Ruangan majelis guru sudah sepi dan Alya masih duduk di kursinya dengan hp ditangannya yang terus menghubungi nomor Dewa ataupun kedua orang tuanya. Namun semuanya gagal.
Emosi Alya mulai membara dan ia butuh teman cerita saat ini. Ia butuh seseorang yang bisa memberikannya solusi soal Dewa. Hanya ada satu nama yang mengerti perasaannya saat ini, Mita.
"Halo, Al." Sapa Mita lembut. "Ada apa nih, tumben lo telpon gue jam segini." Tanyanya.
"Gue kesel banget sama Dewa." Suara Alya pelan. Ia tidak bisa membohongi perasannya yang sebel setengah mati pada Dewa.
Mita tertawa pelan, "Kenapa lagi sih?"
"Ceritanya panjang. Intinya Dewa mau dikeluarin dari sekolah..."
"APA?!??" Mita memotong permbicaraan itu. Belum sempat ia sudah terkejut dengan kalimat pertama.
Helaan napas Alya terdengar. "Dewa mau dikeluarin dari sekolah. Terus gue dapet SP kemarin. Nah, kepala sekolah itu nelponin orang tuanya Dewa untuk datang ke sekolah, tapi sampai sekarang semua nomor mereka gak ada yang bisa dihubungi."
"Kesian banget, Dewa." Ujar Mita pelan. "Jadi masalah lo kesel kenapa?"
"Kemarin waktu pulang sekolah, Dewa ngejelasin ke gue kenapa dia tidur dikelas. Katanya dia sakit, gue gak percaya." Alya diam sejenak. "Gue bilang, terserah dia mau gimana, mau datang atau tidak kepala sekolah tetap bakal keluarin dia...."
"Kok lo jahat sih, Al!" Sahut Mita memotong kalimat sahabatnya.
"Apa gara-gara itu Dewa gak masuk sekolah?" Tanya Alya yang merasa bersalah.
"Atau mungkin Dewa beneran sakit, Al." Sambung Mita. Ia melihat ke arah Depan dan berniat pergi ke restoran buffet sebentar.
"Gue harus gimana, mit?" Tanya Alya. Nadanya lemah dan tidak bersemangat. "Gue takut kalo Dewa beneran sakit." Katanya.
Mita terdiam. Ini pertama kalinya ia mendengarkan kalimat Alya yang menunjukkan perhatiannya pada Dewa. Senyum Mita mengembang. Ia menyukai sifat sahabatnya yang tidak bisa membohongi dirinya walau sedang kesal sekalipun.
"Mit!" Panggil Alya yang menunggu jawaban sahabatnya.
"Lo coba ke apartemennya aja. Siapa tahu, dia ada dirumah." Saran Mita.
"Gue juga kepikiran kesana, tapi gue... malu." Alya diam sejenak.
"Perlu gue temenin?" Tanya Mita. "Tapi maleman gue bisanya." Sambungnya.
Alya melihat jam dinding di mejelis guru yang sudah menunjukkan pukul 3.35 sore. Sudah hampir dua puluh menit ia duduk disana seorang diri. "Gak usah, mit. Gue pergi sendiri aja. Kalo nunggu malem, gue yang gak tenang." Katanya.
"Kalau ada apa-apa telpon gue ya, Al." Pesan Mita yang juga ikut khawatir.
"Oke." Alya mematikan sambungan teleponnya. Ia bangkit dari kursi lalu menuju parkiran.
Mita permisi pada seorang pelayannya yang berdiri dibelakang meja kasir. Ia berjalan ke arah restoran buffet dan mencari Dewa disana. Mita melihat manager restoran itu yang sangat dikenalnya. "Mas!" Panggilnya.
Manajer restoran buffet mendekatinya, "Ada apa, mit?"
"Dewa masuk kerja gak?" Tanyanya langsung.
Wajah manajer itu murung. "Dari tadi malem dia gak masuk kerja. Belum tahu juga sore ini kosong lagi apa enggak. Kenapa memangnya?"
Mita menggelengkan kepalanya. "Aku mau bicara sesuatu sama dia." Alasannya.
Manager itu mengangguk. "Oh! Lihat deh sore dia datang apa enggak. Nanti kabarin kamu, ya." Ucapnya. "Udah seminggu ini, Dewa suka absen kerja. Setiap aku tanya kemana, dia jawabnya sakit. Hari ini gak masuk, mungkin sakit lagi apa gimana, gak tahu juga." Sambungnya.
Mita teringat kalimat Alya yang mengatakan hal yang sama. Mita merasa kasihan pada Dewa karena hal ini. Ia pamit darisana dan kembali ke restorannya. Ingin sekali ia memberitahukan hal ini pada Alya. Namun sahabatnya itu pasti akan curiga dengan informasi yang ia berikan. Akhirnya Mita hanya bisa menunggu kabar temannya.
***
Alya membelokkan motornya ke sebuah apartemen mewah di bilangan Jakarta Selatan. Ia memarkirkan motornya di parkiran khusus tamu yang terdapat tulisan disana. Ia melepaskan helmnya kemudian masuk dengan langkah ragu menuju resepsionis.
Alya merapikan pakaian dinasnya yang berwarna cokelat muda. Tasnya ia gantung di bahu kanannya. "Permisi mbak." Sapa Alya.
Resepsionis itu berdiri menyambut Alya. "Ada yang bisa saya bantu, ibu?"
"Saya Alya mbak, guru SMA nya Dewa Ibram. Saya datang kesini mau bertemu dengan Dewa. Mau memastikan kalau keadaanya baik-baik saja." Jelas Alya akan maksud kedatangannya.
Resepsionis itu mengetik sesuatu di komputernya. "Nama ibu siapa?"
"Alya Ariana, mbak."
Resepsionis itu berdiri kembali. "Ibu bisa langsung masuk saja." Ucapnya.
Alya terkejut sekaligus heran. "Kok bisa, mbak?"
"Iya, dikomputer kami tertulis kalau nama ibu termasuk daftar tamu yang diijinkan masuk."
Alya tampak bingung. "Maaf mbak, saya baru pertama kali datang ke sini, saya enggak tahu apartemennya Dewa itu di lantai berapa?"
Resepsionis itu melihat sekilas dikomputernya. "Dewa Ibram ada di lantai 20 nomor 2020-B."
Alya mengangguk paham. "Terima kasih." Ucapnya. Ia berjalan ke arah pintu otomatis yang hanya bisa dimiliki oleh penghuni menggunakan kartu privasi mereka. Salah satu pintu itu terbuka dan memperbolehkan Alya lewat. Ia berjalan ke arah lift dan langsung menekan angka 20 disana.
Alya berdiri didepan sebuah pintu yang bertuliskan 2020-B. Ia mengetuknya perlahan. Bola mata Dewa bergerak perlahan. Alya mengetuk kembali pintu itu dengan sedikit lebih keras. Kening Dewa perlahan mengkerut, sesuatu terjadi di alam bawah sadarnya.
Alya mengetuk kembali pintu itu dan memanggil nama orang yang dicarinya. "DEWA!" ia menggedor pintu itu. "DEWA!" Panggilnya lagi.
Dewa perlahan mendengar samar-samar suara seseorang memanggilnya. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Namun bola matanya berputar dan kakinya mulai bergerak dibalik selimut itu.
Alya menghela napasnya. Emosinya mulai memburu. Ia menggedor kembali pintu Dewa dengan sedikit lebih kencang walau didalam hatinya ia tidak ingin menganggu tetangga disana. "DEWA!" Panggilnya.
Dewa membuka matanya perlahan dan mendengar ganggang pintu depannya dipaksa buka dari arah luar. Keringat sudah mengucur dari keningnya hingga berbulir.
"Dia gak ada dirumah kali, ya." Ucap Alya. Ia menghentikan aksinya. Ia berjalan lunglai ke arah lift sambil membuka hp nya. Beberapa langkah ia berjalan, pintu 2020-B itu terbuka. Alya menoleh ke belakang.
Dewa muncul didepan pintu dengan wajah lusuh. Kedua tangannya memegang dinding pintu disampingnya. Ia menoleh ke arah lift. Alya terdiam menatap penampilan Dewa yang acak kadul dengan celana jeans dan jaket yang terlihat dibawa tidur dan meninggalkan bekas lipatan disana. Ia mendekat.
Dewa terkejut melihat wali kelasnya berdiri didepannya saat ini. Kelopak matanya yang sendu dan berat, ia paksa membuka lebar. "Kenapa... ibu... bisa ada... di... sini?" Tenggorokannya terasa penuh, panas dan gatal saat ini. Ia batuk sesaat.
Alya langsung memegang kening Dewa dan hawa panas menjalar ke seluruh telapak tangannya. "Kamu beneran sakit?" Tanyanya. "Udah pergi ke dokter?" Ia merasa prihatin.
"Saya tidak... perlu... ke dokter..." Ia terbatuk.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Ibu anterin kamu kesana." Ajak Alya. Ia memegang tangan Dewa yang bersandar pada dinding pintu.
Dewa menggeleng. Ia melepaskan tangan wali kelasnya. "Saya... gak perlu ke... dokter."
"Jangan bandel. Ikut saya ke rumah sakit sekarang." Nada Alya meninggi.
Dewa masih berpegang pada dinding pintu apartemennya. Ia tidak kuat berdiri lebih lama. Alya mengambilkan Dewa sendal jepit yang tergeletak didepan pintu. Ia memapah Dewa keluar dan mengunci pintu itu.
Alya memutuskan naik taksi dan duduk dibelakang dengan Dewa. Taksi itu melaju menuju rumah sakit terdekat. Dewa menyandarkan kepalanya ke belakang dengan sedikit mendongak ke atas. Matanya tertutup. Keringat dingin perlahan mengalir dari kening Dewa.
Alya merasa kasihan pada bocah disampingnya. Ia merapatkan tubuhnya ke arah Dewa. Ia memegang kepala Dewa perlahan dan meletakkannya dibahu kanannya. Ia membiarkan bocah itu bersandar padanya. Dewa membuka matanya perlahan dan menyadari posisinya sudah berubah. Ia sangat dekat sekali dengan wali kelasnya. Senyum tipisnya terukir disana. Ia membetulkan posisi kepalanya agar lebih nyaman.
Alya mengambil tisu dari dalam tasnya kemudian mengeringkan keringat dari dahi Dewa. Ia meraba kening itu dan hawa panas masih menempel disana. Alya menghela napasnya. Alya menarik tangan Dewa mendekat ke arahnya dan tanpa sengaja ia menyentuh telapak tangan bocah itu. Alya merasakan sesuatu yang aneh disana.
Alya membalikkan kedua telapak tangan Dewa. Terasa kulit yang terkelupas disana. Alya mendekatkan wajahnya ke arah telapak tangan itu dan keduanya sudah terasa kasar dan kering.
Dewa membuka matanya perlahan ketika merasakan kalau kedua tangannya disentuh. Samar-samar ia melihat wali kelasnya sedang memperhatikan telapak tangannya. Ia menarik kedua tangannya dan melipatnya didepan dadanya. Alya hanya diam dan tidak bertanya apapun soal tangan itu.
***
Alya berdiri disamping Dewa yang sedang tertidur dengan infus yang dipasangkan pada punggung tangan kanannya. Bocah itu sedang tertidur pulas. Alya memperhatikam wajah Dewa yang tampak lelah. Ia menghela napasnya. Alya meraba kening Dewa perlahan. Hawa panasnya belum juga berkurang.
Alya teringat sesuatu saat ditaksi tadi. Ia meraih tangan kanan Dewa yang terpasang infus dan membalikkan telapak tangannya. Kedua alis Alya naik ketika ia dihadapakan pada sebuah gambaran telapak tangan yang kering, terkelupas bahkan beberapa sidik jarinya sudah tidak terlihat. Di beberapa ujung jari Dewa, terlihat menggembung seperti tidak ada lagi otot disana.
Alya beralih ke arah kiri Dewa dan ia melihat bentuk yang sama. Bahkan di sebelah kiri sedikit lebih parah. Dibeberapa bagian jarinya, bahkan memerah seperti bekas terkelupas yang dipaksa. Kedua telapak tangan itu, sama-sama rusak. Kamu ngapain aja selama ini, benaknya pada Dewa.
Seorang perawat datang menghampiri Alya dan kemudian memeriksa infus yang sedang mengalir pada Dewa. Sudah satu jam bocah itu tertidur lelap karena obat yang disuntikkan padanya.
Alya melihat jam pada hp nya yang sudah menunjukkan pukul 6.10 sore. Tiba-tiba ia teringat janjinya pada Ben yang akan pergi keluar malam ini. Alya menepuk jidatnya dan langsung mencari nomor Ben.
"Halo." Sapa Alya.
Tawa Ben perlahan terdengar. "Halo, Al. Ada apa?" Ia sedang menunggu lift di lantai 25 Hotel Malpis. "Aku baru mau jalan jemput kamu."
Alya merasa tidak enak. Ia ingin membatalkan namun pria itu sudah akan menjemputnya dan dirinya juga memiliki sesuatu yang harus ia sampaikan. "Kamu jangan jemput aku dirumah, ya." Katanya.
Kening Ben berkerut. "Kenapa?" Pintu lift terbuka. Ia masuk ke dalam dan menuju Basemen.
Alya melirik Dewa sesaat dan bocah itu sedang tertidur pulas. Ia menepi sedikit lebih jauh. "Aku lagi gak dirumah sekarang. Kamu bisa jemput aku dirumah sakit Harapan?"
Dewa membuka matanya perlahan saat suara langkah wali kelasnya menjauh. Ia tersadar saat wanita itu mengucapkan kata 'Halo'. Dewa menatap punggung tangan kanannya yang menempel jarum infus disana. Rasa sedihnya perlahan muncul.
"Kamu kenapa dirumah sakit?" Ben panik. Ia bersandar pada dinding lift karena khawatir. Alya tertawa kecil. Ia menjelaskan situasinya pada Ben dengan detil hingga pria itu paham.
Perawat datang menghampiri Dewa. "Wali kelas kamu kemana?" Tanyanya pada pasien yang sudah sadar itu.
"Mungkin sudah pulang, sus." Jawab Dewa. Melihat wali kelasnya menerima telepon tadi membuatnya semakin yakin kalau wanita itu sudah menemukan pengganti Yogi.
"Lalu kamu bagaimana, siapa yang jagain malam ini?" Tanya perawat itu. Dokter jaga datang dan melihat keadaan Dewa.
"Dokter, apa saya harus dirawat?" Tanya Dewa memastikan.
"Malam ini kamu harus dirawat dulu, karna kamu kekurangan banyak cairan. Takutnya kalau cairannya belum terpenuhi kamu akan demam lagi dan menjadi penyakit lain. Untung saja kamu langsung dibawa kesini segera." Dokter itu memeriksa kondisi Dewa. "Kalau besok keadaan kamu sudah baik, kamu bisa pulang. Banyakin tidur saja." Pesannya. Dewa hanya bisa mengangguk. Dokter itu beralih ke pasien lainnya.
"Guru kamu nanti datang lagi gak ya?" Tanya perawat itu.
"Kenapa memangnya, suster?"
"Ada surat pernyataan yang harus ditanda tangan sama wali pasien. Ada obat yang juga harus ditebus." Jelas perawat itu. Dewa bingung harus menjelaskan seperti apa.
Tirai pembatas di bed Dewa terbuka. Alya muncul dengan hp didalam genggamannya. "Kamu udah bangun?" Kata Alya saat melihat muridnya. Ada rasa gembira karna Dewa sudah sadar kembali. Sedikit kekhawatirannya menghilang perlahan.
"Ibu, ada resep obat yang harus ditebus." Kata perawat tersebut.
"Iya." Alya mengikuti langkah perawat. "Sebentar ya." Katanya pada Dewa dengan wajah penuh senyum kasih sayang kemudian pergi dari sana. Dewa tercengang melihat wali kelasnya tersenyum padanya untuk pertama kalinya.
***
Sambil menunggu dikursi panjang didepan apotik, Alya teringat Mita dan ia belum memberikan kabar pada sahabatnya itu.
"Alya, gimana Dewa?" Tanya Mita begitu menyambut sambungan telepon dari sahabatnya.
"Dia sakit dirumah. Gue lagi dirumah sakit bawa dia berobat." Ucap Alya.
"Astaga!" Ucap Mita. "Lo dirumah sakit mana?"
"Gue dirumah sakit Harapan. Dewa harus menginap semalam disini." Nadanya lemah.
"Lo mau jagain Dewa malam ini?" Mita mengkhawatirkan sahabatnya. "Lo belum pulang ke rumah?"
"Belum." Alya memperhatikan seragam yang digunakannya. "Bentar lagi gue mau pergi sama Ben. Ada hal yang mau gue omongin sama dia."
"Pulangnya lo ke rumah sakit lagi?"
"Iya. Gue mau lihat Dewa sebentar baru gue pulang." Katanya. Ada perasaan bersalah didalam diri Mita namun ia tidak mungkin mengatakannya. Pembicaraan merekapun hanya sampai disitu.
Alya kembali melihat hp nya dan menghubungi mamanya. "Halo, ma." Sapanya.
"Kamu kemana jam segini belum pulang." Nada Trisnah tidak menunjukkan kekhawatiran.
"Malam ini Alya pulang telat, ma. Nanti gak usah ditunggu ya. Alya juga udah makan diluar." Katanya dengan tenang. Ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Urusan apa, kamu belum pulang, belum tukar pakaian."
Alya mengangguk paham. "Ada urusan lain, ma. Mama sama bapak tenang aja. Alya gak kenapa-kenapa. Mungkin Alya pulangnya agak maleman."
"Ya sudah. Hati-hati, Al. Bawa motornya pelan-pelan aja. Jangan lewat jalan kecil, lewat jalan besar aja." Pesan Trisnah. Alya mengerti maksud mamanya. Ia menyudahi percakapan itu.
"Dewa Ibram!" Nama itu dipanggil di balik celah dinding kaca apotik.
Alya berdiri dan langsung membayar obat Dewa menggunakan uangnya. Tidak ada rasa penyesalan disana. Baginya yang terpenting adalah muridnya bisa kembali sehat dan bisa masuk sekolah.
***
Alya kembali ke ruang IGD dan melihat Dewa sedang tertidur lelap. Ia sudah memberikan obat yang diambilnya itu pada perawat yang bertugas karena mereka yang akan memberikan secara rutin obat itu pada Dewa kelak.
Alya merasakan hp nya bergetar dan ia melihat nama Ben tertera disana. Pria itu sudah menunggu dibawah. Alya ingin pamit pada Dewa namun, ia tidak ingin menganggunya. Akhirnya Alya menutup rapat tirai pembatas bed Dewa dan pergi begitu saja.
Setelah suara langkah itu menjauh, Dewa membuka matanya kembali. Ia sengaja membuat dirinya tampak tertidur karena ia menghindari percakapan dengan wali kelasnya. Ia hanya tidak ingin begitu sulit meninggalkan SMA278 dimana ia memiliki seseorang yang menjadi penyemangat hari-harinya.
Ben menunggu Alya didepan lobi rumah sakit. Ia sudah memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh. Ia tidak ingin Alya mencarinya kebingungan. Makanya ia memutuskan untuk turun dan menunggu wanita itu di lobi.
Alya kuluar dari lift dan ia bisa langsung mengenali Ben yang berdiri membelakanginya. Penampilan pria itu malam ini begitu rapi dan tidak terlalu formal dengan jas cokelat tua.
"Ben." Panggil Alya dari arah belakang.
Ben berbalik dan tatapannya berubah takjub dan terkejut. Penampilan Alya dengan seragam dinasnya membuat Ben melihat wanita itu tampak lebih tegas dan bijaksana. Tidak ada sosok Alya yang manis yang ditemuinya di Bali dalam balutan blouse putih.
"Maaf ya, aku belum sempat tukar baju." Kata Alya. Ia merasa tidak enak hati.
Ben menggeleng pelan dengan seringai kudanya. "Gak apa." Ia membuyarkan tatapannya. "Murid kamu gimana, dia baik-baik aja?" Ben hanya tahu kalau Alya memiliki seorang murid yang tengah diperhatikannya tanpa memberitahu detilnya dan namanya.
"Waktu aku pergi, dia tidur jadi gak sempet pamit." Ucap Alya.
Ben mengangguk paham. "Kita jalan sekarang?" Ajak Ben. Alya mengangguk. Mereka menuju parkiran mobil Ben.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA. .