben mau kesana dulu." Katanya memutar tubuhnya ke arah kiri. Sarinah dan Yusril tidak berkomentar dan membiarkan putranya mengurusi hal nya.
Ben memasuki restoran itu dan memberikan anggukan pada manajer disana kemudian mendekati Dewa yang membelakanginya. "Udah lama gak kelihatan." Katanya.
Dewa berbalik dan lihat bos besarnya berada dibelakangnya. "Mas, apa kabar?" Sapanya.
Ben tertawa, "Baik. Katanya kamu sakit ya kemarin?" Sakit apa?" Ben sempat beberapa kali makan disana dan ia bertanya pada manajer kemana Dewa. Dan manajer itu hanya mengatakan kalau Dewa sakit.
Dewa tertawa malu, "Demam, mas." Jawabnya. "Mas dari mana jam segini baru pulang?"
"Oh, saya habis ada urusan diluar." Sahutnya.
Dewa menyipitkan matanya penuh maksud, "Urusan apa sih mas... sama mbak yang kemarin itu ya?"
Ben mengerutkan keninganya dan memikirkan maksud perkataan Dewa. "Mbak yang mana?"
"Yang kermarin saya lihat makan berdua disini?" Ujarnya.
Ben mendapatkan kembali ingatannya soal itu. "Oh, Elena maksud kamu?"
Dewa mengangkat bahunya. "Gak tahu namanya mas."
Ben menepuk bahu Dewa dan berbisik, "Dia itu mantan istri saya."
Dewa menutup mulutnya rapat. Ia merasa malu sekaligus tidak enak hati.
Ben tertawa puas, "Gak apa. Santai aja." Ia melihat sekeliling restoran itu yang masih ramai. "Ya sudah, saya naik dulu." Ia pamit pada bocah itu dan meninggalkan restoran lalu menuju lift.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.