Chereads / MALPIS / Chapter 19 - Chapter 13- Their First Talking

Chapter 19 - Chapter 13- Their First Talking

Irma turun dari taksi dan melihat putranya sudah menunggu di lobi apartemen menanti kedatangannya. Senyumnya merekah saat melihat putra kesayangannya terlihat sehat. "Kamu baru mandi ya?" Tanya Irma setelah mencium aroma sabun dari tubuh putranya.

Dewa mengangguk karena pertanyaan mamanya. "Mama langsung dari Bandara?" Tanyanya.

"Iya." Wanita itu merangkul lengan anaknya manja. Ia rindu sekali pada putranya. Ia hanya bisa menemui Dewa paling cepat tiga bulan sekali atau tidak hanya setahun sekali. Kerjaannya di Australia tidak bisa ia tinggalkan. Belum lagi suaminya yang belakangan sibuk mengurus perpindahan kerjanya ke Amerika, membuatnya juga ikut sibuk.

"Kamu jadi anterin mama ke supermarket?" Tanya Irma. Dewa mengangguk.

"Nanti kita buat lebih aja gimana, kasi wali kelas kamu sedikit. Mama juga udah lama gak ketemu sama Ibu Alya. Wali kelas kamu sehat?" Tanya Irma sumringah.

"Sehat, ma." Ucap Dewa dengan wajah murung. Besok sekolahnya libur dan ia tidak bisa melihat wali kelasnya. Dewa teringat sesuatu, "Gak usah, ma. Wali kelas Dewa tinggal sama orang tuanya. Gak enak kalo dikasi sedikit."

"Oh, kalau gitu dikasi yang lain juga atau mama masak menu lain buat wali kelas kamu?" Sarannya. Ia ingin sekali berterima kasih pada Alya.

"Jangan, ma." Tolak Dewa. "Takutnya orang tua ibu Alya gak tahu soal Dewa. Apalagi bapaknya mantan kepala sekolah." Ujarnya. Ia tidak ingin membuat wanita itu kesusahan karnanya. Cukup disekolah saja tapi tidak ditempat lain.

Irma mengangguk paham. Ia mengerti maksud putranya. Ia juga menyadari kalau permintaannya pada Alya selama ini adalah keberuntungan. Putranya memiliki seorang wali kelas yang peduli dengannya adalah syukur Irma yang tiada henti.

***

Ben tiba di sebuah restoran terbuka di pinggiran Kuta yang dijadikan tempat untuk ulang tahun teman mamanya. Pemandangan belakang restoran itu adalah pantai yang indah.

Sarinah masuk sambil menggandeng putranya mesra. Ia ingin memamerkan putra bungsunya yang single, muda dan tampan. Ben mencoba memberikan senyumannya dengan teman mamanya. Kaos putih yang dikenakannya ia lapisi dengan sebuah kemeja tipis berwarna biru gelap.

"Is, kenalin ini putraku yang single itu." Sarinah memperkenalkan Ben pada salah satu temannya yang juga sedang mencari jodoh untuk putrinya.

Wanita bernama Is itu memperhatikannya dengan penuh tatapan senyum. "Putramu tampan sekali, Sar." Komentarnya.

Sarinah mengelus lengan putranya bangga, "Pasti. Siapa dulu mamanya."

"Lita!" Panggilnya.

Seorang wanita muda berumur tiga puluhan muncul dalam balutan gaun panjang nan sederhana dengan rambut yang ditumpuk disebelah kirinya.

"Lita, ini anaknya tante Sari yang mau dikenalin sama kamu." Jelas wanita bernama Is itu.

Lita mengulurkan tangannya bersalaman. Ia menyukai paras lelaki didepannya ini. "Lita" Ucapnya.

Ben membalas uluran tangan itu dengan ragu. "Ben." Ia memperhatikan perempuan didepannya itu sudah menyukainya dan menatapnya dengan mata menggoda. Ben tidak suka. Ia sudah ingin pergi dari tempat itu.

Alya mampir ke sebuah pantai dipinggiran Kuta. Ini adalah pantai kelimanya yang ia datangi setelah ia berkeliling dengan sepeda motor. Tidak semua pantai yang ia temui bisa digunakan untuk umum. Dan ini adalah pantai terakhirnya. Ia sudah sampai pada perbatasan Kuta paling ujung. Ia tidak akan berjalan lebih jauh lagi sebab motornya akan kehabisan bensin dan ia tidak ingin menghabiskan semuanya.

"Kalian ngobrol gih, perkenalan. Siapa tahu cocok." Usul teman Sarinah. Intonasinya seolah ia memperkenalkan dua anak muda yang masih mencari cinta sejati.

Lita melirik Ben malu-malu, "Kamu mau duduk di belakang. View nya bagus." Ajaknya.

Ben mengangguk terpaksa. Ia ingin sekali menolak tapi reputasi mamanya dipertaruhkan disini. Mereka berjalan ke arah belakang restoran dan angin sepoi-sepoi menghantam masuk membuat suasana menjadi asyik untuk dinikmati.

Alya berjalan dipinggir pantai dengan topi pantai yang dibelinya tadi disalah satu pantai yang sebelumnya ia datangi. Belanjaannya ia tinggal di motor setelah memastikan kalau tukang parkir akan menjaganya. Ia ingin menikmati suasana Kuta seperti kebanyakan orang lain lakukan. Ia berjalan dipinggir pantai dengan deru ombak yang mengayun dikakinya. Sendal talinya sudah dipenuhi oleh pasir yang menempel karena basah.

Lita dan Ben duduk disalah satu kursi yang menghadap pantai. Baru sesaat Lita duduk, ia sudah kembali dipanggil oleh mamanya ke dalam. Alhasil, Ben dengan senang hati merelakan perempuan itu pergi. Melihat ke dalam restoran yang mulai ramai dan segera dimulai, Ben memutuskan untuk menjauhkan diri dari sana. Ia melangkah ke depan dan berjalan menuju pantai.

Alya melihat deretan kursi baring dipinggir pantai yang kosong. Ia ingin berteduh disana sesaat. Ia membeli air kelapa salah satu penjual dan membawanya sendiri di kursi itu. Ia menikmati air kelapanya dengan angin yang berhempus indah menyapu rambutnya. Ia tidak ingin hari ini cepat berlalu dan ia juga tidak ingin buru-buru pulang ke Jakarta. Tiba-tiba matanya mengantuk.

Ben berjalan dipinggir pantai dengan topi yang menutupi wajahnya. Ia memegang sepatunya dan membiarkan kakinya telanjang menyapu pasir pantai. Ben melihat seorang turis pergi dan memberikannya kursi untuk menikmati indahnya dunia air didepannya. Ben merebahkan tubuhnya di kursi panjang itu sambil meluruskan kakinya ke depan. Ben membuka topinya dan bersiap untuk tidur. Tiba-tiba sebuah topi pantai berwarna cokelat terbang ke arahnya. Ben terkejut. Ia mengambil topi itu dan berniat mengembalikannya. Namun gerak tangannya terhenti ketika ia melihat kalau pemilik topi itu adalah perempuan yang dijumpainya tadi pagi. Perempuan yang selalu dilihatnya kemanapun ia pergi hari ini.

Ben meletakkan topi itu disamping perempuan itu, tepat di selipan antara tangan dan badan kursi agar tidak terbang. Ben kembali ke tempatnya dengan tubuh telentang, tangan kanannya ia letakkan dibelakang kepalanya, dan kepalanya menoleh ke arah kirinya menatap perempuan itu kembali.

Angin sepoi-sepoi berubah kencang seketika hingga membuat payung peneduh kursi itu bergeser hingga membuat setengah wajah Alya terkena sinar matahari. Ia masih tidur nyenyak dan tidak menyadarinya.

Ben melihat wajah perempuan itu kepanasan. Ia dengan sigap mengambil topi pantai yang diselipkannya dan menutupi wajah perempuan didepannya dalam diam. Ben berjongkok disamping kursi perempuan itu dan memegang topi itu untuk menutupi panasnya matahari.

Posisi mereka begitu dekat hingga Ben bisa melihat dengan jelas wajah perempuan itu. Wajah yang mungil, alis yang rapi, bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, bibir yang lembut serta leher yang jenjang. Tak lupa rambut hitam panjangnya. Ben memperhatikan semua itu. Tiba-tiba jantungnya deg-degan hingga membuatnya menelan ludahnya sendiri.

Ben merasakan hp nya bergetar. Ia meletakkan topi itu dan mengangkat telepon dari mamanya. Ia menjauh dan membelakangi perempuan itu. "Kenapa, ma?" Tanya Ben pelan.

"Kamu dimana, mama udah selesai acaranya." Tanya Sarinah.

"Ben dipantai. Sebentar lagi Ben kesana." Ia menutup teleponnya dan menoleh ke belakang dan perempuan itu masih tidur. Ben mengambil topi itu lalu menutupi wajah itu dengan pelan. Ia membiarkan topi itu disana dan pergi meninggalkan tempat itu.

Ben mengendarai mobilnya menuju pulang. Dikepalanya saat ini hanya ada perempuan yang tertidur disampingnya tadi. Ia khawatir kalau topi itu akan terbang kelak.

"Kamu tadi kemana, Lita cariin kamu. Mama kan gak enak sama dia." Seru Sarinah.

"Ben tadi dipantai, ma." Jawabnya singkat.

"Kamu gak suka sama Lita?" Tanya Sarinah tanpa basa-basi.

"Enggak." Sahut Ben yakin. "Lita masih muda, ma. Ben bukan cari pacar tapi cari istri." Sambungnya.

Sarinah menghela napas, "Ya sudah, mau gimana lagi." Ia melihat jam tangannya. "Papamu pasti sudah sampai sekarang." Ia menoleh ke arah putranya. "Jangan lupa kita makan malam bersama nanti." Pesannya. Ben hanya mengangguk dan terus mengemudi.

***

Alya mengendarai motornya saat hari sudah gelap. Ia ketiduran di kursi pantai dan menyadari hari sudah mulai senja ketika ia mendengar suara teriakan anak-anak yang masih bermain di pantai. Begitu sadar, ia langsung berlari menuju parkiran untuk melihat barang belanjaannya. Untungnya, masih ada dan dijaga baik oleh tukar parkir disana. Alya bahkan menyelipkan uang terima kasih pada tukang parkir itu. Sayangnya, Alya kehilangan topi pantainya.

Alya mampir ke pom bensin untuk mengisi asupan motornya. Setelah itu, Alya juga singgah ke sebuah warung makan bebek bakar dipinggir jalan. Perjalanan masih cukup jauh dan ia harus mengisi tenaganya terlebih dahulu.

Ben turun dari arah kamarnya menuju lobi depan resepsionis. Ia berdiri disana dan melihat parkiran motor sewa resortnya. Namun motor perempuan itu tidak ada disana. Sudah dua jam berlalu dari terakhir ia melihat perempuan itu. Ben enggan bertanya karna ia tidak ingin terlihat mencari tahu. Sesungguhnya ia sendiri tidak tahu kenapa ia begitu peduli.

Ben duduk di meja makan yang sudah dipesan oleh papanya untuk makan malam keluarganya. Saat ia bergabung, kedua keluarga abangnya sudah berkumpul. Keponakannya bahkan sudah berisik memanggil namanya. Ben mencium satu-persatu keponakannya. Tidak ada yang bertanya pada mamanya soal acara perkenalan tadi karna Sarinah sudah memberitahu mereka lebih dulu. Ia tidak ingin anak-anaknya yang lain menyebut kembali masalah itu didepan Ben.

"Tadi papa ketemu Pak Agusman di Nusa Dua." Kata Malpis. Ben menoleh datar.

"Dia mau ajak kamu makan siang besok, gimana?" Tanya Malpis.

"Besok pagi Ben udah terbang, pah." Jawabnya santai. "Lain kali aja."

Malpis mengangguk paham. "Ya sudah kalau gitu."

***

Dewa membantu mamanya memasak makanan kesukannya. Dapur kosongnya kini tengah berantakan karena percikan minyak dan juga air. Irma memasakkan putranya rendang dan udang sambal. Bahkan ia sudah menyiapkan beberapa tempat kecil untuk menyimpannya dan bisa dimakan dalam jangka waktu lama. Sedangkan malam ini Irma memasak cumi goreng dan capcai untuk putranya.

"Mama nanti makan dulu, kan?" Tanya Dewa memastikan. Ia berharap bisa makan bersama malam ini. Ia bosan makan sendiri.

Irma menoleh ke arah putranya saat ia tengah mengaduk rendang yang sebentar lagi selesai. "Gak bisa, nak. Selesai masak mama harus langsung ke Bandara. Mereka sudah menunggu disana." Ia kembali mengaduk rendangnya. Irma juga ingin makan bersama Dewa namun waktu tidak memungkinkan. Malam ini ia akan terbang ke Amerika untuk menemani suaminya bekerja disana dalam tiga bulan ke depan atau lebih. Dan ia meminta pada suaminya agar bisa terbang lewat Jakarta supaya ia bisa bertemu dengan Dewa sebelum berangkat. Makanya hari ini ia sengaja memasak untuk putranya.

Setelah selesai makan, Alya bergerak pulang menuju resort nya. Jalanan Kuta tidak pernah sepi dan ia tidak merasa takut sama sekali. Ia terus mengendarai motornya hingga radius 1km dari resort itu, jalanan perlahan sepi karena Malpis Resort dibangun dipinggir pantai yang masih baru dan sedikit terpencil dari pemukiman. Beberapa rumah masih terlihat namun jarak mereka tidak terlalu dekat sehingga meminta bantuan memerlukan waktu untuk berjalan kaki.

Alya mengendarai motornya dan tiba-tiba ban motor depannya kempes seketika. Alya turun dari motornya dan panik. Ia berada di tengah jalanan aspal yang sepi penduduk. Sekelilingnya hanya ada pohon besar dengan penerangan jalan. Rumah penduduk sekitar lima puluh meter dari tempatnya.

Alya mengeluarkan hp nya dan menelepon resortnya. Beberapa kali coba hubungi namun gagal karena sibuk. Alya coba untuk menelepon kembali dan akhirnya tersambung.

"Halo, Malpis Resort good evening, can i help you?" Sapa suara resepsionis dengan lancar.

"Halo," panggil Alya panik.

"Hello, miss. Can i help you?"

"Mbak, saya Alya yang menginap di Resor Malpis kamar 5055." Ia memperkenalkan diri. Terdengar suara keyboard yang mengalun.

"Iya mbak Alya, ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.

"Mbak, motor yang saya pinjam itu bannya bocor. Sekarang saya ada di jalan yang mau ke resort tapi disini sepi, gak banyak.orang yang lewat. Mbak, bisa tolong saya gak?" Pinta Alya frustasi. Ia sudah mulai gelisah.

"Iya mbak baik. Saya akan kirim orang secepatnya kesana. Tapi maaf, saat ini beberapa pegawai sedang perjalanan keluar mengantar dan menjemput tamu. Tapi akan saya usahakan secepatnya. Mbak tunggu saja disana. Dan hubungi kami kalau terjadi sesuatu ya." Suara resepsionis itu terdengar gusar.

"Baik mbak, terima kasih." Alya menutup teleponnya dan melihat sekelilingnya. Sebuah mobil melintas, Alya takut untuk meminta pertolongan pada orang yang berlalu-lalang. Ia ragu mereka akan menolongnya tanpa punya maksud tertentu. Akhirnya Alya hanya menunggu. Kunci motor dan tasnya ia genggam erat.

Ben sudah menyelesaikan makan malamnya. Ia melihat keempat keponakannya tengah sibuk dengan hal masing-masing. "Om Ben punya hadiah buat kalian. Sebentar, om Ben ambil dulu ke kamar." Ia pamit dan berjalan keluar restoran.

Saat didepan lobi tengah hendak menuju tangga, Ben melihat resepsionisnya mencari seseorang didepan lobi masuk resort. Ben merasakan ada sesuatu yang mengganggu. Ia memutuskan untuk tidak ke atas dan menemui pegawai itu.

"Ada apa?" Tanya Ben muncul dari samping. Wajahnya berkerut karena bingung. Ia melihat papan nama Lilis, menggantung di seragam kuning itu.

Lilis kaget melihat bosnya muncul disampingnya. Ia gelagapan. Dirinya yang masih baru disana, harus menghadapi kasus seperti ini pertama kali.

"Kamu cari siapa?" Tanya Ben sekali lagi.

"Itu pak, emm..." Lilis gugup.

"Ada apa?" Tanya Ben lagi. "Ada masalah sama tamu resort?"

"Itu tadi ada tamu Hotel yang telpon katanya ban motornya bocor di jalan sana. Saya bilang akan kirim orang, masalahnya sekarang semuanya lagi sibuk. Saya sendirian di meja resepsionis." Ia menunduk.

Ben teringat perempuan yang ditemuinya tadi pagi yang menggunakan motor hotel. "Dia berdua apa sendiri?" Tanya Ben.

Lilis mencoba mengingat. "Saya lihat catatan peminjam motornya untuk sendiri."

Ben mengangguk paham. "Ya sudah saya saja yang jemput tamunya. Kamu nanti telpon yang lain yang bisa bawa motornya ke bengkel."

"Baik, pak." Lilis kembali ke meja resepsionis. Ben setengah berlari menuju parkiran mobilnya. Ia mengidupkan mesin mobil itu dan meninggalkan resort.

Dewa mengantar mamanya didepan lobi apartemennya. Ia memeluk mamanya sekali lagi sebelum masuk dalam taksi.

"Nanti kalau dagingnya sudah dingin, kamu masukkan ke dalam kulkas ya." pesan Irma. "Nanti kalau sudah sampai mama kabarin kamu." Ucapnya. Ia melambai ke arah putranya. "Kamu jangan lupa makan ya." Taksi melaju meninggalkan apartemen Dewa menuju Bandara.

Dewa melepaskan kepergian mamanya dengan wajah suram. Ia menghela napas dalamnya. Ia berharap bisa makan bersama malam ini tapi nyatanya salah. Ia berbalik dan masuk ke dalam.

Irma membuka hp nya lalu menelepon orang yang paling dipercayanya saat ini. "Haĺo, ibu Alya?" Sapanya.

Alya mengangkat teleponnya ketika ia melihat nama Mama Dewa muncul. Ia khawatir terjadi sesuatu pada muridnya itu. "Iya ibu, ada apa ya?"

Irma tertawa kecil. "Enggak saya cuma mau tanya kabar ibu aja. Ibu dimana sekarang?" Tanyanya.

"Saya lagi di Bali buk, sebenarnya. Ada urusan sedikit." Alya segan mengatakan kalau dirinya tengah berlibur.

"Oh, saya ganggu gak buk?" Tanya Irma tidak enak hati.

"Enggak, buk. Enggak. Ada apa ya?" Alya meyakinkan.

"Begini buk, malam ini saya akan terbang ke Amerika bersama suami saya. Rencananya dia akan kerja disana selama tiga bulan, tapi perpanjangannya masih belum tahu." Irma diam sejenak. "Saya mau titip Dewa sama ibu. Tolong dijaga selama saya di Amerika." Pintanya lembut.

Alya hening.

"Saya gak tega ninggalin dia sendiri malam ini sebenarnya." Terdengar suara Irma berubah bergetar.

Alya mengerutkan dahinya. "Kenapa dengan Dewa, buk?"

"Saya tadi masakin dia makanan kesukaannya rendang dengan udang sambal untuk beberap hari kedepan. Saya juga masakin makan malam, tapi saya rasa dia gak akan makan." Irma tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia sedih.

"Kenapa Dewa tidak makan, buk?" Alya ikut sedih mendengarnya.

"Dewa tadi mau makan sama saya, katanya bosen makan sendiri. Tapi saya harus buru-buru ke Bandara." Jawab Irma. "Ibu, selama saya pergi nanti, bisa tolong saya untuk ingatkan Dewa makan?" Pintanya tidak masuk akal. "Saya tahu buk, permintaan saya ini kadang memberatkan ibu dan membuat ibu tidak nyaman. Tapi saya sangat berharap ibu bisa membantu. Setidaknya sampai Dewa selesai tahun ini." Sambungnya.

Alya menghela mapas dalam. Perasaanya menjadi sedih. Ia membayangkan Dewa meminta pada mamanya untuk makan bersama tapi mamanya malah harus pergi. "Nanti saya coba bicara dengan Dewa, buk. Jangan khawatir." Katanya.

Irma merasa sedikit tenang. Ia tidak ingin wanita itu khawatir dengan keadaan putranya yang bisa jaga diri.

"Terima kasih, buk." Ucap Irma. "Saya titip Dewa ya." Tambahnya. Ia mentup teleponnya.

Ďewa masuk kedalam apartemennya dan melihat meja makannya penuh dengan makanan kesukaannya. Ia berdiri disana dan memandangi tempat cuci piringnya penuh dengan peralatan memasak yang berantakan. Dewa mengambil tutup yang bisa ia gunakan untuk menutup makanannya. Dan ia mencuci panci kotor satu-persatu. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup semua lampu diluar.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.