Alya melangkahkan kaki gontainya masuk ke dalam rumahnya. Tampak pria tua dengan rambut putih yang sudah menipis sedang duduk di ruang tamu itu dengan tv yang menyala. Pria tua itu adalah bapaknya yang merupakan seorang pensiunan kepala sekolah SMP yang tengah asyik menonton acara komedi favoritnya.
"Dari mana, Al?" Tanya pria yang bernama Yusril itu sambil menoleh.
"Keluar sebentar, pak." Jawab Alya. Ia duduk di sebelah bapaknya dan bersandar di sofa itu dengan helaan napas ringan.
"Kenapa jam segini baru pulang?" Tanya Yusril. Pria tua itu melihat jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam.
"Tadi ketemu sama Mita sebentar." Jawab Alya. Nadanya masih terdengar lemah. Ia sedang mengumpulkan keberaniannya.
Pria tua itu melirik putrinya sesaat dan kembali menatap layar tv. Ia tahu ada yang ingin putrinya bicarakan namun ia hanya bisa menunggu hingga putrinya mengatakannya sendiri.
Pintu kamar tepat disamping televisi, dibuka dari dalam. Keluar wanita yang juga tampak tua dengan daster lengan panjang yang menutupi tubuhnya hingga mata kaki. Begitu melihat Alya, ia langsung berkata, "Al, tadi Dira nitip online shop nya Mita. Mama letak di kamar kamu." Wanita tua itu ikut bergabung di depan tv bersama putri sulung dan suaminya.
"Alya sama yogi putus, ma." Kata Alya ketika suasana diantara mereka sudah mulai tenang.
"Kalian putus?" Tanya mama Alya kaget. Yusril hanya menoleh ke arah putrinya dengan mulut ternganga.
"Siapa putus, ma?" Rina keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. Sudah seminggu, adiknya itu tidur di rumah orang tuanya karena rumah mereka sudah kosong dan akan segera disewakan. Rina akan pindah ke Jepang dalam empat hari lagi berdua dengan putrinya untuk menyusul suaminya yang sudah lebih dulu pergi ke sana.
"Kenapa putus, Al?" Tanya wanita tua yang akrab disapa Trisnah itu.
"Sudahlah, kalau tidak jodoh mau bagaimana lagi?" Sahut Yusril dengan santai. Sejujurnya ia ikut menyesali perpisahan itu tapi ia tidak bisa mencampuri pilihan putrinya.
"Bapak jangan gitu ngomongnya, ini Alya pak, anak kita. Gak seharusnya mereka putus. Yogi anaknya baik, dokter pula. Mana mungkin ada laki-laki di luar sana yang lebih bagus dari Yogi." Sahut Trisnah. Ia masih tidak menyangka kalau putri sulungnya putus.
"Kenapa kak?" Tanya Rina menimpali. Ia menyesali perpisahan itu. Tapi ia lebih khawatir dengan keadaan kakaknya.
Alya tidak menjawab dan hanya diam sambil menunduk. Hal seperti inilah yang menjadi alasannya menunda untuk menceritakan kondisinya. Banyak pertanyaan yang harus ia jawab.
"Kenapa kamu gak pertahanin hubungan kalian?" Tanya Trisnah. "Apa yang salah sampai kalian harus putus. Yogi anaknya baik, al. Kenapa sampai putus." Ucapnya tanpa jeda.
Alya menggelengkan kepalanya, "Udah gak bisa, ma."
"Apanya yang gak bisa. Orang menikah saja bisa bertahan kenapa kalian enggak?" Trisnah masih bersikukuh.
"Yogi belum siap menikah." Jawab Alya dengan nada tinggi. "Dia gak mau menikah sama Alya. Selebihnya mama bisa tanya sendiri sama yogi langsung." Alya bangun dari sofa itu dan menuju kamarnya.
Tak ada yang berani mengeluarkan sepatah katapun setelah penjelasan alya. Trisnah bahkan menunduk dengan helaan napas dalamnya. Gagal sudah harapannya memiliki menantu seorang dokter. Pria tua itu menatap pintu kamar putri sulung kebanggaannya dengan sendu. Rina kembali ke kamarnya dengan membayangkan perasaan kakaknya saat ini.
***
Malam ini adalah malam yang paling menyedihkan untuk Alya. Ia hanya ingin menangis dan melepaskan semuanya. Setidaknya ijinkan hanya untuk malam ini. Alya menenggelamkan wajahnya didalam bantal tidurnya. Ia menangis dalam hening.
Dewa keluar dari lift dan menuju parkiran motornya. Tiba-tiba ia teringat dengan wali kelasnya. Ingin rasanya ia leluasa menelepon atau mengirimkan pesan pada wanita itu namun ia juga mengerti batasan yang wali kelasnya bangun. Selama ini pun, selalu Alya yang menghubunginya lebih dulu.
Dewa mengendarai motornya dan melaju menuju pulang. Tubuhnya sudah lelah. Ia ingin segera tidur dan bangun pagi untuk ke sekolah.
Alya duduk disamping tempat tidurnya dan menatap wajahnya di cermin meja riasnya yang penuh dengan beberapa barang make-up nya. Wajahnya yang lusuh, rambut panjangnya yang berantakan dan matanya yang sembab, sudah cukup untuk melampiaskan kesedihannya. Ia tidak akan berlama-lama di fase itu. Alya menghela napasnya dan mengangguk yakin pada dirinya sendiri.
***
Alya tengah bersiap di depan cermin untuk berangkat ke sekolah pagi ini. Tiba-tiba pintunya dibuka dari luar. Rina muncul dan masuk ke dalam kamar itu.
"Kenapa, rin?" Tanya Alya bingung.
"Nih," rina memberikan sebuah kertas berwarna putih yang dilipat. Ia menyodorkan kertas itu di depan kakaknya.
"Surat apa?" Alya bingung. Ia meraih kertas itu yang ternyata ada dua lembar, kemudian ia membacanya. Matanya terbelalak. Kertas pertama adalah sebuah tiket penerbangan dari Jakarta menuju Bali pulang-pergi. Dan kertas kedua adalah sebuah invoice penginapan, "Ini penginapan buat gue? Maksudnya? Gue gak ngerti." Alya kebingungan. Dirumah itu hanya Alya dan Rina yang menggunakan Lo-Gue saat berbicara.
"Malam ini lo pergi liburan gih seneng-seneng di Bali. Lo gak ada janji kan dua hari ke depan?" Tanyanya. "Kebetulan hari senin libur nasional, lo bisa balik malamnya. Lo disana dua hari dua malam. Lo bisa kan?" Jelasnya dengan wajah sendu.
"Tapi kenapa mendadak? Kenapa lo kasi gue ini?" Alya masih bingung.
Rina memeluk Alya dengan erat. "Gue tahu banget gimana sikap lo kalo udah sayang sama orang. Gue juga tahu gimana lo sayang banget sama yogi." Rina mengelus punggung kakaknya. "Mereka bodoh, kak. Semua mantan lo bodoh. Mereka udah menyia-nyiakan orang setulus lo." Ucapnya.
Mata Alya berair mendengar perkataan Rina.
"Semoga hadiah ini bisa bikin lo move on dari yogi." Rina melepaskan pelukannya dan menatap kakaknya lekat. "Cari cowok yang lebih ganteng dan lebih tajir dari yogi di bali, kak. Supaya lo bisa pamer sama yogi."
Alya tertawa kecil, "Menurut lo gue bisa dapet cowok cuma dalam dua hari dua malam?"
Rina menghela napas. "Gue cuma bercanda. Kalo lo belom siap membuka hati, lebih baik jangan. Takutnya nanti cowok itu jadi pelampiasan lo doang."
Alya tertawa pelan mendengar kalimat adiknya. Sesaat kemudian wajahnya murung, "Gue capek pacaran, rin."
"Nanti kalo lo kenalan sama cowok, terus terang aja lo bilang kalo lo bukan cari pacar tapi cari suami. Kalo mereka sepemikiran sama lo, mereka bakal lanjut. Kalo gak setuju, lo gak perlu patah hati lagi."
Alya menunduk dan melipat kembali dua lembar kertas itu dan menyimpannya di laci tempat tidur.
"Entahlah," Alya mengambil tas kerjanya. "Gue udah telat." Alya memeluk adiknya sesaat dan keluar dari kamarnya.
Rina lega bisa melakukan sesuatu untuk kakaknya. Sebelum ia pindah ke Jepang, ia ingin meninggalkan kakaknya dalam keadaan girang bukannya sedih. Kakaknya wanita yang hebat dan siapapun beruntung mendapatkan kakaknya. Ia berharap itu bisa terjadi.
***
Ben tersadar dari tidurnya. Matanya langsung terbuka lebar dan ia teringat Elena. Segera ia bangkit lalu menelepon meja resepsionis di lobi.
"Halo!" Sapa Ben tergesa-gesa.
"Iya pak, saya Ika. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya resepsionisnya ramah.
"Ika, coba kamu tolong cek atas nama Elena sudah check out atau belum?"
"Baik pak, sebentar." Resepsionis itu tampak mengetik sesuatu di keyboard komputernya. "Ibu Elena menginap di kamar 9320. Sepuluh menit lalu beliau sudah check out, pak." Ucapnya.
Ben menghela napas. "Ya sudah. Terima kasih." Ia menutup sambungan telpon itu. Ben berdiri dan menuju kamar mandi.
Pintu kamarnya terdengar dibuka seseorang. Ben menoleh dan melihat Arif muncul. Ia melambai tanda sapaannya kemudian bersiap mandi.
Arif melihat ruang kerja atasannya namun tidak ada pergerakan yang aneh tadi malam. Kepingan puzzle masih ditempatnya.
***
Ben berdiri didepan lift dan melihat pantulan dirinya dalam setelan bebas. Ia mengenakan kaos oblong bewarna putih dilapisi dengan jaket berwana cokelat muda serta jeans biru muda. Rambut gondrongnya ia biarkan tanpa diberi gel. Rambut halus di dagu dan rahangnya sudah ia bersihkan.
"Apa yang kamu tahu tentang Elena selama ini?" Ben memulai percakapan. Ia sudah ingin menanyakan soal ini tadi malam. Namun diatahannya agar bisa mendengarkan langsung dari mulut Arif.
"Apa yang mau anda tahu, pak?" Tanya Arif. Sorot matanya tampak ragu menceritakan apa yang ia ketahui. Ia takut kalau atasannya itu terbawa emosi dengan ceritanya.
"Semuanya yang kamu tahu dari dulu sampai sekarang." Ben memberikan tatapan dalamnya.
Arif menarik napasnya dalam. "Sejak kejadian hari itu, ibu Elena kembali ke Kuta dan memutuskan untuk tinggal dengan Roy lagi."
Ben menatap Arif melalui pantulan pintu lift. Ia mendengarkam dengan seksama walau hatinya sudah berdesir saat ini.
"Apa perlu saya jelaskan juga bagaimana mereka hidup selama ini?"
"Gak perlu! Langsung ke intinya saja." Ben tidak ingin mendengarkan bagaimana kedua orang itu membina kembali hubungan mereka disaat ia berjuang melupakan wanita itu.
"Dua bulan lalu, Ibu Elena menjual galerinya dan berpisah dengan Roy. Beliau menepi ke Ubud di pedesaan seorang diri."
"Elena punya galeri?" Ben tidak percaya.
"Seminggu setelah pindah ke Bali, beliau langsung menyewa sebuah tempat dan memulai bisnis galerinya. Tidak perlu waktu lama, beliau langsung mendapat banyak pesanan dari pelanggan tetap SEMPARI." Jelas Arif.
TING! Pintu lift terbuka. Mereka masuk bersama.
Ben tersenyum bangga pada keberhasilan Elena. Ia tahu betapa gadis itu menyukai dunia fuŕniture dan ingin memiliki sebuah galeri. Seperti kata wanita itu, ia menemukan kebahagiaannya. "Lalu kenapa Elena menjual galerinya?"
Arif menghela nalas ringan. Bagian ini enggan ia ceritakan. "Ibu Elena menjual galerinya agar bisa menjauh dari Roy."
"Elena ada masalah apa dengan Roy?"
"Roy sudah beberapa kali ketahuan pergi dengan wanita lain. Bahkan yang paling parah adalah ketika Roy mabuk, dia selalu memukul ibu Elena." Pungkasnya.
Ben menatap Arif lekat. "Kamu tahu dari mana berita itu?" nadanya tegas.
"Begitu saya tahu kalau galerinya di jual, saya langsung menyewa seseorang untuk mencari tahu. Dan hasilnya benar. Bahkan sampai sekarang Roy masih sesekali mengejar beliau ke ubud dan berakhir dengan pertengkaran."
Ben mengepalkan tangannya menahan emosi mendengar wanita yang dirinduinya disiksa oleh orang sejahat Roy. Ben kembali memikirkan apa yang terjadi tadi malam. Dari sikap Elena membuktikan kalau wanita itu sendiri saat ini. Ben merasa kasihan pada Elena.
TING! Pintu lift terbuka. Mereka tiba di lobi.
***
Dewa menenggelamkan kepalanya di atas meja. Ia memejamkan matanya sesaat selama jam istirahat pertama. Jam yang sudah menunjukkan pukul 9.30 pagi membuatnya mengantuk karena kurang tidur. Tadi malam ia pulang pukul 11.30 malam membantu staff di dapur mempersiapkan bahan untuk besok karena beberapa orang karyawan akan dipindahtugaskan ke Hall untuk acara wedding.
"Kata si Anin, bu Alya putus sama om nya itu bener." Suara itu terdengar di telinga Dewa.
"Udah resmi putus?" Tanya seseorang. "Soalnya yang gue tahu katanya kemarin masih gantung."
"Katanya udah resmi putus. Malah katanya om nya Anin punya pacar baru lagi, dokter gigi juga." Jawab suara pertama tadi.
"Putus kenapa ya?"
"Gak tau kenapa. Tapi katanya om nya si Anin yang mutusin bu Alya."
"Gak jadi nikah dong?"
"Mungkin. Memangnya bu Alya udah umur berapa?"
"Tiga puluh."
"Tua ya."
Dewa bangkit lalu memukul meja dengan jengkel. Pemilik sumber suara itu menoleh Dewa karena kaget.
"Kalian kalau mau ngomongin bu Alya jangan di depan gue. Cari tempat lain sana." Ucap Dewa pada kedua teman kelasnya itu.
Dua gadis itu terdiam. Mereka menutup mulutnya rapat-rapat dan menghadap depan kembali. Dewa kembali menggebrak mejanya kemudian menuju luar kelas. Ia berjalan menuju kantin dan tak sengaja matanya menangkap sosok Anin yang menjadi biang penyebar gosip.
Dewa berdiri di depan Anin yang tengah mengobrol dengan teman satu gengnya di pinggir kantin. "Mulut lo lain kali harus di kasi tata krama, supaya tahu mana omongan yang harus disimpan mana omongan yang harus di ceritakan." Ucapnya kesal.
Anin mengerutkan dahinya bingung, "Lo ngomong apa sih? Gak jelas!"
"Bu Alya putus sama om lo, kenapa harus lo cerita ke orang-orang?" Tanya Dewa menaha emosi.
"Oh, wajarlah gue kasi tau mereka, secara mereka temen gue dan Bu Alya wali kelas mereka." Jawab Anin cuek. "Wali kelas kesayangan lo." Ia melirik Dewa.
"Lo sebarin berita itu ke anak-anak, apa manfaatnya. Sama aja lo permaluin om lo sendiri. Om lo mutusin bu Alya demi perempuan lain. Om lo selingkuh?" Dewa sudah mulai emosi. "Harusnya lo mikir sebelum cerita ke teman-teman lo."
Anin hanya bisa diam diikuti oleh teman-temannya.
"Om lo juga gak bagus-bangus banget buat dipertahankan." Rahang dewa sudah mengeras. Ia geram. "Sekali lagi gue dengar lo cerita ke anak-anak lain. Lo berurusan sama gue." Ia pergi dari sana.
Anin hanya bisa merengut dengan bibirnya yang mengerut ke depan.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!