Hampir dua tahun pernikahan mereka, Elena sudah tidak seperti dulu lagi. Ia merasa cinta dan sayang Ben padanya berkurang. Ia lebih sering dirumah seorang diri dan menunggu Ben pulang. Bahkan makan siang Ben pun lebih sering diluar dengan rekan bisnis ďaripada dengannya. Semuanya sudah tidak seperti dulu lagi. Dan Elena mulai bosan dengan semuanya.
"Ben, nanti siang kamu mau aku masakin apa?" Tanya Elena manja saat mereka masih ditempat tidur. Jam baru saja menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu tidur diatas dada bidang suaminya.
Ben berusaha menjawab walaupun ia setengah sadar. "Emm... aku... mau..." suaranya terdengar serak. "Kayaknya gak bisa, El. Siang ini aku... harus...makan diluar lagi..." Ben menguap.
"Kita udah lama gak makan siang bareng." Elena terdengar manja. "Hari ini kamu makan di rumah ya. Aku bosen makan sendiri mulu." Ia mengelus dada Ben yang polos tanpa pakaian.
"Besok ya, El. Aku janji." Ucap Ben masih menutup kedua matanya.
Elena tampak kesal. Ia melepaskan pelukannya pada tubuh suaminya lalu bangkit dari tempat tidur sambil berkata, "Janji kamu selalu besok." Ia keluar dari kamar itu.
Ben mendengarnya jelas. Ia membuka matanya lalu menghela napas dalam. Ben bangkit dan menyusul Elena. Istrinya itu tengah meneguk air putih di dapur.
Ben mendekati Elena dan memeluk istrinya dari belakang dan menciumi daun telinga kiri istrinya lembut. "Maaf, El. Makan siang hari ini udah direncanakan sejak dua minggu yang lalu."
Elena melepaskan pelukan suaminya. Ia menjauhi Ben tanpa berkata apapun. Elena sudah lelah mendengar jawaban Ben yang selalu sama.
Ben mulai panik. Elena sudah marah padanya. Ben mengejar istrinya menuju ruang tengah. Elena duduk di sofa depan tv dan Ben duduk di sebelahnya.
"Kamu marah karena kita gak bisa makan siang?" Tanya Ben.
"Semenjak kamu sibuk kamu selalu bilang kalau jadwal makan siang kamu udah ada sejak seminggu yang lalu. Terus kapan makan siang sama aku." Celoteh Elena kesal. "Aku mau kita kayak dulu lagi. Banyak waktu untuk berdua. Aku lebih suka kamu yang dulu daripada sekarang." Tambahnya.
"El, makan siang aku ini bukan dengan perempuan manapun. Aku makan siang sama rekan bisnis. Mereka semua mengatur jadwal untuk makan siang sama aku. Dan mereka nanti akan bawa rekan bisnis lainnya dan dikenalin ke aku. Apa aku harus tolak?" Ben harus menjelaskan situasinya. "Kamu sendiri tahu kalau aku masih dalam penyesuaian. Aku masih harus mengecek beberapa dokumen jalan, aku juga harus mengurus beberapa file bekas bang Arifin."
"Aku tahu. Aku sangat tahu, Ben." Elena sudah kesal. "Tapi setidaknya kasi waktu untuk kita weekend. Aku mau hubungan kita bisa seromantis dulu lagi." Mata Elena tampak berair. "Kamu gak merasa kalau kita udah jauh. Kamu bahkan gak perhatian sama aku lagi. Aku rindu sama kamu yang dulu." Ia menangis.
"Aku gak berubah, El." Ben menyeka air mata istrinya. "Perasaan kamu aja yang terlalu sensitif."
Elena melepaskan tangan Ben dari wajahnya, "Aku sensitif karena aku rindu sama kamu." Ia berdiri dan menoleh kesal. "Di hari ulang tahun kamu, aku bahkan sendiri dirumah nungguin kamu pulang kerja." Ia menghela napas frustasinya. "Kamu juga belum selesaikan puzzle yang aku buat. Kamu sama sekali belum sentuh." Elena berjalan menuju kamarnya.
Ben tidak mengejar istrinya menuju kamar. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa itu dengan helaan napas berat. Seminggu belakangan, Elena selalu menututnya untuk meluangkan waktu bersama. Tapi Ben tidak mungkin bisa melakukannya karena jadwalnya sebulan ke depan sudah padat dan tidak bisa digeser lagi. Semua jadwal itu adalah pertemuan dengan kolega dan rekan bisnis papanya yang sudah lama bekerja sama.
***
Ben bersandar di kursi empuknya dikantor. Pandangannya mengarah pada lapangan golf yang luas dan hijau.
Pintu kerjanya di ketuk dari luar dan Arif masuk dengan membawa beberapa map. Ben memutar kursinya menghadap Arif.
"Sabtu besok jadwal aku apa aja, rif?" Tanya Ben begitu Arif di depannya.
Arif dengan ligat membuka buku catatan kecilnya dari dalam kantong jasnya. Ia membuka beberapa halaman dan membaca tulisannya kemudian berkata, "Sabtu pagi anda akan bermain golf dengan Tuan Tan. Dia itu direktur utama Eagle Airlines. Anda akan makan siang di Hotel Mega Indonesia untuk membicarakan proyek lapangan golf, sore harinya anda harus kembali ke Hotel untuk menghadiri pernikahan putri bungsunya Bapak Setiadi. Dia itu adalah kepala proyek pembangunan Resort Malpis. Disana juga akan hadir keluarga besar anda." Jelas Arif panjang lebar.
Ben termenung mendengarnya, "Kamu gak salah itu jadwal saya?" Tanyanya memastikan.
"Benar, pak. Jadwal ini sudah dibuat sejak seminggu yang lalu dan tidak bisa diundur lagi. Mereka sendiri yang meminta untuk bisa bertemu anda sebagai kerja sama ke depannya." Arif menutup kembali bukunya. "Bos juga berpesan kalau saya harus memastikan bapak memenuhi semua janji pertemuan." Tambahnya.
Ben terdiam. Ia menatap Arif sejenak, "Aku udah lama gak makan malam sama Elena. Bisa kamu letak di malam minggu besok?" Tanyanya penuh harap.
"Bisa, pak." Arif langsung menuliskan jadwal itu ke dalam buku kecilnya. "Perlu saya pesan restorannya?"
"Gak perlu. Saya bisa sendiri." Ben tampak kegirangan. Ia langsung memikirkan kemana ia akan membawa Elena.
***
Sabtu sore itu, setelah menghadiri acara pernikahan putri bungsunya Setiadi, Ben langsung bergegas pulang dan memisahkan diri dari keluarganya yang tengah makan disalah satu restoran indonesia favorit papanya. Ia ingin memberikan kejutan kepada istrinya.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam dan Ben pulang ke rumahnya. Ia masuk ke dalamnya dan mencari istrinya, namun ia tidak menemukan Elena. Ben mencoba untuk menelepon Elena. Beberapa kali nada dering itu tersambung namun tidak di angkat.
"El, kamu dimana sekarang?" Gerutu Ben kesal bercampur khawatir. Ia tahu istrinya sedang marah padanya.
"Halo?" Teriak Elena dari seberang telepon. Musik EDM terdengar jelas.
Ben sudah bisa menebak kalau istrinya tengah berada di club saat ini. Ia melihat jam di tangannya kemudian menggelengkan kepala. "Kamu dimana sekarang?" Tanya Ben dengan nada tinggi tanpa rasa amarah. Ia takut istrinya tidak mendengar suaranya.
"Aku lagi di luar, kenapa?" Tanya Elena balik.
"Aku dirumah sekarang." Jawab Ben.
"Kamu ngapain di rumah? Tumben." Kata Elena. "Ada barang ketinggalan?" Tanyanya lagi. Ia tampak cuek.
Ben menelan ludahnya seperti menahan rasa kesalnya, "Aku udah pulang, makanya aku di rumah. Aku mau ajak kamu makan di luar. Aku udah pesan restoran untuk kita." Jelas Ben.
Elena tidak menjawab. Ia hening di seberang telepon. Ben mulai gelisah karena tidak mendapatkan jawaban dari istrinya.
"Ben, kamu kenapa gak bilang sama aku kalau kamu mau ajak aku makan di luar?" Nada Elena terdengar datar. "Aku udah janjian sama yang lain malam ini mau ketemuan."
"Kamu bisa ketemuan sama mereka lain kali, gak?" Ben masih membujuk istrinya.
"Maaf, Ben. Aku gak bisa." Elena diam sejenak. "Kamu tidur duluan, ya. Gak usah nungguin aku." Elena langsung mematikan hp nya.
Ben terdiam ditempatnya berdiri. Ia bisa merasakan penolakan yang selama ini istrinya rasakan. Ia mematikan hp nya dan meletakkan hp nya diatas meja di ruang tengah. Ia mengalah dan membiarkan Elena bersenang-senang dengan teman-temannya. Ia tidak akan melarangnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Elena baru kembali dari Club. Ia kaget saat melihat Ben duduk di ruang tengah sambil membaca beberapa dokumen kerja.
Melihat pintu di buka dari arah luar, Ben bergegas berdiri dan menyambut istrinya. Namun pandangannya malah terfokus pada penampilan istrinya yang berbeda. Elena mengenakan mini dress ketat berwarna hitam diatas lututnya dengan sepatu hak tinggi. Ia terlihat seksi sekali. Ben terkejut karena istrinya perlahan berubah. Setahunya, semenjak mereka menikah Elena sudah menyimpan semua baju-baju Club nya di dalam gudang. Tapi entah sejak kapan baju itu mulai di kenakannya lagi.
"Kamu belum tidur?" Tanya Elena santai sambil melepas sepatu hak tingginya. "Aku udah bilang tadi gak usah nungguin aku. Kamu pasti capek seharian kerja." Ia melirik dokumen diatas meja dengan kesal.
"Kamu pulang naik apa?" Tanya Ben. Ia mencoba menutup matanya pada pakaian yang dikenakan oleh Elena.
"Dianterin temen." Jawab Elena sambil menuju kamarnya.
Ben menyimpan dokumennya dan menyusul istrinya di kamar. Belum sempat Ben mengeluarkan sepatah kata, Elena sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Ben naik ke atas tempat tidurnya dan menunggu Elena. Tak lama istrinya itu keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh yang ditutupi oleh handuk.
"Kenapa belum tidur?" Tanya Elena begitu ia melihat suaminya masih bersandar di tempat tidur.
"Kamu udah makan?" Tanya Ben mencoba perhatian.
"Udah." Elena tampak cuek. Ia hanya menjawab seperlunya.
"Kamu gak tanya apa aku udah makan apa belum?" Sindir Ben untuk Elena.
Wanita itu menoleh ke arah Ben dan menatap suaminya sesaat, kemudian melihat ke arah lain dan berkata, "Kamu udah makan?" Tanyanya tanpa menoleh. Ia sibuk mengambil pakaiannya di lemari.
Ben bisa merasakan ada perubahan pada sikap istrinya. Elena bahkan tidak melihat ke arahnya saat bertanya. Tidak mendapatkan jawaban dari Ben, Elena diam tak bergeming. Ben juga ikut diam.
Elena mengeringkan rambut basahnya dengan hair drayer di dalam kamar mandi. Tak lama ia keluar dan siap untuk tidur.
"Besok pagi kita sarapan diluar, kamu mau gak?" Ajak Ben. Ia berusaha memperbaiki kesalahannya dan mengisi kekosongan diantara mereka yang sudah semakin jelas.
Elena tidak menjawab. Bola matanya berputar seolah memikirkan sesuatu.
"Kamu mau sarapan apa?" Tanya Ben.
Elena masih diam dan tidak memberikan jawaban. Ia duduk di atas tempat tidurnya dan menarik selimut yang ada di bawah kakinya.
Ben mulai gelisah. Ia butuh jawaban Elena. Ben mendekat ke arah istrinya dan bermaksud untuk mencium pipi Elena. Namun tak disangka, Elena memalingkan wajahnya ke arah lain dan menolak Ben untuk menciumnya. Seketika Ben hening dan tidak percaya dengan sikap Elena padanya.
Ben berusaha untuk tetap bersikap baik pada istrinya dan menjadi Ben yang dulu, "Acara makan malam kita tadi, gimana kalau aku tukar besok malam?" Usul Ben. "Kalau kamu mau besok aku bisa atur ulang..."
"Aku boleh gak ke Bali sama yang lain?" Elena memotong ucapan Ben dan langsung mengucapkan hal yang sedari tadi sudah menganggunya.
Ben diam sesaat. Tak lama ia berkata, "Yang lain itu siapa?" Tanyanya.
"Anita, Resa, Indah, sama teman yang lain juga." Jelas Elena. "Kita rame-rame disana."
"Kenapa mendadak?"
Elena memperhatikan wajah Ben yang tampak tidak rela melepaskannya pergi. Ada sebesit kegembiraan di hati Elena karena perhatian suaminya. "Enggak mendadak. Ini recananya udah dari dua minggu lalu tapi aku belum bilang ikut. Makanya aku tanya kamu sekarang, boleh gak aku pergi ke sana?" Tanyanya sekali lagi.
"Berapa lama?" Nada Ben melemah.
Raut kegembiraan di wajah Elena memudar ketika ben menanyakan hal itu sebagai tanda mengalah, "Tiga hari kurang lebih. Aku juga gak tahu detailnya disana ngapain aja."
Ben melirik lembut Elena dan menjawab, "Kamu boleh pergi." Dengan sedikit anggukan.
Jawaban Ben malah membuat Elena semakin yakin kalau rumah tangganya sudah tidak harmonis. Ia berharap Ben melarangnya dan membujuknya untuk tidak pergi atau Ben memaksanya untuk makan malam besok. Tapi nyatanya tidak. Ben malah memberinya keleluasaan yang bebas. Elena hanya butuh perhatian tapi Ben tidak sadar akan hal itu.
Elena menarik selimut hingga menutupi tubuhnya sambil berkata, "Besok siang aku ke Bandara." Ia membelakangi Ben dan mencoba untuk tidur.
Ben masih menatap punggung istrinya. Ia pun membaringkan dirinya dan menutupnya dengan selimut. Ben juga membelakangi Elena.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.