Chereads / MALPIS / Chapter 29 - Chapter 23 - Dewa is So Serious

Chapter 29 - Chapter 23 - Dewa is So Serious

Ben membawa Alya ke sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Bukan maksudnya menghemat waktu, hanya saja sebuah kebetulan jarak antara keduanya berdekatan. Dan Ben sudah memesan tempat ini sehari sebelumnya.

Alya melihat sekelilingnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa orang tamu. Dari semua para tamu itu, hanya dirinya yang memakai seragam dinas khas pegawai negeri berwarna cokelat lengkap dengan lambang Provinsi D.I Jakarta serta papan namanya. Bahkan rambutnya ia sengaja lepas demi menutup sedikit seragamnya. Namun usahanya sia-sia. Beberapa mata sudah menatapnya.

"Kamu gak nyaman disini?" Tanya Ben yang sedari tadi sudah melihat gerak-gerik Alya yang gelisah.

Alya menggeleng cepat. "Enggak apa."

"Kalau kamu mau, kita bisa pindah tempat lain." Ajak Ben. Ia tidak ingin membuat Alya terbebani dengan tempat pilihannya.

"Gak apa, Ben. Kita disini aja." Katanya pelan. Ben mengangguk paham. Minuman mereka datang.

Alya memperhatikan Ben yang meneguk minumannya sedikit sebagai pelega tenggorokannya. "Ben, ada yang mau aku sampaikan sama kamu sebenarnya." Ia ragu. Tapi ia juga harus mengatakannya.

Ben menatap wajah Alya yang terlihat tegang. "Sesuatu apa yang mau kamu sampaikan sampai kamu segitu gugupnya?"

Alya memegang kedua pipinya karena malu. Ia tidak menyadari kalau wajahnya begitu jelas saat ini. "Kelihatan banget ya?" Tanya Alya.

Ben tersenyum simpul. "Kamu mau bilang apa?"

Alya menelan ludahnya. "Kemarin mama tanya soal... kita." Sekuat tenaga Alya mengatakannya. "Mereka tanya soal... kamu. Aku juga jelasin kalau itu duda."

Ben penasaran dengan kelanjutannya. "Terus reaksi orang tua kamu gimana?"

Alya menatap wajah Ben dalam. "Reaksi mereka baik, cuma..." Alya diam sejenak. "Kata bapak aku, dia gak akan kasi restu kalau kamu gak datang ke rumah dengan keluarga. Emm... maksudnya keluarga kamu harus datang ke rumah aku, itu tanda serius hubungan kita." Jelasnya bersusah payah. Didalam dirinya, tersimpan rasa takut kalau pria ini akan berpikiran yang aneh tentang permintaan itu.

Ben masih tidak berkomentar.

"Maaf ya, kalau permintaan bapak aku bikin kamu terkejut." Helaan napas Alya pelan. "Mungkin terkesan terburu-buru... tapi aku paham kalau kamu mau ini berjalan apa adanya aja. Hubungan kan juga gak bisa dipaksa." Ia menunduk malu.

"Kapan orang tua aku bisa datang ke rumah kamu?" Kata Ben pelan namun jelas. Senyumannya mengumbar manis.

Alya menatap Ben kaget dengan kening berkerut, mata melotot dan mulutnya yang terbuka. "Ben... kamu gak perlu merasa terbebani dengan permintaan bapak aku."

Ben memajukan tubuhnya mendekat ke arah meja. "Aku serius sama kamu." Ia menadahkan tangan kirinya ke arah Alya berharap wanita itu meraihnya.

Alya melihat tangan kiri Ben yang menunggunya. "Kamu... gak mau obrolin ini sama orang tua kamu?"

Ben menggelengkan kepalanya pelan. "Mereka akan setuju." Ia masih menunggu Alya meraih tangannya.

Alya tersenyum pelan dan mengarahkan tangannya kepada Ben. Ia meletakkan tangannya diatas tangan Ben. Seketika kulit mereka bersentuhan, tak ada rasa ragu didalam diri Alya. Perasannya seakan yakin dengan keputusannya.

Ben mengambil hp nya kemudian menekan nomor seseorang. Dalam dua nada sambung, teleponnya disambut oleh seseorang. "Halo, ma?" Panggil Ben.

"Ada apa, Ben?" Sahut Sarinah.

Alya kaget saat mengetahui kalau Ben menghubungi mamanya.

Ben memberikan senyuman nakalnya pada Alya. "Ben lagi dengan Alya sekarang." Katanya.

"Oh ya?!" Sarinah terdengar girang. "Mas! Mas!" Ia memanggil suaminya.

"Mau mau bicara dengan Alya?" Tanya Ben.

"Boleh, boleh. Sini mama mau bicara sama Alya." Sarinah tidak sabar ingin berbicara dengan calon menantunya.

Ben memberikan telepon itu pada Alya dengan wajah penuh maksud. Alya menerima telepon itu ragu-ragu dengan sedikit perasaan deg-degan.

"Halo!" Sapa Alya saat beberapa detik setelah ia meletakkan telepon itu ditelinganya. Seorang pelayan menghampiri dan mengantarkan makanan mereka.

"Halo, Alya. Ini tante." Sapa Sarinah. "Kamu masih ingat, gak?" Godanya.

Alya tertawa hambar, "Ingat tante, haha..."

"Kamu apa kabar?" Tanya Sarinah sambil tersenyum girang.

"Baik, tante. Om dengan tante apa kabar?" Alya mencoba membalas perhatian wanita itu.

Tawa Sarinah terdengar renyah disambung oleh Malpis yang berada disebelahnya. "Haha... kami baik-baik saja." Ia menangkan dirinya sesaat dari tawanya. "Tante senang dengernya kamu lagi sama Ben sekarang."

Alya menoleh ke arah Ben yang juga sedang menatapnya dengan topang dagu yang manis. "Iya tante." Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kalimat itu.

"Jadi kapan kamu mengundang om dan tante ke rumah?" Tanya Sarinah asal.

Alya terkejut mendengarnya. Ia menatap Ben dan memberikan tatapan heran. Ben yang juga melihat ekspresi itu, langsung bertanya dengan gerakan wajahnya.

Sarinah dan Malpis tertawa bersama, "Kami mau saja ke rumah kamu, tapi takutnya Ben belum ngomong. Nanti orang tua kamu kaget melihat kedatangan kami."

Alya tertawa hambar. Ia menunduk sesaat sambil berkata, "Ben udah ngomong tante." Katanya.

Sarinah sangat terkejut. Ia menoleh ke arah suaminya. "Bener, Al?" Ia meyakinkan. "Ben sudah bicara sama kamu?"

Alya mengangguk yakin. "Iya, sudah."

Ben meneliti wajah Alya yang menunduk. "Bicara soal apa?"

Alya mendongak dan langsung memasang wajah datar. Ia menggeleng.

"Ya udah, kalau gitu. Tante dan om akan datang ke Jakarta." Ucap Sarinah yakin. "Kamu seneng-seneng sama Ben malam ini ya." Pesannya. Alya mengangguk dan menyudahi pembicaraan itu. Ia memberikan hp nya pada pria didepannya.

Ben mengambil hp nya sambil berkata, "Mama ngomong yang aneh-aneh ya sama kamu." Tebak Ben.

Alya menggeleng. "Kamu udah bilang sama mama kamu soal rencana kita?"

Ben memasang wajah sebaliknya. "Enggak!" Sanggahnya. "Aku belum bilang soal malam ini." Sedetik kemudian wajahnya berubah nakal, "Mereka udah tahu dan suka sama kamu sebelum aku kenalin. Jadi mereka udah ada rencana sebenarnya." Ia menarik napas girangnya. "Kita makan, yuk." Ajaknya. Alya mengangguk.

***

Ben menghentikkan mobilnya di salah satu parkiran rumah sakit Harapan yang tidak jauh dari lobi utama. Alya kembali ke rumah sakit dan setelah dari makan malam untuk melihat Dewa sekali lagi. Ditangannya ada sebuah bubur ayam serta air mineral yang sudah dibelinya saat jalan kesana.

"Aku tungguin kamu." Ujar Ben.

Alya menoleh kaget. "Gak usah, Ben. Nanti kamu nunggunya lama. Kamu pulang aja."

"Aku lebih khawatir kalau kamu pulang sendiri." Sahut Ben.

"Kalau nanti aku lama didalam, gimana?" Wajah Alya tidak enak.

Ben menyandarkan tubuhnya di bahu kursi mobilnya. "Aku tunggu."

Alya membuka sabuk pengamannya. "Sebentar ya." Ia turun dari mobil itu lalu berjalan ke arah ruang IGD melalui pintu depan. Ben memperhatikan Alya yang menjauh dari mobilnya. Senyumnya merekah melihat siluet wanita itu dari belakang. Hatinya merasa tenang sekarang. Ia sudah menemukan seseorang yang membuatnya bahagia.

Alya membuka tirai pembatas Dewa perlahan dan ia melihat muridnya itu sedang tertidur lelap. Ia tidak enak untuk membangunkannya lantaran jam sudah menunjukkan pukul 9.45 malam. Keadaan ruang IGD juga tenang saat itu.

Alya beralih meninggalkan Dewa kemudian menemui meja perawat. "Maaf suster, keadaan Dewa bagaimana?" Tanyanya pada seorang perawat yang berjaga disana.

Perawat itu membuka map detil kesehatan Dewa yang sengaja diletakkan diatas meja jaganya agar lebih mudah dicari. "Pasien bernama Dewa, keadaannya udah lebih baik. Tadi setelah makan malam dan meminum obatnya, dia langsung tidur. Disini juga ditulis kalau suhu tubuhnya munurun dan tensinya stabil." Jelas perawat itu.

"Besok boleh pulang jam berapa, ya?" Tanya Alya. Ia ingin menjemput Dewa namun ia belum tahu apakah ia bisa ijin dari sekolah.

"Belum tahu, mbak. Masalahnya tergantung keputusan dokter besok." Jawab perawat itu.

"Ya udah, sus. Terima kasih." Alya pamit dan kembali ke bed Dewa. Posisi bocah itu masih telentang dan terlihat wajah lelapnya. Alya meletakkan bubur ayam yang dibelinya diatas meja persegi yang cukup tinggi tepat disamping bed Dewa. Perlahan ia meletakkannya agar tidak menimbulkan suara berisik dari plastik pembungkusnya. Maaf ya, ibu terlambat bawa makanan buat kamu, benaknya pada Dewa. Alya menjauh dan menutup rapat tirai pembatas itu.

***

Ben mengantarkan Alya didepan rumah wanita itu. Alya tidak mengambil motornya karena arah rumahnya dan apartemen Dewa berlawanan. Ia membiarkan motornya disana dan berencana akan mengambilnya besok saja.

"Besok aku jemput ke sekolah." Kata Ben tiba-tiba saat melihat Alya melepaskan sabuk pengamannya.

"Kamu lagi kenapa sih?" Alya merasa aneh menerima semua perlakuan Ben padanya.

"Aku harus membuat hubungan kita semakin intim. Kita mau menikah, Al." Sahutnya nakal.

Alya menatapnya dengan tatapan malu. "Kamu kayak anak umur 25 tahun yang mau nikah, hahaha..." tawanya.

Ben juga ikut tertawa, "Memangnya kamu gak semangat kalau kita mau nikah?"

Tawa Alya menghilang, "Kalau aku gak semangat, kenapa aku harus belain kamu didepan orang tua aku."

Ben tersenyum geli. Ia meraih wajah Alya dengan tangan kirinya. Ia senang sekali saat ini karena kedekatan mereka semakin intim.

Alya menjauhkan wajahnya dari tangan Ben setelah beberapa detik ia menyadari sesuatu. "Maaf, Ben. Udah malem, gak enak kalau dilihatin orang yang lewat." Ia tidak mau tersebar berita yang tidak enak nantinya dari orang lain karena melihat dirinya berdua dengan Ben bersentuhan didalam mobil. Pasalnya, bukan hanya menjaga nama keduanya namun juga menjaga nama sekolah, orang tua dan Benjamin Malpis.

Ben manarik tangannya kembali. "Besok pagi aku jemput ke sekolah ya." Katanya sekali lagi. Alya mengangguk dan turun dari mobil itu.

***

Dewa tersadar dari tidurnya. Ia melihat sekelilingnya yang ditutupi oleh tirai pembatas. Ia juga melihat sekelilingnya yang tak ada seorangpun. Dewa merasa haus, ia menoleh ke arah meja dan melihat sebuah bungkusan berwarna putih dengan sebuah sterofom didalamnya.

Dewa bangkit dan bersandar. Ia mengambil bungkusan itu lalu membukanya. Aroma bubur ayam menyeruak keluar hingga embun panas yang menempel pada sterofom itu mengalir ke arah bawah. Senyum Dewa menyeringai tipis. Ia juga melihat ada sebuah botol mineral berukuran sedang disana.

Saya gak suka makan sendiri buk, katanya pelan dengan wajah datar. Dewa mengambil sendok plastik itu kemudian melahap bubur ayamanya yang sudah mendingin. Perlahan ia menelannya. Dalam keheningan rumah sakit, Dewa menatap tirai didepannya dengan pikirannya sendiri.

***

Alya sedang memakai sepatu kerjanya ketika mobil Ben tiba didepan rumahnya. Ia pamit pada kedua orang tuanya lalu pergi bersama pria itu.

Alya melihat penampilan Ben yang berbeda dari biasanya. Pria itu hanya mengenakan sweater hitam dengan celana training kemudian sendal jepit. Rambutnya bahkan tidak dirapikan menggunakan sisir melainkan hanya menggunakan tangan dengan ala kadarnya saja.

"Aku belum mandi, Al." Ujar Ben saat menyadari kalau wanita disebelahnya sedang memperhatikannya.

Alya tertawa geli. "Hahaha... memangnya kamu pikir aku mau ngapain?"

Ben menoleh nakal, "Mau cium aku?"

Alya menolak tubuh Ben pelan karena geram. "Masih pagi, Ben. Ge-er." Katanya. Ia menguap dengan nikmatnya.

"Kamu tidur jam berapa tadi malam?" Ben melihat wanitanya menguap.

Alya merapikan rambut bagian depannya, "Aku gak bisa tidur tadi malam. Jam 1 pagi baru bisa tidur."

"Kamu mikirin apa?"

"Gak tahu. Badan aku rasanya lelah tapi mata aku gak mau merem. Padahal aku gak mikirin apapun." Nadanya terdengar kesal.

"Kamu mikirin murid kamu yang dirumah sakit?" Tanya Ben.

"Mungkin juga." Sahut Alya.

"Atau kamu mikirin pernikahan kita." Goda Ben.

Alya memberikan wajah sewotnya, "Kamu kenapa sih, aslinya kamu baru kelihatan sekarang."

Ben memberikan wajah penuh maksud, "Kamu mau lihat aslinya aku gimana?" Godanya lagi.

Alya mencubit lengan Ben dengan sedikit kuat. "Ben! Kamu jangan bikin aku gregetan jam segini." Sambungnya. Mereka tertawa bersama. Ben menunjukkan dirinya yang sudah membuka diri untuk Alya. Dan wanita itu juga sebaliknya yang mulai merasa nyaman dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

***

Dewa sudah sadar dari tidurnya sejak sejam yang lalu ketika sarapan paginya sudah tiba. Ia melahap makanannya hingga habis kemudian menelan beberapa obat yang diberikan oleh perawat disana. Tiga puluh menit setelah sarapan, dokter yang bertugas mendatanginya untuk mengecek keadaanya.

"Gimana keadaannya pagi ini?" Tanya Dokter sambil memeriksa dada Dewa dengan stetoskop.

"Lebih baik, Dok." Jawab Dewa penuh senyum.

Dokrer melihat cairan infus yang masih tersisa setengah, "Habiskan dulu cairan infusnya, baru nanti kamu boleh pulang, ya." Katanya. Dewa mengangguk. Kemudian dokter itu meninggalkannya.

"Kira-kira jam berapa infus ini habis, sus?" Tanya Dewa pasa seorang perawat yang sedang mengecek aliran infus itu.

"Satu jam atau dua jam lagi." Jawabya. "Kakak kamu kemana, belum datang?" Tanya perawat itu.

"Kakak?" Kening Dewa mengkerut. "Siapa kakak saya?"

Perawat itu menatap Dewa heran. "Loh, kemarin saya sempat lihat kamu datang dengan perempuan, itu bukan kakak kamu?" Tanyanya. "Saya lihat di surat wali, ditulis kakak kamu." Jelasnya.

Dewa terdiam. Ia tidak bisa berkomentar.

"Saya lihatnya juga waktu mau ganti shift, jadi gak gitu jelas lihatnya." Perawat itu pergi meninggalkan Dewa dengan pikirannya sendiri.

Kakak, batin Dewa. Seringai kudanya menunjukkan kalau ia tidak percaya pada keadaan yang harus diterimanya. Alya hanya menaggapnya murid disekolah dan adik saat di luar sekolah.

***

Ben keluar dari kamar 2501 lengkap dengan setelan jas mahalnya yang rapi. Arif juga baru saja tiba dilantai itu dan mereka saling berpandangan sesaat. Arif melihat atasannya dengan wajah senyum yang ditahannya. Ia baru saja menerima informasi kalau atasannya pagi-pagi sekali sudah bangun pergi dengan membawa mobilnya.

Ben berjalan ke arah lift diikuti oleh Arif. Ia tidak berkata apapun, hanya aura wajahnya yang memancarkan kebahagiaan.

TING! Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke dalam dan melihat pantulan diri masing-masing melalui pintu lift.

"Bagaimana tadi malam, pak?" Tanya Arif yang sedikit penasaran dengan pertemuan atasannya dengan wanita pujaan.

Ben menoleh sekilas, "Berjalan lancar." Katanya.

Arif mengangguk paham dan tidak berkomentar. Ben menoleh heran ke arah Arif, "Udah? Itu aja pertanyaan kamu?"

Arif kaget dengan intuisi atasannya. Pria itu seolah tahu kalau dirinya memang mengetahui banyak hal. "Apa anda diajak sarapan bersama?"

Ben meliriknya tajam dengan senyum yang ditahannya, "Yang lain." Ucapnya tegas.

"Apa nanti anda akan menjemput beliau di sekolah?" Tanya Arif.

"Kalau itu tidak, soalnya dia ada urusan dengan muridnya yang masuk rumah sakit." Jawab Ben.

"Jadi kapan rencananya?" Tanya Arif lagi.

Ben menoleh dengan senyum nakal, "Segera!" Wajahnya ceria. Arif hanya tersenyum. Ia berharap atasannya bisa bahagia kembali.

***

Saat jam istirahat pertama, Alya membuka hp nya kemudian tiba-tiba hatinya tergerak untuk menelpon Dewa. Namun ia membatalkannya karena bocah itu tidak membawa apapun selain tubuhnya saat ke rumah sakit.

Tuk! Tuk! Tuk! Alya mengetuk pintu itu.

"Masuk!" Sahut Kepala Sekolah.

Alya masuk dengan perasaan gusar. Ia takut kalau tanggapan Kepala Sekolah akan berbeda dengan harapannya. "Pak." Sapanya.

"Ada berita apa, ibu Alya?" Tanya Kepala Sekolah menoleh. "Saya masih belum bisa menghubungi orang tua Dewa, bagaimana ya?"

"Dewa masuk rumah sakit, pak." Katanya.

Kepala Sekolah sedikit kaget. "Sakit apa, buk?"

"Demam, pak." Sahutnya.

Kepala Sekolah menggelengkan kepalanya. "Kasihan." Ucapnya. "Bagaimana ya caranya menghubungi orang tua Dewa?"

Alya merasa tenang karena Kepala Sekolah memberikan respon yang cukup baik. "Nanti saya akan coba juga untuk menghubungi mereka."

Kepala Sekolah mengangguk paham. "Ya sudahlah, buk. Mungkin Dewa sudah menjadi tanggung jawab kita bersama." Ia menghela napasnya. "Ibu jaga saja Dewa sampai dia bisa kembali ke sekolah lagi dan beradaptasi dengan guru-guru yang mengeluh soal kelakuannya." Pesannya.

Alya mengangguk paham. Setelah pembicaraan itu, Alya keluar dan kembali menuju ruang Mejelis Guru.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.