Chereads / MALPIS / Chapter 24 - Chapter 18 - Alya For Dewa

Chapter 24 - Chapter 18 - Alya For Dewa

Alya merasakan hp nya bergetar dan ia melihat nama Mita muncul. Ia baru saja selesai makan siang di jam kosongnya. "Kenapa mit?" Tanyanya dengan suara pelan.

"Al, semenjak lo balik dari Bali lo jadi sombong. Online shop gue gak mau lo anterin, oleh-oleh gue juga gak lo kasi sampe sekarang." Omel Mita dengan nada kesal. "Gue gak sempet ke rumah lo." Tambahnya.

Alya menutup mulutnya karena lupa. "Sorry, mit. Gue lupa. Ya udah, nanti sore gue ke tempat lo ya." Katanya.

"Bener ya, lo dateng. Krim gue malam ini terakhir soalnya." Pinta Mita.

"Iya." Alya menutup telepon itu. Beberapa detik kemudian ia teringat akan teleponnya dengan Ben kemarin. Dimana pria itu akan mengajaknya ketemuan, namun masih belum ada lanjutan. Ingin rasanya ia membatalkan rencananya ke Hotel Malpis namun ia juga belum bisa menjelaskan pada sahabatnya apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Ben yang dikenalnya di Bali.

Hari sudah mulai gelap dan Alya baru saja tiba di Hotel Malpis dengan membawa dua kantong untuk Mita. Kantong pertama berisikan kosmetik online shop yang dibeli oleh sahabatnya. Dan kantong kedua berisikan oleh-oleh untuk sahabatnya itu.

Alya keluar dari lift dan menghamparkan seluruh matanya ke penjuru hotel seolah mencari sekaligus menghindar. Ia tidak ingin bertemu siapapun malam ini kecuali Mita. Alya berjalan ke western restaurant Hotel Malpis yang sangat favorit itu. Belum sempat ia melambai, Mita sudah menghampirinya.

"Al, bisa tunggu lima menit lagi gak. Gue jam istirahat bentar lagi." Katanya.

Alya mengangguk. "Gue tunggu dilobi aja ya." Ia menunjuk ke arah depan. Alya berjalan ke arah sofa tunggu didepan resepsionis. Sofa itu cukup banyak dan sangat empuk untuk menunggu sedikit lebih lama. Alya mengambil majalah yang sengaja diletakkan disana untuk dibaca para tamu yang sedang menunggu. Ia mengambil salah satunya dan membacanya.

Ben berjalan seorang diri dari arah lapangan golf. Ia baru saja bermain golf dengan tamu VVVIP hotelnya yang sudah menjadi anggota ekslusif club golf di Malpis baik Hotel maupun resort. Ben mengenakan baju golf nya, kemeja polo putih, celana training panjang berwarna hitam dengan topi putihnya. Ia berjalan menuju lift dengan keringat yang mengucur dari dahinya. Ia tidak sempat melihat kekiri dan kekanan saat di lobi dan langsung menuju lift.

"Alya." Panggil Mita mendekat ke arah temannya.

Alya menoleh. Ia meletakkan majalahnya kembali. "Udah?"

Mita mengangguk. Ia melambai pada Alya. "Duduk belakang aja, yuk." Ajaknya.

Alya berdiri dan mendekati dirinya. "Kemana?" Tanyanya.

"Dibelakang dekat swimming pool luar." Tunjuknya. Mita membawa Alya melewati restoran buffet lalu menuju lift barang kemudian keluar melalui sebuah pintu otomatis.

Pemandangan pertama yang terhampar adalah sebuah taman dengan berbagai macam bunga dengan beberapa kursi yang diperuntukkan bagi empat orang. Lalu mereka berjalan melewati sebuah swimming pool yang cukup luas. Swimming pool itu terdapat dua bagian yaitu anak-anak dan dewasa. Mita melanjutkan langkahnya menuju sebuah taman disudut swimming pool yang terdapat cafe disana.

"Duduk sini, Al." Mita membukakan kursi untuk sahabatnya. Ia memesan dua minuman hangat sore itu sebagai teman mereka mengobrol.

Alya duduk di kursi itu dan seketika ia teringat dimana ia minum berdua dengan Ben malam itu. Suasananya hampir sama. Sebelah swimming pool dan cafe. Alya tidak bisa mengubur pikirannya soal pria itu. Tubuhnya meminta untuk tidak bertemu dengan pria itu tapi hati kecilnya tidak. Ada celah disana yang berharap bisa bertemu pria itu disini.

Mita kembali dengan membawa dua cangkir teh manis hangat untuk mereka berdua. Ia meletakkannya dimeja yang sudah ditempati oleh Alya. "Lo kurusan deh balik dari Bali. Mikirin apa?" Tanya Mita begitu ia duduk di kursi itu.

Alya menggelengkan kepalanya, "Gue gak mikirin apa-apa. Sama aja kayaknya badan gue dari dulu, gini-gini aja." Jawab Alya. Ia meneguk teh manisnya perlahan. Suasana luar yang mulai dingin membuat tehnya pas diminum saat ini.

"Gimana Bali, cerita dong. Seminggu lo udah balik dari sana, baru lo ketemu gue. Udah basi dong ceritanya." Sindir Mita. Ia meneguh teh manisnya.

Alya merenung memikirkan apa yang terjadi dengannya di Bali. "Gak ada yang seru, mit. Gue udah cerita sama lo waktu ban motor gue bocor?"

"Udah, udah." Jawab Mita. "Terus sambungannya apa?" Ia penasaran.

"Emm, gak ada. Gue langsung tidur." Alya belum ingin menceritakan lanjutannya dengan Ben malam itu. Ia ingin memastikan terlebih dahulu.

"Payah lo. Jauh-jauh ke Bali cuma buat tidur." Gerutu Mita.

Alya mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya. "Gue mau balikin ini sama bos lo." Ia mengulurkannya.

Mita melihat sapu tangan itu mencoba mengingat. Beberapa saat setelah ingatan soal sapu tangan itu kembali, "Kenapa lo balikin, simpan aja buat lo. Bos gue juga gak bakalan kekurangan kalo sapu tanganya dikasi lo." Seru Mita.

Alya menggeleng. "Gak ah, gue gak mau simpan." Ia menyodorkan sapu tangan itu didepan Mita.

Sabahabatnya itu menariknya lalu menepikannya.

"Nanti gue balikin." Ucap Mita.

Alya meneguk tehnya sesaat, "Yang punya sapu tangan itu, bos lo yang mana?" Ia sudah menanyakan hal itu. Namun kali ini hanya ingin memastikan.

"Bos segalanya disini." Kata Mita tanpa curiga.

"Direktur?" Alya berhati-hati.

"Bukan." Mita menggeleng. "Ben, CEO. Kenapa?" Ia mulai curiga.

Alya menggeleng cepat. "Gue waktu itu lagi nangis. Malu kalo dia lihat gue." Alasannya.

Mita tertawa kecil, kemudian tawanya menghilang. "Eh tapi si Ben itu, besokannya makan ditempat gue terus dia tanyain lo."

Alya melongo, "Tanya soal apa?"

"Iya, dia tanya kenapa lo nangis malam itu sampe bela-belain kesini ketemu gue."

"Lo jawab apa?"

"Gak perlu gue bilang dia udah tahu lo kenapa."

Alya terdiam. "Mit, itu sebelum gue ke Bali kan?"

Mita mengangguk. "Iya." Jawabnya.

"Mit, Ben itu udah nikah?" Tanya Alya ragu. Ia hanya ingin tahu.

Mita menyipitkan matanya, "Lo kenapa sih malam ini tanya soal Ben. Lo ketemu sama dia, dimana?" Tak ada nada histeris disana.

Alya memutar matanya mencari alasan. "Gue tadi baca di majalah yang katanya dia duda. Makanya gue cuma mau tanya aja. Dia kasi gue sapu tangan, gue jadi penasaran."

Mita senyum simpul pada temannya, "Lo mau gak gue jodohin sama Ben?" Katanya penuh canda namun merupakan bentuk harapan yang ingin diwujudkannya.

"Apaan sih lo. Kok jadi jodohin begini?" Marah Alya.

"Waktu dia tanya soal lo kemarin, gue kepikiran mau jodohin lo. Sekarang lo tanya soal dia, gue makin yakin mau jodohin kalian." Mita memasang wajah yakin. "Kenalan aja, Al."

Alya menghela napas. "Mit, jujur deh. Selera Ben emang kayak gue?" Ada secuil harapan disana. Ia menanyakannya untuk dirinya.

Mita meneliti penampilan Alya dari atas hingga bawah. "Enggak sih, Al." Wajahnya berubah murung.

Terlintas dipikirannya kalau Ben tidak akan pernah menghubunginya lagi karena jawaban Mita. "Memangnya tipe Ben seperti apa?"

Mita menoleh ke atas membayangkan sesuatu, "Dari gaya mantan istrinya sih, dia suka yang putih, rambut pendek, langsing, seksi. Kalo dari cerita orang lama sih mantannya itu manja. Pernah ada juga yang bilang kalo mantannya agak nakal, suka keluar malem ngumpul sama temen-temennya di club. Ben suka orang yang begitu. Lo jauh, Al." Ejek Mita.

Alya memasang wajah kesal. "Tadi lo sendiri yang bilang mau jodohin gue."

Mita menyeringai, "Pikirnya. Tapi setelah gue ingat lagi, lo jauh dari mantannya. Gak mugkin dia suka sama lo." Mita hanya tidak mau membuat Alya patah hati lagi. Ia takut sahabatnya itu menaruh harapan pada Ben yang mungkin masih belum bisa move on dari mantannya. Bukan rahasia lagi bagi karyawan Malpis kalau Ben masih memikirkan Elena karna pria itu tidak pernah terlihat pergi dengan perempuan lain. Ditambah lagi kedatangan Elena kemarin membuat heboh para karyawan dan mejadikan itu topik utama diantara mereka.

Alya menghela napas beratnya. Ia berusaha menghilangkan secercah harapan yang masih menempel disana. Ia membuang jauh bayang Benjamin baik itu orang yang sama atau tidak. Alya ingin kembali ke dunia nyatanya dimana ia seorang guru SMA yang memiliki tanggung jawab besar dan baru saja diputuskan oleh pacaranya saat usianya sudah 30 tahun.

***

"Dewa gimana disekolah?" Tanya Mita mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin melihat wajah murung sahabatnya lagi. Hanya ada satu cara membuat wajah itu berubah emosi dan berapi-api yaitu dengan nama Dewa.

Benar saja. Mendengar nama Dewa, wajah Alya langsung berurat dan matanya membesar.

"Gue udah gak tahu lagi gimana caranya membimbing Dewa." Keluh Alya. "Lo bayangin Mit, kemarin...." Alya mulai menceritakan keluh kisahnya soal Dewa disekolah. Dan Mita hanya mendengarkan dengan seksama.

Mita memperhatikan wajah Alya yang menceritakan tentang kenakalan Dewa. Ia masih ingat saat pertama kali mendengar cerita Dewa dari mulut Alya. Dirinya menganggap itu hal wajar karena profesi Alya yang seorang guru. Namun berjalannya waktu, ia merasa kalau tanggung jawab itu mengubah sahabatnya.

Alya tidak pernah menceritakan kebaikan Dewa pada Mita. Ia juga tidak pernah membela Dewa didepan Mita. Bahkan Alya tidak pernah memberikan wajah penuh senyum setiap kali menceritakan soal Dewa. Tapi satu hal yang Alya tidak tahu kalau sahabatnya itu paham maksud yang tersirat didalam setiap kalimat yang keluar dari mulutnya soal Dewa.

Suatu hari,

----------------------------------------------------------------------------

"Al, lo kok baru datang sih jam segini?" Tanya Mita saat aqiqah anaknya dirumah ibunya yang berdekatan dengan Alya.

"Gue nunggu disekolah sampai orang tuanya Dewa dateng ambil rapor. Rupanya nyokapnya dateng minggu depan. Dewanya salah denger. Gue udah lama nunggu di sekolah sampe sepi. Apa susahnya sih ambil rapot anak sendiri." Wajah Alya kesal.

-----------------------------------------------------------------------------

"Kemarin nyokapnya Dewa telpon gue. Dia tanya apa gue pegang kelas lagi." Wajah Alya sewot. "Gue keceplosan bilang iya, kelas dua. Terus nyokapnya bilang, bisa gak buk minta tolong masukan Dewa ke dalam kelas ibu kali ini." Tak ada senyum disana.

"Terus lo jawab apa?" Mita menyusui putrinya.

"Gue bilang iya!" Nadanya kesal. "Gue jadi repot harus ke tata usaha dan minta mereka masukin Dewa ke kelas gue. Emangnya Dewa siapa gue!" Guratan geram terpancar disana.

-----------------------------------------------------------------------------

"Lo tahu gak Mit, kemarin Dewa gak masuk sekolah empat hari alfa. Lo tahu gak dia kemana?" Nada Alya memburu.

"Kemana memangnya?" Tanya Mita penasaran.

"Dia pergi ke Bromo sama komunitas apa gue gak tahu. Gila kan tuh anak! Gue pusing cari dia kesana-kesini, telponin orang tuanya. Eh, anaknya enak-enakan disana." Alya meneguk teh manisnya dengan emosi yang membara. "Kalo terjadi apa-apa sama dia disana, gue juga yang susah!" Tambahnya.

----------------------------------------------------------------------------

"Penilaian kerja gue menurun tahun ini. Semua karna Dewa. Karna dia doang, semua kerja keras gue sia-sia." Alya mengatur napasnya yang naik-turun. "Semua yang gue lakuin demi kebaikan dia juga. Guru suruh ini-itu juga demi kebaikan dia. Dasar anaknya yang bandel gak bisa diladenin, jadinya gue yang kena batunya.

"Cara penyampaian lo kali yang salah, Al." Mita menengahi.

"Lihatin aja, gue gak mau dia masuk kelas gue lagi nanti." Kata Alya pada dirinya sendiri.

-----------------------------------------------------------------------------

"Dewa keterlaluan, mit!" Komentar Alya begitu masuk ke dalam rumahnya.

"Al, lo baru sampe rumah gue. Udah Dewa aja yang lo bahas." Kata Mita menahan senyum.

"Gak ada yang bisa gue ajak ngobrol soal Dewa kecuali lo." Sahut Alya. Ia duduk didepan temannya yang sedang menggendong putrinya. "Udah berapa kali gue bilang sama Dewa kalo sekali lagi dia berantem, di bakal diskors dari sekolah. Tadi dia berantem lagi, Mit." Nada Alya histeris bercampur marah.

"LAGI?" Tanya Mita ikut terkejut. Sudah dua bulan ini, Alya selalu cerita dengannya kalau Dewa selalu berantem dengan murid kelas tiga. "Kenapa lagi?"

Alya menghela napas kesalnya, "Belum cukup kemarin dia berantem berkali-kali sampe orang tuanya dipanggil. Ujung-ujungnya apa, gue juga yang menjelaskan sama kepala sekolah. Sampe kepala sekolah bilang gue gak bertanggung jawab membimbing Dewa. Sekarang, dia mulai lagi. Sok jagoan belain temannya yang diganggu sama anak kelas tiga. Lihat sekarang, dia diskors seminggu dari sekolah. Orang tua jauh, sendirian dirumah, gak mikir apa dia!" Cerita Alya panjang lebar.

----------------------------------------------------------------------------

"Kemarin gue periksa ujian geografi Dewa, nilainya tinggi kali ini. Dia dapet 93." Wajah Alya datar. Kemudian berubah sewot. "Kebetulan aja tebakannya bener."

Mita menahan sesuatu dimulutnya yang sudah ia ingin katakan. Namun ia simpan rapat-rapat didalam mulutnya. "Terus lo gak tanya sama Dewa kenapa?"

"Ngapain!" Sahut Alya nyolot. "Bagus kalo tebakannya bener berarti dia lagi beruntung. Nilainya rendah, gue tetap gak bisa bantu. Anaknya bandel begitu." Gerutunya. Mita menghela napasnya. Ia ingin membela namun ia sudah berjanji akan nenjaga rahasia itu.

---------------------------------------------------------------------------

"Mit, tadi disekolah ada rapat guru-guru. Kepala sekolah mau gue memasukkan Dewa dalam daftar murid yang keluar bersyarat." Ucap Alya berbisik.

"Maksudnya?" Mita mengerutkan dahinya.

"Dewa bisa naik kelas tiga tapi dia harus pindah sekolah. Kalo dia masih di sekolah gue, gak ada guru yang mau masuk kelas." Tak ada guratan emosi disana.

"Parah banget, Al. Dewa kayaknya udah terlalu bikin emosi sampe segitu dibencinya." Komentar Mita.

Wajah Alya berubah kesal, "Salah anaknya sendiri, Mit. Lo kalo jadi gue disekolah, bukan cuma malu yang lo dapat tapi lo juga marah sama diri lo sendiri. Kenapa waktu itu lo iyain aja permintaan mamanya. Gue nyesel." Bibirnya muncung ke depan.

"Kalo bukan lo yang mau jadi wali kelasnya, Dewa gak mugkin masih sekolah disana sampe sekarang." Komentar Mita.

"Anaknya buta perasaan sih. Pura-pura gak lihat atau memang gak tahu kalau selama ini guru-guru yang masuk kelas itu selalu komplain soal dia."

"Terus lo jawab apa, Al. Lo setuju kalo Dewa pindah bersyarat?"

"Mau gak mau gue harus bersikap adil. Gue tunjukkan semua hasil ujian Dewa semester ini. Nilai ujian itu gue gabungkan sama nilai harian guru-guru lain. Hasilnya Dewa naik kelas dengan nilai pas-pasan tapi semuanya tuntas." Alya diam sejenak. "Mereka gak ada yang berani komentar. Mereka kira gue sengaja angkat nilai Dewa selama ini." Jelas Alya. Mita hanya bisa mendengarkan tanpa bisa berkomentar.

----------------------------------------------------------------------------

"Kemarin gue dapet telpon dari Pak Heri disekolah gue." Ujar Alya ketika ia mengantarkan pesanan online shop Mita ke tempat kerja sahabatnya.

"Pak Heri siapa?" Tanya Mita tidak tahu.

"Pak Heri itu guru Fisika sekolah gue. Dia bilang, malam minggu kemarin dia lihat Dewa ngebut-ngebutan dijalan. Pak Heri lapor ke gue, suruh gue cek Dewa takutnya dia ikut ugal-ugalan motor." Alya menggelengkan kepalanya.

"Gila! Sampe guru Fisika aja bisa kenalin Dewa dijalan." Mita terheran.

"Mit, siapa gak kenal Dewa di SMA 278 hah?" Alya membuang wajahnya kesal.

----------------------------------------------------------------------------

Mita melihat wajah Alya yang kusut dan ditekuk, "Lo kenapa lagi? Kenapa muka lo di tekuk begitu?"

Tanya Mita yang baru saja membukakan pintunya pada Alya yang mampir ke rumahnya.

"Mit, gue kesel sama Dewa. Kesel banget!" Wajahnya benar-benar resah.

"Kesal kenapa? Cerita dong." Mita ikut penasaran.

"Harusnya gue gak pegang kelas lagi tahun ini. Gara-gara penilaian gue gak bagus tahun lalu makanya gue gak dikasi kelas lagi." Jelas Alya. "Habis upacara, kepala sekolah bilang ke gue kalo gue pegang kelas 12IPS3 menggantikan Ibu Lesti." Jengkelnya.

"Kenapa bisa berubah gitu, kata lo dirapat kemarin udah ditentukan." Mita makin penasaran.

"Semua gara-gara Dewa!" Nada Alya meninggi. "Bu Lesti menolak pegang kelas 12IPS3 karna ada Dewa disana. Kepala sekolah sampe suruh gue lagi buat pegang kelas itu." Napasnya naik-turun. "Kalo bukan karena Dewa, gak mau gue pegang kelas lagi." Pungkasnya. Mita menahan senyumannya mendengarkan cerita Alya. Sahabatnya tidak pernah sadar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya tidak serta merta kekesalan atau kebencian, melainkan perhatian yang tersembunyi.

----------------------------------------------------------------------------

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.