Alya baru saja keluar dari kelas 11IPS1 setelah mengajar kelas Geografi disana. Ia berjalan menuju majelis guru dan didekati oleh seorang murid dari kelas sepuluh.
"Buk," sapa siswa itu. "Kepala sekolah minta ibu kesana sekarang." Katanya.
Alya kaget. Ia menelan ludahnya dan bertanya didalam hati kenapa Kepala Sekolah meminta untuk bertemu dengannya. Padahal kemarin ia baru saja diceramahi. Alya menuju majelis guru untuk meletakkan bukunya dan berjalan dengan gelisah menuju ruang Kepala Sekolah.
Alya mengetuk pintu itu lalu masuk ke dalam ruang Kepala Sekolah. "Permisi, pak." Sapanya. Ia melihat Dewa sudah berdiri didalam ruangan itu. Kekhawatirannya menjadi nyata. Bocah itu pasti sudah membuat kekacauan lainnya.
Dewa meletakkan kedua tangannya di belakang dan ia berdiri dalam keadaan istirahat. Kedua tangan itu ia kepalkan karena tubuhnya kedinginan. Berada didalam ruangan itu selama lima menit, membuatnya menggigil.
"Ibu Alya, lupa apa yang saya sampaikan kemarin siang?" Tanya Kepala Sekolah. Didalam ruangan itu suaranya mejadi bergema.
"Tidak, pak." Jawab Alya. Bagaimana ia lupa. Belum ada 24 jam peringatan itu diberikan padanya.
"Kalau begitu, jelaskan ke saya kenapa Dewa bisa terlambat pagi ini?" Suara Kepala Sekolah lantang. "Ini bukan pertama atau kesekian kalinya Dewa terlambat. Dia merupakan murid yang selalu terlambat ke sekolah. SMA278 ini masuk pukul 7 pagi bukan 8 pagi." Tambahnya.
Alya melihat Dewa, "Kenapa kamu terlambat?" Tanyanya.
Dewa menatap wajah Alya sendu. Ia menahan rasa kedinginannya yang perlahan berubah menjadi menggigil jika ia tidak segera keluar dari ruangan itu. "Saya terlambat bangun pagi."
"Kenapa kamu bisa terlambat bangun?" Sahut Kepala Sekolah.
"Saya nonton tv, pak." Jawabnya santai dengan kalimat klisenya.
Kepala Sekolah menatap Alya meminta penjelasan. Alya hanya bisa pasrah. Ia merasa lepas tangan pada Dewa. Segala cara ia sudah tempuh dan lakukan untuk Dewa tapi nyatanya, muridnya itu tidak bisa menghargai kesempatan yang diberikan padanya.
"Ibu Alya ingat apa yang saya katakan kalau Dewa melanggar peraturan sekolah sekali lagi?" Tanyanya tegas.
Alya mengangguk. Ia bahkan tidak punya hasrat untuk membela diri.
Kepala Sekolah menatap Dewa, "Nanti saya akan telepon orang tua kamu." Kata Kepala Sekolah pada Dewa.
"Ibu Alya, saya terpaksa memberikan anda SP pertama atas kesalahan selama ini." Kata Keoala Sekolah tanpa gentar.
Alya hanya bisa menghela napas. Seketika Dewa merasa menyesal.
"Kamu kembali ke kelas." Suruh Kepala Sekolah pada siswinya. Dewa seperti tahu apa yang akan terjadi nantinya. Pemanggilan orang tua adalah tanda-tanda kalau dirinya akan dikeluarkan dari sekolah. Alya melirik Dewa yang pergi meninggalkan ruangan itu.
"Saya akan menghubungi orang tua Dewa dan mengembalikan anak mereka." Kata Kepala Sekolah. "Ibu juga boleh pergi."
Alya melepaskan Dewa begitu saja tanpa ada pembelaan ataupun penahanan. Ia hanya pasrah.
Alya keluar dari ruang Kepala Sekolah dan melihat Dewa menunggunya didepan ruangan itu. Alya bersikap acuh dan terus berjalan ke arah Majelis guru. Dewa tidak mengikutinya karna ia melihat ekspresi wali kelasnya sudah marah padanya.
***
Saat jam pulang berbunyi, Dewa sudah menunggu didepan Majelis guru. Ia menunggu wali kelasnya keluar. Namun beberapa menit ia berdiri, wali kelasnya tidak juga keluar. Dewa mengintip dan melihat kalau wali kelasnya masih duduk seorang diri di mejanya. Dewa masuk dan menghampiri.
"Buk." Panggil Dewa.
Alya langsung menyimpan surat peringatan yang baru saja dibacanya. Ia menyimpannya ke dalam tasnya. "Ada apa?" Tanya Alya tanpa menoleh.
Dewa merasa ada yang aneh dengan sikap wali kelasnya. Biasanya, wanita itu langsung emosi dan marah padanya serta menatapanya melotot. Namun kali ini berbeda. "Saya terlambat karena saya sakit." Katanya.
Alya tidak menjawab ataupun berkomentar. Ia merapikan mejanya dan bersiap pulang.
"Seminggu ini saya sakit. Saya selalu mengantuk dan ketiduran dikelas. Waktu saya ke UKS itu saya bukan sengaja." Jelasnya.
Alya berdiri dari kursinya dan bersiap pulang.
"Buk." Panggil Dewa menahan wali kelasnya.
"Gak ada gunanya kamu jelaskan ke saya sekarang. Karena masalah ini bukan lagi urusan saya. Kepala sekolah sudah turun tangan." Alya menatap Dewa datar. "Saya sudah pernah bilang sama kamu kalau sekali lagi kamu buat ulah, kepala sekolah akan ambil alih dan saya tidak bisa membela kamu lagi." Tambahnya.
"Saya tidak mau pindah sekolah. Saya mau lulus dari sekolah ini." Kata Dewa yakin. Ia ingin membuktikan pada guru-guru disekolahnya kalau dirinya juga bisa lulus dengan nilai yang baik.
"Mungkin harusnya sudah sejak dulu saya kembalikan kamu sama orang tua kamu. Jadi saya tidak perlu sejauh ini mengurusi kamu." Alya memberikan sorot mata yang tidak peduli. "Terserah kamu mau bagaimana sekarang. Kamu tidak datang ke sekolah pun, tidak akan berpengaruh besar karna kepala sekolah tetap akan mengeluarkan kamu." Alya pergi meninggalkan Dewa yang menyendiri dengan kalimatnya barusan.
***
Alya duduk di meja makan dengan piringnya yang sudah terisi nasi. Ia mengambil beberapa lauk yang mamanya masak. Bapaknya juga sudah duduk disana dan hampir menghabiskan makanannya. Trisnah melihat penampilan Alya yang tampak lusuh.
"Kamu gak keluar malam ini?" Tanya Trisnah. Yusril hanya melirik istrinya.
"Kemana, mah?" Jawab Alya malas. Ia mulai melahap makan malamnya. Moodnya sedang naik turun karena masalah Dewa di sekolah.
"Sama pacar kamu atau sama teman kamu." Ucap Trisnah cuek.
"Jam kerja mereka beda sama Alya. Selama ini juga gak pernah jalan, selalu Alya yang nyamperin mereka." Alya mengunyah makanannya dengan pelan.
"Ben juga kerja sampe malem?" Tanya Trisnah. Yusril juga menunggu jawaban itu. "Dia kerja apa?"
Alya diam sesaat, "Ben itu... kerja di Hotel Malpis." Jawabnya ragu.
Trisnah melototkan matanya. "Hotel Malpis yang ada lapangan golf itu?"
Alya mengangguk. Yusril mendengarkan pembicaraan anak dan istrinya. Ia belum berkomentar.
"Dia kerja bagian apa?" Trisnah semakin detil. Ia penasaran dengan pria yang mengajak putrinya keluar semalam.
Alya menatap kedua orang tuanya yang juga sedang melihat ke arahnya. Ia menghela napasnya. "Ben itu... dia CEO di Hotel Malpis."
Trisnah tersedak dengan makanannya sendiri. Ia meneguk air putihnya dengan wajah yang tercekik. Yusril yang sedang mengunyah langsung terhenti saat mendengar kalimat putrinya. Ia juga meneguk air putihnya sambil menelan makanannya. Kedua orang itu seperti mendengar sesuatu yang sangat menggemparkan saat ini.
Trisnah menoleh ke arah suaminya dengan wajah bingung. "Kamu yakin, Al. Jabatan Ben di Malpis? Kamu udah cek ke sana?" Yusril juga menunggu. Pertanyaanya juga sudah diwakili oleh istrinya.
Alya mengangguk. "Sudah, mah. Kalau mama cari nama Benjamin Malpis di majalah bisnis atau di website Hotel mereka juga ada disana." Jelas Alya.
Trisnah menganga. Bola matanya berbinar seperti mendapatkan sesuatu yang berkilau. Yusril bisa membaca pikiran istrinya.
"Jangan terlalu berharap sama orang setinggi itu. Status mereka jauh dengan kita. Mereka tidak mungkin mencari pasangan dari kalangan seperti kita." Kata Yusril dengan ekspresi datar. Ia melanjutkan makannya yang tersisa beberapa suap lagi. "Kalaupun Ben mau dengan kamu, orang tuanya belum tentu mendukung." Sambungnya.
Trisnah memukul pelan lengan suaminya, "Bapak kok ngomongnya gitu sih. Harusnya bapak bangga bisa punya calon menantu seperti Ben. Dia seribu kali lebih baik dari Yogi." Ia menoleh ke arah Alya. "Udah Al, jangan dengerin kata bapak. Kamu yang jalani, kamu yang tahu."
Alya hanya menunduk dan melanjutkan makanannya.
"Sebelum mereka datang melamar secara resmi, semua bisa berubah. Bapak enggak mau kalau ujung-ujungnya kamu terlalu berharap tapi akhirnya gagal lagi seperti yang sudah-sudah." Yusril bangkit dari kursinya dan meletakkan piring kotornya di atas sink. Ia membasuh tangannya.
Trisnah melirik Alya sambil memberikan kode pada putrinya agar tidak mendengarkan kalimat suaminya. Alya yakin kalau situasi mengantarkannya ke Bandara adalah sebuah kesengajaan. Dan Ben juga berkata kalau orang tuanya menyukainya.
Alya teringat sesuatu yang harus ia sampaikan kepada orang tuanya tentang Ben. "Mah," Panggil Alya.
Yusril tengah mengeringkan tangannya menggunakan kain khusus tangan di samping kulkas. Trisnah masih duduk didepan Alya dan menatap putrinya. Mereka siap mendengarkan lanjutannya.
Alya memperhatikan kedua orang tuanya bergantian. "Ben seorang duda."
Ekspresi Yusril masih datar dan ia kembali duduk di meja makan. Tapi tidak dengan Trisnah. Ia terkejut bukan main. Ia meneguk air putihnya.
"Ben pernah menikah lima tahun lalu. Mereka menikah selama dua tahun tanpa anak. Tiga tahun ini Ben duda." Jelas Alya.
"Keputusan bapak masih sama. Mau Ben itu lajang atau duda, sebelum keluarga mereka datang kesini, bapak tidak akan banyak ikut campur." Ada sedikit rasa tenang didalam dirinya karena Ben seorang duda. Ia lebih rela melepaskan putri kebanggaannya pada seorang duda yang mapan daripada pria lajang namun membuat putrinya patah hati.
"Sayang ya, duda." Keluh Trisnah. Helaan napasnya terdengar. "Padahal kalau dia lajang, pasti serasi sama kamu."
Yusril berdehem pelan. Ia bangkit dari kursinya. "Lajang tapi tidak bertanggung jawab untuk apa. Kemarin juga mereka kelihatan serasi." Ia berjalan ke arah depan TV.
Alya menahan senyum mendengar kalimat terakhir bapaknya.
"Iya sih kedengarannya hebat karna dia kerja disana. Tapi tetep aja kalau orang tanya mama harus jawab kalau suamimu duda." Trisnah bangkit dari kursinya dan tidak melanjutkan makannya.
***
Alya berjalan menuju majelis guru ketika pagi itu ia baru saja tiba disekolah. Tadi malam, tidurnya tidak begitu nyenyak karna banyak hal yang dipikirkannya. Masalah Dewa, masalah mamanya yang menyayangkan status Ben serta bapaknya yang tidak akan memberikan restu kalau Ben tidak datang dengan keluarganya. Masalah dalam hidup Alya muncul secara bersamaan membuatnya bingung.
Alya merasakan hp nya bergetar didalam kantong seragam dinasnya. Ia mengambilnya dan terlihat nama Ben yang muncul dan mengiriminya pesan. Senyumnya perlahan terurai karna pria itu seperti hujan yang membasahi padang pasir dihatinya saat ini.
Kamu tadi pagi sarapan apa?
Alya membalas pesan itu.
Kamu sarapan roti. Kamu udah bangun jam segini?
Tak lama Ben membalas pesan itu.
Aku sengaja bangun awal supaya bisa kirim pesan ini buat kamu. Nanti pulang jam berapa?
Alya sudah tiba di mejelis guru dan ia duduk di kursinya sambil membalas pesan Ben.
Hari ini aku pulang jam 3 sore.
Malam ini bisa keluar gak?
Bisa. Jam berapa?
Jam 7 aku jemput ya.
Oke. Kamu jangan lupa sarapan ya.
Siap. Bye Alya.
Bye.
Alya keluar dari kelas 12IPS1 dan langsung menuju majelis guru. Ia tidak ingin mampir ke kelasnya karena setelah istirahat ini ia ada kelas disana. Ia bahkan tidak menoleh atau sekedar mencari sosok Dewa seperti yang biasa ia lakukan. Ia seperti kehilangan semangat pada bocah itu.
Alya baru saja dudui di kursinya kemudian seorang murid mendekatinya.
"Bu, kepala sekolah panggil ibu di kantornya." Kata murid itu.
Alya mengangguk paham kemudian menghela napas dalamnya. Ia berjalan dengan gelisah menuju ruang kepala sekolah. Saat tiba didepan ruangan itu, Alya menarik napas dalamnya sesaat lalu mengetuk pintu itu dan masuk.
"Ada apa, pak?" Tanya Alya dengan wajah gusar.
"Saya tidak bisa menghubungi orang tua Dewa, kenapa ya?" Tanya Kepala sekolah.
"Nomornya tidak aktif atau tidak diangkat?" Tanya Alya. Ia mengeluarkan hp nya.
"Tidak aktif." Sahut Kepala Sekolah.
"Saya coba telepon dulu mereka, pak." Alya mencoba menghubungi kedua orang tua Dewa. Alya menelepon nomor hp mereka. Namun tidak terhubung sama sekali. Kepala sekolah masih menunggu.
Alya terus menghubungi lagi namun tidak aktif. Bahkan dua nomor hp mama Dewa juga tidak aktif. "Tidak bisa, pak."
"Ya sudah, nanti saya cari tahu nomor kantor papanya. Saya akan minta dia datang kesini." Kata Kepala Sekolah.
Alya menatap wajah Kepala Sekolah dan hendak mengatakan sesuatu yang tertahan dibibirnya. "Pak." Panggilnya. Kepala Sekolah menoleh.
"Maaf kalau saya lancang dan mungkin terlihat membela sebelah pihak." Alya diam sejenak. "Apa tidak sebaiknya, Dewa kita biarkan saja dia bersekolah tanpa harus mengeluarkannya. Masalahnya dua bulan lagi, ujian semester dan setelah itu ujian akhir. Menurut saya sayang kalau kita harus keluarkan Dewa dari sekolah ini. Sekolah lain belum tentu mau menampungnya." Jelasnya.
Helaan Kepala Sekolah terdengar jelas. Ia melihat ke arah pintu kantornya untuk memeriksa apakah pintu itu tertutup rapat. "Saya mengerti maksud ibu Alya. Tapi saya selaku Kepala Sekolah juga harus memikirkan pendapat dari guru-guru lain yang mengeluh soal Dewa kepada saya. Mereka mengaku tidak dihargai oleh Dewa karena selalu tidur dikelas dan tidak pernah mengumpulkan tugas. Selama ini saya diamkan karna saya merasa ibu Alya berperan sangat penting bagi Dewa tapi belakangan saya dengar kalau kalimat ibu Alya saja sudah tidak didengarkan oleh Dewa. Jadi saya harus turun tangan." Katanya.
Alya mengangguk paham. Ia tidak berkomentar apapun.
"Saya juga membantu meringankan kerja ibu Alya. Bukan cuma Dewa yang bermasalah dikelas itu tapi murid ibu yang lain juga. Karna selama ini hanya murid kelas ibu Alya yang selalu melanggar peraturan sekolah. Bolos, tidur dikelas, tidak ikut upacara, banyak lagi peraturan lainnya yang mereka langgar. Apa saya hanya tinggal diam kalau itu menyangkut nama sekolah." Kata Kepala Sekolah. Alya hanya bisa mendengarkan.
"Maksud guru-guru itu juga baik. Mereka ingin Dewa bisa mengerti kesalahannya dan duduk dikelas dengan tenang dan menghargai kehadiran mereka dikelas, bukannya tidur. Tapi Dewa selalu masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Mereka juga hilang kesabaran akhirnya." Ujar Kepala Sekolah.
Alya merenung sambil melihat kedua tangannya yang ia remas ke arah bawah.
Kepala Sekolah menarik napas sekali lagi. "Saya mengerti maksud ibu Alya bilang seperti itu tadi. Tapi sekarang saya harus memberitahu orang tuanya dulu, mungkin mereka punya cara lain bagaimana mendisiplinkan Dewa. Saya harap mereka tidak lepas tangan. Karna kalau kita juga melepaskan Dewa, yang ada anak itu nanti tidak jelas dan luntang-luntung dijalan." Ia diam sejenak. "Ibu Alya tetap saja memperhatikan Dewa dan mengingatkan dia soal peraturan yang tidak boleh ia langgar lagi. Kita coba cari cara lain memperbaiki tingkah lakunya." Pesannya.
Alya mengangguk. "Baik, pak."
"Jangan sampai Dewa terlambat lagi atau bolos sekolah. Dan kalau bisa suruh Dewa kumpulkan tugasnya pelan-pelan saja. Paling tidak dia punya nilai walaupun pas-pasan." Nasehat Kepala Sekolah pada Alya. "Ibu boleh kembali."
Alya pamit dari ruang Kepala Sekolah. "Permisi, pak." Ia keluar dari ruangan itu.
***
Alya masuk ke kelasnya saat jam istirahat selesai. Ia mengajar pelajaran Geografi seperti biasa. Begitu ia masuk, pandangannya langsung menatap ke arah meja Dewa yang kosong. Ia tidak bertanya pada murid-muridnya melainkan melihat absen kelas yang tertulis kalau Dewa alpa hari itu. Pikirannya langsung terbagi menjadi dua arah. Ia harus mengajar dikelas namun ia juga khawatir kemana Dewa tidak masuk hari ini.
Apa semalam kata-kata gue terlalu kasar ya, batin Alya. Ia teringat saat bocah itu menemuinya kemarin, ia mengatakan kalau ia tidak peduli jika Dewa masuk atau tidak ke sekolah. Alya mencoba tenang dan terus mengajar dikelas. Namun ia tidak bisa pungkiri kalau sesekali matanya menoleh ke arah meja Dewa yang kosong.
Dewa tersadar dari tidurnya. Ia kehausan. Kepalanya yang pusing ditahannya dan ia mencoba berdiri untuk menuju dapur. Ia meneguk segelas air dari dispensernya yang tidak menyala. Setelah minum secara otomatis tubuhnya berbalik menuju kamar kembali dan berbaring disana. Dalam sekejap ia terlelap dalam tidurnya dengan selimut yang ditariknya menutupi tubuh.
Setelah tadi malam ia memaksakan diri untuk tetap bekerja, alhasil hari ini ia merasa demam kembali. Pagi tadi Dewa sempat tersadar dari tidurnya namun mengingat dirinya sudah tidak layak berada disekolah lagi, Dewa pun batal ke sekolah.
Orang yang ditunggunya bahkan tidak menelepon atau mengirimkan pesan padanya saat dirinya tidak masuk sekolah. Dewa hanya ingin tidur dikamarnya sampai sakitnya hilang dan memanfaatkan libur gratisnya.
***
Saat beberapa menit sebelum bel masuk istirahat kedua habis, Kepala Sekolah memanggil Alya kembali melalui salah seorang murid.
Alya masuk ke dalam ruang Kepala Sekolah debgan khawatir. "Ada apa, pak?" Tanyanya.
Pria itu menoleh dan menatap Alya tajam. "Saya tadi sudah menelepon kantor Papanya Dewa, tapi katanya beliau sedang pergi ke Turki untuk urusan kerja. Beliau baru bisa pulang minggu depan." Ujarnya.
Alya semakin khawatir dengan sikap yang akan diambil oleh Kepala Sekolah. "Jadi bagaimana dengan Dewa, pak?"
"Tadi saya mau bicara dengan Dewa, tapi katanya dia gak masuk sekolah. Bener, buk Alya?" Tanyanya tegas.
Alya mengangguk pelan. "Iya, pak."
"Kenapa dia tidak masuk, sakit atau ijin?"
Alya diam sejenak. Kedua jawaban itu tidak bisa ia berikan. "Tidak ada kabar. Dewa alpa, pak."
Kepala Sekolah menggelengkan kepalanya. "Bagimana caranya membuat Dewa jera ya?" Ia tampak berpikir keras. "Ibu Alya sudah coba telpon Dewa dan tanya di pergi kemana?"
Alya menggeleng pelan. "Belum, pak."
Kepala Sekolah menarik napas dalamnya. "Ibu, bagaimana sih. Harusnya ibu tahu Dewa itu kemana. Apa yang terjadi dengan dia. Sudah mau jam pulang tapi Ibu sama sekali tidak bertanya." Ceramahnya.
Didalam hati Alya merasa dongkol sekali dengan situasinya. Alasannya tidak menelepon karena ia marah dan kesal pada Dewa atas segala kenakalan bocah itu. Tapi kenapa malah sekarang, dirinya yang terlihat tidak peduli. "Setelah ini akan saya coba telepon, pak."
Wajah Kepala Sekolah seperti meyakinkan. "Tolong ya, buk. Walau bagaimanapun, Dewa masih tanggung jawab ibu Alya sebelum dia dikembalikan pada orang tuanya."
Alya mengangguk paham. "Saya permisi, pak." Ia keluar dari ruangan itu dengan rasa jengkel yang meninggi. Ia membuka hp nya dan langsung menghubungi Dewa.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi...
Hp Dewa tidak aktif. Alya masih terus menghubungi Dewa hingga beberapa kali namun tetap sama. Ia tidak bisa menghubungi bocah itu. Seketika perasaan Alya gelisah.
Hampir tiga tahun ia mengenal Dewa, hp murid itu tidak pernah mati dan akan selalu menjawab telepon darinya. Tapi kenapa disaat seperti ini, hp itu mati. Alya merasa bersalah tiba-tiba. Dewa benaran marah sama kalimat gue kemarin, batinnya.
Bel tanda masuk berbunyi. Alya terpaksa masuk ke kelas berikutnya dan membiarkan masalah Dewa sejenak. Ia harus fokus mengajarkan Geografi saat ini. Dan disisi lainnya ia juga khawatir dengan keberadaan Dewa.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.