Elena keluar dari kamar mandi lengkap dengan dress panjang berwarna biru tua polos. Rambutnya yang basah ia tutupi dengan handuk. Elena kaget saat mendapati Ben sudah ada di dalam kamar mereka. Elena semakin tercekat saat ia melihat hp nya sudah berada di depan Ben, tepatnya di ujung tempat tidur mereka. Dengan ligat ia meraih hp nya kemudian menggengamnya erat.
Tiba-tiba hp itu bergetar kembali dan Elena kaget. Ia buru-buru memutuskan panggilan itu.
"Kenapa gak diangkat?" Tanya Ben masih dengan kemeja kerjanya.
Elena menoleh dan tampak panik, "Enggak, salah sambung."
"Salah sambung gak mungkin sampai telpon kamu dua kali dari tadi. Salah sambung gak mungin sms kamu." Celetuk Ben masih menatap Elena dari belakang.
Elena dengan lihai membuka hp nya kemudian memeriksa pesan masuk dan panggilan terakhir. Ia berbalik, "Kamu periksa hp aku?" Tanya Elena dengan wajah kesal.
"Aku gak periksa, tapi hp kamu yang bunyi sendiri dan aku ada disini." Jawab Ben masih dengan wajah datar. "Aku bohong kalau aku bilang aku gak lihat nomor yang telpon kamu." Tambahnya.
Elena berbalik dan berkata, "Dia bukan siapa-siapa."
Ben mengatur napasnya yang mulai memburu karena emosi, "Aku udah tahu semuanya, Elena. Sejak kamu masih di Bali, aku udah dengar apa yang kamu lakukan disana." Kata Ben. "Apa perlu aku bilang juga kalau aku gak sengaja baca sms kamu sama dia?" Tambahnya.
Elena hening. Dibalik punggungnya yang membelakangi Ben, ia memejamkan matanya dengan ekspresi takut, khawatir, menyesal dan lainnya. Ia sudah ketahuan.
"Kalian ada hubungan apa?" Tanya Ben masih berlembut hati. "Kenapa kamu gak simpan nomor dia?"
Elena berbalik. "Dia bukan siapa-siapa. Dia cuma teman aku. Kamu gak percaya sama aku sekarang?" Wajah Elena mulai tak karuan. Ia berusaha mempertahankam jawabannya. Ia melepaskan handuk di kepalanya kemudian ia campakkan ke atas tempat tidur.
"Kalau aku gak percaya sama kamu, sejak kamu pulang dari Bali kemarin, aku udah minta penjelasan kamu. Tapi buktinya, baru sekarang aku tanya sama kamu setelah aku lihat sendiri sms yang dia kirim buat kamu." Ben maju selangkah.
"Oh, sekarang kamu buntutin aku. Sampai kamu bisa tahu apa aja yang aku lakukan di Bali?"
"Aku gak buntutin kamu Elena." Tegas Ben. "Apa aku selama ini pernah bututin semua kegiatan kamu sama teman-teman kamu?" Tanya pada wanita itu.
Elena terdiam.
"Aku cuma butuh pembelaan kamu, apa hubungan kamu sama dia. Kalau kalian gak ada hubungan, kamu bisa jelaskan sama aku sekarang." Nada suara Ben mulai meninggi.
Tiba-tiba hp Elena bergetar kembali. Pandangan mereka berdua beralih ke layar hp yang digenggam oleh Elena. Dengan cepat Elena mematikan telepon itu.
"Kalau kamu gak ada hubungan, angkat telepon itu." Perintah Ben.
Elena tidak menjawab. Telepon itu mati. Sesaat kemudian hp itu bergetar kembali dan Elena mulai kelabakan.
"Kamu mau menjelaskan ini semua atau aku yang cari tahu sendiri dan tanya langsung sama orangnya." Ben mengancam. Ia hening sejenak. Elena masih diam dan tak menjawab. Akhirnya Ben berkata, "El, aku udah tahu siapa orang itu, tapi aku mau dengar langsung dari mulut kamu tentang hubungan kalian." Wajah Ben tampak kusut. "Tahu dari orang lain jauh lebih menyakitkan daripada tahu dari mulut kamu sendiri." Pungkas Ben. Ia ingat saat dua hari setelah Elena berangkat ke Bali, Gita yang merupakan kakak iparnya yaitu istri Edwin mengatakan kalau dirinya melihat Elena di Seminyak dengan seorang cowok. Mereka tampak bermesraan sambil berpegangan tangan dan berpelukan di sebuah restoran.
Elena meraup wajahnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menghela napas dalamnya. Elena menatap wajah Ben. Dan suaminya masih menunggu penjelasan dirinya.
"Kalau kamu udah tahu semuanya, terus kenapa kamu diam aja selama ini. Kenapa kamu buat aku seperti orang bodoh, selingkuh di belakang kamu sedangkan kamu udah tahu semuanya." Tanya Elena dengan wajah sedih. Air matanya sudah mengumpul.
Ben mencoba mendekat, namun hatinya sudah terlajur kecewa hingga langkah kakinya terasa berat, "Karna aku percaya sama kamu. Orang lain mungkin melihat apa yang kamu buat disana, tapi mereka gak kenal kamu seperti aku kenal kamu. Aku masih berusaha untuk berpikir sebaliknya kalau kamu gak mungkin ngelakuin itu."
Hp Elena bergetar kembali dan dari nomor yang sama. Elena meletakkan hp itu di sampingnya dengan layar menengadah ke atas. "Kamu udah tahu dia siapa. Orang itu Roy, ben."
Ben merasa separuh dari tubuhnya seolah melayang entah kemana. Ternyata mendengar langsung dari mulut Elena jauh menyayat luka hingga ke dasar hatinya.
"Aku... berhubungan lagi dengan Roy." Ucap Elena. "Dan semua yang mereka lihat di Bali itu benar." Elena diam sejenak. "Awalnya kami berencana ke Nusa Dua, tapi last minute yang lain sepakat mau ke Seminyak."
"Kamu menemui roy?" Ben menyambung kalimat Elena.
Wanita itu menggeleng. Ia menghela napasnya sekali lagi, "Sebelum aku tahu ada rencana ke Bali, Roy telepon aku. Dia ajak aku ketemuan. Awalnya aku menolak, tapi dia mengancam mau ke Hotel Malpis dan ketemu sama kamu. Aku gak mau karna Roy, karyawan kamu tahu tentang masa lalu aku. Makanya aku terpaksa ketemu sama Roy diluar." Elena seperti mengingat kembali kejadian itu. "Ketemu sama Roy waktu itu seperti hujan di musim kemarau. Aku merasa jadi diri aku sendiri. Aku kayak terbebas dari rasa kesepian." Ucapnya.
Ben hening. Matanya berkaca-kaca.
"Dan setelah ketemuan itu, kami berkomunikasi lagi. Sampai akhirnya, kami ketemuan di Bali. Roy menyusul aku ke Seminyak. Dan.... semuanya berjalan begitu aja." Pungkas Elena.
Ben masih tidak bisa berkata-kata. Ia membenarkan ucapan Elena soal itu karena ia membaca pesan di hp Elena yang membicarakan hal yang tidak sepantasnya.
Elena menatap wajah Ben yang kusut. Pria itu tampak kehilangan arah. "Ben," panggil Elena.
Ben mengangkat alisnya.
"Aku mau cerai." Ucap Elena singkat. Wajahnya tak tampak raut kesedihan. "Aku udah ketemu sama pengacara semalam dan urus semuanya." Tambahnya.
Ben mendekat dan berlutut di depan Elena. Ia memegang kedua lengan wanita itu dan berkata, "Kenapa? Apa yang salah sama hubungan kita. Kenapa harus cerai, El?" Ben tidak rela. Ia merasa kesalahan Elena masih bisa dimaafkan. "Aku paham kalau kamu cari selingan diluar sana karena aku sibuk selama ini. Tapi itu semua bisa aku perbaiki. Aku udah atur ulang jadwal kerja di kantor dan semua oke. Aku bisa pulang ke rumah jam lima, kita juga bisa makan siang bareng. Tapi kenapa harus cerai?" Ben masih mempertahankan rumah tangganya. "Aku janji akan berubah, El. Aku janji." Ia membujuk wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu mau kembali sama Roy?"
Elena menggelengkan kepalanya, "Aku udah pikirkan ini sebelum aku ketemu sama Roy. Keputusan aku gak ada hubungannya sama Roy. Ini murni keputusan aku sendiri." Jelasnya.
"Tapi kenapa?" Ben masih bersikukuh.
"Aku bosan, ben." Pekiknya.
Ben hening.
"Aku terbiasa hidup bebas selama ini. Lalu aku ketemu sama kamu dan jalanin kehidupan dengan rutinitas yang teratur. Aku suka! Tapi itu karna aku enggak pernah jalanin sebelumnya. Tapi lama-lama semuanya malah membosankan. Belum lagi kamu yang sibuk dan gak perhatian sama aku kayak dulu. Semuanya makin buat aku gak betah. Aku gak bisa gini terus." Elena mengeluarkan unek-uneknya selama ini.
"Kenapa baru sekarang kamu jelaskan sama aku, setelah perceraian kamu pilih sebagai jalan pintas?"
"Karna aku gak tega sama kamu." Kata Elena. "Perpisahan sementara kita kemarin buat aku yakin kalau pernikahan ini gak bisa dilanjutkan."
"Bisa, El. Hubungan kita bisa dilanjutkan."
"Kamu mau hidup sama orang yang gak cinta lagi sama kamu? Kamu mau aku tidur sama kamu, tapi aku memikirkan orang lain?"
Ben bangkit. Ia meraup wajahnya kesal. Ia kehabisan alasan untuk mempertahankan rumah tangganya. Kalimat Elena terakhir itu membuatnya mengingat kembali kalimat papanya.
"Maafkan aku, Ben." Elena ikut bangkit dari atas tempat duduk.
Ben menahan tangan Elena dan berkata, "Kamu lupa apa yang Roy lakukan sama kamu. Dia ringan tangan, El. Aku gak mau kamu dipukul lagi sama dia." Segala cara ia lakukan demi menahan Elena.
Elena melepaskan tangan Ben, "Aku tahu sekarang kamu berusaha untuk menahan aku. Tapi keputusan aku sudah bulat. Aku mau cerai." Jelas Elena. "Aku tahu roy kasar. Tapi seenggaknya aku bahagia sama dia."
Wajah Ben berubah datar. "Kamu bahagia sama aku?" Tanyanya.
Elena membuang wajahnya ke arah lain dan menelan ludahnya lalu kemudian menatap Ben kembali, "Aku pernah bahagia sama kamu."
Ben terdiam. Kata 'Pernah' dipakai Elena untuk hubungan mereka. Ben pasrah. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan. Wanita itu sudah memilih.
Hp Elena bergetar kembali dan pandangan mereka berdua tertuju pada benda itu. "Boleh aku bicara sama Roy sebentar?" Pinta Ben.
Dahi Elena berkerut, "Kamu mau ngapain?"
"Aku mau bilang satu hal sama dia sebelum aku setuju sama perceraian ini."
Elena tampak ragu memberikan hp nya namun tangan Ben yang sudah terjulur ke depan, membuatnya harus memberikan hp itu.
Ben menekan tombol hijau dan meletakkan hp itu di daun telinganya.
"Yang, kamu kemana? Kenapa kamu gak angkat telepon aku dari tadi. Kamu jadi kesini apa enggak?" Roy merocos di sambungan telpon itu.
"Roy, ini Ben." Ucap Ben.
Seketika Roy hening.
"Gue udah tahu semuanya. Elena ada di depan gue sekarang." Ben diam sejenak dan melihat istrinya. "Bisa lo bahagiain Elena?" Tanyanya.
"Bisa." Jawab Roy singkat.
"Gue bisa lepasin Elena asalkan lo janji gak akan kasar lagi dengan dia. Lo janji gak akan pukul Elena lagi."
"Janji." Roy hening kembali.
"Kalau gue sampai tahu Elena lo pukul, gue yang akan datang ke depan rumah lo dan ambil Elena kembali." Nadanya terdengar tegas.
Elena bahkan menegangkan wajahnya saat mendengar kalimat itu.
Roy diam beberapa saat kemudian berkata, "Oke, gue janji."
Ben langsung menutup telepon itu begitu Roy berjanji padanya. Ia mengembalikan hp itu pada wanita di depannya. "Makanya koper kamu ada di ruang tengah. Karna kamu berencana pergi malam ini?"
Elena mengangguk. "Aku rencananya mau nunggu kamu pulang malam nanti, tapi kamunya udah disini."
Ben menghela napas relungnya yang lelah.
"Aku bawa baju seperlunya, sisanya nanti..."
"Aku tahu." Ben memotong ucapan Elena. "Kamu bisa ambil kapan aja kamu mau, rumah ini punya kamu."
Elena diam. Ben melangkah maju dan mendekati istrinya. Kedua tangannya mulai terangkat dan ia ingin memeluk istrinya untuk yang terakhir kali. Namun Elena mundur dan menolak tubuh Ben menjauh sambil membuang wajahnya ke arah lain.
Ben mematung. Ia memperhatikan sekeliling kamar itu dan mundur perlahan. Ia sudah mengerti semua keadaanya. Ben mengambil jasnya dari atas tempat tidur dan pergi dari rumah itu.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.