Malpis memasukkan koper Alya ke dalam bagasi mobil sedannya. Alya duduk di kursi belakang dan memperhatikan mobil mewah yang dinaikinya. Bermodalkan dua orang adik yang memiliki mobil dan seorang ipar yang memiliki showroom, Alya sedikit tahu mobil yang dinaikinya memiliki harga yang tak sedikit. Mobil itu melaju mulus meninggalkan Resort Malpis.
Mobil itu meninggalkam jalan ke Resort dan masuk ke jalan protokol. Lalu lintas memang cukup macet saat itu. Segala arah padat dan saling mengisi.
"Kamu pesawat jam berapa?" Tanya Sarinah.
"Jam empat, buk." Jawab Alya pelan. Ia bahkan tidak berani bersandar didalam mobil itu. Punggungnya ia tegakkan.
"Masih lama." Seru Malpis dengan suara beratnya.
"Kalau gitu kita makan dulu saja." Usul Sarinah.
"Enggak perlu repot-repot, buk. Saya sudah makan tadi." Sanggah Alya. Ia benar-benar tidak ingin merepotkan kedua orang itu. Ia malah canggung saat ini.
"Kamu makan apa?" Tanya Sarinah. "Terakhir kamu makan pasti sarapan tadi. Masa kamu gak laper?"
Alya kaget. Bagaimaa wanita paruh baya itu tahu terakhir kali ia makan.
Sarinah menatap Alya penuh tawa. "Kami gak culik kamu. Pokoknya nanti kamu gak bakal terlambat sampai di Bandara." Ujarnya.
Alya malah berubah segan. "Bukan gitu maksud saya, buk." Katanya.
Malpis menepi disebuah restoran tradisional khas Bali yang selalu menjadi favoritnya. Alya menganga melihat restoran yang didatanginya.
"Ayo turun." Ajak Sarinah.
Alya menghela napas gugupnya dan turun dari mobil mewah itu. Ia berjalan paling belakang setelah kedua orang itu.
Pintu utama restoran dibuka oleh seorang pelayan dengan penuh ramah-tamah. "Silahkan masuk! Selamat datang."
Seorang pria memakai baju batik berlengan panjang menghampiri mereka dan berkata, "Pak, kenapa tidak beritahu mau datang. Saya bisa siapkan meja untuk anda." Ucapnya. Alya terkejut saat mendengarnya.
"Tidak apa. Ini juga tadi mendadak." Sahut Malpis sambil menepuk bahu pria berbatik itu.
"Saat ini cuma ada meja untuk empat orang saja yang tersisa."
"Kebetulan, hari ini kami cuma bertiga." Malpis melihat satu-persatu yang datang bersamanya. Malpis duduk lebih dulu.
Sarinah menarik tangan Alya untuk mendekat. "Duduk sini." Katanya.
Alya sama sekali bingung dengan siatuasinya. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Semuanya seperti tidak seharusnya. Alya duduk tepat didepan wanita paruh baya itu yang sedang membuka buku menu. Ia memperhatikan satu-persatu kedua orang itu dan mencerna apa maksud dan tujuan mereka dari awal hingga kini.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Sarinah pada Alya. Ia membukakan buku menu yang terdapat didepan calon pilihan putranya.
Alya bingung. Semua daftar menu itu memiliki harga yang tidak sedikit. Bahkan untuk satu porsi sate lilit saja ia bisa membeli dua porsi ayam bakar madu yang tadi malam dimakannya. Alya menutup buku menu itu. "Saya ikut saja." Katanya. Jika ikutkan kata hatinya, ia ingin sekali memilih namun posisinya saat ini tidak mendukung.
Sarinah mengangguk dan paham. Ia bisa melihat kalau Alya tidak nyaman dengan mereka. Wanita muda itu terlihat gugup dan bingung. Sarinah memesankan makanan mereka dan memberikan buku menu kepada seorang pelayan yang menulis pesanan mereka.
Sarinah melirik Malpis dan saling memberi kode satu sama lain. "Kita belum berkenalan." Ucapnya pada Alya.
"Saya Alya, buk." Ia mengulurkan tangannya terlebih dahulu pada Sarinah.
"Saya Sarinah." Ucapnya. "Tapi jangan panggil saya ibu ya. Kesannya ada jarak diantara kita. Panggil tante saja." Pintanya. Alya mengangguk ragu.
"Saya Malpis." Ucap pria paruh baya itu. "Panggil saya om saja, jangan bapak. Kalau panggil bapak nanti terlalu formal." Tawanya.
Alya mengangguk ragu lagi pada kalimat terakhir pria itu. Beberapa detik ia diam dan mengingat kembali kedua nama orang itu. Sarinah, Malpis, batinnya. Sedetik kemudian matanya terbelalak dan pandangannya ke arah pria tua itu.
"Nama om Malpis?" Tanyanya dengan terkejut.
Malpis dan Sarinah tertawa bersamaan. Mereka mengangguk.
"Om... emm... om... pemilik... resort?" Tanyanya terbata-bata. "Emm... hotel... malpis... emm... om yang... punya... juga?" Sambungnya.
Bahu Malpis bergoyang ketika tawanya memecah keheningan. Beberapa orang bahkan melihat ke arahnya.
Alya menoleh ke arah wanita paruh baya yang duduk didepannya. "Om sama tante... pemilik Resort dan... Hotel Malpis?" Tanyanya.
Sarinah mengangguk pelan. "Benar."
Alya menelan ludahnya karena mendapatkan berita yang paling menggemparkan untuknya saat ini. Kedua orang yang seolah mencari tahu dirinya ternyata adalah pemilik Resort yang ditempatinya.
"Kami tidak bermaksud membohongi kamu. Cuma kami tidak mau saja nanti kamu merasa terbebani dengan status kami." Ujar Sarinah.
"Kamu gak marah kan?" Tanya Malpis. Ia hanya ingin memastikan.
Alya menggeleng. "Enggak. Gak marah sama sekali cuma bingung dan heran aja. Kenapa om sama tante mau memberikan tumpangan pada saya. Terus diajak makan direstoran semahal ini."
Sarinah tertawa. Minuman mereka datang dan ia mendekatkan minuman itu pada Alya dan memberikan sehelai tisu tepat disamping gelas itu.
"Kita searah jadi gak ada salahnya mengantar kamu sekalian. Kamu adalah tamu resort kami." Jelasnya. Malpis hanya mengangguk.
"Kamu sudah menikah, Al?" Tanya Sarinah hati-hati. Ia tidak akan membuang kesempatan ini.
"Belum tante. Masih mencari." Jawab Alya. Tidak ada lagi perasaan risih yang sebelumnya ia rasakan. Ia merasa percakapan mereka memang perlu dibangun.
"Memangnya pacar kamu kenapa?" Tanya Sarinah lagi lebih mendalam.
"Saya enggak punya pacar tante." Tidak ada wajah kesal disana.
"Gak punya pacar tapi gebetan punya dong?"
Alya menggeleng yakin. "Enggak juga. Saya gak punya waktu buat main-main lagi sama yang begituan." Katanya.
Sarinah mencolek paha suaminya dari bawah meja.
"Memangnya kamu mau menikah umur berapa?" Malpis ikut bertanya.
"Secepatnya kalau bisa, om. Umur saya sudah tua." Ia malu sendiri saat mengucapkannya.
"Kamu suka sama pria yang seperti apa, mungkin tante bisa carikan." Sarinah semakin gencar mencari tahu. Malpis mulai khawatir kalau Alya tidak nyaman dengan pertanyaan itu.
"Yang biasa aja, tante. Yang penting bertanggung jawab dan bisa menerima segala kekurangan saya." Alya sudah tidak memikirkan fisik. Siapapun pasangannya kelak, ia akan menerimanya. Alya tersadar dari lamunannya. "Kok jadi malah ngomongin soal saya." Alya tertawa kecil.
Satu persatu makanan mereka datang dan Alya mulai nyaman berada diantara keduanya. Ia menikmati kedekatan dan kebersamaan mereka. Tidak ada lagi canggung keduanya. Malpis sibuk membicarakan bagaimana ia berjuang membangun Resort itu hingga saat ini.
Mobil mewah itu kembali melaju menuju Bandara. Alya duduk di belakang dan ia bisa bersandar di bahu kursi empuk itu.
"Al, kalo tante ke Jakarta bisa ketemu kamu lagi?" Sarinah menoleh ke belakang.
"Bisa tante. Nanti tante telpon saya aja." Ucapnya. Mereka sudah bertukar nomor telepon saat direstoran tadi. Sarinah mengangguk.
Alya ingin cerita kepada kedua orang itu tentang temannya Mita yang bekerja di Hotel Malpis tapi ia mngurungkannya. Ia tidak ingin disangka memanfaatkan kedekatan mereka dengan menjual nama temannya.
Alya tiba di Bandara dan bersiap masuk ke dalam ruang check-in. "Om tante, makasih ya udah anterin saya ke Bandara. Maaf udah merepotkan sampai diajak makan segala."
Sarinah mengelus lengan kiri Alya, "Tante yang harusnya berterima kasih karna kamu mau kami antar kesini."
Alya mengabaikan ucapan itu dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan keduanya. "Saya masuk dulu." Pamitnya. Keduanya melepaskan kepergian Alya.
"Mas, aku setuju dia sama Ben. Sangat setuju." Ucapnya masih melihat ke arah Alya yang semakin menjauh.
"Kapan kita ke Jakarta?" Tanya Malpis yang merangkul bahu istrinya. Mereka berbalik dan menuju parkiran. Mereka merencanakan semua situasi ini.
***
Alya masuk ke parkiran sekolahnya pagi ini setelah dua hari libur. Ia memarkirkan motornya di tempat biasanya. Alya berjalan santai dan masuk ke dalam majelis guru. Ia melihat ruangan itu masih kosong dan ia sedikit lebih awal hari ini.
Sejak bangun pagi, susasana hatinya begitu bersemangat. Ia ingin menikmati hari ini dan seterusnya dengan penuh kebahagiaan. Setelah pulang dari Bali semalam, ia langsung membongkar oleh-oleh untuk keluarganya dan tidur di kamarnya. Ia bahkan tidak makan malam. Dua hari disana, memberinya cerita baru yang menyenangkan. Semua yang terjadi disana adalah awal yang ia tidak ketahui.
Arif masuk ke dalam ruang atasannya sambil membawa secangkir kopi yang dipesan oleh pria itu. "Permisi, pak. Ini kopinya." Ia meletakkannya ditepi meja.
Ben mengangguk. Ia masih memperhatikan proposal yang diterimanya. "Jadi maksud kamu, mereka mau jadikan hotel kita untuk syuting film ini?" Tanyanya.
"Benar, pak." Arif meletakkan kedua tangannya didepan.
"Proposalnya oke. Tapi saya harus bertemu dulu dengan mereka. Apalagi semua adegan banyak dilakukan di lobi, restoran dan kolam renang." Ben melihat sekilas untuk kesekian kalinya. "Sedangkan kita akan membuka galeri untuk Pak Agusman. Artinya lahan di lobi dipakai sebagian dan akan sedikit sempit untuk film ini."
"Saya akan buat temu janji dengan mereka." Ucap Arif.
"Iya tolong kamu urus itu hari ini secepatnya." Pinta Ben. Ia menutup proposal didepannya. Arif keluar dari kantornya.
***
Saat jam istirahat kedua, Alya membuka tasnya dan mengambil plastik berukuran kecil dan ia selipkan didalam laci Rini.
"Apaan tuh?" Tanya Rini kaget saat Alya menyelipkan sesuatu. "Oleh-oleh Bali ya?" Bisiknya.
Alya mengangguk.
"Makasih." Rini menyubit lengan Alya pelan. Temannya itu sempat berpamitan sebelum pergi dan hanya dirinya yang tahu disekolah.
Alya kembali melihat bahan diskusi pelajaran Geografi dikelas berikutnya. Ujung matanya melihat seseorang mendekat ke arahnya. Alya menoleh.
"Ibu Alya, lain kali tolong bilangin sama Dewa. Jangan tidur dikelas, apalagi pelajaran saya. Ini sudah kesekian kalinya ia bertingkah seperti ini. Apa saya harus lapor kepala sekolah biar dia jera." Kata Guru Sejarah dengan wajah merah.
Alya langsung berdiri dan menahan tangan guru Sejarah itu. "Jangan, buk!" Pintanya. "Nanti saya bicara sama Dewa. Saya akan peringatkan dia."
"Ibu jangan membela Dewa terus. Gara-gara dia, penilaian kinerja ibu selama ini rendah. Kalau ibu tidak bisa membimbing Dewa, kembalikan saja dia sama orang tuanya. Kenapa kita harus diremehkan seperti ini." Ucap Guru Sejarah. "Anaknya kurang sopan santun. Gak punya etika." Tambahnya. Ia berbalik
Alya menahan Guru Sejarah itu. "Maaf ya, buk. Jangan lapor Kepala Sekolah dulu. Nanti saya peringkan Dewa dengan keras." Bujuknya.
Guru Sejarah menoleh dengan helaan napas berat. Ia tidak berkomentar dan kembali ke mejanya. Alya hanya bisa menggigit jarinya seorang diri.
"Selalu begitu." Sahut Guru Matematika. "Percuma buk. Mau sampai mulut ibu berbuih peringatkan dia, tetap saja anaknya bebal." Katanya tajam. Alya hanya bisa menunduk dimejanya.
***
Agusman duduk didalam mobilnya yang melaju menelurusi jalan dipedesaan di ubud. Ia sengaja mendatangi tempat itu dan menemui seseorang. Mobilnya berhenti didepan sebuah rumah yang tampak kecil dan sepi. Tak ada kehidupan disana. Sekeliling rumah itu dipenuhi dengan sawah yang luas.
"Kita sudah sampai, pak." Ucap pria berotot yang selalu mengantarkan dan menemani Agusman kemanapun.
Agusman turun dari mobil dan berjalan menuju rumah yang berada tepat didepannya saat ini. Rumah itu lebih tinggi dari permukaan tanah tempatnya berdiri. Agusman menaiki beberapa anak tangga dan berdiri didepan pintu itu. Ia mengetuknya.
Elena membuka pintu rumahnya dan melihat Agusman berdiri disana. Wajahnya cukup kaget melihat Agusman berada disana. "Bagaimana anda bisa kemari?" Tanya Elena.
Agusman tersenyum tipis. "Tinggal dipedesaan jauh lebih tenang daripada kota saya suka tempat ini."
Elena membuka pintunya lebar dan membiarkan pria itu masuk ke dalam rumahnya. Agusman melangkahkan kakinya ke dalam. Matanya dibuat takjub dengan beberapa furniture yang ada didalam rumah itu. Rak buku, kursi panjang, meja makan bahkan sebuah lemari satu pintu dengan ukiran bunga pada bagian pintunya. Agusman ingin memilikinya.
"Anda mau minum?" Elena menawarkan.
Agusman mengangkat tangannya tanda menolak. "Saya hanya mampir sebentar." Ia memperhatikan sekeliling rumah itu. "Kamu tahu kenapa saya datang kesini?"
Elena mengangguk.
"Lalu, apakah kamu mau bekerja sama dan menjadi penanggung jawab galeri ini?" Tanya Agusman.
Elena mengangguk yakin. "Saya mau." Ia tidak perlu memikirkannya lagi.
Agusman mengulurkam tangannya untuk berjabat tangan dengan Elena. Wanita itu membalas jabatan tangan pria itu.
"Saya mau isi galeri nanti harus seperti ukiran indah itu." Ia menunjukkan lemari satu pintu yang membuatnya jatuh cinta.
Elena melihat ke arah barang yang ditunjuk oleh Agusman. "Ukirannya harus sebanding dengan harganya."
Agusman menatap Elena lekat. "Kamu pikir saya membuka galeri ini untuk main-main. Saya tahu bagimana memasang harga yang sesuai dengan kemampuan kamu."
Elena hanya diam dan tidak berkomentar.
***
Arif masuk ke dalam ruang kerja atasannya. Ben tengah membaca beberapa file dan begitu fokus.
"Pak," panggil Arif.
"Apa." Ben tidak menoleh dan ia memandangi filenya.
"Tim produksi filmnya bilang, kalau mereka tidak bisa bertemu hari ini. Karna hari ini ada jadwal reading dengan pemain. Besok mereka baru bisa datang kemari."
"Terus?"
"Katanya, syuting akan dimulai tiga minggu lagi. Perkiraan waktu hanya untuk tiga hari. Mereka akan usahakan mengambil adegan sebanyak mungkin dalam waktu tiga hari itu sesuai yang ada di proposal." Kata Arif jelas dan tegas.
"Oke. Bilang dengan mereka, kita yang akan datang ke sana." Sahut Ben.
"Baik, pak. Dua jam lagi kita akan ke Hotel Marilyn untuk meeting disana." Arif mengingatkan.
"Hmm..." jawab Ben. Ia sedang fokus membaca filenya tentang kerja sama dengan beberapa maskapai penerbangan.
***
Tepat saat bel pulang berbunyi, Alya berjalan ke arah kelasnya 12IPS3. Ia menunggu didepan kelasnya. Dewa berjalan terburu-buru keluar kelas namun langkahnya berhenti ketika ia melihat wali kelasnya menatap ke arahnya.
"Ikut saya." Kata Alya dengan tegas. Ia melihat murid dikelasnya tengah membersihkan kelas. Alya membatalkan niatnya berbicara dengan Dewa disana. Ia berjalan ke arah kelas 12IPS2 dan keadaan kelas itu kosong. Ia masuk ke sana dan Dewa mengikutinya.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.
Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.
xoxo!!!