Alya memarkirkan motornya di basemen Hotel Malpis dengan tergesa-gesa. Ia segera membuka hp nya kemudian menelepon Mita yang merupakan sahabatnya. Tak butuh waktu lama, cukup dalam satu deringan, Mita sudah mengangkat telepon sahabatnya itu.
"Kenapa, Al?" Sapa Mita dengan nada lembut. Terdengar sekelilingnya penuh dengan suara riuh.
"Mit," panggil Alya dengan nada sedih. "Gue ada di basemen bawah. Gue mau ketemu sama lo, bisa?" Katanya. Nada bicara Alya sudah tersedu-sedu.
"Al, lo kenapa?" Tanya Mita panik. "Ya udah, lo tunggu disana. Gue turun sekarang." Mita langsung mematikan hp nya.
Alya berusaha menahan air matanya yang terus mengalir. Entah kenapa ia begitu sedih. Rasa sedihnya semakin berlipat ganda ketika ia melihat Erna dan Yogi.
Mita keluar dari lift dan langsung mencari sosok Alya yang sudah dihapalnya. Saat ia melihat seorang perempuan dengan rambut sebahu yang berbentuk layer tengah berdiri membelakanginya di parkiran motor, Mita sudah tahu kalau itu adalah Alya. Ia setengah berlari dan mendekati sahabatnya.
"Al," panggil Mita sambil menyentuh bahu sahabatnya.
Seketika Alya berbalik dan melihat Mita ada di depannya. Dengan segera ia memeluk Mita dengan erat dan meluahkan kesedihannya. Ia tidak peduli siapapun yang akan melihatnya menangis.
"Kenapa, Al?" Tanya Mita semakin panik. Ia takut hal yang tidak baik sedang menimpa sahabatnya. "Kenapa? Lo cerita dulu." Mita semakin penasaran.
"Yogi mutusin gue." Ucap Alya masih memeluk Mita. "Gue lihat dia sama Erna."
"Hah?" Mita kaget. Ada rasa lega didalam dirinya. Alya putus dari yogi sudah menjadi harapan kecilnya namun ia harus menutupnya karena Alya masih berharap hubungan mereka bisa lebih baik setelah break.
Alya melepaskan pelukannya. Ia mulai menceritakan semuanya pada Mita. Dan sahabatnya itu mendengarkan dengan seksama.
Ben baru saja memarkirkan mobilnya setelah ia kembali dari makan malam di luar bersama rekan bisnisnya. Ia berjalan menuju lift namun ia tak sengaja melihat salah satu karyawannya sedang berbicara dengan seorang perempuan yang tampak sebaya. Herannya, Ben melihat perempuan itu menangis tersedu-sedu dan beberapa kali menyeka air matanya.
Entah apa yang merasuk ke dalam pikirannya, Ben melangkahkan kakinya mendekati karyawannya itu. Sambil berjalan Ben berusaha memperhatikan wajah perempuan itu. Sayangnya, wajah itu menyamping dan tertutup oleh helaian rambut yang tertiup angin malam yang saat itu cukup kuat.
"Paramitha, ada apa?" Tanya Ben pada karyawannya itu.
Alya langsung membelakangi arah suara yang muncul disampingnya. Ia tidak ingin orang itu melihat dari dekat wajahnya yang menyedihkan. Apalagi pemilik suara itu adalah laki-laki.
"Pak," Mita juga ikut kegat dengan kedatangan atasannya.
"Ada apa?" Tanya Ben sambil menunjuk ke arah perempuan di depannya menggunakan anggukan kepalanya.
Mita melirik Alya sesaat, "Teman saya, pak. Teman SMA saya." Jawab Mita.
Ben mengerutkan dahinya heran. "Nangis?" Tanya Ben tanpa suara. Mita mengangguk pelan dengan sedikit tersenyum.
"Semuanya baik-baik aja?" Ben memastikan. Ia penasaran melihat wajah teman Paramitha yang membelakanginya.
"Iya, pak. Jangan khawatir." Mita meyakinkan.
Ben memandangi siluet perempuan itu dari belakang. Ia mengeluarkan sapu tangannya dari dalam kantong jasnya dan memberikannya pada Paramitha untuk diberikan pada perempuan itu.
Mita yang tidak enak hati menolak pemberian sapu tangan atasannya. Ia menggelengkan kepalanya dengan sedikit tersenyum walaupun canggung.
Ben masih memaksakan kehendaknya untuk memberikan sapu tangan itu pada Paramitha. Dan akhirnya karyawannya itu menerimanya.
"Terima kasih, pak." Ucap Mita pada atasannya.
"Saya naik dulu." Ben pamit dan menoleh ke arah perempuan itu sekali lagi kemudian berjalan menuju lift.
Setelah Ben menjauh, Mita memberikan sapu tangan itu, "Nah, lap dulu air mata lo. Deras banget cuma karna Yogi." Ucapnya.
"Gue sedih, Mit. Kenapa dia tega mutusin gue karna Erna." Alya membela diri. Ia menerima sapu tangan itu tanpa bertanya.
"Al, harusnya lo bersyukur karna Yogi mutusin lo."
"Maksud lo?" Alya menyeka air matanya menggunakan sapu tangan.
"Seenggaknya kalau benar si yogi selingkuh selama ini, setidaknya lo udah putus sama dia. Jadi lo gak perlu tahu dari orang lain. Lo udah lihat sendiri yogi satu mobil sama Erna, itu cukup Al." Jelas Mita.
"Tapi dia bilang mau melamar gue." Alya mulai menenangkan diri setelah mendengar penjelasan Mita.
"Lebih baik mana menurut lo, putus sebelum lamaran apa putus menjelang nikahan?" Tanya Mita yakin. "Lagian dia sendiri bilang kalau waktu itu karna terbawa suasana, jadi gak masuk hitungan kalau dia bilang mau lamaran bawa keluarga." Mita mencoba memberi pengertian pada sahabatnya.
"Gue harus bilang gimana sama orang rumah. Nyokap, bokap, belum lagi tetangga yang sok tahu sama hidup gue." Alya kebingungan. Selama ini ia sudah cukup menjadi perbincangan tetangganya. Umurnya yang sudah matang menikah seakan didesak menikah.
"Lo gak usah mikirin tetangga, terserah mereka mau ngomong apa. Yang penting keluarga lo dulu. Lo jelaskan sama mereka baik-baik dan mereka pasti ngerti. Mereka akan belain lo, Al. Tenang aja." Mita tahu betul betapa mama Alya sangat menyukai Yogi yang merupakan dokter gigi. "Lo cari cowok yang lebih bagus dari yogi. Lo tunjukkan sama dia karna udah sia-siain lo selama ini." Jelasnya.
Alya membuang wajahnya. "Gak segampang itu, Mit."
"Gampang, Al." Mita meyakinkan. "Kalau Yogi bisa, kenapa lo enggak."
Alya menghela napas dalamnya. Sedikit banyak ia sudah tenang. Ia menggengam erat sapu tangan yang wangi itu. "Lo lagi ngapain tadi?"
"Gue lagi di kantor. Karyawan kantor kebagian makanan dari kawinan hari ini." Mita menatap sahabatnya. "Udah lo balik. Gak usah mikirin yogi lagi."
Alya mengangguk. Ia berjalan ke arah motornya diikuti oleh Mita. "Tadi siapa sih yang ngomong sama lo?" Tanyanya sambil memakai helm.
"Bos gue." Mita membantu Alya memakai helmnya.
"Bos resto lo?"
"Bukan. Bos hotel ini." Dia beri penekanan pada kalimat 'Hotel'.
Alya melebarkan matanya. "Lo kok gak bilang sih sama gue." Ia malu seketika.
"Lo tadi lagi nangis, gimana gue mau bilang." Mita tidak merasa bersalah.
"Ih, gue kan malu, mit." Serunya.
"Lo gak perlu malu sama dia. Dia gak bakal kepo sama hidup lo." Jelas Mita yakin. "Hati-hati, Al." Pesannya.
Alya mengangguk lalu menuju pintu parkir dan meninggalkan Hotel Malpis.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!