Chereads / MALPIS / Chapter 21 - Chapter 15 - The Parents

Chapter 21 - Chapter 15 - The Parents

Ben memperhatikan Alya meneguk perlahan teh manis hangatnya. Wanita yang menarik perhatiannya ini hanya memesan secangkir teh manis. Berbeda dengan wanita yang pernah atau sudah diajaknya minum sebelumnya. Beberapa diantara mereka pasti memilih minuman yang sedikit lebih berat seperti kopi, jus atau bahkan soda.

"Emm.." Alya ragu untuk menanyakannya. "Aku pernah lihat kamu ngobrol dengan Pak Wayan di Bandara waktu sampai di Bali. Kalau kamu nginep disini kenapa kamu gak bareng aja waktu itu."

Ben diam sejenak. "Aku mau mampir ke tempat lain dulu."

Alya mengangguk. Ia mengerti maksud Ben. Ia teringat kata Pak Wayan yang mengatakan kalau orang yang sudah pernah ke Bali sebelumnya pasti akan mampir ke tempat lain terlebih dahulu baru mereka datang ke Resort atau Hotel tempatnya menginap.

"Kenapa kamu liburan sendirian?" Hal itu sangat menarik perhatian Ben. Belum lagi ia melihat wanita didepannya ini menangis di Basemen malam itu.

Alya menyandarkan tubuhnya di kursi besi itu dan menatap pantai didepannya. "Lagi pengen sendiri." Jawabanya.

"Sorry." Ucap Ben spontan. Jawaban itu sudah cukup baginya.

"Kenapa kamu harus sorry?" Tanya Alya menahan tawanya. "Melihat perempuan liburan sendiri aneh buat kamu?"

Ben diam.

"Aku gak ada niat untuk buat liburan sebenarnya. Tapi semua penerbangan dan penginapan ini pemberian adik aku. Dia booking dan bayarin semuanya dan aku tinggal terbang dan menikmati." Ia bangga sekali menceritakan adiknya.

"Adik kamu kerja di Malpis?" Terka Ben. Ia akan mencari tahu jika itu benar.

"Enggak." Alya menggeleng. Ben sedikit lega. Bagaimana ia akan menghadapi wanita ini jika adiknya bekerja di Malpis. Sedangkan Mita sudah pasti disana dan bertemu dengannya setiap hari.

"Kamu kerja dikantor mana?" Tanya Alya mulai mencari tahu.

"Aku... kerja dikantor pemasaran." Jawab Ben. Tidak ada yang salah dengan kata itu. Ia kerja di Hotel Malpis dan berpikir keras bagaimana caranya agar hotelnya tetap bisa dikenal orang dan memiliki banyak tamu setiap harinya. Hal itu juga merupakan pemasaran.

"Oh." Alya tidak bertanya lebih lanjut lagi. Ia tidak berani. Ia takut kalau pria didepannya ini akan berpikir kalau dirinya mencari tahu latar belakangnya serta bibit dan bobotnya.

"Kamu kerja dimana?" Ben hanya ingin tahu dari mulut wanita ini langsung.

"Aku guru SMA 278 di daerah Selatan." Jawabnya. "Disana aku mengajar pelajaran Geografi."

Ben menatap Alya dengan bangga. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang orang tua yang sama dengan wanita ini, Ben sangat menghargai seorang guru.

Sarinah membuka pintu kamar bungalow nya ketika seorang pelayan mengantarkan room service padanya. "Letakkan saja di meja makan ya." Ucapnya pada pelayan pria itu.

Malpis sedang menonton acara tv bersama dua orang cucunya. Mereka memesan cemilan itu untuk kedua cucunya yang kelaparan ditengah malam seperti ini.

Sarinah memberikan uang tips pada pelayan itu. "Terima kasih ya." Ucapnya. Pelayan itu bersiap hendak meninggalkan bungalow milik bosnya. "Anak-anak saya yang lain, lagi apa?" Tanya Sarinah.

"Saya belum ada melihat Pak Edwin dan Pak Arifin, buk." Ucap pelayan pria itu. "Tapi kalau Pak Ben ada di taman di pinggir kolam."

Sarinah mengangkat kedua alisnya. Malpis juga ikut terkejut. "Ngapain disana sendiri malam-malam begini?"

"Pak Ben tidak sendiri, buk. Dia duduk dengan seorang perempuan dari kamar 5055." Ucapnya.

"Kamu tahu dari mana kalau perempuan itu dari kamar 5055?"

"Saya dengar dari Pak Wayan. Beliau tadi juga lihat dan mengatakan kalau dia pernah menjemput perempuan itu di Bandara."

"Oh..." Sarinah paham. "Ya sudah. Terima kasih ya." Ia menutup kembali pintu kamar bungalow nya. Ia berjalan menuju meja makan bersama suami dan kedua cucunya.

"Siapa ya, mas?" Tanya Sarinah penasaran.

"Sudahlah. Ben sudah dewasa. Dia tahu mana yang baik mana yang tidak." Malpis menengahi. Ia membebaskan putra bungsunya memilih. Ia sudah cukup prihatin.

"Aku bukannya mau ikut campur. Cuma penasaran saja dengan perempuan itu. Ingin tahu saja seperti apa orangnya." Jelas Sarinah. Ia gelisah. Sarinah berjalan ke arah telepon hotel yang tersambung dengan resepsionis.

"Berarti besok kamu cuti sekolah?" Tanya Ben.

Alya tertawa. "Kamu lupa ya, besok itu tanggal merah. Semua sekolah juga libur. Memangnya kantor kamu gak libur?" Tanya Alya balik.

Ben merapatkan mulutnya. Ia tidak tahu kalau besok adalah tanggal merah. Didalam kamusnya hari liburnya hanyalah hari minggu. Selebihnya ia hanya tahu libur hari-hari besar seperti Natal, Tahun Baru, Imlek dan Lebaran. Karena ditanggal seperti itu, tamu hotelnya meningkat dua bahkan tiga kali lipat dari hari biasanya dan banyak persiapan yang akan segera dilakukan. Sudah pasti ia akan sibuk.

"Aku pulangnya siang. Pesawat jam empat. Kamu pulangnya kapan?" Tanya Alya. Ia tidak mengharapkan penerbangan yang sama dengan pria ini. Tapi jika kebetulan sama maka ia akan menikmatinya.

"Aku pesawat pertama pagi besok." jawab Ben. Terdengar nada suaranya lemah.

Alya mencoba tersenyum dan menoleh ke arah lain. Kebersamaan mereka hanya akan sampai hari ini dan setelah besok pagi, semuanya akan kembali seperti semula.

Sarinah menutup sambungan teleponnya dan kembali ke meja makan. Makanan pesanan mereka sudah tinggal separuh karena dilahap oleh dua monster kecil didepannya.

"Apa katanya?" Tanya Malpis yang sebenarnya juga penasaran.

"Namanya Alya. Dia dari Jakarta. Di KTP nya ditulis dia guru di Jakarta. Umurnya tiga puluh tahun. Masih single." Jelas Sarinah dengan nada datar.

Malpis memperhatikan istrinya dengan tatapan bingung. "Lalu kenapa wajahmu begitu. Harusnya bagus kalau perempuannya baik-baik."

"Menurut mas, apa Alya itu mau sama Ben yang duda? Biasanya guru itu merasa malu kalau menikah dengan duda. Mereka akan menjadi pembicaraan guru lain dan murid disekolahnya." Wajahnya murung khawatir.

"Apa yang salah dengan duda. Selagi status mereka single dan bukan suami orang, semuanya baik-baik saja." Sahut Malpis. "Ben itu duda yang mapan dan bisa diandalkan. Bukan dia yang meninggalkan Elena tapi Elena yang meninggalkan dia." Tambahnya.

"Opa. Om Ben orangnya baik." Sambung cucunya yang duduk diatas pangkuannya. Malpis hanya mengangguk pada cucunya. Sarinah mengerti maksud suaminya.

"Kamu pernah menjadi seorang guru. Kamu lebih tahu bagiamana melakukan pendekatan dengan Alya itu. Kamu coba saja." Nasehat Malpis. Sarinah mengangguk dengan senyuman yakin. Ia akan melakukannya.

Alya meneguk tehnya hingga tak bersisa. Kemudian rasa kantuknya muncul saat diterpa dengan angin sepoi-sepoi itu.

"Kamu udah ngantuk kayaknya. Kita balik aja yuk." Ajaknya.

Alya merasa tidak enak hati dengan Ben. Ia ingin menolak dan mengatakan kalau dirinya tidak mengantuk namun kelopak matanya sudah terasa berat sekali. "Ben, ini biar aku traktir ya." Pintanya.

Ben menggeleng cepat. "Jangan. Ini biar aku yang traktir. Aku yang ajak kamu minum tadi."

"Anggap aja sebagai ucapan terima kasih aku soal yang tadi." Alya masih ingin membayar minuman itu.

"Kamu traktir aku di Jakarta aja, gimana?" Usulnya.

Alya menahan tawanya yang kegirangan. Ia mengangguk yakin pada Ben. Pria itu berjalan ke arah kasir cafe yang menyediakan minuman untuknya tadi.

"Nih buat kamu." Ben memberikan uang tips pada pelayan yang mengantarkannya minum sambil membelakangi Alya.

"Terima kasih, pak." Pelayan itu langsung menyimpan uang pemberian Ben ke dalam kantong celananya.

Ben kembali ke hadapan Alya dan bersiap menuju ke kamar.

"Ben, kamu mau gak jalan di tepi pantai sebentar." Ajak Alya. Tanpa pikir panjang, Ben mengiyakan ajakan itu.

Angin bertiup kencang dan ombak menggulung histeris dibibir pasir itu. Beberapa pengunjung bahkan membuat romantis dinner disana. Alya dan Ben berjalan beriringan menembus gulungan ombak yang bermain dikaki mereka.

"Kamu di Jakarta tinggal dimana?" Tanya Alya. Rasa ingin tahunya soal pria ini semakin memuncak karena ajakan traktiran Ben tadi.

"Di daerah Jakarta selatan." Jawab Ben. Hotelnya memang terletak di kawasan Jakarta Selatan.

"Jakarta selatan itu luas." Seru Alya pelan. Ia malu menanyakan tepatnya jakarta selatan tempat Ben tinggal.

"Kenapa kamu terpikir buat jadi guru?" Tanya Ben menelisik.

Alya tertawa kecil. Wajahnya berubah muram. "Keinginan buat jadi guru bukan keinginan aku. Itu keinginan bapak aku dirumah. Dia pengen aku nerusin jejaknya jadi guru. Sebenarnya aku mau jadi diplomat dan pergi keluar negeri. Tinggal diluar sana."

"Apa enaknya tinggal diluar negeri?"

"Aku suka aja dengan suasananya." Alya mengelus lengannya yang kedinginan.

"Kamu udah pernah pergi kemana aja?"

Alya menoleh ke arah Ben dan tertawa. "Kamu lucu ya. Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan, Ben. Aku gak pernah pergi ke luar negeri. Seumur hidup, aku cuma pernah pergi ke Bandung dan Bali."

Ben terdiam. Ia tidak menyangka kalau wanita disampingnya berbeda daripada wanita yang pernah ia temui sebelumnya. Ia begitu sederhana dan menyimpan banyak cerita yang tidak pernah ia ketahui. "Kalau kamu bisa pergi ke luar negeri, kamu mau kemana?"

Alya menerawang ombak didepannya, "Aku mau ke Iceland."

"Kenapa ke Iceland?" Ben tertawa kecil. "Perempuan biasanya ke Paris, Barcelona, New York."

"Suka aja, tiba-tiba kepikiran iceland barusan." Alya merasakan kalau udaranya semakin sejuk. "Udah semakin dingin. Kita masuk aja, yuk." Ajaknya. Ben setuju.

Ben mengantarkan Alya didepan kamar gadis itu. Ia mengeluarkan hp nya dari kantong belakang celananya. "Aku boleh minta nomer hp kamu?" Tanyanya. Alya mengangguk dan langsung menuliskan nomernya di dalam hp Ben.

"Selamat malam, Alya." Ucap Ben. "Langsung tidur ya." Pesannya.

Alya mengangguk. "Kamu juga. Dan makasih buat semuanya." Sahutnya.

Ben mengerutkàn keningnya dan sedikit bingung dengan kalimat Alya. Belum sempat ia bertanya, Alya sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya.

***

Dewa memegang helmnya dan berkumpul bersama orang-orang yang ramai didepannya. Ia akan menonton balap liar yang terkenal dikalangan teman-teman sekolahnya dan juga kalangan anak motor.

"Mana uangnya, mana uangnya." Tanya seseorang dengan suara keras. Suara itu perlahan mendekatinya. Dewa mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dalam kantong belakangnya. Ia memasukkan uangnya ke dalam plastik yang dibawa oleh suara itu. Kalau Dewa ingin menonton, ia harus membayar sebanyak lima puluh ribu dan uang itu nantinya akan dibagi-bagi kepada pemenang balap malam ini.

Dewa berdiri diantar kerumunan orang disekitarnya yang sibuk membicarakan siapa saja yang ikut pertandingan.

"Menurut lo siapa yang menang?" Tanya seseorang didepannya.

"Karep lah menang. Menurut lo siapa lagi?" Jawab suara yang lainnya. "Gak ada yang bisa lawan Karep kalo soal balap gini. Mau siapapun kalah sama dia. Dari dulu sebelum rame begini, Karep pemegangnya." Tambah suara itu.

"Gue denger Delix tukar pemain malam ini. Katanya Radit kecelakaan dan Harim yang bakal gantiin." Sahut suara pertama tadi. "Malam ini dia yang turun."

"Bego! Radit itu nomer satu di Delix malah ditukar sama Harim. Bocah SMA cemen masih ingusan." Hina suara kedua.

Dewa sudah cukup sering menonton balap liar seperti saat ini. Jika ia tidak lelah dan tidak ada jadwal sekolah besok pagi, ia akan menonton balap motor seperti hari ini. Ia mengakui kalau Karep memang lihai mengendarai motor modifikasinya. Tapi ia belum pernah lihat Harim bermain di arena. Ia cukup tahu anak-anak geng motor.

Setelah balap itu selesai, Dewa langsung meninggalkan lokasi. Ia hapal betul, biasanya setelah selesai pertandingan polisi akan datang dan menangkap siapa saja yang terlibat disana. Dan Dewa tidak ingin terlibat. Ia tidak mau membuat wali kelasnya terkena getahnya karena kenakalannya. Menonton hal seperti itu saja sudah pasti akan dimarahi oleh wanita itu apalagi jika ia harus tertangkap polisi. Dewa melajukan motornya dan kembali pulang. Setidaknya perasaan bosannya mulai terobati. Ia hanya perlu menunggu lusa dan bisa kembali ke sekolah yang hanya memiliki satu alasannya untuk kesana yaitu Alya.

***

Alya tersadar dari tidurnya dan ia melihat cahaya terang sudah menebus dari jendela balkonnya. Alya melihat jam di hp nya yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Ben pasti udah dipesawat sekarang, ucapnya pelan. Alya merasakan ada yang aneh dengan perasaanya saat ini. Sepanjang malam ia tidak bisa tidur dan terus memikirkan percakapan mereka. Dan sekarang semuanya sudah kembali seperti sedia kala. Ia hanya diberi keindahan semalam saja.

Ben duduk di kursi bisnisnya didalam pesawat yang berada ribuan kaki diatas permukaan laut. Ia melihat layar hp nya dan memperhatikan nomer Alya yang sudah disimpannya dengan nama lengkap wanita itu, Alya Ariana. Senyumannya terukir tipis mengingat kejadian malam tadi. Dirinya sulit tidur karena kepikiran dengan wanita itu.

***

Alya turun menuju restoran untuk menikmati sarapan terakhirnya pagi ini di Resort Malpis. Ia membawa sepiring penuh makanan dan secangkir teh manis hangat. Ia memilih meja yang sama seperti kemarin. Ia melihat layar hp nya sesaat kemudian memulai makannya.

Sarinah sudah duduk ditempat favoritnya dengan Malpis di meja sudut restoran itu. Ia sudah memperhatikan Alya sejak wanita itu masuk ke dalam restoran. Ia sudah tahu siapa pemilik nama Alya itu dan ia menyukainya.

Sebelum mengenal wanita itu, Sarinah sudah lebih dulu tertarik padanya hanya saja ia tidak melanjuti. Dan siapa sangka kalau putranya juga menunjukkan sikap yang sama dengannya. Sarinah memperhatikan samping kanannya dan melihat bagaimana cara berpakaian Alya dan tata cara makannya.

"Nak," panggil Sarinah sopan. Kepalanya menatap ke arah Alya. "Nak." Panggilnya lagi.

Alya menoleh karena ia merasa seseorang mungkin memanggilnya. Ia melihat sepasang suami istri yang cukup berumur menoleh ke arahnya. "Ibu panggil saya?" Tanyanya ragu. Ia ingin memastikan.

"Iya." Sahut Sarinah. "Kamu sendiri saja kesini, dari kemarin ibu lihat kamu sendiri terus." Ia mencoba mendekati Alya.

"Iya buk. Saya sendiri saja." Ia memberikan senyum sumbangnya.

"Pacar kamu gak ikut?" Tanya Sarinah hati-hati. Ia tahu kalau pertanyaan seperti itu pasti membuat orang lain kesal.

Alya hanya menoleh dengan senyum hambarnya. Ia tidak menjawab ataupun berkomentar. Ia kembali melanjutkan sarapannya.

"Kamu gimana, Sar. Dia pasti gak suka kalau ditanya soal begitu." Omel Malpis sambil menggelengkan kepalanya.

"Aku bingung mas mau deketin gimana." Sarinah meneguk kopi susunya yang terakhir.

Alya sudah lebih dulu menyelesaikan sarapannya. Ia ingin segera pergi tapi ia sadar kalau sikapnya tidak sopan. Alya menoleh ke kirinya, "Ibu, pak, saya duluan ya." Pamitnya. "Permisi." Ia pergi meninggalkan restoran itu dan menuju pantai di resortnya dan berteduh disana sebelum pulang.

Sarinah dan Malpis tecengang. Mereka tidak menyangka kalau Alya akan berpamitan dengannya setelah pertanyaan yang sangat menjengkelkan.

"Anaknya baik." Seru Malpis.

"Iya. Aku juga berpikir sama dengan kamu, mas. Aku setuju dia sama Ben." Ujar Sarinah.

***

Setelah berjemur, Alya memutuskan untuk berenang sambil menghabiskan waktu. Baru setelah itu akan bersiap untuk ke Bandara. Setelah berenang, Alya kembali ke kamarnya dan saat di resepsionis, ia melihat sepasang suami-istri berumur yang menegurnya tadi tengah berbicara dengan resepsionis. Alya tidak begitu peduli dan ia terus melangkah manuju kamarnya.

Alya melihat kekacauan dikamarnya karna tadi malam ia mencari baju yang mau ia gunakan untuk dipakai saat dengan Ben. Dan baju itu masih ia letak di sofa disampingnya. Ia bergegas mandi dan membereskan barang-barangnya.

Alya sudah rapi dan menarik kopernya menuju bawah. Saat berada di lobi bawah, ia langsung menuju resepsionis. "Mbak, saya mau check out." Ucapnya sambil mengembalikan kartu kamarnya.

Resepsionis itu mengecek sesuatu di layar komputernya. "Mbak Alya mau naik apa ke Bandara?" Tanyanya.

"Saya bisa dianter dengan fasilitas resort gak?" Tanya Alya.

Resepsionis itu kembali berdiri, "Maaf mbak, saat ini semua supir lagi sibuk dan pergi mengantar tamu."

"Ya udah, bisa tolong panggilkan taksi untuk saya?" pinta Alya.

Resepsionis itu mengangkat teleponnya dan menelepon seseorang. Tak lama ia menutup kembali teleponnya. "Saat ini taksi yang menuju ke arah sini sedang tidak ada. Kalau mbak mau menunggu, nanti saya beritahu bagian taksinya."

"Berapa lama mbak, ya?" Tanya Alya khawatir.

"Belum tahu mbak, karena taksi jam segini kebetulan sedang penuh dikarenakan hari libur." Resepsionis itu meyakinkan.

Alya bimbang. Waktu check-in nya masih dua setengah jam lagi. Tapi ia ingin mampir untuk makan sesaat dipinggir jalan. "Ya udah mbak, saya tunggu taksi nya aja." Ucapnya. Resepsionis itu mengangguk dan menelepon seseorang. Alya memilih duduk di lobi dan menunggu disana.

Sarinah dan Malpis berjalan dari arah bungalow mereka menuju lobi utama. Mereka melirik Alya yang sedang duduk di sofa lobi.

"Selamat siang, buk." Sapa resepsionis. Alya menoleh. Ia melihat sepasang suami istri yang ditemuinya tadi di restoran saat sarapan.

"Selamat siang." Sapa Sarinah.

"Ibu dengan bapak jadi pergi sekarang?" Tanya resepsionis itu.

"Jadi. Kami mau jalan sekarang." Sahut Malpis.

"Iya. Takut jalan ke Bandaranya macet. Jadi buru-buru pergi." Sambung Sarinah.

Alya menoleh. Ia mendengar kedua orang itu akan menuju Bandara. Alya ragu untuk menumpang. Apalagi ia juga tidak terlalu kenal dengan keduanya. Ia takut menjadi penganggu kelak.

Sarinah menoleh ke arah sofa, ia melihat ke arah Alya. "Loh, kamu yang direstoran tadi pagi?" Tanyanya.

Alya mengangguk malu ke arah wanita itu. Ia hanya tersenyum tipis.

"Kamu mau kemana?" Tanya Sarinah.

Alya ragu untuk mengatakannya. Ia menilik wajah Sarinah sesaat. "Ke bandara, buk." Ucapnya.

Sarinah memasang wajah kaget kenudian berubah tertawa. "Kebetulan. Kami juga mau ke Bandara. Bareng aja yuk." Ajaknya.

Alya ragu.

"Tidak apa. Kita sama-sama mau ke Bandara. Sekalian aja." Bujuk Malpis.

"Saya gak merepotkan Bapak sama ibu?" Tanya Alya sekali lagi sebelum meyakinkan dirinya. Malpis menggeleng kemudian ia menarik koper Alya.

"Pak jangan! Biar saya aja." Alya ingin meminta kopernya kembali.

Sarinah menarik lengan Alya kemudian berkata, "Udah gak apa."

Alya terpaksa mengikuti kedua orang itu menuju ke arah mobil yang sudah menunggu di depan lobi utama.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.